Kisah Sex Dengan Dosen Cantikku Terbaru Malam Ini

Kisah Sex Dengan Dosen Cantikku

Pengalaman ini terjadi beberapa waktu lalu dengan seorang dosen pembimbing di tempatku kuliah. (Oh yach, aku kuliah di PTS terkenal di kota Apel dengan jurusan teknik komputer). Saat ini aku masih tahun terakhir kuliah. Kejadian ini sebenarnya sebelumnya belum ada di otakku, hal ini terjadi di luar keinginanku, tapi dasar nafsu kalau sudah menjadi raja maka tidak akan tahu lagi berbuat apa.

Sebut saja nama dosenku Juliet, orangnya sexy dan cantik, umurnya berkisar 32 tahun. Kulitnya putih bersih 100 % dan super mulus sekali, tingginya sekitar 168 cm, bodinya super bagus banget, orang bilang seperti gitar Spanyol, lingkar pantatnya super bulat, pinggangnya super ramping dengan buah dada yang ranum berukuran, setelah kejadian tersebut Kuketahui 36B, pokoknya “endang” dech.

Aku biasanya memanggil dosenku ini dengan sebutan “Ibu”, Ia dosen tetap di Universitasku, bidangnya Kalkulus (untuk mahasiswa teknik pasti tahu). Aku senang belajar dengannya, ia pandai sekali dan paham sekali bagaimana mengajar yang baik dan ia sangat disiplin terhadap mahasiswanya. Saat awal-awal kuliah, tidak ada yang spesial yang terjadi antara aku dengannya, yach biasa saja, layaknya mahasiswa yang lain, tapi tanpa kusadari Bu Juliet selalu memperhatikanku (kuketahui setelah ini).

Tapi setelah menjelang ujian tengah semester aku mulai curiga dengan gerak-gerik dan perhatiannya padaku. Kalau tidak salah waktu itu aku datang agak telat sehingga pelajaran untuk sesaat berhenti. Bu Juliet memperhatikanku, aku dapat bangku di urutan paling depan (yach, biasanya bangku paling depan selalu paling akhir diisi).

Sejenak kupikir ia melihatku terlalu lama karena aku datang telat, tapi setelah pelajaran mulai ia selalu melirik kepadaku, dan aku sadar sekali tentang hal itu dan aku menjadi risih karena hampir setiap 3 menit ia selalu melirikku, dan aku lebih risih lagi ketika ia melirik bagian selangkanganku yang waktu itu aku memakai celana yang agak super ketat (Jeans 010), sehingga bagian selangkanganku kelihatan menggelembung, (mungkin penisku kebesaran yang menurut Bu Juliet setelah kejadian ini).

Aku waktu itu makai baju kemeja, aku berusaha menutupi bagian selangkanganku dengan kemeja yang kupakai sebagai jaket. Karena sering melirik maka ia mengajar pelajaran jadi sering salah, ini terbukti dengan perkatannya, “Kok saya sering salah yach.. ” hal ini dikatakannya setelah ia berbuat kesalahan untuk ke-1001 kalinya. Dalam hatiku berkata, makanya jangan melirik yang tidak-tidak dong.

Hal itu berlangsung hingga 3 kali pertemuan, dan juga ia sepertinya lebih mendekatkan diri padaku, tapi aku tetap jaga image antara aku dengan dosen tentu aku berusaha sebaik mungkin padanya walau aku bertanya-tanya dalam hati apa ia tidak puas sama suaminya (Mas Fadli yang ternyata mengalami impoten). Hingga ujian tengah semester berlalu, aku tahu ujianku banyak yang betul dan aku tahu nilaiku bisa berkisar antara A atau B. Tapi saat itu ia memanggilku ke ruangannya sehabis kuliah usai.

“Son.. Nanti kamu ikut saya ke ruangan saya!”

“Baik, Bu.. Tapi ada apa yach Bu..” jawabku ingin tahu.

“Tidak ada apa-apa, saya ingin minta tolong pada kamu satu hal..” jawabnya dengan penuh senyum di bibirnya yang sensual.

Aku bertanya-tanya dalam hati ada apakah gerangan, sekilas terpikir olehku ia akan mengajakku melakukan.. Tapi kubuang pikiranku itu jauh-jauh takut-takut nanti ia bisa mengerti pikiran orang lagi. Aku mengikutinya dari belakang menuju ruangnya yang terletak cukup jauh dari keramaian mahasiswa.

Dalam perjalan ke sana aku berusaha untuk tetap untuk tidak negatif thinking, dengan cara berbicara dengannya apa saja tentu berhubungan dengan kuliah yang diberikannya tadi karena memang aku agak kurang paham karena pikiranku terbelah-belah. Sesampai di ruangnya ia duduk di kursinya dan aku tetap berdiri karena memang kebetulan di situ hanya ada satu kursi, dan aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.

“Ada apa yach Bu, sehingga saya harus ikut Ibu ke ruangan Ibu..?” tanyaku penasaran.

“Begini, kemarin Ibu sudah membuat semua daftar nilai hasil ujian MID semua mahasiswa yang kuliah dengan Ibu, tapi daftar tersebut tanpa sengaja hilang entah kemana..” jelasnya.

“Jadi.. Bu..?” tanyaku tidak sabaran.

“Jadi Ibu pingin minta tolong, sama kamu untuk membantu Ibu untuk membuat daftar itu lagi, padahal kalau Ibu sendiri yang membuatnya harus makan waktu 2 malam, karena harus teliti..” jelasnya lagi.

“Gimana, dengan hasil ujian saya Bu..?” tanyaku lagi untuk menyakinkan hasil dengan prakiraanku.

“Karena itulah Ibu minta tolong sama kamu, kamu dapat nilai A plus untuk ujian ini, jadi Ibu pikir kamu sanggup membantu Ibu,” pintanya dengan sedikit nada memohon.

“Plusnya apaan bu..” tanyaku menggoda.

“Ahh.. Kamu ada-ada aja..” katanya sambil mencubit lenganku.

“Kapan Sony harus membantu Bu..?” tanyaku singkat karena aku bangga dengan hasil ujianku yang baru kuketahui.

“Kamu tidak kemana-mana kan malam ini..?” tanyanya.

“Tidak.. ” balasku singkat.

“Malam ini aja yach, kamu tau kan alamat ini,” seraya ia sambil menyodorkan alamatnya.

Tanpa sengaja kertas itu jatuh. Aku mengambil kertas itu dengan membungkukkan badan, ia pun berniat menggambilnya, posisiku dengannya dekat sekali bahkan aku bisa mencium bau parfumnya yang menggairahkan.

“Maaf Bu.. ” ucapku padanya.

“Tidak apa kok Son.. ” katanya. Bibirnya sensualnya sembari memberi senyuman yang memikat. Aku bahkan bisa mencium nafas segarnya yang harum.

Jam 7: 30 malam aku berniat menepati janjiku pada dosenku yang satu ini. Aku mandi, dan berdandan dengan rapi, dan tanpa menunggu lagi ku-stater mobil pinjaman ke alamat yang tadi kusimpan. Tanpa kesulitan aku sampai alamat yang dituju karena memang aku sudah hafal keadaan kotaku. Rumahnya besar sekali dengan 2 lantai, dengan halaman yang luas dan pagar yang tinggi, di sisi bagian kanan belakang dapat kuterka ada kolam renang, berarti menandakan ia orang yang cukup kaya.

Aku masuk dengan pagar yang dibukakan oleh satpam jaga dan langsung tanpa mengetuk pintu ia keluar dan menyuruhku masuk. Aku tertegun dengan kedaannya, ia memakai gaun tidur berwarna merah muda, yang tipis dan panjangnya, hanya sampai lutut. Rambutnya panjangnya di biarkan tergerai, aku terdiam beberapa saat. Betapa cantiknya dia malam itu, maupun dengan keadaan rumahnya, ruangan tamunya tertata dengan rapi, baik perabotannya maupun kedaan sofanya yang kelihatannya berharga jutaan rupiah, maupun furniture lainnya.

“Hayo, masuk Son..! lagi mikirin apa sich..” tegurnya membuyarkan lamunanku.

“Ah.. Tidak apa kok Bu.. ” ucapku sekenanya.

Aku melangkah masuk dan duduk di ruangan tengah karena ia menyuruhku untuk mengikutinya di ruangan itu.

“Mau minum apa Son..” tanya pemilik bibir manis ini.

“Apa aja dech Bu asal jangan es teh aja Bu..” kataku. Masalahnya saat itu hujan mulai turun dengan lebat saat aku masuk ke rumah mewah ini.

“Coklat panas, mungkin bagus yach buat kamu..” tanyanya.

“Iya dech Bu, coklat panas aja..” jawabku. Karena aku memang suka sekali coklat.

Setelah berbincang sebentar, aku menanyakan pekerjaan yang akan kubantu. Tapi bagus juga untuk menghilangkan kekakuan antara kami. Dan aku jadi tahu kalau suaminya seorang pengusaha kaya dan sekarang sedang berada di luar negeri untuk mengembangkan usahanya di sana.

Bu Juliet sampai sekarang belum mempunyai anak. Dan di rumah itu sekarang hanya aku dan dia, sedangkan pembantunya, suami istri tinggal tidak jauh dari rumah mewah ini dan datang dari pagi hingga sore. Satpam 1 orang dan akan tetap berada di posnya hingga pagi. Berarti hanya ada aku dan dia di rumah ini.

“Oh Yach, Bu, mana hasil ujiannya..” tanyaku setelah ngalor-ngidul kemana-mana.

“Oh iya, jadi kepanjangan ngomongnya,” seraya memberi senyuman dan tawa kecil.

Ia memintaku untuk ikut ke ruangan kerjanya yang terletak di dalam kamar pribadinya, semula aku menolak karena tidak sopan masuk ke kamar seorang wanita yang suaminya tidak di rumah. Tapi karena sedikit paksaan aku mau juga. Kamarnya besar sekali artinya begitu indah, dengan luas kira-kira 7 m x 5 m, bayangkan saja bathtubnya terletak di dalam kamar dengan gaya Romawi, sedangkan meja kerja terletak di seberangnya 2 kursi dan di dalamnya dilengkapi televisi layar datar 60 inci, dan elektronik lainnya. Aku duduk di kursi kerjanya dan tiba-tiba ia merangkulku.

“Son.. Sebenarnya tidak ada yang namanya daftar nilai, daftar nilai hanya ada jika udah ujian semester,” katanya begitu lembut hingga hampir seperti berbisik di telingaku. Aku bingung, masih belum hilang bengongku ia berbisik di telingaku dan mencium telingaku.

“Son.. Bantu Ibu ya, puaskan Ibu.. Ibu kesepian sekali..” katanya.

“Tidak mungkin Bu..” aku setengah menolak tapi tidak mencegahnya untuk membuka kancing kemejaku satu persatu.

“Kamu mengerti kan, keadaan seorang istri yang tidak pernah dapat kepuasan oleh suaminya, Mas Fadli nggak bisa bertugas seperti lelaki normal alias impoten.. Please Son..” kata Ibu Juliet setengah memohon.

Aku jadi kasihan dan detik berikutnya aku berdiri dan membiarkan dia melucuti satu persatu pakaianku dan sampai aku telanjang bulat, matanya tak berkedip manatap kemaluanku yang tegak berdiri dengan kerasnya.

“Bu.. Jangan cuma dilihat dong Bu..” kataku sedikit bercanda.

Kisah Sex Dengan Dosen Cantikku

“Punyamu keras sekali..” balasnya dengan nafas sedikit memburu menandakan ia terangsang dan betul-betul bernafsu.

Kemudian aku mendekatinya dan mencium bibirnya dengan lembut serta melumat bibirnya yang sensual, bahkan lidah kami saling memilin, tangan kiri menggosok tengkuk dan pundaknya sedangkan tangan kananku meremas buah dada indah milik orang yang sebelumnya kuhormati, putingnya kuputar dengan lembut walau masih diluar gaun sutra yang lembut ini. Lain halnya dengan tangan Bu Juliet, tangan kanannya mengocok-ngocok kemaluanku yang tadi sudah sangat tegang, dan tangan kirinya berusaha melepaskan ikatan gaun tidurnya.

Aku pun membantunya melepaskan gaun tidurnya itu, dan ia langsung bugil, ternyata tanpa menggunakan BH, ia juga tidak menggunakan CD. Aku meneruskan aksiku ini, bahkan sekarang tangan kiriku meremas payudara kanannya dan tangan kananku meremas pantatnya yang aduhai, bibirku menghisap bibir bawahnya, air ludah kami bercampur terasa manis dan lidahku berusaha masuk ke dalam bibirnya.

Setelah puas berpagutan, aku mulai turun ke lehernya yang jenjang dan terus ke tengah-tengah buah dadanya yang padat berisi yang sedikit sudah turun, aku mendorongnya hingga ia bersandar pada dinding. Lidahku kemudian menghisap-hisap puting payudaranya dengan kuat, ia merintih keenakan.

“Oh.. Ohhmm.. Enak sayang..!” desahannya menambah semangatku untuk menghisap lebih kuat. Bahkan seluruh payudaranya kujilati dan kucupang dengan kuat, sehingga ia tambah kuat merintih.

“Ahh.. Ahhm ohh..” erangnya.

Aku semakin menggila, puas dengan yang kiri kuganti dengan yang kanan hingga meninggalkan bekas yang memerah. Aku begitu gemas dengan benda kenyal yang semakin mengeras itu, makanya kukeluarkan jurusku yang pernah kubaca di buku-buku tentang cara membuat pasangan lebih terangsang, tapi untuk pengalamannya baru ini yang pertama. Aku kemudian turun ke bawah dan terus ke selangkangannya, baunya harum, jauh dari yang kuperkirakan sebelumnya, tanpa pikir panjang aku kemudian menjilati klitorisnya hingga semakin keras desahannya.

“Ahh.. Aaahh.. Ohmm.. Enak sayang yach di situ.. Ohmm..” erangnya lagi.

Tidak puas dengan cara berdiri seperti ini aku kemudian mengangkatnya ke atas meja dan mengangkangkan kakinya selebar mungkin dan aku duduk di kursi. Kemudian aku kembali mengeluarkan lidahku dan mengulas klistorisnya dan aku berusaha memasukkan lidahku sedalam mungkin dalam lubang vaginanya, seperti yang pernah kulihat diblue film. Kemudian lidahku semakin ke bawah dan aku menjilati anusnya tanpa merasa jijik.

“Kaammu.. Pinntarr.. Saayyaanng.. Oh ennakh sekaallii lidah kamu..” desahannya semakin kuat.

Mungkin kalau ruangan itu tidak kedap suara pasti sampai kedengaran hingga ruang tengah.

“Yach.. Bu.. Aku akan menjilati sampai Ibu puas..” ucapku sesat melepaskan jilatanku dan kembali menjilati anusnya.

Aku mengangkat kaki Bu Juliet ke atas dan kembali menjilati anusnya karena ia tahu aku menjilati anusnya ia menahan nafasnya sehingga kelihatan seperti sedang buang air, dan lubang anusnya perlahan membuka. Tanpa membuang kesempatan lidah bermain lebih dalam ke dalam lubang anusnya dan terus dan kembali ke liang kemaluannya yang semakin banjir oleh cairan kewanitaannya lalu kujilati dan sesaat kemudian ia memekik dengan kuat.

“Ah.. Ahh.. Soonn.. Ibuu tidak tahan lagi, masukin sakarang yach..” ujarnya di tengah desahannya semakin menjadi yang menambah semangatku.

Aku menyukai vaginanya, habis cairannya terasa sedikit asin dan enak, mungkin gurih bagiku. Aku tak peduli dengan permintaannya, lidahku semakin terus menjilati kemaluannya dan jari tengahku keluar masuk di lubang anusnya, sampai akhirnya.

“Ahh.. Ohhmm.. Ibuu, maauu keluuaarr saayaanng..” erangnya dan..

“Croott.. Creett.. Croot..” tubuh Bu Juliet mengejang dan kaku dan kemudian lemas setelah mengalami orgasme yang hebat, lidahku kubiarkan di dalam dan terasa otot vaginanya menjepit dan meremas lidahku.

Terbayang olehku pasti enak sekali jika batang kemaluanku yang ada di dalam liang kemaluannya ini. Lima menit kemudian kujilati dan kubersihkan kemaluannya dengan lidah, cairan maninya kujilati dan kutelan semua, habis rasanya enak dan aku suka sekali. Ia kembali terangsang dan aku kemudian berbisik kepadanya untuk pindah di tempat tidur.

Aku menggendongnya dan menghempaskannya di tempat tidur, kakinya kubiarkan terjuntai ke bawah dan aku kembali mengangkang kakinya lebar-lebar dan kembali kujilati kemaluannya tapi lima menit kujilati ia duduk dan mendorong tubuhku.

“Sayang.. Sini Ibu pingin ngisep penismu..” katanya seranya memegang dan mengocok batang kemaluanku yang tegangnya sudah maksimal.

Ia berusaha memasukkan kemaluanku ke dalam mulutnya yang mungil. Pertama ia menjilati kepala kemaluanku, rasanya badanku terasa kesetrum keenakan, seluruh syarafku rasanya tegang, dan detik kemudian ia berusaha memasukkan kemaluanku ke dalam mulutnya. Baru sampai setengahnya aku menekan pantat ke depan, tanganku memegang kepala Bu Juliet.

“Ehk.. Akhh..” mulutnya tercekat tapi ia tak berusaha mengeluarkan kemaluanku dari mulutnya, akhirnya dengan usaha yang cukup lama kemaluanku masuk semua ke dalam mulutnya hingga ke pangkalnya.

Terasa sedikit ngilu ketika giginya menyentuh kepala kemaluanku, dan terasa benar olehku kepala kemaluanku sampai di tenggorokannya. Bu Juliet menatapku dengan bangga dan kemudian mengeluarkan dari mulutnya, dan setelah keluar ia menghisap dan mengocok serta mengeluar-masukkan kemaluanku ke dalam mulutnya.

“Ahh.. Ehh.. Eeennaakkhh..” ujarku sambil memegang kepalanya seolah-olah aku sedang menyetubuhi mulutnya.

15 menit berlalu dengan posisi ini aku kemudian mengangkatnya, dan menelentangkannya di atas spring bed mewah ini dan mengangkangkan kakinya lebar-lebar dan mengarahkan kemaluanku ke lubang senggamanya, kugosokkan kemaluanku pada klistorisnya, ia mendesah keenakan.

“Oohh.. Ennakhh Sayang ayo masukkan sekarang..!” pintanya.

Aku mengambil posisi lurus dan menekankan pantatku secara perlahan dan ternyata sulit juga memasukkan kemaluanku ke dalam lubang senggamanya, padahal kupikir pasti tidak terlalu sulit karena ia sudah melahirkan 2 orang anak dari lubang ini, tapi ternyata masih sangat sempit dan susah untuk dimasuki. Perlahan kumasukkan sedikit demi sedikit batang kemaluanku ke dalam lubang senggama yang kelihatannya sangat bersih dan lezat dijilati.

“Aahh.. Aoohh.. Terus.. Sayang..” rintihnya saat kemaluanku sudah masukkan 1/2 ke dalam lubang senggamanya dan aku kemudian menekan sedikit lebih kuat, ia memekik kesakitan.

“Auuwww.. Pelan-pelan Sayang.. Sakit.. ” katanya.

“Maaf Bu, Sony bernafsu sekali..” kataku.

Aku kembali menekankan pantatku perlahan dan 3/4 sudah amblas di dalam vaginanya yang kempot ke dalam. Aku kembali menyentakkan pantatku dengan kuat dan ia kembali memekik kesakitan disertai lolongan panjang.

“Aaauuw.. Ahhwww..” desahnya.

“Maaf Bu..” jawabku.

Aku menghentikan dan aku mengatakan bahwa bagaimana kalau istrihat saja dan berhenti saja dulu, tapi ia mencegahku dan malah ia menyuruhku untuk mengocoknya. Aku menurun-naikkan pantatku dengan tempo yang sangat lambat dan menekan kembali dengan sangat lambat, mungkin dengan begini otot vaginanya akan terbiasa menerima kemaluanku.

“Aahh.. Ehhtt.. Ohmm..” desahan Bu Juliet semakin membuatku bernafsu, aku merasakan seluruh kamaluanku dipijat sangat kuat oleh otot vaginanya. Nikmat sekali rasanya.

“Buu.. Ennakh.. Bu, punya Ibuu.. Semppiit sekaali Buu.. Ohmm..”

Aku mendesah dengan kuatnya, aku mempercepat tempo goyangan pinggulku. Keluar masuk dan sepertinya vaginanya sudah mulai terbiasa dengan penisku yang semakin mengeras. Cairan pelicin vagina Bu Juliet mengalir dengan derasnya sehingga menambah mudahnya pergesekan dinding vaginanya dengan batang kemaluanku, hingga berbunyi, “Belbb.. Clebb.. Bleeb.. Clebb..”

Lalu, 15 menit kemudian Bu Juliet sepertinya sudah ngos-ngosan, ia mendekatku erat. Aku semakin bersemangat menaik-turunkan pantatku dengan cepat. Tanganku meremas payudara kanannya dengan kuat dan putingnya kutekan dengan kuat hingga keluar air yang berwarna putih dan ternyata itu air susu dan tanpa ampun aku menyedot puting berwarna coklat muda itu dengan kuat kuremas payudara itu dengan kuat, kedua-duanya tak luput dari hisapanku sehingga rangsangan pada Bu Lia semakin bertambah ini ditandai dengan desahan yang semakin kuat. Akhirnya 5 menit kemudian tubuh Bu Juliet menegang dan ia memeluk dengan erat sekali dan ia berteriak.

“Soonn.. Benamkan yang dalam sayang..” pintanya sambil menggoyang pinggulnya. Tanpa ampun aku menusuknya dengan sangat sehingga terasa olehku pangkal rahimnya.

“Akkuu.. Keluuaarr Soonn.., oohhmm eenaakhh..” pekik Bu Juliet dengan keras dan tubuhnya terasa bergetar hebat menandakan ia benar-benar mengalami orgasmes yang hebat.

“Croott.. Ccreett.. Crooeett..” dan mani Bu Juliet terasa sangat hangat dan banyak, mungkin sampai 7 kali semburan sehingga terasa vagina Bu Juliet becek dan dipenuhi oleh maninya sendiri. Aku membiarkan kemaluanku di dalam vaginanya beberapa saat, kubiarkan dosenku yang cantik ini menikmati orgamesnya sambil memilin payudaranya supaya ia merasa kesempurnaan dari orgasme. 10 menit aku membiarkan kemaluan yang masih tegar dan belum merasakan akan adanya tanda akan orgasme

Dan kemudian Bu Juliet yang bermandikan keringat dan begitu pun tubuhku berkata, “Son.. Kamu hebat sekali, aku sudah 2 kali tapi kamu belum apa-apa.. Sayang..” katanya.

Kemudian aku bangkit dan mencabut penisku yang terasa licin, kemudian kujilati lagi cairan vaginanya sampai bersih, yah hitung-hitung membangkitkan lagi nafsu Bu Juliet. Aku mengambil posisi 69 dan kemudian setelah Bu Juliet kembali bernafsu aku meminta untuk bertumpu pada tangan dan sikunya. Aku akan melakukan doggy style.

Aku memasukkan kemaluan dari belakang dan ternyata tanpa sulit lagi kemaluanku amblas di dalam lubang kemaluannya. “Bless..” Kemudian aku kembali mengocok Bu Juliet dengan penuh semangat, disertai desahan dan pekikan dari Bu Juliet, begitu denganku berteriak dan mendesah dengan kuat.

“Ahh.. Ohhmm.. Eeennaakkhh.. Koccookk yang keenccang sayyaangg..” rintih Bu Juliet.

Aku menjilati lehernya dan tanpa hentinya meremas payudara yang mengeras dan pantatku maju mundur dengan sangat erotis dan beraturan. 15 menit kemudian Bu Juliet kembali mengejang, dan mencapai puncaknya.

“Ohhmm.. Akuu sampaii Soonn.. Sayaanngg..” desahnya dengan tubuh mengejang kaku.

Aku terus mengocoknya tanpa henti bahkan ruangan itu dipenuhi oleh bunyi buah pelir yang basah yang beradu dengan pahanya. “Plok.. Plookk..” Dan bunyi lubang senggama Bu Juliet yang sedang beradu dengan batang kemaluanku. “Bleb.. Bleeb.. Cleeb..” Aku tidak peduli.

“Oh sayaangg ibu capek nih.. Tooloong berhentii sebbeentarr ya,” mohon Bu Juliet.

Aku tahu pasti rasanya ngilu dan geli sekali. Tapi aku tidak peduli bahkan beberapa menit kemudian Bu Juliet kembali mencapai orgasmenya yang keempat dan saat itu aku sudah merasakan aku sudah hampir keluar dan aku mempercepat goyangan pinggulku dan merubah posisiku dengan cara menidurkan Bu Juliet dan mengangkat sebelah kakinya dan memasukkannya dari samping, dan 10 menit kemudian aku merasakan sesuatu yang sudah terkumpul di ujung kemaluanku akan meledak.

“Aaahh.. Buu.. Soonnyy ssammpaii..” rintihku sampai mendekapnya dengan sangat erat.

“Buu kuukeluuarkan diimannaa.. Buu..” tanyaku dalam rintihan.

“Dii.. Dalam aajaa sayaanng..” pintanya sambil mendekapku kuat.

“Saayyaangg.. Iiibuu.. Juugaa sampaii ssaayyaanngg kitaa saammaa saajaa.. Ooohhmm..”

Tubuhku merasakan tegang dan kaku, begitupun Bu Juliet yang orgasme yang kesekian kalinya, dan.. “Crreett.. Ccrrot.. Seerr..” Air maniku dan air mani Bu Juliet keluar bersamaan, kemaluanku sampai ke dasar rahim Bu Juliet. Rasanya penuh sekali dan otot Bu Juliet semakin kuat menjepit kemaluanku. 15 menit aku terdiam menikmati sisa orgasmeku, begitu juga Bu Juliet, kemudian masih dalam keadaan berpagutan Bu Lia memujiku.

“Sayang, belum pernah Ibu merasakan orgasme sampai lima kali dalam satu ronde sebelumnya, tapi baru sekarang, kamu begitu hebat, kamu orang pertama bermain dengan Ibu selain dengan suamiku..” katanya sambil mengecup bibirku.

“Bu, baru sekali ini aku bersetubuh Bu, Ibu yang mengambil keperjakaanku, rasanya enak sekali Bu.. Memek Ibu enak sekali sedotannya asyik,” balasku pada Bu Juliet.

“Kemaluanmu enak sekali.. Sayang, dan rasanya manimu kental sekali Sayang, sampai sekarang rahim Ibu terasa hangat,” ujarnya.

“Boleh tidak Sony ulangi lagi..?” pintaku menatap matanya.

“Tentu saja boleh Sayang, tapi izinkan dulu Ibu istirahat sebentar yach..” katanya sambil memeluk tubuhku.

Aku hanya mengangguk kecil, dan dalam hitungan menit Bu Juliet sudah terlelap, sedangkan aku setelah mencabut batang kemaluanku kupandingi tubuh Bu Juliet dan aku berpikir dan seolah tak percaya aku telah bersetubuh dengan dosenku yang tadinya kuhormati. 2 jam sudah Bu Juliet terlelap dan ketika ia terbangun aku sedang asyik menjilati lubang senggamanya dan lubang anusnya. Jam waktu itu menunjukkan pukul 12:10 karena aku sempat melirik jam dinding.

“Oh Sayang, kamu lagi cari apaan Son..?” tanyanya sedikit bercanda.

“Cari Biji kerang, Bu,” balasku lagi dalam canda.

Kemudian tanpa buang waktu kusuruh ia menungging, aku mau merasakan lubang anusnya. Lalu kuarahkan kemaluanku yang telah mengacung keras ke lubang pantatnya itu.

“Ahh, sayaangg jangan dii situu donng.. ” pintanya.

“Blebb..” Belum habis ia bicara, kudorong pantatku dengan kuat.

“Akhh.. Ehheekk.. ” jeritnya.

“Buu, saya inngin rasakan lubang pantat Ibu..” pintaku sedikit memohon.

“Pelan-pelan yach.. Sakit Sonn.. ” pintanya.

Aku mengocok lubang anusnya dengan penuh semangat, kupikir Bu Juliet tidak akan menikmatinya tetapi malahan ia malah cepat keluar dan bahkan lebih banyak dan lebih sering dari yang sebelumnya dan aku mengeluarkan spermaku di dalam anusnya hingga aku kecapaian dan tertidur dengan pulas, begitu pun dengan Bu Juliet.

Paginya kami mengulangi lagi hingga puas, pukul 11: 30 siang aku pulang karena ada kuliah nanti jam 02:00. Di kampus aku bertemu dengan Bu Juliet, ia hanya melirikku dan memberikan senyuman maut sekilas. Kulihat jalannya agak lain, agak sedikit terangkat, katanya masih sakit di bagian anusnya, habis memang aku memaksanya untuk bermain di situ dan ternyata lebih nikmat. Kata Bu Juliet aku yang pertama mencicipi lubang pantatnya dan menelan maninya.

*****

Sejak saat itu aku semakin sering bermain ke rumah Bu Juliet, yach untuk membantu Bu Juliet menyelesaikan pekerjaannya (hee.. Hee.. Hee..). Tentu asal Bu Juliet tidak menolak, begitupun aku selain nilai Kalkulusku A+ aku juga dikasih uang yang cukup banyak setiap bermain dengan Bu Juliet yang cantik.

Cerita sex : Reuni Yang Berujung Nikmat

Bahkan ia berjanji mau menukar mobil tuaku dengan mobil Ferrari sport. Perlu pembaca ketahui kami tidak melakukan di kamar saja, tapi juga di bathtub, di ruang tengah, ruang tamu, garasi, di kolam renang (di saat malam), dan di dalam mobil bahkan kami juga pernah melakukannya di dalam kelas dan aula di saat mahasiswa telah bubar semua. Huh.. Memang dasar kalau udah jodoh siapapun nggak bakal bisa memisahkan.

 

#Kisah #Sex #Dengan #Dosen #Cantikku

Kisah Sex Diperkosa Tapi Nikmat Terbaru Malam Ini

Kisah Sex Diperkosa Tapi Nikmatt

Pertemanan adalah suatu hal yang sangat penting dalam hidup seseorang dimana kita bisa saling berbagi dan saling menolong dalam kesulitan. Tapi arti pertemanan tidaklah seindah yang sering dibicarakan orang bagi Shindy, saya sebut saja demikian namanya.

Kisah nyata ini dipaparkan oleh responden yang bersangkutan dilengkapi dengan foto diri dan foto lainnya yang terjadi sebagai bukti penguat.

Tapi karena etika yang harus saya pegang teguh, maka data-data pendukung tersebut tidak akan pernah saya ekspose untuk dan kepada siapapun. Menurut pengakuan Shindy, kejadian berikut ini terjadi beberapa bulan yang lalu ketika liburan sekolah anaknya tiba..

Sebagai keluarga dari kalangan atas, menghabiskan waktu liburan berbintang lima di Nusa Dua Bali bukanlah masalah bagi keluarga Shindy. Selama beberapa hari Shindy menghabiskan waktu liburan dengan suami dan dua orang anaknya disana.

Setelah beberapa hari, suami Shindy mengajaknya untuk ke Lombok. Tapi dengan alasan Shindy merasa bosan dengan tempat itu, juga perjalanan dengan kapal fery yang yang cukup makan waktu, maka Shindy menolak ajakan suaminya itu.

Akhirnya suami dan kedua anaknya segera menuju Lombok tanpa Shindy. Shindy, 30 tahun, walau sudah punya anak dua orang tapi penampilan dan gayanya mirip dengan layaknya gadis kota masa kini. Wajah sangat cantik, putih, dan tubuh sintal selalu membuat lelaki manapun akan tertarik. Salah satu nilai lebih dari rumah tangga Shindy adalah kebebasan yang diberikan suaminya kepada Shindy untuk boleh bergaul atau jalan dengan siapa saja asal Shindy selalu jujur kepada suaminya itu.

Hal ini terjadi karena suaminya sangat tahu akan libido Shindy yang sangat tinggi hingga suaminya agak kewalahan dalam melayani kebutuhan seksual Shindy. Dan nilai lebih dari Shindy adalah kejujuran kepada suaminya bila dia jalan dan main dengan pria lain.

Pagi itu di restoran hotel, ketika Shindy sedang makan pagi..

“Hei..!”, terdengar suara diiringi dengan tepukan tangan di pundak Shindy.

“Hei, Dilla.. Bima.. Pak Dika..”, sahut Shindy senang ketika melihat mereka bertiga.

“Mana suamimu?”, tanya Dilla.

“Sedang ke Lombok dengan anak-anak”, jawab Shindy.

“Duduklah di sini, temani aku makan..”, kata Shindy.

Mereka pun segera duduk dan makan pagi bersama satu meja. Dilla dan Bima adalah teman bisnis suami Shindy di Jakarta, sedangkan Dika adalah seorang dokter, duda, yang jadi dokter keluarga Shindy. Dika dikenalkan kepada keluarga Shindy oleh Dilla dan Bima dulunya.

“Nanti malam kita turun yuk? Kita habiskan malam bersama di diskotik”, ajak Bima kepada Shindy.

“Entahlah..”, kata Shindy.

“Loh kenapa? Ayolah Bu Shindy, kita sekali-sekali bergembira bersama”, kata Dika ikut menyela sambil tersenyum menatap Shindy.

“Ikutlah, Shindy.. Masa cuma aku seorang ceweknya..”, kata Dilla.

“Baiklah kalau begitu.. Aku ikut”, kata Shindy sambil tersenyum.

“Kamu tinggal di kamar berapa?”, tanya Bima kepada Shindy.

“Aku di suite room..”, kata Shindy sambil menyebutkan nomor kamarnya.

“Ha? Kalau begitu kita bersebelahan dong..”, kata Dilla sambil menyebutkan nomor kamar mereka.

“Yee.. Kok aku tidak tahu, ya? Kapan kalian check in?”, tanya Shindy.”Semalem. Tadinya kami mau tinggal di kamar lain, tapi karena sudah penuh, akhirnya kami ditunjukkan kamar yang masih pada kosong..”, kata Bima.

“Tau nggak kalau kamar kita terhubung oleh connecting door, Ni?”, kata Shindy kepada Dilla.

“Iya? Berarti kita bisa kumpul-kumpul nih..”, kata Dilla girang.

“Oke deh, Shindy.. Nanti malam kita pergi bareng ke Diskotik, ya?’, ujar Bima.

“Aku bawa minuman enak dari Perancis nanti..”, kata Bima lagi.

“Baiklah. Kalian pada mau kemana?”, tanya Shindy.

“Kami ada keperluan dulu. Bye..”, kata Dilla sambil bangkit diikuti Bima dan Andi, lalu mereka pergi.

Malamnya, dengan memakai T-shirt ketat plus rok katun sangat mini sehingga paha mulusnya tampak dengan indah, Shindy berangkat dengan mereka ke diskotik.

“Kita minum dulu deh agar hangat”, kata Bima sambil menuang minuman bawaannya ke dalam gelas dan disodorkan kepada Shindy.

“Okay.. Siapa takut..”, kata Shindy sambil meneguk minumannya.

“Hm.. Enak.. Manis.. Give me more, please.”, kata Shindy kepada Bima. Bima pun segera menuang lagi minuman ke gelas Shindy yang sudah kosong.

“Jangan terlalu banyak, Shindy.. Nanti kamu jadi hot, loh..”, kata Dilla sambil tertawa. Mereka tertawa-tawa sambil menikmati minuman berakohol diiringi lagu yang diputar DJ.

“Turun, yuk..”, ajak Dika kepada Shindy.

“Ayo..”, kata Shindy sambil bangkit.

Perasaannya sudah mulai terpengaruh alkohol. Akhirnya Dilla dan Bima serta Shindy dan Dika melantai mengikuti hentakan irama yang cepat. Sampai akhirnya ketika lagu berganti ke irama slow, Shindy dan Dika saling berangkulan dan berdansa mengikuti alunan irama lagu.

“Mmhh..”, Shindy mendesah hampir tak tedengar ketika dadanya bersentuhan dengan dada Dika.

Entah karena pengaruh alkohol atau memang karena libido Shindy yang tinggi, puting susu Shindy mengeras dan makin mengeras ketika dadanya bersentuhan dengan badan Dika. Gairah Shindy bangkit karenanya. Tapi Shindy masih bisa menahan dirinya. Mereka terus menikmati waktu yang ada sambil meneguk minuman hingga wajah mereka memerah. Shindy benar-benar menikmati malam itu selagi bisa bebas dari beban pekerjaan dan anak-anaknya. Sampai ketika waktu menunjukkan jam 1.00 pagi mereka segera pulang ke hotel.

“Kita ngobrol di kamar saja, yuk?”, kata Bima.

“Okay.. Nanti aku buka connecting door-nya”, kata Shindy sambil berlalu menuju kamarnya.

Sementara Dilla, Bima dan Dika masih duduk-duduk di lobby. Sesampai di kamar, Shindy segera membuka connecting door-nya, lalu dia ketuk pintu sebelahnya. Tidak ada jawaban.

“Ah, masih pada di bawah barangkali..”, pikir Shindy sambil merebahkan badannya di ranjang.

Hampir setengah jam menunggu, ternyata mereka tidak datang juga. Akhirnya Shindy memutuskan untuk berendam air hangat dan mandi selama beberapa menit.

“Hei.. Sorry kami kelamaan..”, suara Dilla yang tiba-tiba masuk kamar mandi mengagetkan Shindy yang baru saja memakai kimono.

“Bima dan Dika di ruang tengah..”, kata Dilla lagi sambil agak sempoyongan.

“Kamar kamu enak juga ada ruang tamunya.. Kita bisa ngobrol disini..”, kata Dilla lagi.

“Shit!! Ngapain kumpul di kamar aku?”, bisik hati Shindy.

“Hei perempuan! Cepatlah kemari.. Kita habiskan sisa minuman tadi”, terdengar suara Bima memanggil. Akhirnya mereka berempat lagi-lagi meneguk bergelas alkohol yang dibawa Bima.

“Ohh.. Gawat! Kenapa aku jadi pengen..”, hati Shindy berbisik ketika pengaruh alkohol mulai menjalar di tubuhnya.

Terasa oleh Shindy buah dada serta puting susunya mulai mengeras lagi, sementara memeknya terasa berdenyut basah menahan gairah..

“Aku akan hirup udara segar dulu..”, kata Shindy sambil bangkit agak terhuyung menuju teras. Dihirupnya udara malam dalam-dalam untuk mengurangi sesuatu di dalam tubuhnya yang mulai menggoda imannya.

“Ohh..”, tiba-tiba terdengar suara Bima mendesah keras dari dalam. Shindy segera melongokan kepalanya untuk melihat apa yang terjadi.

“Oh my God!”, batin Shindy ketika melihat apa yang terjadi. Gairah dan denyutan memeknya semakin terasa menggoda.

Di depan matanya, Shindy melihat bagaimana Dilla berciuman dengan suaminya di kursi sambil tangannya mengocok kontol Bima yang sudah tegak. Celana Bima hanya di buka dan diperosotkan sebatas pahanya saja.

“Ohh.. Cepat hisap kontol aku, bitch!”, kata Bima kepada Dilla. Dengan serta merta Dilla menurunkan kepalanya, lalu dengan segera kontol Bima sudah dilahapnya sambil tetap dikocok pelan.

“Ooh..”, desah Bima ketika lidah Dilla menjilati kepala kontolnya sambil batangnya tetap dikocok tangan Dilla.

“Apa yang harus aku lakukan?”, batin Shindy ketika melihat kontol Bima yang basah di jilat dan dihisap mulut Dilla.

Gairahnya semakin memuncak. Dengan mata agak nanar terus dilihatnya Dilla dan Bima. Antara sadar dan tidak, tak terasa oleh Shindy ketika Dika menempelkan tubuhnya dari belakang. Tangan Dika menyusuri kaki Shindy dari betis sampai paha lalu naik ke pantat Shindy yang belum sempat memakai pakaian dalam sejak selesai mandi tadi..

“Hei! Pak Dika ngapain?!”, kata Shindy kaget sambil menepis tangan Dika dari pantatnya.

“Kita sama-sama tahu sama-sama mau kan..”, kata Dika sambil mendekati Shindy.

Shindy segera menghindar dan berlari menuju kamarnya melewati Dilla dan Bima yang sedang asyik melakukan oral seks. Dilla dan Bima sampai kaget dan menghentikan cumbuan mereka ketika melihat Shindy melintas. Di dalam kamarnya Shindy masih bingung dan teringat akan oral seks Dilla dan Bima serta perlakuan Dika kepadanya. Sebetulnya gairah Shindy sudah sangat memuncak saat itu, tapi entah kenapa masih ada rasa ragu di hatinya.

“Ada apa, Shindy?”, tiba-tiba Dilla masuk kamar dan menghampiri Shindy yang masih berdiri.

“Entahlah, An.. Aku.. Aku aku tak tahu..”, kata Shindy sambil melepas kimono lalu segera memakai celana dalamnya.

Tapi ketika Shindy akan memakai memakai Bra, tiba-tiba Dilla memeluknya dari belakang hingga Shindy tidak jadi memakai Bra tersebut.

“Ayolah Shindy, kita nikmati malam ini..”, bisik Dilla ke telinga Shindy.

“Mmhh..”, desah Shindy ketika tangan Dilla mengusap seluruh badannya. Usapan dan belaian tangan Dilla kembali mengobarkan gairah Shindy yang sempat surut.

“Kapan lagi kita bisa bersama seperti ini?”, bisik Dilla lagi sambil tangannya meremas kedua buah dada Shindy dari belakang.

“Ohh..”, desah Shindy sambil terpejam menikmati sensasi jari tangan Dilla ketika memainkan dan memelintir puting susunya.

“Mmhh.. Ohh..”, desah Shindy makin keras ketika lidah dan bibir Dilla menyusuri telinga, tengkuk dan lehernya sembari tangannya tetap meremas dan memainkan puting susu Shindy.

“Nikmati saja malam ini..”, bisik Dilla sambil membalikan badan Shindy dan merebahkannya di ranjang.

“Oww..”, jerit lirih Shindy ketika lidah dan bibir Dilla menciumi dan menjilati buah dada serta puting susunya.

Kisah Sex Diperkosa Tapi Nikmat

“Dillaihh.. Oohhsshh..”, jerit Shindy makin keras ketika jari Dilla masuk ke celana dalam dan menggosok memeknya.

Tubuh Shindy menggeliat terbawa rasa nikmat dan terlepasnya himpitan gairah yang tertahan sebelumnya.

“Kamu menyukai ini?”, bisik Dilla sambil lidah dan mulutnya turun menyusuri perut sementara tangannya melepas celana dalan yang dipakai Shindy.

“Ohh.. Anniihh..”, jerit Shindy ketika ada rasa nikmat yang menjalar ketika lidah Dilla dengan liar menyusuri belahan memeknya.

“Ohh Dilla.. Enakkhh”, desah Shindy waktu lidah Dilla menjilati kelentit dan sesekali mengulumnya.

“Anniihh.. Akku.. Keluarrhh..!”, jerit Shindy sambil menggelinjang dan mendesakan kepala Dilla ke memeknya ketika ada semburan hangat terasa di memeknya yang disertai rasa nikmat yang luar biasa.

Dilla tersenyum sambil bangkit lalu memeluk dan melumat bibir Shindy.

“Aku baru kali ini merasakan bercumbu dengan wanita.. Ternyata memuaskan..”, bisik Shindy sambil sesekali mengecup bibir Dilla. Ketika Shindy dan Dilla saling lumat bibir, terasa oleh Shindy ada tangan yang menjamah, membelai dan meremas pelan buah dadanya.

“Sayang, kamu layani si Dika..”, Bima menyuruh dan menarik tubuh Dilla dari atas tubuh Shindy.

“Kamu menyukai permainan istriku, Shindy?”, kata Bima yang sudah telanjang bulat sambil menindih tubuh Shindy serta mulai menciumi leher lalu turun ke buah dada Shindy.

“Jangaann!! “, teriak Shindy sambil meronta menjauhkan wajah Bima dari buah dadanya. Tapi Bima dengan cepat memegang kedua tangan Shindy, lalu lidah dan mulutnya kembali meneruskan menjilati buah dada dan puting susu Shindy

“Ohh.. Jangaannhh.. Janghh.. Jangannhh..”, rintih Shindy diantara rasa malu, rasa terhina, serta rasa nikmat ketika lidah Bima bisa memberikan rasa itu. Apalagi ketika kontol Bima yang tegang dan tegak mengesek-gesek memeknya yang sudah basah. Bahkan ketika lidah Bima turun ke perut, turun lagi hingga mencapai memeknya, Shindy kembali menggelepar dalam kenikmatan walau hatinya menolak diperlakukan demikian.

“Jangannhh, Bim..!”, jerit lirih Shindy ketika Bima mulai mengarahkan kontol ke lubang memeknya. Dilla-pun yang sedang asyik disetubuhi Dika, sempat menghentikan persetubuhannya lalu bangkit dan mencoba memegang kontol Bima agar tidak menyetubuhi Shindy.

“Sudah! Kamu nikmati saja kontol si Dika sana!”, kata Bima aga keras sambil mendorong tubuh Dilla.

“Sudahlah, Dilla.. Sini!”, kata Dika sambil menarik dan merebahkan tubuh Dilla di karpet lalu kembali menyetubuhi istri temannya itu.

“Ohh..!”, terdengar desah Shindy ketika kontol Bima masuk ke memeknya lalu dengan kasar dan cepat Bima menggenjotnya.

“Jangan, Biemm.. Lepaskan aku!”, jerit lirih Shindy di sela rasa sakit dan nikmat ketika kontol Bima keluar masuk memeknya.

“Fuck you, bitch!”, kata Bima sambil mengangkat satu kaki Shindy dan di tahan oleh pundaknya.

“Ohh.. Memekmu nikmat, Shindy..”, kata Bima sambil memompa kontolnya lebih dalam dengan posisi demikian.

“Ohh.. Mmhh..”, desah Shindy sambil terpejam. Rasa sakit yang ada kini berganti rasa nikmat yang luar biasa.

“Bagaimana rasanya, sayang..”, terdengar suara Dilla di samping Shindy ketika Dilla mengganti posisi dengan doggy style di atas ranjang.

“Kamu nikmati saja malam ini, Shindy.. Kapan lagi kita bisa bersama seperti ini..”, Dika menyela sambil mengenjot memek Dilla dalam posisi menungging.

“Mmhh.. Sshh.. Ohh”, Shindy hanya menjawab dengan desahan pertanda sedang menikmati suatu kenikmatan ketika Bima dengan ganas mengeluarmasukkan kontol ke memeknya.

“Ooww.. Ohh..!”, terdengar suara Shindy menjerit sambil memegang tangan Bima dengan kencang. Sementara tubuhnya menggeliat serta mendesakkan memeknya ke kontol Bima dan menggoyangnya dengan cepat.

“Serr! Serr! Serr!”, kembali memek Shindy mengeluarkan air mani yang menyembur hangat di dalam memeknya.

“Ohh.. Fuck you! Fuck you!”, kata Bima sambil menggenjot kontolnya makin cepat dan makin cepat.

“Crott! Croott! Crott!”, air mDilla Bima menyembur banyak di dalam memek Shindy.

“Oohh..!!”, desah Bima sambil merebahkan tubuhnya menindih tubuh Shindy.

Shindy hanya bisa memejamkan mata setelahnya. Rasa lelah serta pengaruh alkohol yang masih ada membuatnya tak mempedulikan lagi keadaan disekelilingnya. Yang sempat terdengar oleh telinga Shindy adalah teriakan kenikmatan yang keluar dari mulut Dilla dan Dika yang sedang asyik bersetubuh di depan suami Dilla sendiri. Mata Shindy sedikit demi sedikit makin berat. Hanya rasa nyaman dan sisa-sisa kenikmatan di memek Shindy yang membuat memeknya berdenyut-denyut hingga Shindy tertidur..

Shindy tertidur sampai siang hari dalam kedaan telanjang bulat. Tubuhnya tertidur hanya diselimuti oleh bed cover. Tak terdengar olehnya ketukan pintu oleh cleaning service. Sehingga ketika cleaning service membuka pintu dengan kunci cadangan yang dia bawa, dia begitu terkejut melihat tubuh molek tergolek di ranjang.

“Eh.., maaf, Bu.. Saya kira tidak ada siap-siapa di dalam”, kata petugas kebersihan tersebut.

“Tidak apa-apa.. Kembali lagi saja dan bereskan kamar saya nanti agak siang..”, kata Shindy sambil menyelimuti tubuhnya lebih rapat.

Setelah petugas itu keluar, Shindy hanya bisa merenungi apa yang terjadi semalam. Shindy sendiri merasa heran, dirinya tidak mau dipaksa, diperkosa, entah apapun namanya, tapi yang jelas dirinya begitu menikmati perlakuan orang lain yang begitu kasar pada dirinya pada akhirnya..

Cerita sex : Kisah Sex Dengan Anak Pemilik Kost

Shindy memang sangat suka berpetualang seks dari sebelum menikah sampai sekarang, tapi belum pernah merasakan sensasi kenikmatan seperti yang dirasakan semalam.. Ingin rasa hati Shindy menceritakan hal ini kepada suaminya, tapi pertentangan batin terjadi dalam hatinya karena hal ini menyangkut kepada teman-teman baik suaminya. Bahkan terbersit keinginan Shindy untuk kembali ingin mendapatkan sensasi kenikmatan dengan menjadi objek pemaksaan seksual..

#Kisah #Sex #Diperkosa #Tapi #Nikmat

Cerita Sex Dengan Santi, Ibu Kostku Terbaru Malam Ini

Cerita Sex Dengan Santi, Ibu Kostku

Sudah hampir setahun Roni tinggal di tempat kost Bu Santi. Bisa tinggal di tempat kost ini awalnya secara tidak sengaja ketemu Bu Santi di pasar. Waktu itu Bu Santi kecopetan, trus teriak dan kebetulan Roni yang ikut menolong menangkap copet dan mengembalikan dompet Bu Santi. Trus ngobrol sebentar, kebetulan Roni lagi cari tempat kost yang baru dan Bu Santi mengatakan dia punya tempat kost atau bisa di bilang rumah bedengan yang dikontrakkan, yah jadi deh tinggal di kost-an Bu Santi.

Bu Santi lumayan baik terhadap Roni, kelewat baik malah, karena sampai saat ini Roni sudah telat bayar kontrak rumah 3 bulan, dan Bu Santi masih adem-adem aja. Mungkin masih teringat pertolongan waktu itu. Tapi justru Roni yang gak enak, tapi mau gimana, lha emang duit lagi seret. akhirnya Roni lebih banyak menghindar untuk ketemu langsung dengan Bu Santi.

Sampai satu hari…… waktu itu masih sore jam 4. Roni masih tidur-tiduran dengan malasnya di kamarnya. Tempat kost itu berupa kamar tidur dan kamar mandi di dalam. Terdengar pintu kamarnya di ketok… tok..tok..tok.. lalu suara Bu Santi yang manggil,”Roni…Roni… ada di dalem gak?” Sontak Roni bangun, wah bisa berabe kalo nanyain duit sewa kamar nie, pikir Roni.

Dengan cepat meraih handuk, pura-pura lagi mandi aja ah, ntar juga Bu Santi pergi sendiri. Setelah masuk kamar mandi kembali terdengar suara Bu Santi,” Roni lagi tidur ya..?” dan dari kamar mandi Roni menyahut sedikit teriak,” Lagi mandi bu….”

Sesaat tidak ada sahutan, tapi kemudian suara Bu Santi jadi dekat,”Y udah mandi aja dulu Roni, ibu tunggu di sini ya…” eh ternyata masuk ke kamar, Roni tadi gak mengunci pintu. “Busyet dah, terpaksa bener-bener harus mandi nie,”pikir Roni.

Sekitar lima belas menit Roni di kamar mandi, sengaja mandinya agak dilamain dengan maksud siapa tau Bu Santi bosan trus gak jadi nunggu. Tapi rasanya percuma lama-lama toh Bu Santi sepertinya masih menunggu. Akhirnya keluar juga Roni dari kamar mandi, dengan hanya handuk yang melilit di pinggang, tidak pakai celana dalem lagi, maklum tadi gak sempet ambil karena terburu-buru.

Bu Santi tersenyum manis melihat Roni yang salah tingkah,”lama juga kamu mandi ya Roni…” Bu Santi membuka pembicaraan.

“Pasti bersih banget mandinya ya…” gurau Bu Santi sambil sejenak melirik dada bidang Roni.

“Ah ibu bisa aja… biasa aja kok bu.., oia ada apa ya bu..?” jawab Roni sekenanya saja sambil mengambil duduk di pinggiran tempat tidur.

Bu Santi mendekat dan duduk di samping Roni, “Cuma mau ngingetin aja, uang sewa kamarmu dah telat 3 bulan lho… trus mau ngobrol-ngobrol aja sama kamu, kan dah lama gak ngobrol, kamu sie pergi mlulu…”ucap Bu Santi. Roni jadi kikuk,”wahduh… kalo uang sewanya ntar aku bayar cicil boleh gak bu? Soalnya lagi seret nie…” jawab Roni dengan sedikit memohon.

Bu Santi terlihat sedikit berpikir…”mmmm… boleh deh, tapi jangan lama-lama ya… emang uangmu di pakai untuk apa sie?” terlihat Bu Santi sedikit menyelidik. “hmmm… pasti buat cewe mu ya…”dia terlihat kurang senang.

“Ah nggak juga kok bu….. saya emang lagi ada keperluan,” jawab Roni hati-hati melihat raut wajah Bu Santi yang kurang senang.

“Huh…laki-laki sama aja, kalo lagi ada maunya, apa aja pasti di kasih pada perempuan yang lagi di dekatinya, hhhh… sama aja dengan suamiku….”keluh Bu Santi dengan nada kesal.

Waduh nampaknya Bu Santi lagi marahan nie sama suaminya, jangan-jangan amarahnya ditumpahkan pula sama Roni. Dengan cepat Roni menjawab,”tapi saya janji kok bu, akan saya lunasi kok…”

“hhhhh….”Bu Santi menghela nafas,”Udahlah Roni, gak apa-apa kok, gak di bayar juga kalo buat kamu ga masalah… Ibu Cuma lagi kesel aja sama suamiku, dia cuma perhatiannya sama Marni terus… Aku seperti gak dianggap lagi, mentang-mentang Marni jauh lebih muda ya.”

Sedikit penjelasan bahwa Bu Santi ini istri pertama dari pak Kardi, sedangkan istri keduanya bu Marni. Dan sekarang sepertinya pak Kardi lebih sering tinggal di rumahnya yang satu lagi bersama bu Marni dan Bu Santi tampaknya udah mulai kesepian nie

“Wah kalo masalah keluarga sie aku kurang paham bu…. “jawab Roni kikuk

“Gak apa-apa Roni, ibu hanya mau curhat aja sama kamu… boleh kan Roni?” suara Bu Santi sendu. Agak lama terdiam, terdengar tarikan nafas Bu Santi terasa berat, dan sedikit sesunggukan, waduh lama-lama bisa nangis nie, gawat dong pikir Roni.

“Uudah bu jangan terlalu dipikirkan, nanti juga pak Kardi kembali lagi kok, kan ibu juga gak kalah cantiknya sama bu Marni,”Roni bermaksud menghibur.

“Ah kamu Roni… emang ibu masih cantik menurutmu?” Bu Santi menatap sendu ke arah Roni, terlihat dua butir air mata mengalir di pipinya. Uhh…. ingin rasanya Roni menghapus air mata itu, pak Kardi emang keterlaluan masa wanita cantik nan elok seperti ini dianggurin sie, coba Roni bisa berbuat sesuatu… busyet… Roni memaki dalam hati… “kenapa otak gwa jadi kotor gini.”

Dengan sedikit gugup Roni menjawab,”mmm…eee…iya kok bu, ibu masih cantik, kalo masih gadis mungkin aku yang duluan tergoda.” Uupsss …. Maksud hati ingin menghibur, tapi kenapa kata-kata yang menggoda yang keluar dari mulut… gerutu Roni dalam hati. Roni jadi panik, jangan-jangan Bu Santi marah dengan ucapan Roni.

Tapi ternyata Roni salah, karena Bu Santi tersenyum, manis sekali dengan deretan gigi yang putih dan rapi,”ih Roni bisa aja menghibur…. Iya juga sie, kalo masih gadis bisa aja tergoda, pantes aja suamiku gak ngelirik aku lagi, bis nya dah tua sie…” rona wajah Bu Santi berubah sedih lagi,”kalo menurutmu Roni, apa ibu emang gak menarik lagi…?” sambil berdiri dan memperhatikan tubuhnya kemudian menatap Roni minta penilaian.

Terang aja Roni makin kikuk,”wah aku mau ngomong apa ya bu…? Takutnya nanti di bilang lancang lho… tapi kalo mau jujur…. Ibu cantik banget, seperti masih 30an deh.”

Bu Santi tampaknya senang dengan pujian itu,”hmmm.. kamu ada-ada aja saja… ibu udah 43 lho.. emang Roni liat dari mananya bisa bilang begitu?”

Roni jadi cengar cengir,” ….itu penilaian laki-laki lho bu, saya malu bilangin nya.”

Bu Santi kembali duduk mendekat, sekarang malah sangat dekat hampir merapat ke Roni sambil berkata,” ah.. gak perlu malu…. Bilang aja…”

Nafas Roni terasa sesak, badan nya terasa panas dingin menghadapi tatapan Bu Santi, matanya indah dengan bulu mata yang lentik, sesaat kemudian Roni mengalihkan pandangan ke arah tubuh Bu Santi mencari alasan penilaian tadi, uups baru deh Roni memperhatikan bahwa Bu Santi memakai baju terusan seperti daster tapi dengan lengan yang berupa tali dan diikat simpul di bahunya.

Hmmm .. kulit itu mulus kuning langsat dengan tali baju dan tali bra yang saling bertumpuk di bahu, pandangan Roni beralih ke bagian depan uupss… terlihat belahan dada yang hmmm… sepertinya buah dada itu lumayan besar. Sentuhan lembut tangan Bu Santi di paha Roni yang masih dibungkus handuk cepat menyadarkan Roni. Dengan penuh selidik Bu Santi bertanya,”lho… kok jadi bengong sie..? apa dong alasannya tadi bilang ibu masih 30an…”

Roni sedikit tergagap karena merasa ketahuan terlalu lama memandangi tubuh Bu Santi,”mmm… eeemm.. ibu benar-benar masih cantik, kulitnya masih kencang… masih sangat menggoda…”

Tidak ada jawaban dari mulut Bu Santi, hanya pandangan mata yang kini saling beradu, saling tatap untuk beberapa saat… dan seperti ada magnet yang kuat, wajah Bu Santi makin mendekat, dengan bibir yang semakin merekah.

Roni pun seakan terbawa suasana, dan tanpa komando lagi, Roni menyambut bibir merah Bu Santi, desahan nafas mulai terasa berat hhhh…hhhh…ciuman terus bertambah dahsyat, Bu Santi menjulurkan lidahnya masuk menerobos ke mulut Roni, dan dibalas dengan lilitan lidah Roni sehingga lidah tersebut berpilin-pilin dan kemudian deru nafas semakin berat terasa.

Dengan naluri yang alami, tangan Roni merambat naik ke bahu Bu Santi, dengan sekali tarik, terlepas tali pengikat baju di bahu tersebut dan dengan lembut Roni meraba bahu Bu Santi sampai ke lehernya…. Kemudian turun ke arah dada, dengan remasan lembut Roni meremas payudara yang masih terbungkus bra itu. “hhhhh…hhhh” nafas Bu Santi mulai terasa menggebu, nampaknya gairah birahinya mulai memuncak. Jemari lentik Bu Santi tak ketinggalan meraba dan mengelus lembut dada Roni… melingkari pinggang Roni, mencari lipatan handuk, hendak membukanya…

Uupps…. Roni tersentak dan sadar….,”ups…hhh… maaf bu… maaf bu… saya terbawa suasana….” Roni tertunduk tak berani menatap Bu Santi sambil merapikan kembali handuknya, baru kemudian dengan sedikit takut melihat ke arah Bu Santi.

Terlihat Bu Santi pun agak tersentak, tapi tidak berusaha merapikan pakaiannya, sehingga tubuh bagian atas yang hanya tertutup bra itu dibiarkan terbuka. Pemandangan yang menakjubkan. “napa Roni… kita sudah memulainya… dan kamu sudah membangkitkan kembali gairah ibu yang lama terpendam… kamu harus menyelesaikannya Roni…” tatapan Bu Santi terlihat semakin sendu…

Cerita Sex Dengan Santi, Ibu Kostku

“mmm… ibu gak marah..? gimana nanti kalo ada yang lihat bu… bisa gawat dong… pak Kardi juga bisa marah besar bu…” jawab Roni.

Tanpa menjawab Bu Santi bangkit berdiri, namun karena tidak merapikan pakaiannya, otomatis baju terusan yang dipakai jadi melorot jatuh ke lantai. Roni terpana melihat tubuh indah itu, sedikit berlemak di perut dan bokongnya namun itu malah menambah seksi lekuk tubuh Bu Santi. Kemudian dengan tenang Bu Santi melangkah ke arah pintu kamar dan menguncinya.

Saat berjalan membelakangi Roni itu nampak gerakan bokong Bu Santi naik turun, dan perasaan Roni semakin tegang dengan nafsu yang semakin tak tertahankan, demikian juga saat Bu Santi berbalik dan melangkah kembali menuju tempat tidur, Roni tidak melepaskan sedikit pun gerakan Bu Santi. Sampai Bu Santi berdiri dekat di depan Roni dan berkata,”kamarnya udah di kunci Roni, dan gak ada yang akan mengganggu….”

Roni tidak langsung menjawab, menghidupkan tape dengan suara yang agak besar, setidaknya untuk menyamarkan suara yang ada di ruangan. Bu Santi kembali duduk di pinggiran tempat tidur, dan membuka bra yang digunakannya. Roni mendekat dan duduk di samping Bu Santi… hmmm… nampak payudara itu masih montok dan kenyal, ingin Roni langsung melahap dengan mulut dan menjilatnya.

Bu Santi yang memulai gerakan dengan melingkarkan lengannya ke leher Roni, menarik wajah dan langsung melumat bibir Roni dengan nafsu yang membara. Roni membalas dengan tidak kalah sengit, sambil meladeni serangan bibir dan lidah Bu Santi, tangan Roni meremas payudara montok milik Bu Santi. Desahan nafas menderu di seputar ruangan, diselingi alunan musik menambah gairah.

Setelah beberapa saat, Bu Santi mendorong lembut badan Roni, menyudahi pertempuran mulut dan lidah, dengan nafas yang memburu. Roni mendorong lembut tubuh Bu Santi, berbaring terlentang dengan kaki tetap menjuntai di pinggiran tempat tidur. Dada yang penuh dengan gunung kembar itu seakan menantang dengan puting yang telah tegang.

Tanpa menunggu lagi Roni melaksanakan tugasnya menjelajahi gunung kembar itu mulai dari lembah antara, melingkari dan menuju puncak puting. Dengan gemas Roni menyedot dan memainkan puting susu itu sambil tangan meremas payudara kembarannya ………………… “HHHH…. AHHH….MMMH….”suara Bu Santi mulai kencang terdengar, desahan-desahan nikmat yang semakin menggairahkan. Roni melanjutkan penjelajahan dengan menyusuri lembah payudara menuju perut dan sebentar memainkan lidah pada udel Bu Santi yang menggelinjang kegelian.

Roni menghentikan penjelajahan lidah, kemudian dengan cekatan menarik celana dalam Bu Santi, melepaskan dan membuang ke lantai. Dengan spontan Bu Santi mengangkat kaki ke atas tempat tidur dan memuka lebar pahanya, terlihat gundukan vagina dengan rambut-rambut yang tertata rapi. Roni mulai kembali aksi dengan menjilati menyusuri paha Bu Santi yang halus mulus, terus mendekat ke selangkangan menemui bibir vagina yang mulai mengeluarkan cairan senggama.

Tanpa menunggu lama, Roni menyapu cairan senggama itu dengan lidahnya dan meneruskan penjelajahan lidah sepanjang bibir vagina Bu Santi dan sesekali menggetarkan lidah pada klitorisnya yang membuat Bu Santi mengerang kenikmatan,”AHHHH…. MMMMH… HHH… Roni….UHH…”desahan birahi yang memuncak dari Bu Santi membuat Roni semakin bersemangat dan sesekali lidah di julurkan mencoba masuk ke liang senggama yang menanti pemenuhan itu.

Setelah beberapa menit Roni mengeksplorasi liang kewanitaan itu, nampaknya Bu Santi tidak sabar lagi menuntut pemenuhan hasrat birahinya,”Roni…. Ayo sayang… masukkin Roni… hhhh…mmmmh.” Suara Bu Santi ditingkahi desahan-desahan yang semakin kencang.

Dengan tenang Roni menyudahi penjelajahan lidah dan bersiap bertempur yang sesungguhnya. Dengan sekali tarik lepaslah handuk yang melilit di pinggang dan bebas mengacung penis dengan bagian kepala yang merah mengkilap. Bu Santi semakin membuka lebar pahanya, besiap menanti pemenuhan terhadap liang wanitanya. Roni naik ke tempat tidur dan langsung mengarahkan batang penis ke arah vagina Bu Santi yang dengan sigap lansung meraih dan meremas batang kemaluan Roni dan membantu mengarahkannya tepat ke liang vaginanya.

Dengan sekali dorongan penis Roni amblas sampai setengahnya. Roni menahan gerakan sebentar menikmati prosesi masuknya penis yang disambut desahan Bu Santi,” AHHH….TERUSKAN Roni….AHHH.” kemudian dengan meresapi masuknya penis sampai sedalam-dalamnya. Setelah dorongan pertama dan batang zakar yang masuk seluruhnya barulah Roni memompa menaik turunkan pantat dengan irama beraturan seakan mengikuti irama musik yang terasa semakin menggebu dan hot.

Roni bertumpu pada kedua siku lengan sedangkan Bu Santi mencengkam punggung Roni, meresapi dorongan dan tarikan penis yang bergerak nikmat di liang senggamanya. Suara desahan bercampur aduk dengan alunan musik dan peluh mulai bercucuran di sekujur tubuh,”AH..AH..AH..MMH…MHH…HHHH.” tak hentinya desahan meluncur dari bibir Roni dan Bu Santi.

Sesaat Roni menghentikan gerakan untuk mencoba mengambil nafas segar, Bu Santi memeluk Roni dan menggulingkan badan tanpa melepas penis yang tetap berada di liang vaginanya. Dengan posisi di atas dan setengah berjongkok, Bu Santi memompa dan menaikturunkan pantatnya dengan badan bertumpu pada lengan.

Sesekali Bu Santi memutar pantatnya dan kemudian memasukkan batang zakar Roni lebih dalam. Roni tak diam saja, tangan meremas kedua payudara yang menggantung bebas dan menarik-narik puting susu Bu Santi. Suasana makin membara dengan peluh yang bercucuran, sampai saat Bu Santi seperti tak sanggup melanjutkan pompaan karena birahi yang hendak mencapai puncak pemenuhan.

Dengan sigap Roni membalikkan posisi, Bu Santi kembali berada di bawah, dengan mempercepat tempo dorongan Roni meneruskan pertempuran. “Roni…AHH..AH..AH..UH…TERUS Roni…. AHHH…AHH IBU SAMPAI…Roni….AHHHHHHHHH… MMMMMHHH.” Setelah teriakan tertahan Bu Santi mengatup bibirnya menikmati orgasme yang didapat, tubuhnya sedikit bergetar. Roni merasa vagina yang mengalami orgasme itu berkedut-kedut seperti menyedot zakarnya.

Roni menikmatinya dengan memutar –mutar pantatnya dan memasukkan lebih dalam lagi batang zakarnya, dan terasa ada dorongan kuat menyelimuti batang zakarnya, semakin besar dan sesaat Roni kembali mendorong batangnya dengan cepat dan saat terakhir menarik keluar batanga zakarnya dan melepaskan air maninya di atas perut Bu Santi, yang dengan cepat meraih penis Roni dan mengocoknya sampai air mani itu berhenti muncrat, dengan lembut Bu Santi mengusap penis yang mulai turun ketegangannya. Roni membaringkan tubuhnya disamping Bu Santi. Terdiam untuk beberapa saat.

Bu Santi bangkit duduk meraih kain di pinggiran tempat tidur dan menyeka sisa air mani di perutnya. Kemudian dengan manja membaringkan tubuhnya diatas Roni. “makasih ya sayang… ini rahasia kita berdua… I love u Roni,” bisik mesra Bu Santi di telinga Roni.

“mmm…baik bu…”belum sempat Roni menyelesaikan ucapannya, jari telunjuk Bu Santi menempel di bibirnya, “kalo lagi berdua gini jangan pangil ibu dong…”ucap Bu Santi manja.

“iya sayang….” Balas Roni, senyum manis merekah di bibir seksi Bu Santi.

Cerita sex : Pijat Sex Plus Plus

Setelah itu dengan cepat Roni dan Bu Santi merapikan pakaian, dan sebelum meninggalkan Roni, Bu Santi berbisik mesra,”sayang… tar malem suamiku gak ada di rumah….. aku tunggu di kamar ya… berapa ronde pun dilakoni buat Roni sayang.” Sambil berpelukan mesra, Roni menyanggupi ajakan Bu Santi.

#Cerita #Sex #Dengan #Santi #Ibu #Kostku

Kisah Sex Dengan Nadia Sahabat Istriku Terbaru Malam Ini

Kisah Sex Dengan Nadia Sahabat Istriku

Kejadiannya ketika aku sdh berkeluarga dan sudah memiliki 1 anak umur ±2 thn, usiaku kala itu 30 thn. Kami baru pindah ke sebuah kompleks perumahan di kota S yg masih sangat baru. Belum banyak penghuni yg menempatinya, malahan di gang rumahku (yg terdiri dari 12 rumah) baru 2 rumah yg ditempati, yaitu rumahku dan rumah Tora.

Tora juga sudah beristri, namanya Nadia. Mereka belum punya anak sekalipun sudah menikah lebih dari 2 thn. Rumah Tora hanya berjarak 2 rumah dari rumahku. Karena tidak ada tetangga yang lain, kami jadi cepat sekali akrab.

Aku dan Tora jadi seperti sahabat lama, kebetulan kami seumuran dan hobi kami sama, catur. Nadia, yang berumur 26 thn, juga sangat dekat dgn istriku, Nina. Mereka hampir tiap hari saling curhat tentang apa saja, dan soal seks juga sering mereka perbincangkan. Biasa mereka berbincang di teras depan rumahku kalau sore sambil Nina menyuapi Niko, anak kami. Mereka sama sekali tidak tahu kalau aku sering “menguping” rumpian mereka dari kamarku.

Aku jadi banyak tahu tentang kehidupan seks Nadia dan suaminya. Intinya Nadia kurang “happy” soal urusan ranjang ini dgn Tora. Bukannya Tora ada kelainan, tapi dia senangnya tembak langsung tanpa pemanasan dahulu, sangat konservatif tanpa variasi dan sangat egois. Begitu sudah ejakulasi ya sudah, dia tidak peduli dgn istrinya lagi.

Sehingga Nadia sangat jarang mencapai kepuasan dgn Tora. Sebaliknya istriku cerita ke Nadia kalau dia sangat “happy” dgn kehidupan seksnya. Dan memang, sekalipun aku bukan termasuk “pejantan tangguh”, tapi aku hampir selalu bisa memberikan kepuasan kepada istriku.

Mereka saling berbagi cerita dan kadang sangat mendetail malah. Sering Nadia secara terbuka menyatakan iri pada istriku dan hanya ditanggapi dgn tawa ter-kekeh² oleh Nina.

Wajah Nadia cukup cantik, sekalipun tidak secantik istriku memang, tapi bodinya sungguh sempurna, padat berisi. Kulitnya yang putih juga sangat mulus. Dan dalam berpakaian Nadia termasuk wanita yang “berani” sekalipun masih dalam batas² kesopanan.

Sering aku secara tak sadar menelan ludah mengaggumi tubuh Nadia, diluar tahu istriku tentu saja. Sayang sekali tubuh yang demikian menggiurkan jarang mendapat siraman kepuasan seksual, sering aku berpikiran kotor begitu. Tapi semuanya masih bisa aku tangkal dgn akal sehatku.

Jum’at petang itu kebetulan aku sendirian di rumah. Nina, dan Niko tentu saja, paginya pulang ke rumah orangtuanya di M, karena hari Minggunya adik bungsunya menikah. Rencananya Sabtu pagi akan akan menyusul ke M. Kesepian di rumah sendirian, setelah mandi aku melangkahkan kaki ke rumah Tora. Maksud hati ingin mengajak dia main catur, seperti yang sering kami lakukan kalau tidak ada kegiatan.

Rumah Tora sepi² saja. Aku hampir mengurungkan niatku untuk mengetuk pintu, karena aku pikir mereka sedang pergi. Tapi lamat² aku dengar ada suara TV. Aku ketuk pintu sambil memanggil “Tora .. Tora,” Beberapa saat kemudian terdengar suara gerendel dan pintu terbuka.

Aku sempat termangu sepersekian detik. Di depanku berdiri sesosok perempuan cantik tanpa make-up dgn rambut yang masih basah tergerai sebahu. Dia mengenakan daster batik mini warna hijau tua dgn belahan dada rendah, tanpa lengan yang memeperlihatkan pundak dan lengan yang putih dan sangat mulus.

“Eh .. Mas Benny. Masuk Mas,” sapaan ramah Nadia menyadarkan aku bahwa yang membukakan pintu adalah Nadia. Sungguh aku belum pernah melihat Nadia secantik ini. Biasanya rambutnya selalu diikat dengan ikat rambut, tak pernah dibiarkan tergerai seperti ini.

“Nnng … Tora mana Nad?”

“Wah Mas Tora luar kota Mas.”

“Tumben Nad dia tugas luar kota. Kapan pulang?”

“Iya Mas, kebetulan ada acara promosi di Y, jadi dia harus ikut, sampai Minggu baru pulang. Mas Benny ada perlu ama Mas Tora?”

“Enggak kok, cuman pengin ngajak catur aja. Lagi kesepian nih, Nina ama Niko ke M.”

“Wah kalo cuman main catur ama Nadia aja Mas.”

Sebetulnya aku sudah ingin menolak dan balik kanan pulang ke rumah. Tapi entah bisikan darimana yang membuat aku berani mengatakan: “Emang Nadia bisa catur?”

“Eit jangan menghina Mas, biar Nadia cewek belum tentu kalah lho ama Mas.” kata Nadia sambil tersenyum yang menambah manis wajahnya.

“Ya bolehlah, aku pengin menjajal Nadia,” kataku dgn nada agak nakal.

Lagi² Nadia tersenyum menjawab godaanku. Dia membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan aku duduk di kursi tamu.

“Sebentar ya Mas, Nadia ambil minuman. Mas susun dulu caturnya.”

Nadia melenggang ke ruang tengah. Aku semakin leluasa memperhatikannya dari belakang. Kain daster yang longgar itu ternyata tak mampu menyembunyikan lekuk tubuh Nadia yang begitu padat.

Goyangan kedua puncak pantatnya yg berisi tampak jelas ketika Nadia melangkah. Mataku terus melekat sampai Nadia menghilang di pintu dapur. Buru² aku ambil catur dari rak pajangan dan aku susun di atas meja tamu.

Pas ketika aku selesai menyusun biji catur, Nadia melangkah sambil membawa baki yang berisi 2 cangkir teh dan sepiring kacang goreng kegemaran aku dan Tora kalau lagi main catur. Ketika Nadia membungkuk meletakkan baki di meja, mau tak mau belahan dada dasterya terbuka dan menyingkap dua bukit payudara yang putih dan sangat padat.

Darahku berdesir kencang, ternyata Nadia tidak memakai bra! Tampaknya Nadia tak sadar kalau sudah “mentraktir” aku dgn pemandangan yang menggiurkan itu. Dgn wajar di duduk di kursi sofa di seberang meja.

“Siapa jalan duluan Mas?”

“Nadia kan putih, ya jalan duluan dong,” kataku sambil masih ber-debar².

Beberapa saat kami mulai asik menggerakkan buah catur. Ternyata memang benar, Nadia cukup menguasai permaian ini. Beberapa kali langkah Nadia membuat aku harus berpikir keras. Nadia pun tampaknya kerepotan dgn langkah²ku.

Beberapa kali dia tampak memutar otak. Tanpa sadar kadang² dia membungkuk di atas meja yg rendah itu dgn kedua tangannya bertumpu di pinggir meja. Posisi ini tentu saja membuat belahan dasternya terbuka lebar dan kedua payudaranya yang aduhai itu menjadi santapan empuk kedua mataku. Konsentrasiku mulai buyar.

Satu dua kali dalam posisi seperti itu Nadia mengerling kepadaku dan memergoki aku sedang menikmati buah dadanya. Entah memang dia begitu tenggelam dalam berpikir atau memang sengaja, dia sama sekali tidak mencoba menutup dasternya dgn tangannya, seperti layaknya reaksi seorang wanita dalam kondisi ini.

Aku semakin berani menjelajah sekitar wilayah dadanya dengan sapuan pandanganku. Aku betul² terpesona, sehingga permaian caturku jadi kacau dan dgn mudah ditaklukkan oleh Nadia.

“Cckk cckk cckk Nadia memang hebat, aku ngaku kalah deh.”

“Ah dasar Mas aja yang ngalah dan nggak serius mainnya. Konsentrasi dong Mas,” jawab Nadia sambil tersenyum menggoda. “Ayo main lagi, Nadia belum puas nih.” Ada sedikit nada genit di suara Nadia.

Kami main lagi, tapi kali ini aku mencoba lebih konsentrasi. Permainan berjalan lbh seru, sehingga suatu saat ketika sedang berpikir, tanpa sengaja tanganku menjatuhkan biji catur yg sudah “mati” ke lantai.

Dengan mata masih menatap papan catur aku mencoba mengambil biji catur tsb dari lantai dgn tangan kananku. Rupa²nya Nadia juga melakukan hal yg sama, sehingga tanpa sengaja tangan kami saling bersenggolan di lantai.

Entah siapa yang memulainya, tapi kami saling meremas lembut jari tangan di sisi meja sambil masih duduk di kursi masing². Aku melihat ke arah Nadia, dia masih dalam posisi duduk membungkuk tapi matanya terpejam.

Jari² tangan kirinya masih terus meremas jari tangan kananku. Aku menjulurkan kepalaku dan mencium dahi Nadia dgn sangat mesra.

Dia sedikit terperanjat dengan “langkah”ku ini, tapi hanya sepersekian detik saja. Matanya masih memejam dan bibirnya yg padat sedikit terbuka dan melenguh pelan,

“oooohhh …”

Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku kulum lembut bibir Nadia dengan bibirku, dia menyambutnya dgn mengulum balik bibirku sambil tangan kanannya melingkar di belakang leherku.

Kami saling berciuman dgn posisi duduk berseberangan dibatasi oleh meja. Kuluman bibir Nadia ke bibirku berubah menjadi lumatan. Bibirku disedot pelan, dan lidahnya mulai menyeberang ke mulutku. Aku pun menyambutnya dgn permainan lidahku.

Merasa tidak nyaman dalam posisi ini, dgn sangat terpaksa aku lepaskan ciuman Nadia. Aku bangkit berdiri, berjalan mengitari meja dan duduk di sisi kiri Nadia. Belum sedetik aku duduk Nadia sudah memeluk aku dan bibirnya yg kelihatan jadi lebih sensual kembali melumat kedua bibirku.

Lidahnya terus menjelajah seluruh isi mulutku sepanjang yg bisa dia lakukan. Aku pun tak mau kalah bereaksi. Harus aku akui bahwa aku belum pernah berciuman begini “hot”, bahkan dgn istriku sekalipun. Rasanya seumur hidup kami berciuman begini, sampai akhirnya Nadia agak mengendorkan “serangan”nya.

Kesempatan itu aku gunakan untuk mengubah arah seranganku. Aku ciumi sisi kiri leher Nadia yang putih jenjang merangsang itu. Rintih kegelian yg keluar dari mulut Nadia dan bau sabun yg harum semakin memompa semangatku.

Ciumanku aku geser ke belakang telinga Nadia, sambil sesekali menggigit lembut cuping telinganya. Nadia semakin menggelinjang penuh kegelian bercampur kenikmatan.

“Aaaahhhh … aaaahhhhh,” rintihan pelan yang keluar dari mulut Nadia yang terbuka lebar seakan musik nan merdu di telingaku.

Lengan kananku kemudian aku rangkulkan ke leher Nadia. Tangan kananku mulai menelusup di balik dasternya dan merayap pelan menuju puncak buah dada Nadia yg sebelah kanan. Wow … payudara Nadia, yang sedari tadi aku nikmati dgn sapuan mataku, ternyata sangat padat. Bentuknya sempurna, ukurannya cukup besar karena tanganku tak mampu mengangkup seluruhnya. Jari²ku mulai menari di sekitar puting susu Nadia yang sudah tegak menantang.

Dengan ibu jari dan telunjukku aku pelintir lembut puting yang mungil itu. Nadia kembali menggelinjang kegelian, namun tanpa reaksi penolakan sedikitpun. Dia menolehkan wajahnya ke kiri, dgn mata yang masih terpejam dia melumat bibirku.

Kami kembali berciuman dgn panasnya sambil tanganku terus bergerilya di payudara kanannya. Reaksi kenikmatan Nadia dia salurkan melalui ciuman yg semakin ganas dan sesekali gigitan lembut di bibirku.

Tangan kiriku aku gerakkan ke paha kiri Nadia. Darahku semakin mengalir deras ketika aku rasakan kelembutan kulit paha mulus Nadia. Lambat namun pasti, usapan tanganku aku arahkan semakin keatas mendekati pangkal pahanya.

Ketika jariku mulai menyentuh celana dalam Nadia di sekitar bukit kemaluannya, aku menghentikan gerakanku. Tangan kiriku aku kembali turunkan, aku usap lembut pahanya mulai dari atas lutut. Gerakan ini aku ulang beberapa kali sambil tangan kananku masih memelintir puting kanan Nadia dan mulut kami masih saling berpagutan.

Ciuman Nadia semakin mengganas pertanda dia mengharapkan lebih dari gerakan tangan kiriku. Aku pun mulai meraba bukit kemaluannya yang masih terbalut celana dalam itu. Entah hanya perasaanku atau memang demikian, aku rasakan denyut lembut dari alat kemaluan Nadia.

Dengan jari tengah tangan kiriku, aku tekan pelan tepat di tengah bukit nan empuk itu. Denyutan itu semakin terasa. Aku juga rasakan kehangatan disana.

Kisah Sex Dengan Nadia Sahabat Istriku

“Aaahh … Mas Ben … aahhh .. iya .. iya,”

Nadia melenguh sambil sedikit meronta dan kedua tangannnya menyingkap daster mininya serta menurunkan celana dalamnya sampai ke lututnya. Serta merta mataku bisa menatap leluasa kemaluan Nadia.

Bukitnya menyembul indah, bulu²nya cukup tebal sekalipun tidak panjang bergerombol hanya di bagian atas. Di antara kedua gundukan daging mulus itu terlihat celah sempit yang kentara sekali berwarna merah kecoklatan. Sedetik dua detik aku sempat terpana dengan pemandangan indah yg terhampar di depan mataku ini.

Kemudian jari² tangan kiriku mulai membelai semak² yg terasa sangat lembut itu. Betul² lembut bulu² Nadia, aku tak pernah mambayangkan ada bulu pubis selembut ini, hampir selembut rambut bayi

Nadia mereaksi belaianku dengan menciumi leher dan telinga kananku. Kedua tangannya semakin erat memeluk aku. Tangan kananku dari tadi tak berhenti me-remas² buah dada Nadia yang sangat berisi itu.

Jari²ku mulai mengusap lembut bukit kemaluan Nadia yang sangat halus itu. Perlahan aku sisipkan jari tengah kiriku di celah sempit itu. Aku rasakan sediit lembab dan agak berlendir. Aku menyusup lebih dalam lagi sampai aku menemukan klitoris Nadia yg sangat mungil dengan ujung jariku. Dgn gerakan memutar lembut aku usap benda kecil yang nikmat itu.

“Ahhhh … iya … Mas .. Ben … ahhhh .. ahhhh.”

Jari tengahku aku tekan sedikit lebih kuat ke klitoris Nadia, sambil aku gosokkan naik turun. Nadia meresponsnya dengan membuka lebar kedua pahanyan, namun gerakannya terhalang celana dalam yg masih bertengger di kedua lututnya.

Sejenak aku hentikan gosokan jariku, aku gunakan tangan kiriku untuk menurunkan benda yang menghalangi gerakan Nadia itu. Nadia membantu dgn mengangkat kaki kirinya sehingga celana dalamnya terlepas dari kaki kirinya. Sekarang benda itu hanya menggantung di lutut kanan Nadia dan gerankan Nadia sudah tak terhalang lagi.

Dgn leluasa Nadia membuka lebar kedua pahanya. Dari sudut pandang yang sangat sempit aku masih bisa mengintip bibir kemaluan Nadia yang begitu tebal merangsang, hampir sama tebal dan sensualnya dgn bibir atas Nadia yang masih menciumi leherku. Jariku sekarang leluasa menjelajah seluruh kemaluan Nadia yang sudah sangat licin berlendir itu.

Aku gosok² klitoris Nadia dgn lebih kuat sambil sesekali mengusap ujung liang kenikmatannya dan aku gesek keatas kearah klitorisnya. Aku tahu ini bagian yang sangat sensitif dari tubuh wanita, tak terkecuali wanita molek yg di sampingku ini. Nadia menggelinjang semakin hebat.

“Aaaaaahhhhh …. Mas .. Mas ….. ahhhhh .. terus … ahhhhh,” pintanya sambil merintih.

Intensitas gosokanku semakin aku tingkatkan. Aku mulai mengorek bagian luar lubang senggama Nadia.

“Iya … ahhh … iya .. Mas .. Mas .. Mas Ben.”

Nadia sudah lupa apa yang harus dia lakukan. Dia hanya tergolek bersandar di sofa yang empuk itu. Kepalanya terdongak kebelakang, matanya tertutup rapat. Mulutnya terbuka lebar sambil tak henti mengeluarkan erangan penuh kenikmatan. Tangannya terkulai lemas di samping tubuhnya tak lagi memelukku.

Tangan kananku pun sudah berhenti bekerja karena merangkul erat Nadia agar dia tidak melorot ke bawah. Daster Nadia sudah terbuka sampai ke perutnya, menyingkap kulit yang sangat putih mulus tak bercacat. Celana dalam Nadia masih menggantung di lutut kanannya. Pahanya menganngkang maksimal.

Jariku masih menari-nari di seluruh bagian luar kemaluan Nadia, yang semakin aku pandang semakin indah itu. Aku sengaja belum nenyentuh bagian dalam lubang surganya.

Kepala Nadia sekarang meng-geleng² kiri kanan dgn liarnya. Rambut basahnya yang sudah mulai kering tergerai acak²an, malah menambah keayuan wajah Nadia.

“Mas … Mas …. ahhhhh …. enak …. ahhhh nggak tahaaann .. ahhhh.”

Aku tahu Nadia sudah hampir mencapai puncak kenikmatan birahinya. Dengan lembut aku mulai tusukkan jari tengahku ke dalam lubang vaginanya yg sudah sangat basah itu.

Aku sorongkan sampai seluruh jariku tertelan lubang Nadia yang cukup sempit itu. Aku tarik perlahan sambil sedikit aku bengkokkan keatas sehingga ujung jariku menggesek lembut dinding atas vagina Nadia.

Gerakan ini aku lakukan berulang kali, masuk lurus keluar bengkok, masuk lurus keluar bengkok, begitu seterusnya. Tak sampai 10 kali gerakan ini, Tiba² Tubuh Nadia menjadi kaku, kedua tangannnya mencengkeram erat pinggiran sofa. Kepalanya semakin mendongak kebelakang. Mulutnya terbuka lebar. Gerakanku aku percepat dan aku tekan lebih dalam lagi.

“Aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh.”

Nadia melenguh dalam satu tarikan nafas yang panjang. Tubuhnya sedikit menggigil. Aku bisa merasakan jari tanganku makin terjepit kontraksi otot vagina Nadia, dan bersaman dgn itu aku rasakan kehangatan cairan yg menyiram jariku. Nadia telah mencapai orgasmenya. Aku tidak menghentikan gerakan jariku, hanya sedikit mengurangi kecepatannya.

Tubuh Nadia masih menggigil dan menegang. Mulutnya terbuka tapi tak ada suara yg keluar sepatahpun, hanya hembusan nafas kuat dan pendek² yg dia keluarkan lewat mulutnya. Kondisi demikian berlangsung selama beberapa saat.

Kemudian tubuh Nadia berangsur melemas, aku pun memperlambat gerakan jariku sampai akhirnya dgn sangat perlahan aku cabut dari liang kenikmatan Nadia.

Mata Nadia masih terpejam rapat, bibirnya masih sedikit ternganga. Dgn lembut dan pelan aku dekatkan bibirku ke mulut Nadia. Aku cium mesra bibirnya yang sangat sensual itu. Nadia pun menyambut dgn tak kalah mesranya. Kami berciuman bak sepasang kekasih yg saling jatuh cinta.

Agak berbeda dgn ciuman yg menggelora seperti sebelumnya.

“Nikmat Nad?” Dgn lembut aku berbisik di telinga Nadia.

“Mas Ben … ah … Nadia blm pernah merasakan kenikmatan seperti tadi .. sungguh Mas. Mas Ben sangat pinter … Makasih Mas … Nina sungguh beruntung punya suami Mas.”

“Aku yg beruntung Nad, bisa memberi kepuasan kepada wanita secantik dan semulus kamu.”

“Ah Mas Ben bisa aja … Nadia jadi malu.”

Seluruh kejadian tadi sekalipun terasa sangat lama, tapi aku tahu sesungguhnya tak lebih dari 5 menit. Oh, ternyata Nadia wanita yang cepat mencapai orgasme, asal tahu bagaimana caranya. Sungguh tolol dan egois Tora kalau sampai tidak bisa memuaskan istrinya ini. Aku berpikir dalam hati.

Nadia kemudian sadar akan kondisinya saat itu. Dasternya awut²an, kemaluannya masih terbuka lebar, dan celana dalamnya tersangkut di lutunya. Dia segera duduk tegak, menurunkan dasternya sehingga menutup pangkal pahanya. Grakan yang sia² sebetulnya karena aku sudah melihat segalanya. Akhirnya dia bangkit berdiri.

“Nadia mau cuci dulu Mas.”

“Aku ikut dong Nad, ntar aku cuciin,” aku menggodanya.

“Ihhh Mas Ben genit.”

Sambil berkata demikian dia menggamit tanganku dan menarikku ka kamarnya. Aku tahu ada kamar mandi kecil disana, sama persis seperti rumahku. Sampai di kamar Nadia aku berkata:

“Aku copot pakaianku dulu ya Nad, biar nggak basah.”

Nadia tdk berkata apa² tetapi mendekati aku dan membantu melepas kancing celanaku semantara aku melepaskan kaosku. Aku lepaskan juga celanaku dan aku hanya memakai celana dalam saja.

Nadia melirik ke arah celana dalamku, atau lebih tepatnya ke arah benjolan berbentuk batang yg ada di balik celana dalamku. Aku maju selangkah dan mengangkat ujung bawah daster Nadia sampai keatas dan Nadia mengangkat kedua tangannya sehingga dasternya mudah terlepas.

Baru sekarang aku bisa melihat dgn jelas tubuh mulus Nadia. Sungguh tubuh wanita yang sempurna, semuanya begitu indah dan proporsional, jauh melampaui khayalanku sebelumnya. Payudara yang dari tadi hanya aku intip dan raba sekarang terpampang dgn jelas di hadapanku.

Bentuknya bundar kencang, cukup besar, tapi masih proporsional dgn ukuran tubuh Nadia yg sexy itu. Putingnya sangat kecil bila dibanding ukuran bukit buah dadanya sendiri. Warna putingnya coklat agak tua, sungguh kontras dgn warna kulit Nadia yg begitu putih.

Perut Nadia sungguh kecil dan rata, tak tampak sedikitpun timbunan lemak disana. Pinggulnya sungguh indah dan pantatnya sangat sexy, padat dan sangat mulus. Pahanya sangat mulus dan padat, betisnya tidak terlampau besar dan pergelangan kakinya sangat kecil.

Rupa² Nadia sadar kalau aku sedang mengagumi tubuhnya. Dgn agak malu² di berkata:

“Mas curang … Nadia udah telanjang tapi Mas belum buka celana dalamnya.”

Tanpa menunggu reaksiku, Nadia maju selangkah, agak membungkuk dan memelorotkan celana dalamku. Aku membantunya dgn melangkah keluar dari celana ku. Tongkat kejantananku yg sedari tadi sudah berdiri tegak langsung menyentak seperti mainan badut keluar dari kotaknya. Kami berdua berdiri berhadapan sambil bertelanjang bulat saling memandangi.

Tak tahan aku hanya melihat tubuh molek Nadia, aku maju langsung aku peluk erat tubuh Nadia. Kulit tubuhku langsung bersentuhan dgn kulit halus tubuh Nadia tanpa sehelai benangpun yang menghalangi.

“Kamu cantik dan seksi sekali Nad.”

“Ah Mas Ben ngeledek aja.”

“Bener kok Nad.”

Sambil berkata demikian aku rangkul Nadia lalu aku bimbing masuk ke kamar mandi. Aku semprotkan sedikit air dengan shower ke kemauluan Nadia yg masih berlendir itu. Kemudian tangan kananku aku lumuri dgn sabun, aku peluk Nadia dari belakang dan aku sabuni seluruh kemaluan Nadia dgn lembut.

Rupanya Nadia suka dgn apa yg aku lakukan, dia merapatkan punggungnya ke tubuhku sehingga penisku menempel rapat ke pantatnya. Dgn gerakan lambat dan teratur aku menggosok selangkangan Nadia dgn sabun.

Nadia mengimbanginya dengan mengggerakkan pinggulnya seirama dgn gerakanku. Gesekan tubuhku dgn kulit halus mulus Nadia seakan membawaku ke puncak surga dunia.

Akhirnya selesai juga aku membantu Nadia mencuci selangkangannya dan mengeringkan diri dgn handuk. Sambil saling rangkul kami kembali ke kamar dan berbaring bersisian di tempat tidur. Kami saling berpelukan dan berciuman penuh kemesraan.

Aku raba seluruh permukaan tubuh mulus Nadia, betul² halus dan sempurna. Nadia pun beraksi mengelus batang kejantananku yang semakin menegang itu.

Aku ingin memberikan Nadia kepuasan sebanyak mungkin malam ini. Aku ingin Nadia merasakan kenikmatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya dgn seorang pria. Dan aku merasa sangat beruntung bisa melakukan itu krn, dari cerita Nadia ke Nina, aku tahu tak ada pria lain yg pernah menyentuhnya kecuali Tora, dan sekarang aku.

Tubuh telanjang Nadia aku telentangkan, kemudian aku melorot mendekati kakinya. Aku mulai menciumi betisnya, perlahan keatas ke pahanya yang mulus. Aku nikmati betul setiap inci kulit paha mulus dan halusnya dgn sapuan bibir dan lidahku. Akhirnya mulutku mulai mendekati pangkal pahanya.

“Ahhhhh Mas Ben …. ah .. jangan .. nanti Nadia nggak tahan lagi .. ah.”

Sekalipun mulutnya berkata “jangan” namun Nadia justru membuka kedua pahanya semakin lebar seakan menyambut baik serangan mulutku itu.

“Nikmati saja Nad …. aku akan memberikan apa yg tdk pernah diberikan Tora padamu.”

Aku meneruskan jilatan dan ciumanku ke daerah selangkangan Nadia yg sudah menganga lebar. Aku lihat jelas bibir vaginanya yg begitu tebal dan sensual. Perlahan aku katupkan kedua bibirku ke bibir bawah Nadia. Sambil “berciuman” aku julurkan lidahku mengorek ujung liang senggama Nadia yg merangsang dan wangi itu.

“Ahhhh …. Mas Ben … aaaaahhh .. please .. please.”

Begitu mudahnya kata² Nadia berubah dari “jangan” menjadi “please”. Bibirku aku geser sedikit keatas sehingga menyentuh klitorisnya yg berwarna pink itu. Perlahan aku julurkan lidahku dan aku menjilatinya ber-kali². Sekarang Nadia bereaksi tepat seperti yang aku duga.

Dia membuka selangkangannya semakin lebar dan menekuk lututnya serta mengangkat pantatnya. Aku segera memegang pantatnya sambil me-remas²nya. Lidahku semakin leluasa menari di klitoris Nadia.

“Aaaaaahhhhhh …. enak Mas …. enak …. ahhhh .. iya …. ahhhh ahhhhh.”

Hanya itu yang keluar dari mulut Nadia menggambarkan apa yg sedang dia rasakan saat ini. Aku semakin meningkatkan kegiatan mulutku, aku katupkan kedua bibirku ke klitoris Nadia yg begitu mungil, Aku sedot lambat² benda sebesar kacang hijau itu.

“Maaaaasss …. nggak tahaaaan … ahhhhh .. Maassss.”

Dari pengalamanku tadi memasturbasi Nadia dgn jari aku tahu pertahanan Nadia tinggal setipis kertas. Lalu aku rubah taktik ku. Aku lepaskan tangan kananku dari pantat Nadia, kemudian jari tengahku kembali beraksi menggosok klitorisnya.

Lidahku aku julurkan mengorek seluruh lubang kenikmatan Nadia sejauh yg aku bisa. Sungguh luar biasa respon Nadia. Tubuhnya menegang membuat pantat dan selangkangannya semakin terangkat, kedua tangannya mencengkeram kain sprei.

“AAAaaaaahhhhh … maaaaaaaaaaaaaassssssss.”

Bersamaan dgn erangan Nadia aku rasakan ada cairan hangat dan agak asin yg keluar dari liang vaginanya dan langsung membasahi lidahku. Aku julurkan lidahku semakin dalam dan semakin banyak cairan yg bisa aku rasakan.

Tiba² Nadia memberontak, segera menarik aku mendekatinya. Tangan kananku dia pegang dan sentuhkan ke kemaluannya. Sambil matanya masih terpejam, dia memeluk aku dan langsung mencium bibirku yang masih belepotan dgn lendir kenikmatannya. Aku tahu apa yg dia mau.

Aku biarkan bibir dan lidahnya menari di mulutku menyapu semua sisa lendir yg ada disana. Jari tanganku aku benamkan kedalam vaginanya dan aku gerakkan masuk keluar dgn cepat. Tubuh Nadia kembali menggigil dan vaginanya mengeluarkan cairan lagi. Rupanya itu adalah sisa orgasmenya.

Kami masih berciuman sampai tubuh Nadia mulai melemas. perlahan aku angkat tangan kananku dari selangkangannya, aku peluk dia dgn lembut. Bibirku perlahan aku lepaskan dari cengkeraman mulut Nadia.

Tubuh Nadia tergolek lemah seakan tanpa tulang. Matanya sedikit terbuka menatap mesra ke arahku. Bibirnya sedikit menyungging senyum penuh kepuasan.

“Mas …. itu tadi luar biasa Mas … Nadia belum pernah digituin … Mas Ben hebat .. makasih Mas … Nadia hutang banyak ama Mas Ben.”

“Nad aku juga sangat senang kok bisa membuat Nadia puas seperti itu.”

Sambil aku kecup lembut keningnya. Mata Nadia berbinar penuh rasa terima kasih. Aku merasakan kenikmatan bathin yg luar biasa saat itu. Kami berbaring telentang bersebelahan untuk beberapa saat. Penisku masih tegang berdiri, tapi aku tidak hiraukan karena nanti pasti akan dapat giliran juga.

Nadia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Kali ini aku biarkan di membersihkan dirinya sendiri. Aku tetap berbaring sambil mengenangkan keindahan yg baru aku alami. Tak berapa lama Nadia sudah kembali dan dia langsung berbaring di sampingku. Matanya menatap lekat ke penisku seakan dia baru sadar ada benda itu disana.

“Mas Ben pengin diapain?” Nadia bertanya manja.

“Terserah kamu Nad, biasanya ama Tora gimana dong?” Aku coba memancing

“Biasa ya langsung dimasukin aja Mas. Nadia jarang puas ama dia.”

“Oh … terus Nadia penginnya gimana?”

“Ya kayak ama Mas Ben tadi, Nadia puas banget. … Nadia pengin cium punya Mas Ben boleh nggak?”

“Emang Nadia belum pernah?”

“Belum Mas,” agak jengah dia menjawab, “Mas Tora nggak pernah mau.”

“Ya silahkan kalau Nadia mau.”

Tanpa menunggu komando Nadia segera merangkak mengarahkan kepalanya mendekati selangkanganku. Dia pegang batang penisku, dia mengamati dari dekat sambil sedikit melakukan gerakan mengocok. Sangat kaku dan canggung.

“Ayo Nad,, aku ngak apa² kok. Kalau Nadia suka, lakuin apa yg Nadia mau.”

Dgn penuh keraguan Nadia mendekatkan mulutnya ke kepala penisku. Pelan² dia buka bibirnya dan memasukkan helmku kedalam mulutnya. Hanya sampai sebatas leher kemudian dia sedot perlahan.

Dia tetap melakukan itu untuk beberapa saat tanpa perubahan. Tentu saja aku tidak bisa merasakan sensasi yg seharusnya. Rupanya dia benar² belum pernah melakukan oral ke penis lelaki.

Dgn lembut aku pegang tangan kiri Nadia. Aku genggam jemarinya yg lentik dan aku tarik mendekat ke mulutku. Aku pegang telunjuknya kemudian aku masukkan ke dalam mulutku. Aku gerakkan masuk keluar dgn lambat sambil sesekali aku jilat dgn lidahku saat jari lentiknya masih dalam mulutku.

Nadia segera paham bahwa aku sedang memberi “bimbingan” bagaimana seharusnya yg dia lakukan. Tanpa ragu dia mempraktekkan apa yg aku lakukan dgn jarinya.

Batang penisku dimasukkan kedalam mulutnya, kemudian kepalanya di-angguk²kan sehingga senjataku tergesek keluar masuk mulutnya yg sensual itu. Sekalipun masih agak canggung tapi aku mulai bisa merasakan “pelayanan” yg diberikan Nadia kepadaku.

Semakin lama dia semakin tenang dan tdk kaku lagi. Kadang dia mainkan lidahnya di sekeliling kepala penisku dalam mulutnya. Wow .. dlm sekejap Nadia sudah mulai ahli dalam oral sex.

Sepertinya Nadia sendiri mulai bisa merasakan sensasi dari apa yg dia lakukan dgn mulut dan lidahnya. Dia mulai berani bereksperiman. Kadang dia keluarkan penisku dari mulutnya, menciumi batangnya kemudian memasukkannya kembali.

Sesekali dia hanya menghisap kepalanya sambil mengocok batang kemaluanku. Aku mulai merasakan rangsangan dan ikut menikmati permainan mulut Nadia.

“Gimana Nad rasanya?”

“Mas… Nadia merasakan rangsangan yg luar biasa, Penisnya Mas enak .. Nadia suka.”

Aku bangkit berdiri di atas kasur sambil bersandar di dinding kepala ranjang. Nadia langsung tahu harus bagaimana. Dia duduk bersimpuh di hadapanku dan kembali menghisap penisku. Kepalanya tetap digerakkan maju mundur. Dan sekarang dia menemukan cara baru. dia menjepit batang penisku diantara kedua bibirnya yg terkatup.

Kemudian dia meng-angguk²kan kepalanya. Wow … sungguh Nadia cepat belajar dalam hal beginian. Batang dan kepala penisku dia gesek degn bibir tebalnya yg terkatup. Aku membantu dia dengan menggerakkan pantatku maju mundur.

“Ohhh Nad …. mulutmu enak sekali … terus Nad.”

“Mas Ben suka? Nina sering ya giniin Mas Ben?”

“Iya Nad … tapi aku lebih suka kamu … bibirmu seksi sekali .. ooohhh Nad .. Nina juga suka .. isep bolaku dan jilati semuanya Nad .. ohhh.”

Nadia rupanya nggak mau kalah, dia segera melepaskan batang penisku dari mulutnya dan mulai menjilati dan menghisap bola kembarku. Tangannya sambil mengocok batang kelakianku.

Oh sungguh nikmat. Aku belai rambut Nadia dan aku usap kepalanya. Nadia suka sekali dan dia masih terus menggerayangi seluruh selangkanganku dgn lidahnya. Rasanya sungguh nikmat.

Kemudian kami berganti posisi. Aku kembali tidur telentang dan Nadia aku minta merangkak diatasku dengan posisi kepala terbalik. Kami di posisi 69 dan ini adalah salah satu favoritku. Nadia sekarang sudah cukup mahir dalam oral sex.

Dia segera mengulum batang penisku, aku pun mulai menjilati vaginanya. Dengan posisi ini liang kenikmatan Nadia sangat terbuka dihadapanku dan aku lebih leluasa menikmati dgn bibir dan lidahku.

Aku jilat dan hisap klitoris Nadia yg sudah menantang dan jariku mengorek liang senggamanya. Sesekali aku cuimi bibir vaginanya yang begitu merangsang. Nadia pun tak mau kalah, dia melakukan segala cara yg dia tahu terhadap tongkat kejantananku. Dia mainkan pakai lidah, dia kocok sambil dia hisap, dia mainkan kepala penisku mengitari kedua bibirnya. Sungguh nikmat sekali.

Tak terlalu lama aku mulai merasakan bahwa Nadia sudah tdk bisa menahan lagi, Pantatnya mulai bergoyang limbung kegelian, namun aku menjilati terus klitorisnya sambil jariku me-nusuk² liang kenikmatannya. Akhirnya Nadia sampai juga di puncak nikmatnya.

Tubuhnya menegang, gerakan anggukan kepalanya sambil menghisap penisku semakin menggila. Tubuhnya gemetaran tapi dia tetap tak rela melepas penisku dari mulutnya. Aku semakin giat mencium klitorisnya dan mengorek vaginanya dgn jariku. Tubuh Nadia tiba² mematung dan aku rasakan cairan hangat meleleh keluar dari liang senggamanya.

Aku langsung menutup lubang vagina Nadia dgn mulutku dan membiarkan cairan kenikmatannya membasahi lidahku. Rasanya asin tapi sama sekali tidak amis sehingga aku tak ragu menelan cairan itu sampai tandas.

Kemudian perlahan aku mulai lagi menciumi dan menjilati seluruh permukaan vagina Nadia. Otot Nadia sudah agak mengendur juga. Dia mulai lagi melakukan segala eksperimen dgn mulut dan lidahnya ke penisku. Kami mulai lagi dari awal. Perlahan namun pasti, Nadia mulai mendaki lagi puncak kenikmatan birahinya.

Aku tangkupkan kedua tanganku ke bukit pantat Nadia dan mulai membelai dan meremas lembut. Nadia menanggapinya dgn sedotan panjang di penisku. Lidahku kembali menelusuri segala penjuru selangkangan Nadia.

Beberapa saat kemudian aku mulai merasakan tubuh Nadia kembali gemetaran. Aku cium bibir bawahnya dan aku sorongkan lidahku sedalam munggkin ke dalam guanya yg merangsang.

Aku juga mulai merasa kalau pertahananku mulai goyah dan bendunganku akan segera ambrol. Nadia mempercepat gerakan kepalanya dan akupun menghisap makin kuat vaginanya. Aku sudah tak kuat menahan amarah spermaku dan …

“Croooottsss crooots croots.”

Lahar hangatku menyembur didalam mulut Nadia. Untuk sedetik Nadia agak kaget tapi dia cepat tanggap. Dia segera mempercepat gerakan kepalanya sambil menelan seluruh air maniku.

“Croots .. croots.”

Sisa maniku kembali menyembur, dan kali ini Nadia menyambutnya dgn hisapan kuat di penisku, seakan ingin menyedot apa yg masih tersisa didalam sana. Aku merasakan nikmat yg luar biasa. Ekspresi kenikmatan ini aku lampiaskan dengan semakin gila menjilati dan menyedot vagina Nadia.

Rupanya Nadia juga sudah hampir mencapai klimaksnya. Belaian lidahku di mulut vaginanya membuat puncak itu semakin cepat tercapai. Akhirnya sekali lagi tubuh Nadia menegang dan cairan hangat kembali meleleh dari kawahnya. Lidahku kembali menerima siraman lendir kenikmatan itu yg segera aku telan.

Beberapa saat kemudian, dgn enggan Nadia bangkit dan berbaring telentang disampingku. Penisku, walaupun masih berdiri, tapi sudah tidak setegak tadi. Nadia memelukku dgn manja dan kami berciuman dgn mesra.

“Nad … gimana? .. puas? … sorry tadi aku nggak tahan keluar di mulut kamu.”

“Nadia puas sekali Mas .. sampai dua kali gitu lho …. Nadia suka sperma Mas Ben … asin² gimana gitu. Kapan² boleh minta lagi dong Mas,” Nadia mulai keluar kenesnya.

“Boleh aja Nad ,,, asal disisain buat Nina .. hehehe,”

Nadia mencubit genit lenganku.

“Ihhh … Mas Ben … paling bisa deh … emang Mas sering gaya gituan dgn Nina?”

Aku tahu Nina juga sering bercerita soal kegiatan sex kami ke Nadia jadi aku yakin Nadia sudah tahu juga.

“Enggak lah … ini baru pertama dgn kamu Nad.”

“Ah Mas bohong .. Nina kan sering cerita ke Nadia, katanya Mas Ben pinter ngeseks. Makanya diam² Nadia pengin main ama Mas.”

“Udah kesampian kan keinginanmu Nad.”

“Iya sih … tapi Mas jangan marah ya … Nadia sering bayangin kita main bertiga dgn Nina .. Mas mau nggak?”

Kaget juga kau mendengar keinginan Nadia ini. Jujur saja aku juga sering berfantasi membayangkan alangkah nikmatnya bercinta dgn Nina dan Nadia sekaligus. Tapi tentu saja aku tak pernah berani ngomong dgn Nina. Bisa pecah Perang Dunia III, lagi pula itu kan hanya fantasi liar saja.

“Mau sih Nad .. tapi kan nggak mungkin … Nina pasti marah besar.”

“Iya ya … Nina kan orangnya agak alim.”

Kami terus berbincang hal² demikian sampai kira² 10 menit. Kemudian dgn malas kami ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di kamar mandi kami saling menyabuni dan saling membersihkan tubuh kami. Aku jadi semakin mengagumi tubuh Nadia. Tak ada segumpal lemakpun di tubuhnya dan semuanya padat berisi.

Setelah mengeringkan diri kami kembali ke atas ranjang dan berpelukan mesra. Sambil saling berciuman aku mulai menggerayangi tubuh molek Nadia, Tak bosan²nya aku meremas dan mengusap buah dadanya yg sangat segar itu. Perlahan aku mulai menghujani leher dan pundak Nadia dgn ciumanku. Tak sampai disitu saja, mulutku mulai aku arahkan ke dada Nadia.

Buah dadanya yg tegak mulai aku cium dan aku gigit² lembut. Nadia sangat menyukai apa yg aku lakukan.

“Ahhhh … iya Mas …. disitu Mas … ahhhhh Nadia terangsang Mas.”

Lidahku menjilati puting susunya yg mungil dan keras itu. Nadia semakin menggelinjang. Tangannya menyusup ke bawah ke selangkanganku. Dipegangnya batang kemaluanku yg masih agak lemas.

Dia permainkan penisku dgn jari²nya yg lentik. Mau tak mau burungku mulai hidup kembali. Nadia dgn lembut mengocok tongkat kelakianku.

Sambil masih mengulum putingnya, tangan kananku kembali bergerilya di daerah kemaluan Nadia. Jariku aku rapatkan dan aku tekan bukit kemaluan Nadia sembari aku gerakkan memutar. Dia juga menimpali dgn menggoyangkan pantatnya dgn gerakan memutar yg seirama.

“Mas …. aaahhhh Mas …. enak Mas … ahhh terus … iya.”

Sambil mendesah dia menarik pantatku mendekat ke kepalanya. Akhirnya aku terpaksa melepaskan hisapanku di putingnya dan duduk berlutut di sisinya. Nadia terus menekan pantatku sampai akhirnya mulutnya mencapai batang kemaluanku yg sudah tegak menantang. Tangan kiriku aku tampatkan dibelakang kepalanya untuk menyangga kepalanya yg agak terangkat. Penisku kembali dia kulum dan jilati.

“Oooh Nad … enak Nad … aku suka Nad …”

Aku pun menggerakkan pantatku maju mundur. Nadia membuka lebar mulutnya dan menjulurkan lidahnya sehingga batang penisku meluncur masuk keluar mulutnya ter-gesek² lidahnya. Sungguh luar biasa apa yang aku rasakan saat itu.

Sementara itu tangan kananku terus menekan dan memutar bukit vagina Nadia. Kadang jariku aku selipkan ke celah sempit diantara kedua bukit itu dan mengusap klitoris Nadia.

“Ahhh Mas … Nadia nggak tahan Mas … ahhhhh .. iya …. aaahhhh.”

Aku segera merubah posisi. Kedua tangan Nadia aku letakkan di belakang lututnya dan membuka kedua lututnya. Aku angkat pahanya sehingga liang vaginanya menganga menghadap ke atas. Nadia menahan dengan kedua tangan di belakang lututnya. Aku duduk bersimpuh di hadapan lubang kemaluan Nadia. Penisku aku arahkan ke lubang yg sudah menganga itu.

Aku tusukan kepala penisku ke mulut lubang dan aku tahan disana. kemudian dgn tangan kananku aku gerakkan penisku memutari mulut liang senggama Nadia.

“Maassss .. ahhhhh … nggak tahan … ayo … ahhhhhh.”

Aku sengaja tdk mau terlalu cepat menusukkan batang kejantananku ke gua kenikmatan Nadia. Aku gesek²an kepala penisku ke klitoris Nadia. Dia semakin menggelinjang menahan nikmat. Akhirnya tanggul Nadia bobol juga. Tak heran, dengan gosokan jari saja dia tadi bisa mencapai orgasme apalagi ini dgn kepala penisku, tentu rangsangannya lebih dahsyat.

“Aaaaaaahhhhhhhhhhhhhh ahhhhhhhhhhhhh Massssssss.”

Rintihan itu sekaligus menandai melelehnya cairan bening dari liang vaginanya. Nadia kembali mengalami puncak orgasme hanya dgn gosokan di klitorisnya. Kali ini aku masukkan batang penisku seluruhnya kedalam gua kenikmatannya. Aku berbaring telungkup diatas tubuh molek Nadia sambil menumpkan berat badanku di kedua sikuku. Aku cium lembut mulutnya yg masih terbuka sedikit. Nadia membalas ciumanku dan mengulum bibirku.

Aku biarkan senjataku terbenam dalam lendir kehangatannya. Di telinganya aku bisikan:

“Nad … nikmat ya …”

“Oh Mas … Nadia sampai nggak tahan … nikmat Mas ..”

Perlahan dgn gerakan yg sangat lembut aku mulai memompa batang penisku ke dalam lubang senggama Nadia yg sudah basah kuyup. Aku tahu Nadia pasti bisa orgasme lagi dan kali ini aku ingin merasakan semburan lumpur panas di batang kemaluanku.

“Ayo Nad …. nikmati lagi … jangan ditahan .. aku akan pelan².”

“Ahhhh .. iya Mas …. Nadia pengin lagi .. ahhhhh.”

Masih dgn sangat pelan aku pompa terus tongkat kelakianku ke liang vagina Nadia yg ternyata masih sempit untuk ukuran wanita yang sudah menikah 2 thn. Buah dada Nadia yg menyembul tegak meng-gesek² dadaku ketika aku turun naik. Sungguh sensasi yang luar biasa. Sengaja aku gesekkan dadaku ke payudaranya.

“Aaaahhhhh … ahhhhhhh … iya … ahhhhh .. Nadia terangsang lagi Mas … iya …. .”

Kali ini aku pompa sedikit lebih kuat dan cepat. Nadia menanggapinya dgn memutar pantatnya sehingga penisku rasanya seperti di peras² dalam liang vaginanya. Gerakkan Nadia semakin liar, Tangannya sudah tidak lagi menahan lutut tapi memegang pantatku dan menekannya dengan keras ke tubuhnya.

“Aaaaahhhhhh …. Mas ….. aaaahhhhhhh”

Aku semakin kencang dan dalam memompa pantatku. Mata Nadia sudah terpejam rapat, kepalanya meng-geleng² liar ke kiri ke kanan seperti yang dia lakukan di sofa tadi. Gerakannya semakin ganas dan …

“Aaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh hhhhhhhhhhhhhhhh ………”

Dia melenguh panjang sambil menegangkan seluruh otot di tubuhnya. Aku menekan dalam² penisku ke lubang senggamanya. Jelas aku rasakan aliran hangat di sekujur batang kemaluanku. Tubuh Nadia maish terbujur kaku.

Aku pun menghentikan seluruh gerakanku sambil terus menekan liang vaginanya dgn penisku. Beberapa saat sepertinya waktu terhenti. Tidak ada suara, tidak ada gerakan dari kami berdua. Aku memberi kesempatan kepada Nadia untuk menikmati klimaks yg barusan dia dapat.

Akhirnya badan Nadia mulai mengendur. Tangannya membelai lembut kapalaku. Bibirnya mencari bibirku untuk dihadiahi ciuman yang sangat lembut dan panjang.

“Mas …. Nadia sungguh nikmat …. Mas Ben jago deh … Mas belum keluar ya?”

“Jangan pikirkan aku Nad …. yang penting Nadia bisa menikmati kepuasan.”

Kemudian dgn lambat aku mulai memompa lagi. Liang senggama Nadia terasa sangat licin dan agak sedikit longgar. Selama beberapa saat aku terus memompa lambat².

“Aaaahhhhhh … iya .. iya …. Mas …. Nadia mau lagi .. iya … ahhhh”

Nadia kembali memutar pantatnya mengiringi irama pompaanku. Dia mulai men-desah² penuh kenikmatan.Aku cabut batang kemaluanku dari vagina Nadia. Aku lalu berbaring telentang di sebelahnya.

“Kamu diatas Nad.”

Nadia segera berjongkok diatas selangkanganku, Aku arahkan kepala penisku ke lubangnya. Nadia kemudian duduk diatas tubuhku dan bertumpu pada kedua lututnya. Pantatnya mulai bergerak maju mundur.

“Ayo Nad … kamu sekarang yg atur .. ohhh iya nikmat Nad.”

Nadia semakin bersemangat memajumundurkan pantatnya. Kedua payudaranya berguncang indah dihadapanku. Secara reflek kedua tanganku meremas bukit daging yg mulus itu. Tangan Nadia dia letakkan dibelakang pantatnya sehingga tubuhnya agak meliuk kebelakang membuat dadanya semakin membusung.

“Ohhh Nad … susumu sexy sekali … terus Nad … ohhhh … lebih keras Nad.”

“Aaaaahhhh Mas … Nadia sudah mau sampai lagi … ahhhhh ahhhhhh Mas”

“Ayo Nad …. terus Nad … cepat …. ohhhhh iya .. iya Nad … memekmu enak sekali.”

“Mas .. ahhhh … Nadia nggak tahan … puasi Nadia lagi mas .. ahhhh.”

Gerakan pantat Nadia semakin cepat dan semakin cepat. Aku merasa penisku ter-gesek² dinding vagina Nadia yg sempit dan licin itu. Dengan sekuat tenaga aku mencoba menahan agar aku tidak ejakulasi. Pertahananku semakin rapuh.

“Nad … oooohhhh Nad …. aku nggak tahan … ohhh Nad …. enak … enak.”

“Ahhhh … ayo .. Mas ….. Nadia juga udah nggak tahan … sekarang mas .. ahhh sekarang.”

Tepat pada detik itu bendunganku ambrol tak mampu menahan terjangan spermaku yg menyemprot kuat.

“Oooooooohhhhhhh Nad ….. crooots crooots croots”

“Aaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhh Mas …. ahhhhhhhhhhh ..”

Kami mencapai puncak kenikmatan ber-sama². Penisku terasa hangat dan aku yakin Nadia juga merasakan hal yg sama di dalam vaginanya. Nadia masih duduk diatasku tapi sudah kaku tak bergerak. Vaginanya dihujamkan dalam melahap seluruh batang kemaluanku.

“Oooohhh Nad …. nikmat sekali .. makasih Nad .. kamu pinter membuat aku puas.”

Akugapai tubuh Nadia dan aku tarik menelungkup diatas tubuhku. Buah dadanya yg masih keras menghimpit dadaku. Aku ciumin seluruh wajahnya yang mulai ditetesi keringat.

“Mas … ahhhhh … Nadia sungguh puas Mas … ”

Kemudian kami berbaring sambil berpelukan. Badan kami mulai terasa penat tapi bathin kami sangat puas.

Hari sudah beranjak malam. Diselingi makan malam berdua, kami memadu kasih beberapa kali lagi. Atau lebih tepatnya Nadia mengalami orgasme beberapa kali lagi sedangkan aku hanya sekali lagi ejakulasi,

Segala gaya kami coba, bahkan aku sempat “membimbing” Nadia untuk memuaskan dirinya sendiri dengan jari²nya yg lentik itu. Aku betul² puas dan senang bisa membuat wanita secantik Nadia bisa mencapai sekian kali orgasme.

Cerita sex : Kisah Sex Tante Kostku Yang Sexy

Tak terasa jarum jam terus bergeser dan jam setengah sebelas malam aku meninggalkan rumah Nadia. Sebetulnya Nadia meminta aku bisa bermalam menemani dia, tatapi aku ingat keesokan harinya aku masih harus menyetir lebih dari 4 jam ke kota M menyusul istri dan anakku tercinta. Maaf Nina, aku telah mereguk madu kepuasan bersama sahabatmu, Nadia..

#Kisah #Sex #Dengan #Nadia #Sahabat #Istriku

Bertukar Pasangan Dengan Bos Terbaru Malam Ini

Bertukar Pasangan Dengan Bos

Aku baru kerja 4 bulan di perusahaan asing di Jakarta bos saya namanya Justine yang berasal dari USA umurnya 45 tahun dengan waktu yang cepat kami semua karyawan sudah kenal dekat dengan Mr. Rich biasanya dipanggil seperti itu.

Hobi kita sama yaitu bermain golf perusahaan kami bergerak di bidang advertising katanya teman sekantor istri dari sibos cantik tubuhnya seksi kayak bintang Hollywood, karena aku belum pernah melihat istri si Bos, hanya meilhat fotonya yang terpampang di ruangannya.

Meja kantor saya memang aku desain dengan nyaman dan aku selipkan foto aku dan istriku Siska yang berasal dari Bandung dan berumur 26 tahun, di meja kerja saya.

Pada waktu Justine melihat foto itu, secara spontan dia memuji kecantikan Siska dan sejak saat itu pula saya mengamati kalau Justine sering melirik ke foto itu, apabila kebetulan dia datang ke ruang kerja saya.

Suatu hari Justine mengundang saya untuk makan malam di rumahnya, katanya untuk membahas suatu proyek, sekaligus untuk lebih mengenal istri masing-masing.

“Dik, nanti malam datang ke rumah ya, ajak istrimu Siska juga, sekalian makan malam”.

“Lho, ada acara apa boss?”, kataku sok akrab.

“Ada proyek yg harus diomongin, sekalian biar istri saling kenal gitu”.

“Okelah!”, kataku.

Sesampainya di rumah, undangan itu aku sampaikan ke Siska. Pada mulanya Siska agak segan juga untuk pergi, karena menurutnya nanti agak susah untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan mereka. Akan tetapi setelah kuyakinkan bahwa Justine dan Istrinya sangat lancar berbahasa Indonesia, akhirnya Siska mau juga pergi.

“Ada apa sih Mas, kok mereka ngadain dinner segala?”.

“Tau, katanya sih, ada proyek apa.., yang mau didiskusikan”.

“Ooo.., gitu ya”, sambil tersenyum. Melihat dia tersenyum aku segera mencubit pipinya dengan gemas.

Kalau melihat Siska, selalu gairahku timbul, soalnya dia itu seksi sekali. Rambutnya terurai panjang, dia selalu senam so.., punya tubuh ideal, dan ukurannya itu 34B yang padat kencang.

Pukul 19.30 kami sudah berada di apartemen Justine yang terletak di daerah Jl. Gatot Subroto. Aku mengenakan kemeja batik, sementara Siska memakai stelan rok dan kemeja sutera. Rambutnya dibiarkan tergerai tanpa hiasan apapun.

Sesampai di Apertemen no.1010, aku segera menekan bel yang berada di depan pintu. Begitu pintu terbuka, terlihat seorang wanita bule berumur kira-kira 32 tahun, yang sangat cantik, dengan tinggi sedang dan berbadan langsing, yang dengan suara medok menegur kami.

“Oh Diko dan Siska yah?, silakan.., masuk.., silakan duduk ya!, saya Vely istrinya Justine”.

Ternyata Vely badannya sangat bagus, tinggi langsing, rambut panjang, dan lebih manis dibandingkan dengan fotonya di ruang kerja Justine. Dengan agak tergagap, aku menyapanya.

“Hallo Mam.., kenalin, ini Siska istriku”.

Setelah Siska berkenalan dengan Vely, ia diajak untuk masuk ke dapur untuk menyiapkan makan malam, sementara Justine mengajakku ke teras balkon apartemennya.

“Gini lho Dik.., bulan depan akan ada proyek untuk mengerjakan iklan.., ini.., ini.., dsb. Berani nggak kamu ngerjakan iklan itu”.

“Kenapa nggak, rasanya perlengkapan kita cukup lengkap, tim kerja di kantor semua tenaga terlatih, ngeliat waktunya juga cukup. Berani!”.

Aku excited sekali, baru kali itu diserahi tugas untuk mengkordinir pembuatan iklan skala besar.

Senyum Justine segera mengembang, kemudian ia berdiri merapat ke sebelahku.

“Eh Dik.., gimana Vely menurut penilaian kamu?”, sambil bisik-bisik.

“Ya.., amat cantik, seperti bintang film”, kataku dengan polos.

“Seksi nggak?”.

“Lha.., ya.., jelas dong”.

“Umpama.., ini umpama saja loo.., kalo nanti aku pinjem istrimu dan aku pinjemin Vely untuk kamu gimana?”.

Mendenger permintaan seperti itu terus terang aku sangat kaget dan bingung, perasanku sangat shock dan tergoncang. Rasanya kok aneh sekali gitu.

Sambil masih tersenyum-senyum, Justine melanjutkan, “Nggak ada paksaan kok, aku jamin Siska dan Vely pasti suka, soalnya nanti.., udah deh pokoknya kalau kau setuju.., selanjutnya serahkan pada saya.., aman kok!”.

Membayangkan tampang dan badan Vely aku menjadi terangsang juga. Pikirku kapan lagi aku bisa menunggangi kuda putih? Paling-paling selama ini hanya bisa membayangkan saja pada saat menonton blue film.

Tapi dilain pihak kalau membayangkan Siska dikerjain si bule ini, yang pasti punya senjata yang besar, rasanya kok tidak tega juga. Tapi sebelum saya bisa menentukan sikap, Justine telah melanjutkan dengan pertanyaan lagi, “Ngomong-ngomong Siska sukanya kalo making love style-nya gimana sih?”.

Tanpa aku sempat berpikir lagi, mulutku sudah ngomong duluan, “Dia tidak suka style yang aneh-aneh, maklum saja gadis pingitan dan pemalu, tapi kalau vaginanya dijilatin, maka dia akan sangat terangsang!”.

Wow.., aku justru pengin sekali mencium dan menjilati bagian vagina, ada bau khas wanita terpancar dari situ.., itu membuat saya sangat terangsang!”, kata Justine.

“Kalau Vely sangat suka main di atas, doggy style dan yang jelas suka blow-job” lanjutnya.

Mendengar itu aku menjadi bernafsu juga, belum-belum sudah terasa ngilu di bagian bawahku membayangkan senjataku diisap mulut mungil Vely itu.

Kemudian lanjut Justine meyakinkanku, “Oke deh.., enjoy aja nanti, biar aku yang atur. Ngomong-ngomong my wife udah tau rencana ini kok, dia itu orangnya selalu terbuka dalam soal seks.., jadi setuju aja”.

“Nanti minuman Siska aku kasih bubuk penghangat sedikit, biar dia agak lebih berani.., Oke.., yaa!”, saya agak terkejut juga, apakah Justine akan memberikan obat perangsang dan memperkosa Vely? Wah kalau begitu tidak rela aku.

Aku setuju asal Vely mendapat kepuasan juga. Melihat mimik mukaku yang ragu-ragu itu, Justine cepat-cepat menambahkan, “Bukan obat bius atau ineks kok. Cuma pembangkit gairah aja”, kemudian dia menjelaskan selanjutnya,

“Oke, nanti kamu duduk di sebelah Vely ya, Siska di sampingku”.

Selanjutnya acara makan malam berjalan lancar. Juga rencana Justine. Setelah makan malam selesai kelihatannya bubuk itu mulai bereaksi. Vely kelihatan agak gelisah, pada dahinya timbul keringat halus, duduknya kelihatan tidak tenang, soalnya kalau nafsunya lagi besar, dia agak gelisah dan keringatnya lebih banyak keluar.

Melihat tanda-tanda itu, Justine mengedipkan matanya pada saya dan berkata pada Siska, “Sis.., mari duduk di depan TV saja, lebih dingin di sana!”, dan tampa menunggu jawaban Siska, Justine segera berdiri, menarik kursi Siska dan menggandengnya ke depan TV 29 inchi yang terletak di ruang tengah.

Aku ingin mengikuti mereka tapi Vely segera memegang tanganku.

“Dik, diliat aja dulu dari sini, ntar kita juga akan bergabung dengan mereka kok”. Memang dari ruang makan kami dapat dengan jelas menyaksikan tangan Justine mulai bergerilya di pundak dan punggung Siska, memijit-mijit dan mengusap-usap halus.

Sementara Siska kelihatan makin gelisah saja, badannya terlihat sedikit menggeliat dan dari mulutnya terdengar desahan setiap kali tangan Justine yang berdiri di belakangnya menyentuh dan memijit pundaknya.

Vely kemudian menarikku ke kursi panjang yang terletak di ruang makan. Dari kursi panjang tersebut, dapat terlihat langsung seluruh aktivitas yang terjadi di ruang tengah, kami kemudian duduk di kursi panjang tersebut.

Terlihat tindakan Justine semakin berani, dari belakang tangannya dengan trampil mulai melepaskan kancing kemeja batik Siska hingga kancing terakhir. BH Siska segera menyembul, menyembunyikan dua bukit mungil kebanggaanku dibalik balutannya.

Kelihatan mata Siska terpejam, badannya terlihat lunglai lemas, aku menduga-duga, “Apakah Siska telah diberi obat tidur, atau obat perangsang oleh Justine?, atau apakah Siska pingsan atau sedang terbuai menikmati permainan tangan Justine?”.

Siska tampaknya pasrah seakan-akan tidak menyadari keadaan sekitarnya. Timbul juga perasaan cemburu berbarengan dengan gairah menerpaku, melihat Siska seakan-akan menyambut setiap belaian dan usapan Justine dikulitnya dan ciuman nafsu Justinepun disambutnya dengan gairah.

Melihat apa yang tengah diperbuat oleh si bule terhadap istriku, maka karena merasa kepalang tanggung, aku juga tidak mau rugi, segera kualihkan perhatianku pada istri Justine yang sedang duduk di sampingku.

Niat untuk merasakan kuda putih segera akan terwujud dan tanganku pun segera menyelusup ke dalam rok Vely, terasa bukit kemaluannya sudah basah, mungkin juga telah muncul gairahnya melihat suaminya sedang mengerjai wanita mungil.

Dengan perlahan jemariku mulai membuka pintu masuk ke lorong kewanitaannya, dengan lembut jari tengahku menekan clitorisnya. Desahan lembut keluar dari mulut Vely yang mungil itu, “aahh..,aaghh.., aagghh”, tubuhnya mengejang, sementara tangannya meremas-remas payudaranya sendiri.

Sementara itu di ruang sebelah, Justine telah meningkatkan aksinya terhadap Siska, terlihat Siska telah dibuat polos oleh Justine dan terbaring lunglai di sofa.

Badan Siska yang ramping mulus dengan buah dadanya tidak terlalu besar, tetapi padat berisi, perutnya yang rata dan kedua bongkahan pantatnya yang terlihat mulus menggairahkan serta gundukan kecil yang membukit yang ditutupi oleh rambut-rambut halus yang terletak diantara kedua paha atasnya terbuka dengan jelas seakan-akan siap menerima serangan-serangan selanjutnya dari Justine.

Kemudian Justine menarik Siska berdiri, dengan Justine tetap di belakangnya, kedua tangan Justine menjelajahi seluruh lekuk dan ngarai istriku itu. Aku sempat melihat ekspresi wajah Siska, yang dengan matanya yang setengah terpejam dan dahinya agak berkerut seakan-akan sedang menahan suatu kenyerian yang melanda seluruh tubuhnya dengan mulutnya yang mungil setengah terbuka.

Menunjukan Siska menikmati benar permainan dari Justine terhadap badannya itu, apalagi ketika jemari Justine berada di semak-semak kewanitaannya, sementara tangan lain Justine meremas-remas puting susunya, terlihat seluruh badan Siska yang bersandar lemas pada badan Justine, bergetar dengan hebat.

Saat itu juga tangan Vely telah membuka zipper celana panjangku, dan bagaikan orang kelaparan terus berusaha melepas celanaku tersebut. Untuk memudahkan aksinya aku berdiri di hadapannya, dengan melepaskan bajuku sendiri.

Setelah Vely selesai dengan celanaku, gilirannya dia kutelanjangi. Wow.., kulit badannya mulus seputih susu, payudaranya padat dan kencang, dengan putingnya yang berwarna coklat muda telah mengeras, yang terlihat telah mencuat ke depan dengan kencang.

Aku menyadari, kalau diadu besarnya senjataku dengan Justine, tentu aku kalah jauh dan kalau aku langsung main tusuk saja, tentu Vely tidak akan merasa puas, jadi cara permainanku harus memakai teknik yang lain dari lain.

Maka sebagai permulaan kutelusuri dadanya, turun ke perutnya yang rata hingga tiba di lembah diantara kedua pahanya mulus dan mulai menjilat-jilat bibir kemaluannya dengan lidahku.

Kududukkan Vely kembali di sofa, dengan kedua kakinya berada di pundakku. Sasaranku adalah vaginanya yang telah basah. Lidahku segera menari-nari di permukaan dan di dalam lubang vaginanya.

Bertukar Pasangan Dengan Bos

Menjilati clitorisnya dan mempermainkannya sesekali. Kontan saja Vely berteriak-teriak keenakan dengan suara keras,

” Ooohh.., oohh.., sshh.., sshh”. Sementara tangannya menekan mukaku ke vaginanya dan tubuhnya menggeliat-geliat. Tanganku terus melakukan gerakan meremas-remas di sekitar payudaranya. Pada saat bersamaan suara Siska terdengar di telingaku saat ia mendesah-desah,

“Oooh.., aagghh!”, diikuti dengan suara seperti orang berdecak-decak. Tak tahu apa yang diperbuat Justine pada istriku, sehingga dia bisa berdesah seperti itu. Siska sekarang telah telentang di atas sofa, dengan kedua kakinya terjulur ke lantai dan Justine sedang berjongkok diantara kedua paha Siska yang sudah terpentang dengan lebar.

Kepalanya terbenam diantara kedua paha Siska yang mulus. Bisa kubayangkan mulut dan lidah Justine sedang mengaduk-aduk kemaluan Siska yang mungil itu. Terlihat badan Siska menggeliat-geliat dan kedua tangannya mencengkeram rambut Justine dengan kuat. ‘’

Aku sendiri makin sibuk menjilati vagina Vely yang badannya terus menggerinjal-gerinjal keenakan dan dari mulutnya terdengar erangan,

“Ahh.., yaa.., yaa.., jilatin.., Ummhh”. Desahan-desahan nafsu yang semakin menegangkan otot-otot penisku.

“Aahh.., Dik.., akuu.., aakkuu.., oohh.., hh!”, dengan sekali hentakan keras pinggul Vely menekan ke mukaku, kedua pahanya menjepit kepalaku dengan kuat dan tubuhnya menegang terguncang-guncang dengan hebat dan diikuti dengan cairan hangat yang merembes di dinding vaginanya pun semakin deras, saat ia mencapai organsme.

Tubuhnya yang telah basah oleh keringat tergolek lemas penuh kepuasan di sofa. Tangannya mengusap-usap lembut dadaku yang juga penuh keringat, dengan tatapan yang sayu mengundangku untuk bertindak lebih jauh.

Ketika aku menengok ke arah Justine dan istriku, rupanya mereka telah berganti posisi. Siska kini telentang di sofa dengan kedua kakinya terlihat menjulur di lantai dan pantatnya terletak pada tepi sofa, punggung Siska bersandar pada sandaran sofa.

Sehingga dia bisa melihat dengan jelas bagian bawah tubuhnya yang sedang menjadi sasaran tembak Justine. Justine mengambil posisi berjongkok di lantai diantara kedua paha Siska yang telah terpentang lebar.

Aku merasa sangat terkejut juga melihat senjata Justine yang terletak diantara kedua pahanya yang berbulu pirang itu, penisnya terlihat sangat besar kurang lebih panjangnya 20 cm dengan lingkaran yang kurang lebih 6 cm dan pada bagian kepala penisnya membulat besar bagaikan topi baja tentara saja.

Terlihat Justine memegang penis raksasanya itu, serta di usap-usapkannya di belahan bibir kemaluan Siska yang sudah sedikit terbuka, terlihat Siska dengan mata yang terbelalak melihat ke arah senjata Justine yang dahsyat itu, sedang menempel pada bibir vaginanya.

Kedua tangan Siska kelihatan mencoba menahan badan Justine dan badan Siska terlihat agak melengkung, pantatnya dicoba ditarik ke atas untuk mengurangi tekanan penis raksasa Justine pada bibir vaginanya.

Akan tetapi dengan tangan kanannya tetap menahan pantat Siska dan tangan kirinya tetap menuntun penisnya agar tetap berada pada bibir kemaluan Siska, sambil mencium telinga kiri Siska, terdengar Justine berkata perlahan,

“Siss.., maaf yaa.., saya mau masukkan sekarang.., boleh?”, terlihat kepala Siska hanya menggeleng-geleng kekiri kekanan saja, entah apa yang mau dikatakannya, dengan pandangannya yang sayu menatap kearah kemaluannya yang sedang didesak oleh penis raksasa Justine itu dan mulutnya terkatup rapat seakan-akan menahan kengiluan.

Justine, tanpa menunggu lebih lama lagi, segera menekan penisnya ke dalam lubang vagina Siska yang telah basah itu, biarpun kedua tangan Siska tetap mencoba menahan tekanan badan Justine.

Mungkin, entah karena tusukan penis Justine yang terlalu cepat atau karena ukuran penisnya yang over size, langsung saja Siska berteriak kecil,

“Aduuh.., pelan-pelan.., sakit nih”, terdengar keluhan dari mulutnya dengan wajah yang agak meringis, mungkin menahan rasa kesakitan. Kedua kaki Siska yang mengangkang itu terlihat menggelinjang.

Kepala penis Justine yang besar itu telah terbenam sebagian di dalam kemaluan Siska, kedua bibir kemaluannya menjepit dengan erat kepala penis Justine, sehingga belahan kemaluan Siska terlihat terkuak membungkus dengan ketat kepala penis Justine itu.

Kedua bibir kemaluan Siska tertekan masuk begitu juga clitoris Siska turut tertarik ke dalam akibat besarnya kemaluan Justine.

Justine menghentikan tekanan penisnya, sambil mulutnya mengguman, “Maaf.., Siss.., saya sudah menyakitimu.., maaf yaa.., Siss!”

“aagghh.., jangan teerrlalu diipaksakan.., yaahh.., saayaa meerasa.., aakan.., terbelah.., niih.., sakiitt.., jangan.., diiterusiinn”.

Siska mencoba menjawab dengan badannya terus menggeliat-geliat, sambil merangkulkan kedua tangannya di pungung Justine.

“Siiss.., saya mau masukkan lagi.., yaa.., dan tolong katakan yaa.., kalau Siska masih merasa sakit”, sahut Justine dan tanpa menunggu jawaban Siska, segera saja Justine melanjutkan penyelaman penisnya ke dalam lubang vagina Siska yang tertunda itu, tetapi sekarang dilakukannya dengan lebih pelan pelan.

Ketika kepala penisnya telah terbenam seluruhnya di dalam lubang kemaluan Siska, terlihat muka Siska meringis, tetapi sekarang tidak terdengar keluhan dari mulutnya lagi hanya kedua bibirnya terkatup erat dengan bibir bawahnya terlihat menggetar.

Terdengar Justine bertanya lagi, “Siiss.., sakit.., yaa?”, Siska hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil kedua tangannya meremas bahu Justine dan Justine segera kembali menekan penisnya lebih dalam, masuk ke dalam lubang kemaluan Siska.

Secara pelahan-lahan tapi pasti, penis raksasa itu menguak dan menerobos masuk ke dalam sarangnya.

Ketika penis Justine telah terbenam hampir setengah di dalam lubang vagina Siska, terlihat Siska telah pasrah saja dan sekarang kedua tangannya tidak lagi menolak badan Justine.

Akan tetapi sekarang kedua tangannya mencengkeram dengan kuat pada tepi sofa. Justine menekan lebih dalam lagi, kembali terlihat wajah Siska meringis menahan sakit dan nikmat, kedua pahanya terlihat menggeletar,

Tetapi karena Siska tidak mengeluh maka Justine meneruskan saja tusukan penisnya dan tiba-tiba saja, “Blees”, Justine menekan seluruh berat badannya dan pantatnya menghentak dengan kuat ke depan memepetin pinggul Siska rapat-rapat pada sofa.

Pada saat yang bersamaan terdengar keluhan panjang dari mulut Siska, “Aduuh”, sambil kedua tangannya mencengkeram tepi sofa dengan kuat dan badannya melengkung ke depan serta kedua kakinya terangkat ke atas menahan tekanan penis Justine di dalam kemaluannya.

Justine mendiamkan penisnya terbenam di dalam lubang vagina Siska sejenak, agar tidak menambah sakit Siska sambil bertanya lagi, “Siiss.., sakit.., yaa? Tahan dikit yaa, sebentar lagi akan terasa nikmat!”

Siska dengan mata terpejam hanya menggelengkan kepalanya sedikit seraya mendesah panjang, “aagghh.., sakit!”, lalu Justine mencium wajah Siska dan melumat bibirnya dengan ganas. Terlihat pantat Justine bergerak dengan cepat naik turun, sambil badannya mendekap tubuh mungil Siska dalam pelukannya.

Tak selang lama kemudian terlihat badan Siska bergetar dengan hebat dari mulutnya terdengar keluhan panjang, “Aaduuh.., oohh.., sshh.., sshh”, kedua kaki Siska bergetar dengan hebat, melingkar dengan ketat pada pantat Justine, Siska mengalami orgasme yang hebat dan berkepanjangan.

Selang sesaat badan Siska terkulai lemas dengan kedua kakinya tetap melingkar pada pantat Justine yang masih tetap berayun-ayun itu.

Aah, suatu pemandangan yang sangat erotis sekali, suatu pertarungan yang diam-diam yang diikuti oleh penaklukan disatu pihak dan penyerahan total dilain pihak.

“Dik.., ayo aku mau kamu”, suara Vely penuh gairah di telingaku. Kuletakkan kaki Vely sama dengan posisi tadi, hanya saja kini senjataku yang akan masuk ke vaginanya. Duh, rasanya kemaluan Vely masih rapet saja, aku merasakan adanya jepitan dari dinding vagina Vely pada saat rudalku hendak menerobos masuk.

“Ly., kok masih rapet yahh”. Maka dengan sedikit tenaga kuserudukkan saja rudalku itu menerobos liang vaginanya. “Aagghh”, mata Vely terpejam, sementara bibirnya digigit.

Tapi ekspresi yang terpancar adalah ekspresi kepuasan. Aku mulai mendorong-dorongkan penisku dengan gerakan keluar masuk di liang vaginanya. Diiringi erangan dan desahan Vely setiap aku menyodokkan penisku, melihat itu aku semakin bersemangat dan makin kupercepat gerakan itu. Bisa kurasakan bahwa liang kemaluannya semakin licin oleh pelumas vaginanya.

“Ahh.., ahh”, Vely makin keras teriakannya.

“Ayo Dik.., terus”.

“Enakk.., eemm.., mm!”.

Tubuhnya sekali lagi mengejang, diiringi leguhan panjang, “Uuhh..hh..” “Ly.., boleh di dalam..,yaah”, aku perlu bertanya pada dia, mengingat aku bisa saja sewaktu-waktu keluar.

“mm..”. Kaki Vely kemudian menjepit pinggangku dengan erat, sementara aku semakin mempercepat gerakan sodokan penisku di dalam lubang kemaluannya. Vely juga menikmati remasan tanganku di buah dadanya

“Nih.., Ly.., terima yaa”.

Dengan satu sodokan keras, aku dorong pinggulku kuat-kuat, sambil kedua tanganku memeluk badan Vely dengan erat dan penisku terbenam seluruhnya di dalam lubang kemaluannya dan saat bersamaan cairan maniku menyembur keluar dengan deras di dalam lubang vagina Vely.

Badanku tehentak-hentak merasakan kenikmatan orgasme di atas badan Vely, sementara cairan hangat maniku masih terus memenuhi rongga vagina Vely, tiba-tiba badan Vely bergetar dengan hebat dan kedua pahanya menjepit dengan kuat pinggul saya diikuti keluhan panjang keluar dari mulutnya, “..aagghh.., hhm!”, saat bersamaan Vely juga mengalami orgasme dengan dahsyat.

Setelah melewati suatu fase kenikmatan yang hebat, kami berdua terkulai lemas dengan masih berpelukan erat satu sama lain. Dari pancaran sinar mata kami, terlihat suatu perasaan nikmat dan puas akan apa yang baru kami alami.

Aku kemudian mencabut senjataku yang masih berlepotan dan mendekatkannya ke muka Vely. Dengan isyarat agar ia menjilati senjataku hingga bersih. Ia pun menurut. Lidahnya yang hangat menjilati penisku hingga bersih. “Ahh..”. Dengan kepuasan yang tiada taranya aku merebahkan diri di samping Vely.

Kini kami menyaksikan bagaimana Justine sedang mempermainkan Siska, yang terlihat tubuh mungilnya telah lemas tak berdaya dikerjain Justine, yang terlihat masih tetap perkasa saja. Dia membantu kepala Siska bergerak ke depan ke belakang, sehingga penisnya terkocok di dalam mulut Siska. Kelihatan Siska telah lemas dan pasrah, sehingga hanya bisa menuruti apa yang diingini oleh Justine, hal ini dilakukan Justine kurang lebih 5 menit lamanya.

Justine kemudian berdiri dan mengangkat Siska, sambil berdiri Justine memeluk badan Siska erat-erat.

Kelihatan tubuh Siska terkulai lemas dalam pelukan Justine yang ketat itu. Tubuh Siska digendong sambil kedua kaki Siska melingkar pada perut Justine dan langsung Justine memasukkan penisnya ke dalam kemaluan Siska.

Ini dilakukannya sambil berdiri. Badan Siska terlihat tersentak ke atas ketika penis raksasa Justine menerobos masuk ke dalam lubang kemaluannya dari mulutnya terdengar keluhan, “aagghh!”, Siska terlihat seperti anak kecil dalam gendongan Justine.

Kaki Siska terlihat merangkul pinggang Justine, sedangkan berat badannya disanggah oleh penis Justine. Justine berusaha memompa sambil berdiri dan sekaligus mencium Siska. Pantat Siska terlihat merekah dan tiba-tiba Justine memasukkan jarinya ke lubang pantat Siska.

“Ooohh!”. Mendapat serangan yang demikian serunya dari Justine, badan Siska terlihat menggeliat-geliat dalam gendongan Justine. Suatu pemandangan yang sangat seksi.

Ketika Justine merasa capai, Siska diturunkan dan Justine duduk pada sofa. Siska diangkat dan didudukan pada pangkuannya dengan kedua kaki Siska terkangkang di samping paha Justine dan Justine memasukkan penisnya ke dalam lubang kemaluan Siska dari bawah.

Dari ruang sebelah saya bisa melihat penis raksasa Justine memaksa masuk ke dalam lubang kemaluan Siska yang kecil dan ketat itu. Vaginanya menjadi sangat lebar dan penis Justine menyentuh paha Siska.

Kedua tangan Justine memegang pinggang Siska dan membantu Siska memompa penis Justine secara teratur, setiap kali penis Justine masuk, terlihat vaginanya ikut masuk ke dalam dan cairan putih terbentuk di pinggir bibir vaginanya. Ketika penisnya keluar, terlihat vaginanya mengembang dan menjepit penis Justine. Mereka melakukan posisi ini cukup lama.

Kemudian Justine mendorong Siska tertelungkup pada sofa dengan pantat Siska agak menungging ke atas dan kedua lututnya bertumpu di lantai. Justine akan bermain doggy style. Ini sebenarnya adalah posisi yang paling disukai oleh Siska.

Dari belakang pantat Siska, Justine menempatkan penisnya diantara belahan pantat Siska dan mendorong penisnya masuk ke dalam lubang vagina Siska dari belakang dengan sangat keras dan dalam, semua penisnya amblas ke dalam vagina Siska.

Jari jempol tangan kiri Justine dimasukkan ke dalam lubang pantat. Siska setengah berteriak, “aagghh!”, badannya meliuk-liuk mendapat serangan Justine yang dahsyat itu. Badan Siska dicoba ditarik ke depan, tapi Justine tidak mau melepaskan, penisnya tetap bersarang dalam lubang kemaluan Siska dan mengikuti arah badan Siska bergerak.

Siska benar-benar dalam keadaan yang sangat nikmat, desahan sudah berubah menjadi erangan dan erangan sudah berubah menjadi teriakan, “Ooohhmm.., aaduhh!”. Justine mencapai payudara Siska dan mulai meremas-remasnya.

Tak lama kemudian badan Siska bergetar lagi, kedua tangannya mencengkeram dengan kuat pada sofa, dari mulutnya terdengar, “Aahh.., aahh.., sshh.., sshh!”. Siska mencapai orgasme lagi, saat bersamaan Justine mendorong habis pantatnya sehingga pinggulnya menempel ketat pada bongkahan pantat Siska, penisnya terbenam seluruhnya ke dalam kemaluan Siska dari belakang.

Sementara badan Siska bergetar-getar dalam orgasmenya, Justine sambil tetap menekan rapat-rapat penisnya ke dalam lubang kemaluan Siska, pinggulnya membuat gerakan-gerakan memutar sehingga penisnya yang berada di dalam lubang vagina Siska ikut berputar-putar mengebor liang vagina Siska sampai ke sudut-sudutnya.

Setelah badan Siska agak tenang, Justine mencabut penisnya dan menjilat vagina Siska dari belakang.

Vagina Siska dibersihkan oleh lidah Justine. Kemudian badan Siska dibalikkannya dan direbahkan di sofa. Justine memasukkan penisnya dari atas, sekarang tangan Siska ikut aktif membantu memasukkan penis Justine ke vaginanya.

Kaki Siska diangkat dan dilingkarkan ke pinggang Justine. Justine terus menerus memompa vagina Siska.

Badan Siska yang langsing tenggelam ditutupi oleh badan Justine, yang terlihat oleh saya hanya pantat dan lubang vagina yang sudah diisi oleh penis Justine.

Kadang-kadang terlihat tangan Siska meraba dan meremas pantat Justine, sekali-kali jarinya di masukkan ke dalam lubang pantat Justine.

Gerakan pantat Justine bertambah cepat dan ganas memompa dan terlihat penisnya yang besar itu dengan cepat keluar masuk di dalam lubang vagina Siska, tiba-tiba, “Ooohh.., oohh!”, dengan erangan yang cukup keras dan diikuti oleh badannya yang terlonjak-lonjak,

Justine menekan habis pantatnya dalam-dalam, mememetin pinggul Siska ke sofa, sehingga penisnya terbenam habis ke dalam lubang kemaluan Siska.

Justine terlihat mulai sangat kasar, hilang sudah lemah lembut yang pernah dia perlihatkan.

Mulai saat ini Justine mengerjai Siska dengan sangat brutal dan kasar. Siska benar-benar dipergunakan sebagai objek seks-nya. Saya sangat takut kalau-kalau Justine menyakiti Siska, tetapi dilihat dari ekspressi muka dan gerakan Siska ternyata tidak terlihat tanda-tanda penolakan dari pihak Siska atas apa yang dilakukan oleh Justine terhadapnya.

Justine mencabut penisnya, kemudian dia duduk di sofa dan menarik Siska berjongkok diantara kedua kakinya, kepala Siska ditariknya ke arah perutnya dan memasukkan penisnya ke dalam mulut Siska sambil memegang belakang kepala Siska.

Pantat Justine terkedut-kedut sementara penisnya menyemprotkan spermanya di dalam vagina Siska, sambil kedua tangannya mendekap badan Siska erat-erat. Dari mulut Siska terdengar suara keluhan, “Sssh.., sshh.., hhmm.., hhmm!”, menyambut semprotan cairan panas di dalam liang vaginanya.

Setelah berpelukan dengan erat selama 5 menit, Justine kemudian merebahkan diri di atas badan Siska yang tergeletak di sofa, tanpa melepaskan penisnya dari vagina Siska. Siska melihat ke saya dan memberikan tanda bahwa yang satu ini sangat nikmat.

Aku tidak bisa melihat ekspresi Justine karena terhalang olah tubuh Siska. Yang jelas dari sela-sela selangkangan Siska mengalir cairan mani. Kemudian Siskapun seperti kebiasaan kami membersihkan penis Justine dengan mulutnya, itu membuat Justine mengelinjang keenakan.

Cerita Sex : Kisah Sex Hadiah Dari Sahabat

Malam itu kami pulang menjelang subuh, dengan perasaan yang tidak terlupakan. Kami masih sempat bermain 2 ronde lagi dengan pasangan itu.

#Bertukar #Pasangan #Dengan #Bos

Akibat Salah Orang Berujung Nikmat Terbaru Malam Ini

Akibat Salah Orang Berujung Nikmat

Cerita ini bermula dari suatu kebetulan yang tidak disengaja. Sampai saat ini aku suka tertawa sendiri kalau mengingat awal kejadian ini. Bermula dari suatu Sabtu siang, aku janjian ketemu dengan salah seorang teman chat-ku.

Namanya Natasha, mahasiswi tingkat akhir di salah satu PTS di Jakarta Barat. Teman chat-ku yang satu ini cukup misterius. Aku nggak pernah tau dia tinggal dimana, dengan siapa, bahkan aku tak pernah dikasi nomer telepon rumahnya. Kampusnya pun aku nggak yakin kalau yang disebutnya benar.

Saat janjian dengan Natasha pun hanya lewat SMS. Biasanya aku nggak pernah meladeni teman-teman chat yang janjian ketemu via SMS. Kapok, dulu pernah dibo’ongin. Tapi entah kenapa aku penasaran sekali dengan Natasha.

Akhirnya kami janjian untuk ketemu di Mal Kelapa Gading, tepatnya di Wendy’s. Resenya, Natasha juga nggak mau kasi tau pakaian apa yang dia pakai dan ciri-cirinya. Pokoknya surprise, katanya.

Itulah kenapa hari Sabtu siang ini aku bengong-bengong ditemani baked potatoenya Wendy’s sambil menunggu kedatangan Natasha. Sudah hampir satu jam aku menunggu tapi tidak ada kabar. SMS-ku nggak dibales-bales, mau telepon pulsa udah sekarat.

Aku hanya duduk sambil memperhatikan sekelilingku yang cukup sepi. Mataku tertuju pada seorang wanita keturunan Chinese berumur kira-kira 30-an yang duduk sendirian di salah satu sudut.

Herannya sejak tadi wanita tersebut memperhatikanku terus. Aku sempat berpikir apa dia yang bernama Natasha. Tapi rasanya bukan. Akhirnya karena bete menunggu aku pun meninggalkan Wendy’s.

Tiba-tiba aku merasa ada yang menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh dan melihat wanita yang kuperhatikan tadi tersenyum ke arahku.

“Rio ya?” tanyanya. Aku terkejut. Kok dia tau namaku. Jangan-jangan wanita ini benar Natasha. Aku mengangguk.

“Iya, mm.. Natasha?” tanyaku. Wanita itu menggeleng sambil mengernyitkan kening.

“Bukan, kok Natasha sih? Kamu Rio yang di Kayuputih kan?” aku tambah bingung mendengarnya.

“Bukan, lho tante bukan Natasha?”.

Kemudian wanita itu mengajakku berteduh di salah satu sudut sambil menjelaskan maksud yang sebenarnya. Aku mendengarkan, lantas aku juga gantian menjelaskan. Akhirnya kami sama-sama tertawa terbahak-bahak setelah tau duduk persoalannya.

Wanita itu bernama Alicia, dan dia juga sedang janjian dengan teman chat-nya yang juga bernama Rio, seperti namaku. Akhirnya kami malah berkenalan karena orang-orang yang kami tunggu tak kunjung datang juga.

Aku memanggilnya Ci Alicia, karena dia menolak dipanggil tante. Kesannya tua katanya.

Siang itu Ci Alicia malah mengajakku jalan-jalan. Aku ikut dengan Altis-nya karena aku tidak membawa mobil. Ci Alicia mengajakku ke butik teman maminya di daerah Permata Hijau. Tante Erna, sang pemilik butik adalah seorang wanita yang sudah berusia di atas 50 tahun, tubuhnya cukup tinggi dan agak montok.

Kulitnya yang putih bersih hari itu dibalut blus transparan yang bahunya terbuka lebar dan celana biru tua dari bahan yang sama dengan bajunya. Agak-agak eksentrik. Dasar desainer pikirku.

Karena hari itu butik Tante Erna tidak begitu ramai, kami bertiga ngobrol-ngobrol sambil minum teh di salah satu ruang santai.

“Aduh Yo.. maaf..” seru Tante Erna. Wanita itu menumpahkan teh yang akan dituangnya ke cangkirku tepat di celanaku bagian pangkal paha. Aku sedikit mengentak karena tehnya agak panas.

“Nggak pa-pa Tante..” jawabku seraya menepuk-nepuk kemejaku yang juga kena tumpahan teh. Tante Erna reflek menepis-nepis bercak teh yang membasahi celanaku. Ups.. tanpa sengaja jemari lembutnya menyentuh batang kemaluanku.

“Eh.. kok keras Yoo? Hihihi..” goda Tante Erna sambil memijit-mijit kemaluanku. Aku jadi tersenyum. Ya gimana nggak keras sedari ngobrol tadi mataku tak lepas dari bahu Tante Erna yang mulus dan kedua belah paha Ci Alicia yang putih.

“Iya.. Tante sih numpahin..” jawabku setengah bercanda.

“Idih.. Tante Erna kumat genitnya deh.. biasa Yo, udah lama nggak.. aww!!” Ci Alicia tak sempat menyelesaikan celetukkannya karena Tante Erna mencubit pinggang wanita itu.

“Iya nih Tante, udah numpahin digenitin lagi. Pokoknya bales tumpahin juga lho hihihi..” aku gantian menggoda wanita itu. Tante Erna malah tersenyum sambil merangkul leherku.

“Boleh, tapi jangan ditumpahin pake teh ya..” bisiknya di telingaku. Aku pura-pura bego.

“Abis mau ditumpahin apa Tante?” tanyaku. Tante Erna meremas batang penisku dengan gemas.

“Ya sama ‘teh alami’ dari kamu dong sayang.. mmhh.. mm..” Tante Erna langsung mengecup dan melumat bibirku. Aku yang memang sedari tadi sudah horny menyambut lumatan bibir Tante Erna dengan penuh nafsu.

Kedua tanganku memeluk pinggang wanita setengah baya itu dengan posisi menyamping. Sementara tangan Tante Erna yang lembut merangkul leherku. Ah.. lembut sekali bibirnya.

Ci Alicia yang melihat adegan kami tidak tinggal diam. Wanita berkulit putih mulus itu mendakati tubuhku dan mulai memainkan kancing celana jeansku. Tak sampai semenit wanita itu sudah berhasil melucuti celana jeansku sekaligus dengan celana dalamnya.

Tanpa ampun lagi batang penisku yang sudah mulai mengeras itu berdiri tegak seolah menantang Ci Alicia untuk menikmatinya. Ci Alicia turun ke bawah sofa untuk memainkan penisku. Jemarinya yang lembut perlahan-lahan mengusap dan memijit setiap centi batang penisku. Ugghh.. birahiku semakin naik. Lumatan bibirku di bibir Tante Erna semakin bernafsu.

Lidahku menjelajahi rongga mulut wanita setengah baya itu. Tante Erna merasa keasyikan.

Aku yang semakin terbakar nafsu mencoba menularkan gairahku ke Tante Erna. Dari bibir, lidahku berpindah ke telinganya yang dihiasi anting perak. Tante Erna menggelinjang keasyikan.

Dia meminta waktu sebentar untuk melepas anting-antingnya agar aku lebih leluasa. Lidahku semakin liar menjelajahi telinga, leher dan bahu Tante Erna. Tampaknya wanita itu mulai tak kuasa menahan birahinya yang semakin memuncak.

Dia melepaskan diri dari tubuhku dan memintaku untuk melorotkan celananya. Tanpa disuruh kedua kalinya aku pun langsung melucuti Tante Erna sekaligus dengan bajunya, hingga tubuh wanita itu bersih tanpa sehelai benang pun.

Gila, udah kepala empat tapi tubuh Tante Erna masih kencang. Kulitnya yang putih betul-betul terasa halus mulus.

Sambil bersandar pada pegangan sofa, Tante Erna merentangkan kedua belah pahanya yang mulus dan memintaku melumat kemaluannya yang bersih tanpa bulu. Tanpa basa-basi aku langsung mendekatkan wajahku ke vaginanya dan mulai menjilati daerah pinggir kemaluannya.

“Hhhmm.. sshh.. teruss Yoo..” desah Tante Erna keasyikan. Aku terus menjilati vaginanya sambil tangan kananku membelai pangkal pahanya yang mulus. Di bawah, Ci Alicia masih asyik mempermainkan kemaluanku.

Akibat Salah Orang Berujung Nikmat

Kelima jemarinya yang lentik lincah sekali membelai dan mengocok batang penisku yang ujungnya mulai basah. Sesekali lidahnya membasahi permukaan penisku. Sebagian batang penisku tampak merah terkena lipstik Ci Alicia.

Kepala wanita itu naik turun mengikuti ayunan kenikmatan di penisku. Ahh.. lembut sekali mulut Ci Alicia mengulumnya. Saking asyiknya tak sadar aku sampai menghentikan permainanku dengan Tante Erna untuk merasakan kenikmatan yang diberikan Ci Alicia.

Tante Erna tersenyum melihat ekspresiku yang mengejang menahan nikmat. Wanita itu merengkuh kepalaku untuk melanjutkan tugasku memberi kenikmatan untuknya.

Aku semakin buas melumat kemaluan Tante Erna. Jemariku mulai ikut membantu. Liang kemaluan Tante Erna sudah kutembus dengan jari tengahku.

Sambil kukocok-kocok, aku menjilati klitorisnya. Wanita itu menggelinjang tak karuan menahan rasa nikmat. Kedua tangannya yang lembut menjambak rambutku.

Tanpa kusadari, Ci Alicia sudah melucuti dirinya sendiri sampai telanjang bulat. Tiba-tiba wanita itu naik ke atas tubuhku dan bersiap mengurung penisku dengan vaginanya yang lembut. Kedua tangannya merengkuh leherku.

Tubuhnya mulai merendah hingga ujung penisku mulai menyentuh bibir vaginanya. Dengan bantuan tangan kiriku, perlahan penisku mulai masuk ke dalam liang kenikmatan itu, dan.. ssllpp blleess..

Amblas sudah penisku di liang kemaluan Ci Alicia. Sambil memeluk bahuku, tubuh Ci Alicia naik-turun. Ugghh.. nikmat sekali. Aku sampai nggak bisa konsen ngelumat vagina Tante Erna.

Tapi aku nggak mau kalah. Yang penting Tante Erna mesti diberesin dulu.

Sambil menahan birahiku yang sudah di ubun-ubun gara-gara Ci Alicia, aku terus melumat vagina Tante Erna. Jari tengahku yang kini sudah dibantu jari manis semakin cepat mengocok-ngocok di dalam vagina Tante Erna.

Lidahku semakin liar menjelajahi klitoris dan bibir vaginanya. Tubuh Tante Erna pun semakin menggelinjang tak karuan. Sepertinya wanita itu sudah tak kuasa lagi menahan kenikmatan yang kuberikan. Aku pun mulai merasa dinding vaginanya berdenyut.

“Ssshh.. oohh.. Riioo..aahh..” Tante Erna mendesah meregang nikmat sambil meremas kepalaku yang masih menempel ketat di vaginanya. Aku merasakan rembesan lendir yang cukup deras dari dalam sana.

Hmm.. aroma vagina yang begitu khas segera tercium. Aku pun menghirup lendir-lendir kenikmatan itu sambil menjilati sisa-sisa yang menempel di vagina Tante Erna.

Setelah puas melepas kenikmatannya, Tante Erna mengangkat kedua pahanya dari tubuhku dan membiarkan aku leluasa menikmati permainan dengan Ci Alicia.

Bebas dari tubuh Tante Erna, kini Ci Alicia yang mendekap tubuhku erat. Payudaranya yang bulat dan montok menempel ketat di dadaku. Ahh.. kenyal sekali.

Aku semakin merasakan kekenyalannya karena tubuh Ci Alicia naik-turun. Sementara bibir kami asyik saling melumat.

“Mmhh..ssllpp..aahh..mm..” berisik sekali kami berciuman. Tante Erna sampai geleng-geleng melihat kami berdua yang sama-sama dipacu birahi.

Kemudian kami bertukar posisi. Tubuh kami berguling ke arah berlawanan sehingga kini tubuh Ci Alicia duduk bersandar di sofa dengan posisi kedua kaki mulusnya yang mengangkang.

Sambil bertumpu pada lutut di lantai, aku bersiap memasukkan penisku lagi ke dalam liang kemaluan Ci Alicia. Ugghh.. kali ini lebih mudah karena vagina Ci Alicia sudah basah. Pantatku maju mundur seiring kenikmatan yang dirasakan Ci Alicia.

Wanita itu bahkan sudah tak kuasa memeluk tubuhku. Kedua tangannya direntangkan untuk menahan rasa nikmat yang dirasakannya. Aku semakin menggoyang pantatku dengan keras.

Aku tahu bahwa sebentar lagi Ci Alicia akan mencapai klimaks, namun aku juga tahu bahwa Ci Alicia tak mau kalah denganku. Aku melihat ekspresinya yang berusaha menahan nikmat.

“Terus Yo.. bentar lagi tuh.. hihihi..” goda Tante Erna.

Aku tersenyum kemudian mengecup bibir wanita yang sedang duduk di samping Ci Alicia tersebut.

Tante Erna malah membantuku dengan menjilat, mengisap dan mengulum payudara dan puting Ci Alicia.

“Aahh.. Yoo.. sshh..” akhirnya Ci Alicia meregang kenikmatannya. Aku merasakan cairan hangat membasahi penisku di dalam vaginanya. Aku mendekap tubuh Ci Alicia yang hangat.

“Hh.. gila kamu Yo, aku pikir bakal kamu duluan..” ujar Ci Alicia. Aku tersenyum sambil melirik ke arah Tante Erna.

“Ya kan berkat bantuan Tante Erna..” jawabku seraya mencubit hidung Tante Erna. Wanita itu memelukku.

“Nah, sekarang giliran aku lagi Yo, kamu kan belum puasin aku dengan pentunganmu itu hihihi.. Ayo, kali ini pasti kamu udah nggak tahan..” Tante Erna menantangku bermain lagi. Tanpa diminta dua kali aku langsung menjawab tantangannya.

Aku pun melakukan hal yang sama seperti dengan Ci Alicia tadi. Kali ini aku mengakui permainan Tante Erna yang jauh lebih liar dan berpengalaman. Akhirnya kami klimaks bersama-sama. Aku klimaks di dalam vagina Tante Erna yang hangat.

Ruang santai itu memang betul-betul hebat. Tak seorang karyawan pun yang mengetahui apa yang baru saja kami lakukan. Setelah puas bermain, kami bertiga mandi bersama.

Tadinya setelah mandi kami mau melanjutkan lagi di kamar tidur Tante Erna. Tapi karena sudah sore, sebentar lagi suami Tante Erna pulang.

Untungnya Ci Alicia punya ide untuk melanjutkan di hotel. Tante Erna pun setuju, namun aku dan Ci Alicia berangkat duluan.

Malam itu kami check-in di salah satu hotel di daerah Thamrin. Aku dan Ci Alicia lebih dulu melanjutkan permainan. Satu jam kemudian Tante Erna baru datang melengkapi kenikmatan kami.

Dan yang bikin aku surprise, malam itu Tante Erna mengajak teman seprofesinya yang umurnya kira-kira lebih muda 3 atau 5 tahun, namanya Tante Bella. Malam itu aku betul-betul puas bersenang-senang dengan mereka bertiga.

Kami melepas birahi sampai jam 3 pagi. Kemudian kami tidur sampai jam 9 pagi, lantas kembali menuntaskan permainan. Aku betul-betul tidak menyangka kalau gara-gara salah orang bisa sampai seperti ini.

Sampai kini aku nggak pernah ketemu dengan Natsha, teman chat-ku. Kami pun nggak pernah SMS-an lagi. Entah kemana perginya Natasha. Tapi yang jelas semenjak kejadian itu, aku terus keep contact dengan Ci Alicia, Tante Erna dan Tante Bella.

Sekarang Ci Alicia sudah menikah dan tinggal di Australia dengan suaminya. Tapi kami masih sering kontak. Sedangkan dengan Tante Erna dan Tante Bella, aku masih terus berhubungan untuk sesekali berbagi kenikmatan.

Tadinya mereka ingin memeliharaku sebagai gigolo, namun aku menolak karena aku melakukannya bukan untuk uang dan materi, tapi untuk kesenangan saja.

Kadang kalau Ci Alicia sedang di Indonesia, kami menyempatkan diri untuk mengunjungi butik Tante Erna bersama-sama untuk melepas birahi. Tempat Tante Erna sering dijadikan tempat affair kami agar suaminya tidak curiga.

Oke, segitu dulu pengalamanku. Salam manis buat Ci Alicia yang lagi hamil 3 bulan. Mudah-mudahan kesampean dapat anak laki-laki.

Cerita sex : Kisah Sex Dengan Dosen Cantikku

Buat Tante Erna dan Tante Bella, thank’s buat kehangatan yang diberikan. Juga buat Natasha, my mysterious friend yang udah membuka jalan hehehe.. Lain kali kalau ada pengalaman yang berkesan, aku akan ceritakan lagi di situs ini.

#Akibat #Salah #Orang #Berujung #Nikmat

Kisah Sex Advokat Dengan Kliennya Terbaru Malam Ini

Kisah Sex Advokat Dengan Kliennya

Sebagai seorang yang menjalankan profesi advokat, berkomunikasi dan berdiskusi secara intens dengan klien merupakan suatu hal yang mutlak. Mengingat yang dilakukan advokat dalam mengurus perkara hukum kliennya adalah membela kepentingan-kepentingan hukum dari klien itu sendiri.

Terkadang, dengan seringnya berkomunikasi dan berdiskusi tersebut, batas-batas kekakuan hubungan antara advokat dengan kliennya menjadi lumer bahkan menjadi tipis dan bisa jadi hubungan tersebut meningkat menjadi TTM (teman tapi mesra). Itulah, yang saat ini saya rasakan (alah mak !!).

Linda, nama panggilannya. Janda muda berumur 35 tahun, tanpa anak. Tingginya 168 cm dengan bobot BB yang cukup proposional. Bisa dikatakan sintal. Ya, S-I-N-T-A-L karena lekukan tubuhnya begitu sempurna. Kalau dia sedang berjalan, setiap pria yang melihatnya pasti akan memperhatikannya dengan seksama.

Wajahnya ? standar orang Indonesia. Mungkin jika dinilai masuk dalam kisaran nilai 7. Memandang bibirnya yang tipis cukup membuat kita ingin berlama-lama ngobrol dengannya.

Yang lebih membuat menarik dan ini yang utama adalah warna kulit tubuhnya yang kuning langsat. Mulus, tanpa cela sedikitpun. Sempurna. Ini masih pula ditambah dengan ukuran buah dada yang enak dilihat. Tidak besar dan tidak kecil. 34 atau 32, tak tau lah, yang penting pas susunya ! mmmhhhhmmmm.

Permasalahan hukum yang dihadapinya cukup pelik, rebutan harta warisan peninggalan almarhum suaminya. Rupanya, keluarga besar almarhum suaminya tidak rela jika rumah peninggalan almarhum dikuasi oleh Linda. Mereka berupaya melakukan terror-teror untuk mengusir Linda keluar dari rumahnya. Ini membuat Linda khawatir. Dia tidak mungkin keluar dari rumah yang selama ini ditempatinya karena cuma itu yang dipunyanya.

Pada mulanya, berhadapan dan berdiskusi dengan Linda biasa-biasa saja. Tidak ada nafsu shawat yang menyertainya. Pesona-pesona tubuh Linda yang terpancar sekedar menimbulkan kekaguman dalam hati saya.

Tidak lebih tidak kurang. Uraian-uraian permasalahan yang disampaikan Linda cukup membuat saya menarik kesimpulan awal bahwa hak-hak Linda sebagai janda harus dibela.

Beberapa hari setelah tanda tangan surat kuasa, langkah-langkah penyelesaian hukum segera saya susun dan diterapkan. Somasi segera saya layangkan ke keluarga besar almarhum suaminya Linda. Beberapa pertemuan saya dengan para ahli waris selalu dilaporkan ke Linda sebagai klien. Inilah wujud professional saya.

Hingga pada suatu saat, di rumahnya Linda. Saya mendapat informasi dari Linda bahwa ia tetap masih menerima telepon-telepon yang berisikan terror.

“Pak, saya bener-bener takut. Mereka selalu bilang kalau saya tidak berhak tinggal di rumah ini. Mereka ngancam kalau sampai akhir bulan ini tidak juga keluar, tungga aja akibatnya nanti,” curhat Linda lirih. Sebentar-bentar ia mengadahkan wajahnya ke atas. Sepertinya berusaha menahan emosi kekesalan sekaligus ketakutannya.

“Mereka tega banget, pak,” tambahnya dengan suara pelan.

“Ya, sabar bu. Ini khan masih proses. Saya sudah kirim somasi plus ancaman tuk melaporkan mereka ke pihak berwajib jika mereka tetap melakukan terror.”

“Iya, pak. Saya agak tenang dengan adanya bapak,” ucapnya dengan nada datar.

Kemudian dengan diplomatis saya sampaikan langkah-langkah hukum yang telah dilakukan. Linda pun menanggapinnya dengan antusias. Ia pun menggeser duduknya mendekat ke saya. Ia ada disebelah kiri saya. Dalam posisi duduk yang bersampingan tersebut jelas memberikan saya keluasaan untuk mengekplorasi pesona keindahan dan kemulusan tubuhnya.

Disela-sela percakapan, tak henti-hentinya lirikan mata saya menyelusuri kemulusan tubuhnya yang saat itu dibalut kaos lengan pendek tanpa kerah berwarna merah muda dan celana panjang hitam. Eksplorasi yang tidak terencana, dimulai dari jari jemari tangannya yang lentik pelan-pelan berlanjut ke lengan, bahunya dan terus berlanjut ke lehernya.

Di lehernya terbelit kalung emas tipis. Indahnya, begitu gumam saya dalam hati. Tahap-tahap penyelesaian hukum semakin saya uraikan mendalam sambil memandang bibir merah yang dimilikinya, mulus pipinya, hidungnya dan kupingnya.

Ternyata eksplorasi tersebut menimbulkan sensasi sensual ketika jari tangan Linda memainkan rambutnya. Memperlihatkan leher mulus Linda yang dipenuhi dengan helai-helaian halus anak rambut. Seketika terendus harum wangi rambutnya. Achhhhhhh

15, 20, 25 menit merupakan waktu yang nyaman bagi saya. Terbuai sudah pikiran saya dengan sensasi sensual yang tercipta tanpa disadari oleh Linda. Ingin saya nikmati lebih lama rasanya. Getar-getar syaraf ditubuh pun saya resapin dalam-dalam.

Semakin diresapin ternyata gelombang syaraf tersebut bermuara diselangkangan. Muatan eletris yang menimbulkan denyut-denyut di urat kemaluan. Pelan tapi pasti batang kemaluan yang kenyal tersebut menjadi keras.

“Kriiiiiiiiiiiiing .. kriiiiiiing . !”

“Ngg … pasti telepon terror nih,” ucap Linda sambil melihat ke arah sumber suara.

“Angkat aja dulu”

Telepon itu berbunyi lagi. Kriiiiiiiiingg

“Pasti terror,” terbersit sedikit kekhawatiran di wajah Linda. Ia berusaha untuk tLindak menanggapi telepon tersebut.

“krrrrrrrrriiiiiiiiing”

“Angkat dulu aja, bu. Siapa tau bukan terror. Mungkin dari kenalan atau keluarga Ibu,” saran saya. Terus terang, sungguh duduk bersandingan dengan Linda membuat diri saya risih dan khawatir. Risih dan kekhawatiran yang berpangkal pada ketidaksingkronan antara pikiran dengan batang kemaluan yang semakin mengeras

Dengan sedikit keengganan Linda pun beranjak dari sofa. Melangkah ke ruang makan dimana ia meletakkan pesawat telepon selama ini.

Pfuihhh ! saya pun menarik napas panjang. Lega. Dasar kemaluan laknat. Ini lagi kerja. Professional dong !. Malu khan kalau keliatan nonjol ! maki saya dalam hati. Dengan cepat tangan dingin saya menyelunsup masuk ke celana untuk membetulkan arah orbit batang kemaluan sialan ini. Hup ! horizontal sudah.

“Pak, kesini deh pak,” panggil Linda dari ruang makan.

Sigap saya langsung melangkah ke ruang makan. Sampai disana, terlihat Linda sedang berdiri didepan kulkas dengan gagang telepon di tangan kanannya, “Bapak mau dengerin terornya mereka ? ini kakaknya yang paling tua nelepon”.

Sebagai kuasa hukum tentunya saya ingin mendengarkan terror tersebut secara langsung, sekedar untuk mengetahui bentuk terror dan apa keinginan sesungguhnya dari mereka selama ini. Saya pun langsung mengambil gagang telepon tersebut.

Terdengar suara maki-makian diujung sana. Saya hanya mendengarkan dan melihat Linda menyondorkan kursi makan ke arah saya. Dengan isyarat tangan, saya bilang ingin duduk dekat meja makan. Saya duduk dikursi tersebut dengan Linda mengambil posisi berdiri disebelah saya.

Bertumpu dengan kedua sikunya sementara salah satu tangannya menopang dagu. Ia berusaha ikut mendengarkan isi telepon terror tersebut. Dalam posisi demikian, jelas wajahnya mendekat dan sangat dekat dengan wajah saya.

Mulusnya, gumam dalam hati saya ketika melihat pinggang bawahnya yang terbuka. Bagian bawah kaosnya sedikit tertarik ke atas rupanya dan sedikit karet celana dalam coklatnya menyembul keluar seolah-olah menyapa saya. Hai ..

Maki-makian tersebut terdengar jelas ditelinga saya. Saya hanya diam dan sekali-kali melihat ke arah Linda. Saya isyaratkan apakah dia mau menanggapin telepon tersebut sambil menyondorkan gagang telepon ke arahnya.

Linda mengangguk dan meraih gagang telepon. Karena panjang kabel telepon yang terbatas, mau tidak mau, ia pun lebih mendekatkan tubuhnya ke arah saya. Edan ! buah dadanya tersentuh lengan saya. Saya langsung bereaksi cepat menarik tangan seraya berdiri untuk menyilahkan Linda duduk di kursi saya.

“Mbak, kasihan dong sama Linda. Ini khan rumah peninggalan almarhum. Linda ini istrinya .”

Tindak tahu apa yang dibicarakan oleh si penelepon tersebut, tak lama saya mendengar isak tangis Linda. Sedikit menunduk sambil mengusap air mata Linda terus mendengarkan telepon tersebut. Saya yang berdiri tepat dibelakangnya tak kuasa untuk menghentikan isak tangis tersebut. Bingung apa yang harus dilakukan melihat perempuan menangis seperti itu.

Tiba-tiba. Tangan saya bereaksi mengelus rambut kepalanya. Mengelus dan terus mengelus seakan-akan mengatakan, “tenang bu Linda. Sabar”. Elusan dikepala seperti itu tampaknya berhasil menenangkannya.

Tak lama kemudian telepon tersebut ditutup oleh Linda. Merunduk sebentar dan kemudian berdiri menghadap saya. Menatap ke saya penuh harapan untuk dapat dibantu menyelesaikan masalahnya. Terlihat tetesan air mata di kelopak matanya. Kembali tangan saya bereaksi dengan lembut berusaha menghapus air mata tersebut.

Emosi saya pun larut dalam suasana tersebut. Ibu jari tangan saya pun pelan-pelan menghapus linangan air mata yang mengalir di pipi Linda. Spontanitas, bibir saya mengecup pelan pada keningnya Linda.

“Sabar ya bu,” ucap saya. Linda hanya menatap mata saya kemudian mengangguk pelan. Saat itu juga saya merasakan gemuruh yang hebat. Debar-debar dan detak jantung rasanya begitu cepat tidak seperti biasanya. Lalu, entah kenapa bibir saya berkeinginan mengecup bibir Linda. Sedikit menunduk sambil memajukan bibir. Dan berhasil.

Kecupan yang membuat saya sendiri kaget dan Linda pun terperanjat. Ketika Linda memalingkan muka, tangan saya spontanitas memegang wajahnya dan bibir itu saya kecup lagi. Sangat berhasrat sekali. Kecupan yang berawal lembut menjadi begitu penuh hasrat.

Linda berusaha berontak tapi saya tahan kuat-kuat dengan mencengkram kedua lengannya dan lumatan bibir pun semakin kuat saya lakukan. Mencoba menerobos katupan bibir Linda. Dengan indah saya sapu bibir tipis merah itu.

“pak .. Mhh .” rontaan Linda. Ia berusaha menjauhkan bibirnya dari ganasnya lumatan bibir saya. Rupanya dia salah. Justru dengan dia membuka mulutnya membuat mulutku leluasa untuk melumatnya. Lumatan demi lumatan saya lakukan. Seluruh keinginan melumat saya salurkan sepuas-puasnya.

Kisah Sex Advokat Dengan Kliennya

Seperti kehausan rasanya. Manisnya air liur Linda pun bisa saya rasakan. Kemudian bibir saya menghisap bibir bawah Linda Saya pejamkan mata untuk mematikan syaraf positif otak. Rasanya saya tidak peduli lagi dengan rontaan-rontaannya.

Setiap saya merasakan sentakan reaksi untuk meronta atau menolak, seketika itu pula saya melawannya dengan sentakan otot-otot yang kuat. Saya buka bentangan kakinya dan lebih merapatkan pinggul saya ke pinggulnya untuk lebih mudah menundukkan. Memang akhirnya, Linda tidak bisa lagi beronta-ronta.

Sebentar-bentar saya julurkan lidah untuk mencoba masuk lebih dalam ke rongga mulutnya. Terus dan terus lidah saya mencoba mencari lidahnya. Disapunya rongga mulut itu untuk mencari apa yang diinginkan.

Tektur giginya bisa saya rasakan dan dengan sedikit usaha, akhirnya lidah kami bertemu. Ternyata lidah Linda menyambut lidah saya. Permainan lembut lidah saya disambut baik. Lidah kami saling merespon. Linda tidak berontak lagi ! saya merasakan sedikit demi sedikit ia membalas lumatan saya.

Otot lengan Linda perlahan-lahan saya rasakan mengendur rasanya seperti berusaha rileks. Dapat dipastikan memang mengendur. Tangan saya yang semula memegang rapat lengannya perlahan-lahan juga melonggar.

Dengan tetap melekat di sisi lengannya, tangan saya bergeser pelan-pelan. Ketika sudah yakin kalau Linda tidak lagi berontak, saya renggangkan sedikit jarak antara telapak tangan saya dengan permukaan kulit lengannya.

Tidak untuk melepas tapi untuk merasakan kehalusan kulitnya. Dengan kuku secara lembut jari-jari saya menyelusuri kehalusan kulit Linda. Terus ke bawah hingga ke pergelangan tangannya. Setiap jari dan disetiap sela-selanya diselusuri pelan-pelan. Saya merasa Linda begitu rileks.

Sementar bibir kami terus bercumbu, ke dua tangan saya sudah bergeser ke paha samping Linda. Sedikit demi sedikit merayap ke arah pantatnya Linda. Mengusap lembut dengan gerakan memutar ke belakang pinggulnya dan mencengkramnya. Kedua tangan saya, masing-masing telah mencengkram belahan bongkahan bokong tersebut.

Ini membuat Linda berreaksi. Mulutnya terbuka penuh tidak setengah-setengah lagi. Percumbuan kami pun semakin hebat. Karena perbandingan tinggi badan Linda yang cukup pendek dibandingkan dengan tinggi badan saya maka saya angkat pantatnya guna memudahkan melumat bibirnya. Linda sangat senang. Terbukti dengan lumatannya yang semakin intens, penuh gairah.

Tiba mata saya yang semula terpejam terbuka. Kesadaran otak dan kesadaran diri mulai menyandarkan saya. Bathin saya mengatakan ini tidak benar. Stop! Saya membuka mata, tapi kini saya melihat ekpresi Linda yang memejamkan matanya. Mulutnya setengah terbuka. Begitu jelas terlihat pesona bibir Linda yang sedang merekah.

Ada kemilauan air ludah disekitar bibirnya. Sapuan warna merah lipstiknya sudah hilang berganti dengan warna natural bibir. Merah muda. Dalam kondisi basah demikian itu, pesona seksualnya jelas bertambah. Menggairahkan.

Linda melenguh pelan sambil mengadahkan wajahnya ke atas. Kenapa ? . rupanya itu adalah reaksi yang diberikannya ketika salah satu telapak tangan saya menempel dipunggungnya. Linda mendongakkan wajahnya ke atas dengan mata terpenjam sementara bibirnya terbuka. Sayup saya mendengar erangan pelan Linda,”ooohhhhhh ..”.

Tampak jelas oleh saya urat-urat halus hijau seputar lehernya yang putih dengan hiasan kalung tipis emas itu. Bibir dan lidah saya pun bekerja kembali. Diciuminnya bagian tengah leher tersebut. Merayap pelan ke atas terus ke bawah. Balik lagi ke atas terus menyesuri bagian samping kanan leher Linda. Disitu lLindah saya mengelitik terus mengelitiknya dan pada akhirnya menghisap lembut namun kuat.

“Pakkkkkkkkkkkkkk .” erangan Linda sambil mendekap tubuh saya. Linda meresapi permainan lidah dan mulut saya. Respon yang harus dihargai. Gairah yang terbalaskan. Ini jelas butuh reaksi yang berlanjutan. Tanpa kata-kata, cumbuan dileher Linda terus saya lanjutkan.

Perlahan-lahan Linda saya turunkan. Posisi kami saling berhadapan rapat, kami saling menatap. Getaran-getaran sahwat menuntut lebih. Saya tidak tahu, apakah Linda merasakan apa yang saya rasakan tapi yang jelas Linda kembali memejamkan matanya dan membusungkan dadanya ke dada saya.

Saya cium kedua pipinya yang halus lalu ke mulutnya. Kami bercumbu kembali. Tidak seperti awal tadi, hanya sebentar. Saya kelitikin telinga kanannya dengan lidah dan berkata, “Bu Linda cantik”.

Kalimat yang terucap spontan dan dunia rasanya seperti berputar usai mengatakannya. Bibir saya menghujam kembali dibibirnya. Berpagutan dengan lembut dan tangan saya kembali berreaksi. Dengan jari-jari saya sibak bagian bawah kaosnya.

Kedua telapak tangan saya menempel dipinggangnya. Kini dengan kedua telapak tangan, saya dapat merasakan betapa halusnya kulit tubuh mulus itu. Seperti mengelus permukaan licin, saya sangat menghayatinya.

Kehalusan itu ternyata itu tidak cukup menghentikan aksi saya. Merambat pelan ke atas, tangan saya pada akhirnya menemukan gundukan daging kenyal yang terbungkus. Tangan saya tidak langsung meremasnya tapi terlebih dahulu menyusuri pinggiran bawah BH itu. Bisa saya rasakan motif dari BH yang sedang dipakainya. Kasar.

Saya usaikan cumbuan kami. Puas rasanya mencumbu bibir tipis itu. Saya dorong tubuh Linda ke belakang dan langsung menempelkan tubuh saya ke tubuhnya. Kini Linda terhimpit antara lemari makan dengan tubuh saya. Jari tangan saya bereaksi lebih lanjut. Kali ini meremas dan terus meremas.

Dengan kedua ibu jari yang telah menyelusup ke dalam kutang, saya merasakan sesuatu. Pentil buah dada!. Saya pilin-pilin pelan dan Linda pun kembali mendesah, “aaacchh”. Cumbuan kami terus berlanjut tapi tidak lagi beraturan. Sebentar ke pipi, ke kuping dan ke leher. Linda pun terus mendesah.

Penuh keyakinan saya angkat kaosnya melewati dada, kepala dan tangannya. Dari pinggang ke atas, tubuh Linda telah terbuka. Kami bercumbu kembali. Saya tumpahkan seluruh hasrat dan nafsu yang ada. Sungguh gerakan saya sudah sporadis, tidak beraturan lagi. Dimana saya merasakan kehalusan kulit tubuhnya Linda, disitulah cumbuan saya mendarat.

Tangan Linda yang bergelantungan di leher saya kini pelan-pelan mendekap tubuh saya. Ditempelkan kepalanya didada saya yang masih tertutup kemeja putih. Ia menggesek-mengesekkan mulutnya dan saya tahu apa yang seharusnya saya lakukan.

Pelan-pelan saya jatuhkan tubuhnya ke lantai. Birahi saya tidak tertahankan lagi pastinya melihat tubuh yang indah mulus berbaring dilantai. Kami saling menatap dan saya melihat kedipan mata Linda yang mengijinkan untuk meneruskan apa yang saya inginkan.

Bergegas saya membuka kancing kemeja dan melepaskan kaos dalam. Ya pori-pori kulit dada saya juga ingin merasakan kulit yang kuning langsat dan mulus itu. Saya dekatkan dan saya tempelkan dada ini kedadanya. Meresap dan semakin meresap saya merasakannya. Usai itu, saya langsung menciumin permukaan buah dadanya. Urat-urat di kulit payudara tersebut menambah pesona yang tak terelakkan. Hangat dan menggairahkan.

Dengan gerakan jari, saya turunkan tali BH coklatnya melewati pundak. Sambil menggeliat, Linda membantu saya membuka BH tersebut. Ia mengerti kalau tali BH itu akan mengganggu aktifitas sex saya. Oooohh … buah dada yang membulat dihiasi pentil merah muda mengeras. Terpuaskan sudah mata saya memandang keindahan buah dadanya.

Kekenyalan yang membuat saya terus menerus menciumnya. Saya gunakan lidah untuk menciptakan sensasi yang merangsang. Dengan lembut saya gigit permukaan kulit atas dekat pentil yang kuning langsat mulus tersebut. Tidak hanya satu sisi. Kedua-duanya saling bergantian saya kecup, hisap dan menggigitnya.

Tangan saya pun terus ke bawah untuk membuka celana panjang hitam yang dikenakan. Saya menginginkan kemulusan pahanya. Usaha membuka serta melorotkan celana panjang hitam tersebut berjalan cepat dan tangan saya telah menemukan kehalusan itu.

Sungguh halus kulit paha itu. Mengusap bagian luar paha sementara mulut saya terus bekerja di area dada membuat Linda mendesah dan terus mendesah. Gairah kami terus meningkat, tidak lagi ada kepedulian diantara kami mengenai ruangan. Disela-sela kaki meja makan dan diantara kulkas, kami bergumul.

Linda tampaknya benar-benar sudah pasrah dan mengikhlaskan tubuhnya untuk disetubuhin dengan saya. Diiringin dengan desahan yang terkadang panjang dan pendek, sebentar-bentar tubuhnya menggeliat serta mengejang. Keringat telah membasahi tubuhnya itu.

Tapak-tapak merah dibeberapa bagian kulitnya yang kuning langsat begitu jelas terlihat. Gerakan seksualnya sungguh bervariasi, dalam posisi miring berhadapan dipegangnya kepala saya untuk diarahkan ke buah dadanya lalu sebentar kemudian menarik pantat saya untuk lebih merapatkan tubuh saya dengan tubuhnya.

Tak segan-segan ia meraih tangan saya untuk meminta buah dadanya diremas mesra kembali. Jika sudah seperti itu, usai meremas buah dadanya, saya mengarahkan jari telunjuk ke mulutnya. Ia pun menghisapnya. Bibingan yang menyenangkan.

Stop, Jangan diteruskan lagi. Ingat, kamu ini advokat. Dia itu klien kamu. Saya terdiam sesaat. Gamang. Teruskan, Ayooo. Lihat dia sudah berbaring terlentang. Ya, saya memang melihatnya terlentang. Tampak payudaranya yang membulat turun naik seiring dengan desah nafasnya. Terlihat puting merah muda itu berkemilau basah oleh liur saya.

Tidak, jangan diteruskan. Itu DOSA ! kuping saya begitu panas mendengarnya. Denyutan di kepala saya begitu terasa. Saya mengejamkan mata sambil mengatur napas. Ya. Ini harus dihentikan. HARUS. Tidak ! Kamu pikir yang kamu lakukan sejak tadi bukannya dosa, Hah ! Lihat . kakinya mengangkang terbuka

Ia masih menginginkan. Saya tatap gelagat yang terlihat. Gila !! tangannya Linda bergerak-gerak dipinggiran selangkangannya. Sesaat kemudian, mengusap-usap pelan ke arah vaginanya yang masih terbungkus celana dalam coklat tipis. Saya terpana. Bagian vagina celana dalam itu tampaknya sudah basah. Gumpalan hitam ditengah selangkanganya tercetak jelas. Ini memang belum berakhir. Harus dituntaskan.

Perlahan-lahan saya merunduk mencium pusar Linda. Lidah saya bermain disitu, dengan gerakan spiral ke arah luar, semakin lama area kecupan, gelitikan lidah dan gigitan lembut saya makin melebar. Perut yang rata, halus dan licin itu memudahkan saya untuk berulang-ulang melakukannya. Saya berinisiatif untuk menggesek-gesekkannya pelan dengan bulu-bulu jenggot yang baru tumbuh. Tentunya ini akan membuat sensasi geli bagi yang merasakannya.

Gairah birahi kembali memenuhi syaraf-syaraf tubuh saya. Konsentrasi untuk menuntaskan nafsu seks telah memenuhi otak saya. Jari jemari tangan saya pelan-pelan bergeser mencapai pinggiran samping bawah celana dalam itu dan dengan cekatan menyusup ke pinggiran atasnya.

Cepat dan sedikit kasar saya menarik celana dalam tersebut keluar dari kaki jenjang itu. Achhhhhhhh, ada kepuasan bathin tersendiri ketika saya mengangkat dengkul dan merengkangkan kaki Linda itu.

Terpangpang jelas area vagina yang dihiasi bulu jembut. Bulu yang menutupin vagina itu sudah basah. Jangan langsung tancap. Begitu suara yang jelas saya dengar menyarankannya. Mainkan dulu. Biar dia benar-benar terangsang. Setan telah menang mutlak atas otak saya. Saya tak kuasa lagi menahan nafsu ini.

Saya memang tidak langsung mengarahkan bibir ke vagina itu. Saya beringsut mundur. Pelan, saya tarik kedua kakinya lurus. Diujung kaki kiri Linda, saya mencoba membangkitkan gairah liar Linda. Dimulai dari ibu jari kakinya, saya kulum pelan-pelan. Saya merasakan Linda tersentak. Berhasil. Linda sedikit menarik kakinya.

Lembut, saya tarik lagi kakinya dan mencium punggung kaki itu sementara tangan kanan saya telah jauh memijat betis hingga belakang dengkul kaki kanan Linda. Saya jilatin paha kanan bagian dalam jengkal demi jengkal. Terus ke atas sampai pada pertemuan pangkal paha.

Linda memegang dan menekan kepala saya. “Sssssss ..” Rintihan Linda saya dengar ketika klitoris itu saya cium. Klitoris itu mengeras sejak tadi. Saya tidak mencium bau yang tidak enak. Ini artinya Linda pintar merawat vagina miliknya. Linda terus menggerakkan pantatnya. Berulang-ulang tangannya menekan kepala saya.

Ia tidak ingin saya menghentikan jilatan-jilatan yang saya lakukan. Sesungguhnya dengan gerakan erotis seperti memutar pinggul tersebut, terkadang divariasikan dengan gerakan seperti menabrakkan vaginanya ke mulut, saya sedikit kewalahan namun demi kepuasannya, saya terus melakukannya.

Selain menjilat, terkadang saya berusaha menggigit kecil klitoris itu. Entah karena cairan kewanitaannya atau karena air liur saya, area vagina itu telah basah kuyup. Kedutan-kedutan otot vaginanya terlihat jelas.

Di antara kedua pahanya, dengan duduk bersimpuh, saya menegakkan tubuh. Entah sudah berapa lama saya berusaha merangsang Linda. Saya melihat Linda memalingkan wajahnya sambil menggigit jari telunjuk kanannya. Tidak sia-sia saya merangsangnya habis-habisan. Rona-rona merah diwajahnya menandakan dia terangsang berat.

Saya melihat kucuran keringat mengalir di pipinya. Rangsangan demi rangsangan yang dirasakannya telah membuat tubuhnya sangat hangat. Saya perjelas penglihatan dengan mendekatkan wajah ke wajahnya. Saya kecup mesra pipinya dan berkata lembut, “Saya teruskan ya bu”. Linda hanya mengangguk pelan. Pandangannya begitu sayu.

Saya telungkupkan tubuh Linda. Mengamati punggungnya mempesonakan bagi saya. Keringat telah membasahi punggungnya. Telapak tangan saya pelan-pelan mengusap keringat itu. Mungkin gerakan mengusap itu dirasakan Linda seperti memijat. Linda begitu rileks. Tak perlu lama-lama, saya langsung mengendus-enduskan nafas di punggungnya itu.

Mulai dari tengkuk leher pelan merambat ke bawah. Mengikuti alur tulang punggungnya sampai ke tulang ekornya. Bongkahan pantat yang bersih, mulus dan kuning langsat itu sungguh menggemaskan. Saya berbaring menimpa tubuh ke tubuh belakangnya. Dalam satu gerakan saya meraih tubuh Linda.

Saya palingkan wajahnya menghadap ke wajah saya untuk memudahkan melumat bibirnya. Sementara tangan kiri menahan wajah Linda agar lumatan kami terus dilakukan, tangan kanan saya leluasa meluncur ke selangkangannya. Tetap membelai bulu-bulu jembut itu, saya mengerahkan segenap jari tangan meraih vagina. Linda paham apa yang saya inginkan. Ia membuka lebar-lebar pahanya.

“Ngghh . ngghh . nggh .”, rintihan kenikmatan Linda menyambutnya ketika jari tengah saya berhasil masuk ke lubang vaginanya. Lendir yang membasahi vagina itu membuat jari tengah saya bisa langsung masuk tanpa halangan berarti. Dengan gerak memutar ke atas dinding dalam vagina Linda, jari tengah saya mencari titik g-spot.

Sebentar keluar sebentar kemudian masuk lagi dan memutar kembali hingga suatu ketika Linda semakin bernafsu mengulum bibir saya. Ketika g-spot yang saya cari berhasil didapatkan, dia menggigit kecil bibir bawah saya.

“Pakkkkk ..”, mengerang panjang sambil melentingkan tubuhnya, mengejang sesaat kemudian Linda terkulai jatuh lemas ke lantai. Linda telah mencapai orgasme total.

Show time !!! reaksi saya langsung cepat. Terburu-buru saya membuka kepala ikat pinggang dan membuka resleting celana. Saya pelorotkan celana panjang berikut celana dalamnya melewati kaki. Saya ingin total menyetubuhinnya.

Saya raih kaki Linda sekaligus merenggangkannya. Lubang vagina itu sudah siap menanti kerasnya batang kemaluan saya. Urat kemaluan yang membesar seiring kerasnya otot kemaluan membuat batang kemaluan saya seperti mengangguk-angguk tatkala ditempelkan dan diusap-usap memutar ke tengah bibir vagina itu.

Vagina itu merespon dengan membuka, menelan lalu perlahan-lahan menyedotnya dengan baik. Sensasi yang luar biasa. Saya tidak langsung mengenjotnya. Saya biarkan otot-otot vagina memijat batang kemaluan.

Saya tatap tajam matanya Linda. Linda tidak membalas tatapan saya tersebut. Ia hanya memejamkan matanya. Saya tidak peduli, apakah artinya suka atau tidak. Komentar saya cuma satu, PEDULI SETAN!!!

Saya raih jemari tangan Linda dan mengangkat hingga sejajar dengan kepalanya. Kembali saya lumat bibirnya. Ganas penuh nafsu. Kaki Linda yang semula menekuk mulai lurus. Gaya lawas, misionaris yang menggetarkan. Ini jelas berakibat hebat pada otot batang kemaluan saya. Saya merasakan otot vaginanya rapat mencengkram.

Uuuuuuuu! Erangan saya memulai genjotan batang kemaluan divaginanya. Pelan, pelan dan pelan saya menggenjotnya. Mengandalkan gerakan pantat bukan pinggul, karena dengan begitu saya dapat memutar batang kemaluan didalam sana.

Berulang-ulang kali Linda mengimbangi dengan menggerakkan pinggulnya juga. Kakinya mulai menjepit belakang kaki saya tapi kemudian melingkar dipinggang saya. Ia memeluk tubuh saya erat-erat. Semakin erat ia memeluk semakin cepat dan keras saya memompanya. Napas kami berderu-deru mengimbangi bunyi yang timbul dari keluar masuknya batang kemaluan saya di lobang vagina itu.

Frekuensi gelombang birahi diantara kami telah sama. Syarat-syarat tubuh kami telah terkoneksi sama, menuntut penuntasan yang seharusnya. Pada akhirnya titik klimaks itu tercapai juga.

“Pakkkkkkk . nggg .. Paaaaakkkkkkk,” Kepalanya mengeleng-geleng kiri – kanan. Linda melengkung tubuhnya dengan begitu hebatnya.

“Sssssss ..” desahnya dan ia langsung melumat bibir saya. Ia telah mencapai orgamesme untuk kesekian kalinya. Namun demikian, ia tidak menghentikan aktifitas seksualnya begitu saja. Mungkin ia paham bahwa saya belum mencapai titik klimaks. Pinggulnya digerak-geraknya maju mundur. Ia ingin membantu saya meraih titik klimaks itu.

“hu .. hu .. hu .” sebentar-bentar ia melumat bibir saya. Kini, tak hanya dengan pinggulnya saja, dengan kedua tangan yang mencengkram pantat saya, Ia membantu gerakan pompaan yang saya lakukan. Tak ayal, jelas membuat saya makin bernafsu dan bersemangat untuk mempercepat pompaan batang kelamin di vaginanya.

Dan lima menit kemudian .. “Crooot . croooot …crooot!” mengalir sudah cairan kenikmatan saya di lubang vagina tersebut. Cairan itu memenuhi dinding dalam dan luar vagina Linda.

Dengan pandangan masih berkunang-kunang, tubuh saya limbung di atas tubuh telanjang Linda. Terdengar jelas hembusan nafas kami berdua berangsur-angsur tenang seiring dengan bangkitnya perlahan-lahan kesadaran akal dan pikiran. Usai itu, tanpa berbicara sepatah kata pun, saya bangkit berdiri dan bergegas berpakaian.

Tanpa memandang sedikitpun ke Linda, saya melangkah ke ruang tamu dan duduk di sofa. Gila !! apa yang saya lakukan tadi ? renung saya. Saya nyalakan sebatang rokok dan menghembuskan asapnya pelan-pelan. Buangnya dindalam lagi . Tolol !!! maki saya.

Cerita sex : Kisah Sex Diperkosa Tapi Nikmat

Tak lama kemudian Linda datang menghampiri saya yang masih duduk termenung. Sambil berdiri, dengan sedikit tersenyum, dibenturkannya pelan dengkulnya dengan dengkul saya, “susah yach jadi perempuan”.

#Kisah #Sex #Advokat #Dengan #Kliennya

Main Dengan Penjaga Toko Yang Bohay Terbaru Malam Ini

Main Dengan Penjaga Toko Yang Bohay 1

Rumah kontrakan yang ku tempati terletak di daerah dekat pasar, walaupun jarak dari kontrakanku ke pasar memang agak jauh kalau berjalan kaki tetapi aku tidak risau. Karena aku pergi ke pasar hanya sesekali sewaktu membeli kebutuhan dapur. Setiap kali aku ke pasar, aku akan berjalan kaki saja dan aku jarang membeli banyak barang.

Di pasar itu, aku sering mengunjungi sebuah kios sedang yang menjual berbagai jenis keperluan dapur. Aku bukan saja dapat membeli semua barang-barang yang aku perlukan, malah aku juga berpeluang untuk berkenalan dengan seorang wanita yang aku taksir berumur lebih kurang 37 tahun. Namanya Ani.

Dia adalah isteri tuan pemilik kios itu. Aku memanggilnya Kak Ani. Dia memang baik dengan ku. Beberapa kali aku mendapat potongan harga dan barang gratis. Ketika dia mengetahui bahwasanya aku bekerja sebagai seorang guru, dia bertambah baik dengan ku. Kebetulan juga anak bungsunya bersekolah di sekolah tempat aku mengajar.

Kak Ani memang ramah, sesuai dengan kerjanya sebagai pemilik kios kebutuhan sehari-hari. Bertubuh agak ramping dan berpostur sekitar 160 cm tingginya. Dia memiliki mata yang jernih dan berkulit cerah. Rambut hitamnya ikal dan panjang melewati bahu. Kak Ani gemar berpakaian ketat terutama di bagian atas tubuhnya.

Kadang-kadang aku merasa gemas apabila terlihat alur di celah dadanya. Beberapa kali Kak Ani “menangkap” aku yang sedang melihat ke dadanya tetapi dia tidak pernah memarahi ku. Malah dia tersenyum. Aku yang salah tingkah jadinya.

Di kios itu juga ada seorang pekerja wanita yang bernama Ina. Dia seorang ibu single parent dan telah lama bekerja di kios itu. Aku tidak pasti berapa umurnya. Mungkin dalam sekitaran 25 tahun ke atas. Aku tidak pernah menanyakan perkara itu pada Ina. Sejak kali pertama aku berbelanja di kios itu, aku mulai tertarik padanya.

Setidaknya, Ina memiliki potongan badan yang cukup menggiurkan dan wajah yang manis. Tingginya hanya sebatas hidung ku. Tubuhnya berisi tetapi tidak gemuk. Bokongnya lebar dan kelihatan padat sekali. Dadanya pun montok sekali. Aku sering memerhatikan Ina setiap kali aku datang ke kedai itu.

Setelah sebulan aku yang bernama Lukman dengan usia 26 bertugas di sekolah itu, aku sudah dapat menyesuaikan diri. Aku sudah dapat menjalani latihan tanpa merasa kikuk hasil bimbingan dari guru mentorku dan guru-guru lain. Aku juga sudah dapat menyesuaikan diri tinggal di dekat pasar itu. Aku sering pergi berjoging atau memancing ikan di sebuah kolam pemancingan yang terletak tidak jauh dari rumah ku.

Kisah pertualanganku bermula pada bulan kedua aku berada di tempat itu. Setelah mendapat kesan yang ramah pada bulan pertama, aku pun berkunjung ke kios Kak Ani untuk membeli keperluan dapur ku yang kebanyakannya sudah habis. Ketika itu aku tidak mengajar karena hari itu libur nasional.

Seperti biasa, Ina membantu aku mencari dan memilih barang-barang yang aku perlukan. Sempat juga aku melirik ke arah dada Ina ketika dia tunduk mengambil barang.

“Besar banget!” Aku sempat mengusiknya.

“Apanya yang besar?” tanyanya agak keheranan.

“Itu, dadanya mbak” Aku memonyongkan bibirku, menunjuk ke arah dadanya.

“Ganjen!” Ina coba mencubit perutku tetapi aku mengelak.

“Kenapa? Belum pernah ngeliat yang besar?”

“Belum.” Aku berbohong.

“Bohong! Orang macam kamu mana mungkin tak pernah ngeliat!”

“Betul, saya gak pernah lihat kok”

“Yang tadi tuh apa?”

“Yang tadi gak keitung lah. Baru ngintip sebagian aja!”

“Terus, mau lihat semuanya Toh?”

“Kalau dikasih lihat, saya mau kok. Hehehe..”

“Ganjen juga kamu ya?”

Setelah selesai memilih barang-barang, aku membawanya ke counter bayar. Agak terkejut juga aku saat melihat jumlah barang-barang ku yang agak banyak. Aku sempat berniat untuk mengembalikan barang-barang yang aku rasakan bisa dibeli lain kali tetapi aku segan karena semuanya sudah berada di atas counter. Mau tak mau, aku terpaksa membayar untuk kesemuanya.

Mungkin setelah melihat aku bersusah payah mengangkat barang-barang itu, Kak Ani segera menegurku.

“Pak guru, gimana mau bawa barang-barang tu? Kan banyak banget tuh?”

“Pikul sendiri saja lah, kak. Mau bagaimana lagi?”

“Pak guru, tunggu bentar, ok? Nanti kakak tolong antar pak guru pulang”

“Eh, tak usah lah, kak. Menyusahkan saja”

“Tak apa… Kakak sekalian mau jemput anak kakak dari sekolahan. Dia kan ikut latihan olahraga? Kkak hantar dulu pak guru. Habis itu pergi jemput dia.”

“Kalau gitu, ok lah.”

Aku menunggu lebih kurang 15 minit sebelum Kak Ani mengajak aku ke mobil Pajeronya. Aku meletakkan barang-barang ku di tempat bagasi dan kemudian duduk di sebelah Kak Ani. Ada perasaan bangga juga karena dapat naik mobil macam itu. Mobil Kak Ani pun meluncur menuju ke jalan utama.

“Pak guru tinggal dimana?” tanya Kak Ani.

“Rumah kontrakan Kahuripan yang di atas bukit tu. Kakak lewat jalan belakang pasar aja.”

“Bagus gak tempatnya, pak guru? Setahu kakak, tempat tu penuh dengan macam-macam jenis orang. Perempuan kelab malam banyak yang tinggal di tempat itu.”

“Mereka tinggal di sebelah belakang. Rumah saya yang dekat dengan jalan raya. Saya ini gak seberapa gajinya, kak. Mana lah mampu buat sewa tempat yang mewah dikit. Tempat itu aja yang saya mampu.”

“Tak apa lah, pak guru. Tak lama lagi kan bapak diangkat jadi pengajar resmi iya toh?”

“Iya. Cuma tinggal 2 bulan. Tapi sekolahannya bagus kan kak?

“Bagus”

“Apalagi disini bisa cuci mata tiap hari.”

“Ngelihatin cewek pasti yah!”

“Dikasih lihat ya dilihat dong kak. Hehehe”

Perbincangan kami bergeser hingga ke perkara yang agak peribadi. Pada mulanya aku merasa agak janggal juga tetapi melihat Kak Ani yang cuek, aku kemudian tidak lagi merasa begitu.

“Pak guru pernah gak pergi dengan perempuan-perempuan kelab malam itu?”

“Maksudnya kak?

“Ya gitu, ikut mereka ke kelab malam. Lalu…”

“Lalu… apa?”

“Tidur dengan salah seorang dari mereka?”

“Oh… itu. Gak pernah kok, kak. Mana ada saya ada duit buat bayar dia.

Bermula dari situ Kak Ani banyak menanyai aku. Seperti sebelumnya, kebanyakan pertanyaan Kak Ani bersifat peribadi tetapi aku tidak sungkan menjawabnya. Biarlah. Terlebih aku menganggap semuanya sekadar hal sepele biasa.

“Anda punya pacar tidak, pak guru?” tanyanya lagi.

“Dulu ada, masa awal kuliah. Sekarang udah gak ada.”

“Emang kenapa putusnya?”

“Gak cocok kak, jadi udahan”

“Pak guru pernah kelonin dia tidak?

“Dengan dia sih belum tapi sebelum dengan dia, memang saya pernah tidur dengan perempuan.”

“Betulkah itu, pak guru?”

“Betul. Waktu tu memang mikirnya perempuan melulu. Kami sama-sama suka, jadi puas melakukannya.”

“Lalu sekarang bagaimana?”

“Entahlah, kak. Saya belum kepikiran lagi, tapi kalau ada yang mau ke saya, ya saya embat”

Karena Kak Ani yang lebih banyak menanyaiku, aku mulai merasa tak enak. Kemudian aku memutuskan untuk bertanya apa saja yang terlintas di pikiran ku kepada dia.

“Kakak ini, banyak nanya banget. Kakak sendiri gimana?”

“Apanya yang gimana?”

“Begini loh kak, Saya belum pernah ngelihat suami kakak.”

“Suami kakak?” Kak Ani segera memotong kata-kata ku.

“Suami kakak jarang ada disini. Kios itu pun kakak seorang aja yang urusi”

“Dia kemana, kak?”

“Sejak dia kawin lagi, dia jarang datengin kakak. Lagian, dia udah buka kios baru di kota isteri mudanya”

“Begitu rupanya. Kakak gak cemburu, suami kakak asyik dengan isteri mudanya?”

“Mulanya cemburu juga tapi sekarang udah nggak. Kakak pun sebenarnya udah gak ngurusin dia mau apa kek.”

“Kenapa kok gitu?”

“Dia kan udah punya bini muda. Kakak ni udah gak diperhatiin lagi. Maklumlah udah tua. Udah gak nikmat lagi mungkin.”

“Yang tu saya gak bisa komen apa-apa. Itu urusan pribadi kakak dan suami. Tapi pada pandangan saya, kakak ni masih muda juga, masih menawan lagi. Saya heran juga kenapa suami kakak perlakukan kakak begitu.”

“Entahlah, pak guru. Segala cara udah kakak usahakan tapi gak ada hasil. Kalau ada pun cuma sebentar. Habis itu dia balik lagi dengan sikapnya semula. Kakak udah gak sanggup lagi.”

“Boleh saya tanya satu masalah pribadi, kak?

“Soal apaan sih?”

“Kakak udah lama gak bareng dengan suami?

“Tidur dengan dia?”

Aku mengangguk. Kak Ani terdiam sejenak sambil tangannya memegangi stir mobilnya. Aku menyimak seksama wajahnya yang jelita seperti tidak dimakan usia itu. Memang tidak sepadan dengan usianya.

“Kalau soal tidur di rumah kakak sih, memang setiap kali dia pulang ke rumah kakak kadang-kadang dia tidur di sofa ruang tamu. Tapi kalau menyentuh saya dan membuat hubungan suami-isteri memang udah lama enggak. Kakak udah tak ingat kapan kali terakhir dia sentuh kakak.”

Aku terus memperhatikan wajah Kak Ani. Ada raut kecewa di wajahnya. Dahinya sesekali berkerut. Timbul rasa bersalahku kerana menanyai Kak Ani soal itu.

“Sorry, kak, saya tanyain soal itu tadi.”

“Eh… gak apa kok. Kakak gak masalah. Harusnya kakak berterima kasih pada pak guru. “Emangnya kenapa?” Aku kebingungan.

“Udah lama sekali kakak pendam rasa kecewa kakak ini. Untungnya ada pak guru. Bisa curhatin isi hati kakak.”

“Itulah gunanya teman, kak.”

Kak Ani berpaling kepada ku lalu tersenyum manis. Kami terus mengobrol lagi dan tidak lama kemudian, kami tiba di luar rumah kontrakan ku. Sebelum meninggalkan rumah sewa ku, Kak Ani sempat bertanya sesuatu kepada ku.

“Pak guru, tunggu bentar ya!

“Ada apa, kak?”

“Akhir pekan ini pak guru senggang gak?”

“Rasanya sih begitu, kak. Kenapa?”

“Kakak mau pergi ke kota Y weekend ini. Saja mau shopping. Kakak udah lama gak pergi jalan-jalan. Pak guru bisa temenin kakak, gak?

Aku pura-pura berfikir sejenak walaupun sebenarnya aku memang ingin sekali menemaninya. Siapa yang bakal menolak ajakan dari wanita yang menawan seperti wanita di hadapan ku itu? Kak Ani menjadi tidak sabar karena aku begitu lama memberi jawaban.

“Ayolah, Pak guru bisakan temani belanja, ok?

“O.K..no problem! Tapi cuman temani kakak belanja aja yah”

“Gitu dong, pak guru. Nanti kakak kasih tau pas kita mau pergi.”

Aku mengangguk tanda paham. Kak Ani kelihatan gembira. Setelah Kak Ani pergi, aku pun mengangkat barang-barang yang aku beli tadi masuk ke dalam rumah.

Pada waktu sore di hari yang sama, aku seperti biasanya duduk di depan pintu rumah kontrakan ku sambil membaca. Memang itu lah kebiasaan ku jika aku tidak pergi berjoging. Sore itu agak mendung menandakan hari akan hujan. Aku segera mengangkat pakaian yang ku jemur ke dalam rumah. Kemudian aku kembali membaca majalah kegemaran ku.

Sedang asyik membaca, tiba-tiba aku disapa oleh seseorang. Aku mendengar suara perempuan. Aku mengangkat muka ku dan menoleh pada sosok seorang perempuan yang sedang mendorong sepedanya ke arah ku. Dia tersenyum manis. Di belakangnya terpasang sebuah tas.

“Mbak Ina! mau apa ke sini?” Aku agak terkejut melihat kehadiran Ina di tempat ku.

“Ina emang suka lewat sini kok.”

“Memangnya Ina tinggal dimana, lewat sini?”

“Ina menyewa kontrakan di kampung bawah. Tadi Ina pergi ke rumah saudara Ina. Ina awalnya ingin numpang bermalam disana tapi dia tidak ada di rumahnya. Lalu lewat sini, Ina ngelihat Lukman duduk di depan”

“Mau kemana sekarang mbak?”; tanya ku lagi.

“Mau pulanglah, tapi Ina mau mampir sini dulu. Kawan-kawan Ina pergi ke kota Y pagi tadi. Ina cuma sendirian di rumah. Ina malas mau pulang duluan. Boleh Ina numpang sebentar?”

“Silakan duduk”; Aku menjemput Ina duduk di atas bangku panjang yang terletak di tepi pintu. Ina sempat menolehkan kepalanya ke dalam rumah ku dari luar.

“O.K juga tempat tinggalnya Lukman ini. Tapi apa gak takut tinggal seorang diri dalam rumah? Cuma rumah ini aja di depan jalan ini , lainnya di belakang”

“Tak ada yang mesti ditakutkan. Lagian juga dekat dengan rumah pemiliknya.”

Belum juga lama kami berbincang, hujan mulai turun dengan lebat sekali disertai dengan angin yang kuat. Aku segera mengajak Ina masuk ke dalam rumah dan menutup pintu seta jendela. Bunyi hujan jatuh menimpa atap seng rumah kontrakan itu begitu keras sekali sehingga kami terpaksa mengobrol dengan suara yang keras juga.

Sambil menunggu hujan reda, kami kembali mengobrol. Sebelum itu, aku masukkan sepeda Ina ke dalam rumah khawatir akan dicuri orang. Banyak hal yang kami obrolkan hingga tidak terasa waktu berlalu. Aku sempat membuka jendela dan melihat ke luar rumah.

Tidak ada tanda-tanda hujan akan reda karena masih lebat meski tidak lagi disertai angin yang kuat. Suasana juga sudah mulai gelap. Aku melirik jam tanganku. Waktu menunjukkan pukul 6 malam. Perutku berbunyi menandakan ia perlu diisi segera.

“Mbak Ina, saya mau makan dulu nih. Ayolah kita sama-sama makan.” Aku mengajak Ina.

“Eh, gak usah lah, Man. Ina bisa makan di rumah nanti.”

“Gimana mau makan? Mau pulang juga belum tentu bisa. Kalau mau pulang pun gak akan saya bolehin.”

“Emang kenapa?”

“Lihat aja diluar. Hujan lebat. Sudah gelap gulita pula. Kalau terjadi apa-apa diluar, mbak juga yang susah. Sudahlah mbak biar bermalam disini saja. Besok pagi baru pulang”

“Bener gak papa gitu, Man?”

“Emangnya saya suka ngebohong..”

“Ina takut ih..” Ina memandang ku sambil tersenyum manja.

“Kalau pulang malam, takutnya ada apa-apa”

“Baiklah, baiklah”

“Sudahlah, Mbak Ina bermalam disini saja. Mbak jangan cemas. Saya mau siapin makanan dulu.”

Aku bangun meninggalkan Ina menuju dapur. Ina juga bangun lalu mengikuti ku. Aku memanaskan kembali makanan yang telah aku masak pada siang tadi. Ina membantu aku menyajikan makanan.

Setelah itu kami makan bersama. Aku agak bernafsu makan kerana makan ditemani pada malam itu. Sambil makan, kami mengobrol tetapi kami lebih banyak mengobrol tentang makanan.

Selesai makan, kami membereskan meja makan. Ina mencuci wadah di wastafel sementara aku membersihkan meja. Kemudian kami kembali duduk di ruang tamu. Ina kelihatan agak kikuk berada dalam kontrakan ku itu. Maklumlah rumah orang. Dia duduk di hadapan TV sambil menjelajahi timbunan majalah dan buku-buku cerita yang disusun di atas rak di bawah TV.

“Banyak juga koleksimu, Man. Boleh Ina pinjam kan?”

“Ambil aja. Saya udah baca semua. Eh, saya mandi dulu ya, Mbak. Duduk sini saja ya.. Baca buku yang mbak suka.”

Aku meninggalkan Ina di situ, mengambil kain handuk dan bergegas ke kamar mandi. Aku tidak berniat untuk mandi lama-lama karena tubuh ku tidak terasa gerah. Sambil mandi, aku membasuh pakaian kotor ku. Lebih kurang 20 menit kemudian, aku selesai mandi dan berpakaian. Kemudian, aku pergi mendapatkan Ina di ruang tamu.

“Mbak Ina, gak mandi?”

“Bentar lagi” Jawabnya pendek sambil membaca sebuah buku.

Aku melihat judul buku yang sedang dibacanya. Buku itu berisikan koleksi cerita-cerita erotis. Aku tersenyum sendirian. Nampaknya Ina sedang khusyuk membaca. Dia menyandar pada dinding. Aku tidak berniat mau mengganggunya.

Aku mengambil tas kerja ku dan mengeluarkan isinya. Persediaan untuk mengajar pada esok hari masih belum aku selesaikan. Aku mulai menyiapkannya termasuk alat-alat media mengajar. Sesekali aku melirik ke arah Ina yang kerap mengubah cara duduknya.

Setelan kerjaan mengajarku siap, aku memasak air di dapur karena aku ingin bikin kopi panas. Setelah air itu mendidih, aku menyediakan segelas kopi. Kemudian aku kembali ke ruang tamu untuk menonton TV. Aku menghidupkan TV dan duduk merentangkan kaki di depannya. Ina masih membaca. Tiba-tiba Ina bersuara.

“Ina mau mandi dulu.” Katanya lalu berdiri.

“Mbak bawa handuk?” tanyaku.

“Bawa. Ina ada bawa pakaian juga. Tadi kan Ina mau bermalam di rumah saudara Ina itu.” Jawab Ina sambil berlalu ke kamar mandi.

Aku tersenyum sendirian. Aku yakin sekarang Ina sedang mengalami desakan birahi setelah membaca buku itu tadi. Hanya orang yang tidak normal saja yang tidak terusik nafsunya bila membaca cerita-cerita erotis seperti dalam kisah di buku itu.

Apalagi Ina mungkin sudah lama tidak disentuh lelaki. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di antara kami pada malam itu tetapi aku pasti tidak akan menolak untuk melalui malam yang penuh kenikmatan dan kehangatan bersama dengan wanita yang menggiurkan itu.

Siaran berita di TV mengejutkan aku dari lamunan. Aku kembali perhatikan layar TV di hadapan ku. Seketika kemudian aku terdengar pintu kamar mandi dibuka. Ina pasti sudah selesai mandi. Aku menoleh ke belakang dan melihat Ina sedang berdiri sambil mengeringkan rambutnya.

Dia mengenakan celana stretch selutut dan T-shirt putih yang agak kecil ukurannya sehingga dadanya kelihatan menonjol ke depan. Apabila bajunya terangkat ke atas sedikit, aku dapat melihat bentuk kelamin nya yang aduhaii, begitu tembem sekali. Aku menelan air liur kerana sangat bernafsu melihat pemandangan itu. Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan ku ke arah TV kembali.

Ina beralih dari belakang dan duduk bersimpuh di sebelah ku. Aku tercium bau wangi dari tubuhnya. Dia masih mengeringkan rambutnya. Kemudian dia mengambil kembali buku yang dibacanya tadi dan membuka halamannya.

“Belum selesai baca toh?” tanyaku.

“Belum, tinggal dikit lagi.”

“Bagus gak ceritanya?”

“Lumayan, Emangnya Lukman doyan baca tulisan kaya gini yah?”

“Enggak juga sih. Kadang-kadang aja. Kalau pergi ke toko buku, saya memang suka beli 2 atau 3. Kalau mau, Mbak bawa saja yang mbak suka pulang ke rumah besok. Itu masih ada lagi di rak.”

“Nantilah Ina pilih. Ina baca yang ini habis dulu.” Ina menyambung bacaannya dan aku kembali menonton. Belum pun lama duduk, Ina mengubah kedudukannya. Dia rebahan tengkurap sambil menyangga tubuhnya dengan siku tetapi tidak lama. Mungkin dia tidak begitu nyaman.

“Ina pinjam bantal boleh gak? Ina gak enak dengan lantai semen ni. Keras!”

“Ambil saja sendiri di kamar itu.”

Ina segera bangun untuk mengambil bantal. Kemudian dia kembali dan merebahkan diri lagi di sebelah kananku. Aku melirik ke arahnya. Aku memperhatikan bagian belakang tubuhnya dari kepala sehingga ke bokongnya. Aku pastikan Ina tidak memakai bra kerana aku tidak dapat melihat cetakan bra nya di balik bajunya itu. Hingga membayang bentuk puting buah dadanya kelihatan di dadanya

Semakin lama aku melihat pemandangan itu, semakin bernafsu pula aku. Aku merasa sukar untuk tetap menyimak acara di TV. Pikiranku sudah mulai melayang jauh. Aku mulai membayangkan suatu kenikmatan.

Lama aku memikirkan bagaimana caranya aku dapat “menawan” wanita di sebelahku itu dan membawanya ke dalam pelukan ku. Aku memutuskan untuk mencoba apa saja cara yang aku bisa pikirkan sehingga wanita itu dengan rela menyerahkan dirinya kepadaku. Jika berhasil, malam itu pastinya akan dipenuhi dengan kenikmatan yang tiada taranya.

Aku sudah nekad. Aku harus melakukan sesuatu. Apa yang terjadi, terjadilah. Aku melirik kearah Ina lagi sambil mengubah cara duduk ku bersila.

“Heyy” aku menyenggol bahu kiri Ina dengan lenganku. Aku menunduk lalu mendekatkan wajah ku ke sisi kiri kepalanya.

“Khusyu banget bacanya… sampai gak peduli dengan saya!” Aku coba menarik perhatiannya tetapi Ina tidak berkata apa-apa. Ina hanya tersenyum sedikit. Tanpa disengaja, tangan kanan ku merangkul bahu kanan Ina.

“Jangan terlalu serius, Nanti nafsu naik, Kalau naik nanti, Mbak juga yang susah..” usik ku separuh berbisik.

Perhatian Ina pada buku mungkin sudah sedikit beralih sehabis menerima gangguan ku. Aku terus menundukkan kepala sambil coba memandang terus wajahnya. Tiba-tiba senyumannya melebar. Ina mengangkat buku yang dipegangnya lalu menutup mukanya. Agaknya dia merasa malu. Aku tersenyum juga ketika melihat gelagatnya itu.

“Eee, macem-macem banget sih kamu! Ina lagi baca nih!” Suaranya dibuat-buat galak tetapi malah kedengaran begitu manja sekali.

“Mbak baca saja. Saya gak akan ganggu” Kataku sambil menepuk-nepuk belakang bahunya.

Aku tidak mengangkat tangan ku dari punggung Ina malah terus menepuk-nepuk lembut di situ. Aku melihat ke arah TV kembali. Pada saat yang sama, aku meneruskan aktivitas tangan ku. Sesekali aku menggosok-gosok dengan perlahan. Ina pun tidak coba menghalangi aku berbuat demikian. Walaupun aku memang ingin merasai kenikmatan tubuh Ina ketika itu, aku tidak mau tergesa-gesa. Aku tidak mau Ina merasa tidak senang atau ketakutan jika aku terlalu berani.

Untuk sesaat kami langsung tidak bersuara. Yang kedengaran hanyalah suara dari TV. Dalam momen itu Ina mengubah posisinya beberapa kali. Sebentar tengkurap, sebentar berbaring terlentang dan sebentar kemudian dia berbaring miring.

Aku tidak tahu pasti apakah dia merasa lelah atau malah dia sudah dikuasai nafsu akibat membaca cerita-cerita erotis itu. Melihat pergerakan-pergerakan yang dibuat oleh Ina itu, aku mengalihkan perhatian ku kembali kepadanya. Aku merangkul bahu kanan Ina lagi ketika dia telungkup di sebelah ku kembali.

“Mbak Ina, kenapa sih? Kayaknya ga nyaman? Sebentar-bentar baring, sebentar-bentar tiarap?”

“Capek”, Jawabnya pendek.

“Masa iya? Jangan-jangan udah kena pengaruh cerita tuh…” Aku coba mengusiknya lagi dengan harapan ia akan membuka ruang untuk aku “menawannya”.

Ina tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Aku merasa lega dan keyakinan ku mulai muncul. Kalau tepat caranya, pasti wanita itu akan dapat ku tawan. Aku memberanikan diri untuk merangkulnya sambil berbisik kepadanya.

“Sudah lah mbak. Jangan baca terus. Nanti basah tuh di bawahnya.”

“Memang udah basah, kali” Ina menjawabku.

Aku tidak menduga Ina akan berkata begitu tetapi hati ku melonjak kegembiraan. Ingin rasanya aku menerkam wanita itu ketika itu juga tetapi aku tetap tidak mau tergesa-gesa. Aku kembali meletakkan tangan ku pada punggung Ina.

“Mbak Ina, mbak gak pakai bra ya?” Entah kenapa aku keceplosan hingga pertanyaan itu keluar dari mulutku.

“Nggak..Ina memang biasa gak pakai bra kalau tidur malam.”

“Pantesan putingnya keliatan nonjol…”

“Lukman perhatiin puting Ina ya?”

“Iya… bentuknya kayaknya besar tuh.”

Ina mendongak ke arah ku saat mendengar kata-kataku. Aku terkaget tai berusaha rileks saja. Aku semakin yakin telah berhasil menarik perhatian Ina.

“Menurut Lukman puting Ina besar?”

“Mana saya tau… Belum pernah saya lihat. Saya cuma lihat bentuknya dibalik baju mbak aja.

Eh mbak gak bagus loh perempuan tengkurep kayak gitu.”

“Emang kenapa?”

“Kata orang, tengkurep begitu bisa bikin buah dada perempuan menggelayut dan kelihatan penyek apalagi yang berdada besar kayak mbak.”

“Ah, masa iya sih?”

Aku tidak menjawabnya. Aku tidak pasti apa Ina termakan kata-kata ku atau tidak tetapi dia segera bangkit dari tengkurap. Kupikir dia hendak duduk tetapi dia ternyata memilih berbaring. Aku agak kecewa karena tidak berpeluang untuk merangkulnya lagi apabila dia berbaring begitu.

Kemudian dia bersuara, “Sesekali tengkurap gakkan bikin dada Ina terus jadi begitu.”

“Jangan marah, Saya cuma kasih tau apa yang saya dengar dari orang.”

“Ina gak marah… cuma bete.. Udah dibilang puting Ina besar. Habis itu dikatain dada Ina menggelayut.”

“Alaaa, jangan gitu dong mbak. Saya gak pandai ngerayu orang. Sorry..sorry..ok?” Ina memanyunkan bibirnya. Aku tahu dia cuma pura-pura kesal tetapi aku hadapi juga perangainya itu. Perempuan memang suka bila kita menunjukkan bahwa kita sanggup hadapi ulah mereka..

“Jangan bete lagi… ok? Sini… saya cium sedikit pipi nya…” kataku lalu menunduk mengecup lembut pipi kanan Ina. Dia tidak coba mengelak atau mencegah ku. Ia bagaikan lampu hijau untuk meneruskan apa yang aku ingin lakukan seterusnya.

Untuk menghangatkan suasana yang semakin mesra itu, aku coba bergurau dan mengusik Ina. Dia masih memegang buku yang dibacanya tetapi aku yakin dia tidak membacanya sepenuh perhatian. Mungkin dia sedang menanti apa yang akan aku lakukan seterusnya. Tangan kanan ku memang sedari tadi sudah berada di tepi perutnya setelah aku mencium pipinya.

“Mbak Ina, apa iya dada mbak Ina gak menggelayut?” aku bertanya sekadar bergurau. Ina tiba-tiba mencubit rusuk kanan ku. Aku segera menangkap tangannya dan terus ku genggam erat. Aku tidak mau melepaskannya dengan alasan aku tidak mau kena cubit lagi. Ina tidak memprotes.

“Eh, jawab dong mbak..”

“Enggak kok, kalo Ina lihat sih masih kenceng” jawabnya tanpa memandang ku.

“Biar gak ngegelayut digimanain sih mbak?”

“Ina pakai cream.”

“Cream apaan sih?”

“Ya gitu cream pengencang dan penguat otot-otot payudara.”

“Bukan cream untuk membesarkan payudara?”

“Ngapain mau dibesarkan lagi. Udah cukup besar juga!”

“Oh, ngefek gak produk nya?”

“Entah lah tapi kayaknya sih ada efeknya juga.”

Aku menjadi tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang cream itu. Sebelum itu aku pernah mendengar tentang cream seperti itu tetapi tidak pernah sekalipun aku melihat sendiri bentuknya maupun efek pemakaiannya.

“Mbak pakai cream itu tiap hari?”

“Iya… rugi dong kalau gak dipakai, Udah harganya mahal.”

“Mbak make creamnya kapan?”

“Waktu malam sebelum tidur. Olesin dan urut aja.”

“Mbak udah make creamnya tadi?”

“Belum sih”

“Mbak bawa cream itu?”

“Bawa, di tas tuh. Lukman mau ngapain dengan benda tu? Mau make juga? Hehehe”

“Hisshhh! Saya mau lihat doang kok mbak”

Tanpa disuruh, Ina terus bangun dan pergi mengambil cream itu. Kemudian dia kembali dan memberikan cream itu kepada ku. Ina berbaring kembali. Aku memperhatikan wadah cream itu. Sempat juga aku mencium aroma cream itu.

“Harum” kata ku.”Makenya gimana nih mbak?” tanya ku kemudian.

“Oles dan urut. Kan tadi Ina dah bilang?”

“Iya, tapi mau olesin dan urutnya dimana?”

Ina tertawa terkikik. Aku menjadi gemas saat melihatnya ketawa begitu. Tubuhnya bergoncang saat dia tertawa. Buah dadanya yang montok itu pun turut bergoncang.

“Olesin pangkal payudara… dan urut lebih kurang 10 menit hingga cream itu menyerap ke dalam kulit dan kering.” Jelasnya.

“Hmm, tadi mbak bilang mbak Ina belum ngolesin cream ini kan?”

“Iya, emang kenapa?”

“Saya oles dan urut creamnya untuk mbak boleh gak?”

“Hisshhh, gak mau ah!”

“Emang kenapa?”

“Ina malu, kalau kamu lihat tubuh Ina!”

“Laah, kenapa mesti malu? Cuma saya sendiri yang lihat kok. Lagian, bukannya saya udah lihat tadi sore. Masa mbak lupa yang di kios?”

“Ganjen!” kata Ina sambil coba mencubit aku lagi tetapi aku masih sempat menangkap tangannya.

“Mbak Ina baring aja, biar saya yang olesin yah?”

“Ina malu, lampunya nyala jadi terang gini”

“Gak apa, nanti saya matiin deh. Kita pakai cahaya dari TV doang, ok?”

Aku segera bangun untuk mematikan lampu. Hati ku melonjak-lonjak kegembiraan. Peluang sudah terbuka luas untuk ku. Ruangan itu serta merta menjadi gelap. Hanya cahaya dari TV saja yang menerangi ruangan itu membuat suasana menjadi romantis.

Aku mendekati Ina kembali. Tanpa menunggu aku duduk di sebelah tubuh Ina. Sebelah kaki ku berlipat di bawah pantatku. Sebelah lagi aku gunakan untuk menyangga tubuhku agar lebih mudah aku mengurut nanti.

Dengan perasaan agak berdebar-debar aku mendekati tubuh Ina dan menyentuh perutnya. Sebelah kakinya selonjor dan yang sebelah lagi dibengkokkan. Perlahan-lahan aku mendorong baju yang dipakainya ke atas.

Aku sempat melihat wajah Ina. Dia hanya perhatikan apa yang aku lakukan. Aku menarik bajunya ke atas sehingga buah dadanya jelas kelihatan. Sungguh aku terpesona melihat pemandangan di hadapan ku itu.

Buah dada Ina memang seperti bayangan ku. Aku menaksir ukurannya mungkin 34d atau 36d. Putingnya sebesar kuku ibu jari tanganku. Bentuk yang besar itu membuatkan buah dadanya jatuh ke sisi tubuhnya tetapi tetap menonjol keatas.

Aku mengambil cream payudara tadi dan kemudian bertanya kepada Ina tentang cara-cara mengurut yang betul. Setelah dijelaskan oleh Ina, aku menyuruh Ina memegang bajunya sementara aku mengoleskan cream itu di sekeliling pangkal kedua buah dadanya. Perlahan-lahan tetapi yakin, aku mulai mengurutkan.

Aku memegang pangkal buah dada kanan Ina dengan kedua telapak tangan ku dan mulai mengurut ke atas tetapi aku tidak menyentuh putingnya. Aku melakukannya beberapa kali sebelum aku mengurut secara memutar ke arah luar tubuhnya. Selesai dengan buah dada kanan, aku beralih ke buah dada kirinya. Aku melakukan urutan yang sama seperti tadi.

Main Dengan Penjaga Toko Yang Bohay

Setelah beberapa menit, aku mengoleskan cream lagi. Aku mau mengulangi lagi urutan ku karena aku memang tidak berniat untuk berhenti. Aku sudah mulai melihat tanda-tanda yang menunjukkan Ina sedang menikmati urutan ku tadi.

Nafasnya tertahan-tahan setiap kali aku melakukan urutan. Dadanya terangkat-angkat mengikut irama urutan ku. Kakinya pun bergerak-gerak. Apabila aku melirik ke arah wajahnya, aku melihat matanya terpejam rapat. Gigi atasnya menggigit bibir bawahnya. Semua itu menunjukkan nafsu sudah menguasainya.

Aku tidak mau berlama-lama lagi. Urutan ku pada payudara Ina dimulai sekali lagi. Kali ini, agak lebih kuat agar Ina lebih merasakan urutan itu. Setiap kali aku mengurut ke atas, aku sengaja menyentuh putingnya sehingga ia mulai kelihatan mengeras! Tidak cukup dengan itu, aku turut memencet-mencet lembut putingnya.

Tubuh Ina terangkat-angkat lagi. Bergantian buah dada itu diurut tangan ku dengan penuh semangat. Aku pastikan Ina sudah dibuai oleh kenikmatan yang dialaminya. Nafasnya sudah tidak menentu. Sesekali dia menggenggam tangan ku.

“Enak gak saya urut?” bisik ku di telinganya.

“Enak.. Enak, Man… Enak, pak guru…” suaranya seperti sulit untuk dikeluarkan.

Aku tersenyum. Memang jelas Ina sudah sulit untuk menahan nafsunya. Aku sendiri juga begitu. Nafsuku memang sudah terasa di ubun-ubun kepala. Urutan ku sudah tidak beraturan lagi. Aku tidak hanya mengurut malah meremas-remas buah dada Ina semauku.

“Mbak Ina, buka bajunya..” aku berbisik di telinganya sambil tangan ku coba untuk menarik bajunya ke atas.

Ina tidak menjawab apa-apa. Matanya masih terpejam rapat tetapi aku yakin dia mendengar kata-kataku. Ina mengangkat sedikit tubuhnya untuk memberi ruang untuk aku melepaskan bajunya dari arah kepalanya. Bajunya aku lepaskan. Kini tubuh montok itu sudah separuh telanjang.

Hanya bagian bawah tubuhnya yang masih bertutup. Aku menatap tubuh montok itu dengan penuh nafsu sambil tangan ku merayap dari perutnya sehingga ke dadanya. Tiba di dadanya, aku menjamah buah dadanya dan meremas lembut. Kedua tangan Ina memegang tangan ku, mengikuti setiap pergerakannya.

Aku sudah dikuasai nafsu. Aku menunduk, memberanikan diri untuk mengecup pangkal buah dada Ina. Ina segera menangkap kepala ku. Aku kira Ina mau menahan atau mendorong kepala ku tetapi tidak. Sebaliknya dia menarik kepala ku membuat mulutku terus menempel pada buah dadanya.

Aku mengecup buah dadanya lagi berkali-kali. Aku sengaja tidak mengecup atau menyentuh putingnya, hanya mengecup dan menjilat lembut di sekitar pangkal kedua buah dadanya saja. Sekali-kali aku menghisap gunung kembar miliknya.

Tubuh Ina terangkat-angkat seolah-olah menginginkan aku menyentuh puting buah dadanya. Suara desahan dan nafas Ina sudah sedari tadi memenuhi ruangan itu bersamaan dengan bunyi nafasku sendiri dan bunyi hujan yang deras di luar rumah.

Aku meneruskan kegiatanku. Tangan ku merayap ke sana sini di atas tubuh Ina. Beberapa kali juga aku terpaksa mengubah cara duduk ku agar lebih nyaman.

Bukan hanya buah dadanya yang menerima serangan ku tetapi seluruh bagian tubuhnya yang sudah terbuka menjadi sasaran kecupan, jilatan dan hisapan ku. Tubuh Ina meliuk-liuk saat menerima serangan ku yang bertubi-tubi.

“Hisap, Man, hisap puting Ina, Oouuhhh..” Ina merintih, meminta aku melakukan seperti yang diinginkannya.

Aku sengaja tidak memperdulikannya. Aku masih bersemangat untuk menyerang bagian lain pada tubuhnya. Tangan ku yang pada mulanya hanya asyik bermain dengan buah dada Ina mula merayap ke bawah, menuju ke paha montok Ina.

Aku merasa kurang nyaman melakukan aktivitas cabul ku di tubuh Ina dalam keadaan menunduk dengan separuh duduk begitu. Belum sempat aku mengatur kedudukan tubuh ku, Ina menarik kepala ku dengan kedua tangannya sehingga aku terpaksa merebahkan tubuh ku di sisinya. Dia menarik muka ku ke dadanya.

“Cepat… Man. Hisap puting Ina..please…”

Aku menuruti kehendaknya. Putingnya yang keras itu mulai ku jilat sekelilingnya lalu aku hisap-hisap lembut. Aku memegang pangkal buah dada Ina dan menekannya sehingga buah dadanya tertonjol ke atas.

Kemudian aku melahap puting Ina hingga ke pangkalnya dan seterusnya menghisap dengan kuat sebelum aku melepaskannya kembali. Aku mengulangi perkara itu beberapa kali sehingga Ina mendesah-desah dan mengerang. Suara erangannya membuat aku semakin bernafsu.

Nafas ku agak berat dan sulit karena Ina yang merangkul tengkuk ku dengan agak kuat. Untuk sementara aku berhenti menyerang buah dadanya dan mengalihkan perhatian ku ke bagian bawah tubuh Ina. Kami sudah sama-sama terbaring.

Aku meletakkan paha ku di antara selangkangan Ina sementara tangan ku menarik paha kanannya untuk menjepit pahaku. Setelah merasa agak nyaman dengan posisi badan kami begitu, aku kembali menyerang dada Ina. Sambil sengaja menggosok-gosok pahaku di atas tonjolan yang berada di celah selangkangan Ina membuat Ina semakin kuat menjepit paha ku.

Aku mulai merasa sedikit bosan setelah cukup lama bermain-main dengan buah dada Ina. Aku beralih arah. Lehernya yang terpampang kini menjadi sasaran ku. Mulutku terus saja mendarat di atas kulit lehernya yang licin. Aku mencium aroma harum di situ. Aku mengecup lembut diselangi dengan jilatan-jilatan yang bernafsu.

Dari leher, aku beralih pula ke atas. Bibir Ina yang separuh terbuka itu dipaksa menerima kehadiran bibir ku. Bibir kami bertaut erat. Lidah kami saling membelit. Kulumannya menjadi hangat, saling berlarutan untuk sekian waktu.. Bibir kami terlepas hanya untuk mengambil nafas dan kembali bertaut lagi.

Tangan ku tidak berhenti-henti bermain di dada Ina, di buah dadanya dan putingnya. Paha ku menekan-nekan celah selangkangannya. Mulut kami masih saling berkuluman. Keinginan ku hanya satu saja saat itu yaitu membawa Ina mencapai puncak berahinya. Tetapi aku harus melakukan perananku dengan sebaik-baiknya.

“Mbak Ina, kita masuk kamar? Gak nyaman disini” aku berbisik di telinga Ina.

Ina tidak menjawab tetapi turut bangkit dengan ku. Aku membantunya berdiri dan memimpinnya masuk ke dalam kamar tidur. Sempat juga tangan ku meremas-remas buah dada Ina ketika kami berjalan.

Di dalam kamar tidur, aku merebahkan Ina di atas kasur yang hangat. Bibir kami bertautan kembali dan kami berkuluman. Pada awalnya agak lembut tetapi semakin lama bertaut, kuluman menjadi semakin hangat.

Tangan ku mulai merayap ke celah selangkangan Ina. Seluruh kawasan itu dijamah buas oleh tangan ku. Dari luar celana yang dipakai oleh Ina, aku mulai menggosok-gosok bagian atas vaginanya.

Ina semakin sering mengerang bila aku menyertakan gosokan tanganku dengan kuluman pada puting buah dadanya. Tubuhnya terangkat-angkat setiap kali aku menghisap putingnya dengan agak kuat.

Dorongan nafsu yang kuat membuat aku semakin tidak sabar. Aku ciba untuk menanggalkan celana pendek yang dipakai oleh Ina. Dia membantu dengan mengangkat pantatnya. Aku meloloskan celana pendek itu berserta dengan celana dalam kecilnya.

Kini, terbukalah segalanya. Dalam samar cahaya dari luar kamar tidur itu, aku dapat melihat bentuk segitiga di antara atas pahanya. Aku meraba daerah itu. Bulu-bulunya pendek saja dan halus. Aku coba menyusupkan jari ku ke celah vagina Ina. Nampaknya tempat itu sudah basah dan licin. Dan membuat aku semakin bernafsu.

Perlahan-lahan aku mengambil posisi di celah selangkangan Ina. Aku mendekatkan muka ku di celah kelaminnya. Ina seperti tahu apa yang aku mau lakukan. Dia memegang kepala ku lalu menariknya ke bawah, ke arah vaginanya. Aku menjulurkan lidahku menyentuh klitorisnya. Dengan lembut, aku mulai mengusik tonjolan daging kecil itu.

Ina kegelian. Tubuhnya meliuk-liuk menahan geli dalam kenikmatan. Suara desahan dan erangan kecilnya semakin jelas kedengaran. Aku terus mengerjakan bagian itu. Tidak cukup dengan itu, lidahku menyapu seluruh vagina Ina dari luar hingga ke bagian dalamnya. Semuanya disertai dengan ramasan kuat pada buah dadanya. Ina juga tidak henti-hentinya menjambak rambut ku. Sebentar-bentar di tarik, sebentar-bentar di lepaskannya.

Setelah merasakan keadaan Ina sudah cukup siap, aku pun mulai melepaskan semua pakaian yang masih ada di tubuhku. Ketika aku berhenti sesaat untuk melepaskan semua pakaian ku, Ina tiba-tiba bangun lalu berlutut di sebelah aku.

Dia membantu ku untuk membuka pakaian ku. Baru saja celana dalam ku dilepaskan, Ina terus menggapai batang penis ku yang sejak dari tadi sudah menegang keras. Ina mengusap-usap batang pusaka ku dengan lembut sambil kami berkuluman lidah. Aku pun ikut menyisipkan jari pada lubang vaginanya.

Aku merebahkan tubuhku ke belakang. Tanpa disuruh atau diminta, Ina terus menundukan kepalanya dan menjilati batang kelaminku. Setelah itu, dia pun mengulumnya. Nikmatnya dikulum dan dihisap begitu amat sulit untuk digambarkan. Bukan hanya aku tetapi Ina juga benar-benar menikmati apa yang dilakukannya.

Dia mengulum dan menghisap sepuasnya.Karena merasa amat ngilu, aku terpaksa menghentikan Ina setelah membiarkannya beberapa waktu. Aku kemudian menarik perlahan tubuhnya ke atas tubuhku. Sekali lagi, seperti mengetahui keinginan ku, Ina menaiki tubuhku.

Ina mengangkangi aku yang terlentang sementara aku menyiapkan batang kontolku. Ina memegang batang kontolku lalu menempelkan kepala kontol (palkon)ku di pintu masuk memeknya. Dia terlebih dulu menggosok-gosok helm penis ku di situ sebelum dia mulai menurunkan tubuhnya.

Aku merasakan kehangatan pada kepala penisku sesaat setelah mulai memasuki liang vagina Ina yang sudah licin. Perlahan-lahan namun begitu pasti, Ina menduduki batang penisku hingga semuanya habis terbenam. Ina mengerang di saat dia sudah habis menduduki batang zakarku, menelannya hingga bagian pangkal. Dia diam sebentar. Aku pun mulai meremas-remas dan mencubiti gemas puting buah dada Ina.

Selang beberapa saat, Ina mulai menaik-turunkan tubuhnya dengan agak perlahan. Aku tidak mau tinggal diam. Aku coba menekankan batang kontol ku ke atas. Sesekali aku hanya bertahan. Kemudian aku coba bangun dan menopangkan tubuh ku dengan siku kiri ku. Tangan kanan ku masih asyik dengan buah dada Ina.

Mulut ku segera menyambar putingnya lalu ku hisap dengan kuat. Tindakan liarku agak membatasi pergerakan Ina. Dia mengubah pergerakannya yang semula naik turun menjadi bergerak maju mundur serta memutar membetoti penisku membuat kepala kontolku terasa seperti di belai dan ditarik-tarik. Amat ngilu sekali rasanya tetapi nikmat.

Adegan itu berlangsung untuk beberapa saat sebelum tubuh Ina memberikan isyarat bahwa ia akan mencapai orgasmenya. Aku dapat merasakan kontraksi otot-otot vaginanya yang semakin kuat berkedut. Begitu juga dengan otot-otot tubuh Ina yang mulai terasa menegang. Ina semakin kuat merangkul ku.

Tidak lama setelah itu, dia menekan vaginanya ke bawah dengan kuat disertai dengan rangkulan yang kuat juga. Kedua pahanya juga mengepit badanku yang berada dibawahnya. Ina sudah tiba di puncak berahinya. Aku membiarkan dia untuk menikmati orgasmenya hingga orgasmenya reda.

Perlahan-lahan, aku merebahkan tubuhnya ke atas kasur lalu aku menindih tubuhnya. Sekali lagi aku mengambil posisi di antara celah kangkangnya. Aku membuka selangkangannya lalu membenamkan muka ku di belahan memeknya. Mulut dan lidah ku terus menyerang vagina Ina. Ina mengerang keenakan.

Namun, aku tidak mau berlama-lama karena aku ingin segera meneruskan permainan hangat itu. Dengan pasti, aku menggiring batang kontolku ke memek Ina yang sudah cukup basah dan licin. Tanpa menemui hambatan, batang kontol ku terus meluncur masuk ke dalam liang memek Ina.

Ina mendesah. Aku mulai bergerak mendorong-tarik penisku dalam jepitan vaginanya. Perlahan pada awalnya tetapi semakin lama semakin cepat. Setiap hentakan aku lakukan dengan tempo terjaga sehingga Ina tidak henti-henti melenguh dan mendesah. Sesekali dia mengerang kecil

Aku mengubah posisiku dari semula berlutut menjadi bertelengkup di atas tubuh Ina. Tubuhnya yang cukup montok itu segera dipeluk lenganku dengan erat sekali. Tidak cukup dengan itu, jilatan, hisapan dan ciuman ku turut singgah di leher dan mulut Ina. Bersamaan dengan genjotan penisku pada vagina Ina dengan penuh nafsu.

Selang beberapa menit, aku sudah merasakan akan orgasme ku. Aku mempercepat gerakan pompaan ku. Aku sempat berbisik di telinga Ina. Mendengar bisikan ku, Ina seperti mengerti apa yang harus dilakukannya.

Dia semakin kencang memeluk dan buas mengulum lidahku. Kedua kakinya diangkat dan dilingkarkan di atas pantatku seolah menahan penisku mundur dari jepitan vaginanya. Nampaknya dia juga menginginkan lagi klimaksnya datang. Maka, kami sama-sama berpacu berahi dengan hebat.

Dengan satu gerakan yang kuat, aku membenamkan batang kontolku jauh ke dalam liang memek Ina. Bersamaan dengan itu juga, ujung tongkat kemaluanku memuntahkan isinya yang kental. Ina merespon dengan memelukku erat sekali sambil kakinya mengunci tubuhku. Tubuhnya mengejang hebat menandakan bahwa dia juga telah mencapai orgasmenya.

Aku menunggu hingga batang kelelakianku selesai memuntahkan semua isinya sebelum aku merebahkan tubuh ku di sebelah tubuh Ina. Dia tersenyum memandangku. Jauh di dalam hatiku, aku merasa amat puas sekali. Aku yakin Ina juga begitu.

Cerita sex : Cerita Sex Dengan Santi, Ibu Kostku

Setelah ini aku yakin akan dapat merasakan kenikmatan dari Kak ani, majikan ina.

#Main #Dengan #Penjaga #Toko #Yang #Bohay

Ngewe Dengan Sahabatku Rini Terbaru Malam Ini

Ngewe Dengan Sahabatku Rini

Perkenalkan, namaku Anto. Seorang pemuda desa yang jauh dari kata tampan, lebih cenderung ke nampan (alas untuk membawa gelas/piring). Dengan kulit sawo terlalu matang, 168cm/80kg.

Seorang yang bergelar MA (mahasiswa abadi) di sebuah universitas negeri terkenal yang terletak di kota sarkem, hehehe. Kali ini aku akan berbagi pengalaman dengan seorang teman dekatku, yang selalu kuhibur di saat sedih, dan selalu menghilang di saat bertemu lelaki ganteng. Batinku cuma bisa bilang “wooo wedyusss!!”.

Sebut saja nama temanku ini Rini. Tingkah polahnya seringkali membuatku kesal, tapi juga kerap membuatku merasa kangen karena manjanya. Selalu cuek dengan keadaan sekitar, bahkan di saat aku sedang berduaan dengan Ana (mantan pacar di ceritaku yang pertama), dengan seenak hati nyelonong masuk ke kamar kostku, dan dengan sengaja menginjak kantong menyanku sembari memasang wajah menggoda.

Ya, dia memang sudah tau hal hal seperti itu dari pergaulan dan mudahnya akses situs dewasa saat itu. Tapi, sebenarnya dia sama sekali belum pernah melakukannya. She’s a naughty virgin…

Perkenalanku dengan Rini dimulai saat tergabung dalam satu grup saat mengikuti ospek. Orangnya asik, easy going, pribadi yang menyenangkan. Saat itu hanya sebatas berteman biasa saja, tanpa ada perasaan lain yang masuk di dalam pertemanan kami.

Seiring perjalanan waktu kami pun semakin sering pergi berdua, entah itu sekedar keluar untuk makan, mengerjakan tugas di warnet, bahkan belanja kebutuhan sehari hari pun kadang kita lakukan bersama. Karena rutinitas tersebut, timbul pertanyaan di benakku, apa ini yang dinamakan Teman Tidur Mesra?.

Tapi sesegera mungkin kusingkirkan jauh jauh pikiran itu, dan memilih untuk menjalani apa adanya saja. Dimana saat itu juga aku masih menjalin hubungan asmara dengan Ana, dan Rini juga kuketahui mempunyai seorang kekasih di kampungnya.

Oh iya, Rini adalah seorang gadis yang berasal dari daerah dataran tinggi jawa tengah. Kebayang kan, kebanyakan gadis dataran tinggi memiliki paras alami dengan kulit yang putih dihiasi pipi yang kemerahan.

Masa perkuliahan memasuki masa dimana jadwal sudah tidak dapat dinego, alias padat. Intensitas kami untuk bertemu pun menjadi berkurang, dari yang tadinya seminggu bisa hampir tiap hari jalan bareng, sekarang bisa seminggu sekali pun udah sukur.

Hingga pada akhirnya kami benar benar terpisah untuk waktu yang lumayan lama dikarenakan kesibukan kami mengejar target perkuliahan. Aku sibuk dengan tugas perkuliahanku dan beberapa organisasi kampus yang aku ikuti, sedangkan Rini, selain dengan kesibukan yang sama, dia juga bekerja part time di salah satu tempat persewaan kepingan CD terkenal.

Hingga pada suatu malam Rini menelponku untuk segera menjemputnya di kost. Akupun segera meluncur menjemputnya. Tak selang berapa lama, aku pun sampai di depan kostnya dan ku sms dia bahwa aku telah sampai.

Setelah dia keluar menemuiku, kuperhatikan ada sesuatu yang baru saja terjadi padanya. Mukanya kelihatan lesu, matanya sembab seperti orang yang habis menangis.

Akupun bertanya padanya, “kamu kenapa Ri?”.

Dia pun diam, tak sepatah kata keluar dari mulut mungilnya, yang kulihat hanyalah matanya yang mulai berkaca kaca. Saat itu kugenggam tangannya dan kutarik dia agar segera naik ke atas motorku. Pikirku mungkin dengan kuajak dia jalan sekalian makan malam, dia akan lebih tenang sehingga mau menceritakan masalahnya padaku.

Akhirnya kami pun berangkat menyusuri jalan kampung yang di sebelahnya terdapat selokan besar yang memanjang.

Disepanjang perjalanan, Rini hanya berpegangan pada pinggangku dengan kepalanya bersandar di punggungku, tanpa berkata apapun, hanya sesekali terdengar sesenggukan darinya.

Setelah kurasa dia lebih tenang, motorku pun aku arahkan ke tempat biasa kami makan malam. Tempat dengan suasana alami dan tenang. Pada saat makan malam itu, aku mulai bertanya lagi, karena kupikir momentnya yang sudah tepat.

“Kamu sebenernya kenapa sih, kok dari yang biasanya ceria, sekarang malah nangis sesenggukan kaya tadi?”, Tanyaku.

Dia pun menjawab, “aku habis berantem sama cowokku, terus kami putus”.

Cukup kumaklumi kenapa Rini bisa sesedih itu. Cowoknya adalah satu-satunya yang ia cintai saat itu, karena mereka kenal dan dekat sudah dari sekolah dasar. Setelah kutahu sebabnya Rini bersedih, aku pun berusaha menghiburnya dengan segala cara.

Dan akhirnya aku bisa membuatnya tersenyum kembali. Malam itu pun akhirnya aku mengantarkannya pulang ke kost dengan perasaan lega berhasil menghiburnya. Dan sebelum pulang, aku pun berpesan padanya, “kalau kamu perlu aku, sms aja ya, aku usahakan ada buatmu.” Dia pun mengiyakan dengan diiringi senyum manisnya.

Akupun meluncur pulang dengan sambil mengingat ingat kejadian yang baru saja aku alami. Tapi pikiranku justru terfokus pada saat aku memboncengnya, dan dia yang tadinya hanya berpegangan pada pinggangku, akhirnya memelukku dari belakang.

Otomatis aku merasakan sepasang benda kenyal yang ikut bersandar di punggungku selain kepalanya. Lelaki mana sih yang gak On ngalami kejadian kaya gitu, kecuali sekong, hehe. Tapi aku masih ingat akan siapa diriku dan hubunganku dengannya, aku tidak akan merusak itu.

Setelah kejadian malam itu, kami mulai sering jalan berdua lagi, masih terus kuhibur dia. Tentu saja tanpa sepengetahuan Ana, dan harus pintar pintar bagi jadwal. Apalagi Ana mulai sering menginap di kostku.

Aku ingat pada saat itu ada sebuah aplikasi bernama “buku muka”, dan di sela waktu mengerjakan tugas kuliah di warnet, Rini minta dibuatkan satu akun olehku, dan aku pun melaksanakannya. Tapi ternyata semua kisah terlarangku dengannya dimulai saat itu.

Rini yang memang suka dan mudah bergaul, akhirnya mempunyai banyak teman baru dari aplikasi tersebut. Rini pada saat itu menjadi lebih sering mondar mandir ke warnet, hanya untuk menyapa sahabat dari dunia mayanya.

Sebenarnya aku sama sekali tidak masalah, biar pun intensitas kami bertemu menjadi berkurang. Hanya ada satu hal yang aku takutkan untuk terjadi. Yaitu bertemu dengan penikmat wisata lendir dengan modal SSI seperti kita, hehehe…yang tentunya kebanyakan mencari mangsa lewat dunia maya.

Lama tak bertemu dengan Rini untuk entah yang keberapa kali, penampilannya berubah 180°. Dari yang tadinya selalu mengenakan jilbab, sekarang kemana mana lebih sering memakai hotpants. Dari gadis desa lugu, sekarang berani menyulut rokok dihadapanku. Saat itu spontan tanganku hampir menamparnya. Dia pun menunduk ketakutan.

Aku dengan tegas bertanya, “Kamu kenapa lagi? Jadi gila kaya gini!!! Mau dibilang gaul?!!”. Setelah kucecar dengan banyak pertanyaan dan nada yang tinggi, Rini akhirnya mengaku, hal tersebut karena dia terbawa oleh pergaulannya dengan seorang lelaki yang dia kenal lewat dunia maya. Mereka sering dugem, pulang larut bahkan cenderung subuh.

Hal yang kutakutkan ternyata benar benar terjadi. Tapi aku tidak mau secepat itu men-judge sahabatku sendiri. Semoga saja dia tidak berbuat lebih jauh dari itu (walaupun di dalam hati, kalau berbuat lebih jauh sama ane aja, hahaha).

Rini pun mengakui kalau dia belum sampai sejauh itu. Sebagai temannya saat itu aku hanya mengingatkan. Rini pun menerima saranku untuk sedikit demi sedikit menjauh dari pergaulannya saat ini.

Dalam hal menyaring pertemanan, Rini terlalu mudah untuk menerima seseorang. Karena sifatnya yang supel. Hingga pada akhirnya, sesuatu yang fatal benar benar terjadi padanya.

Waktu itu siang hari menjelang sore di hari sabtu. Rini datang ke kostku dengan diantar seorang teman. Dia bilang padaku kalau temannya dari ibukota, akan datang untuk menginap.

Aku pun tanggap, dengan nada bercanda kuledekin dia, “Teman apa TEMAN?!” Selidikku penuh rasa ingin tahu, karena aku tak ingin temanku ini salah memilih orang lagi. Dia pun jujur padaku, kalau sebenarnya mereka menjalin LDR, dan baru akan bertemu untuk pertama kalinya.

Mereka janji bertemu di sebuah Mall besar di pusat kota. Aku pun hanya bisa diam sambil berfikir.

Spontan aku bertanya, “Cowokmu nginep kan? Dimana? Kamu ikut nginep juga?”.

Diapun langsung mencubitku, dan berkata “Ya ngineplah, tapi gak sama aku, kamu piktor deh sm aku.”

Akupun percaya saja, dan aku hanya tinggal pasrah menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Akhirnya Rini pamit padaku, karena si cowok sudah hampir sampai di tempat mereka janjian bertemu. Aku menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi Rini menolaknya. Akhirnya dia hanya kuantar ke jalan raya untuk menyetop taksi.

Hari berikutnya, minggu sore. Handphoneku berdering, kulihat panggilan masuk dari Rini. Setelah kuangkat, ternyata dia memintaku untuk menjemputnya di terminal. Ternyata Rini dan si cowok itu habis berlibur ke pantai, dan si cowok langsung melanjutkan perjalanan pulang ke ibukota naik bus.

Sepanjang perjalanan pulang, Rini hanya banyak diam, tapi kali ini dia memelukku dengan erat, sangat erat sampai kadang jemari tangannya meremas perutku. Aku hanya bisa berfikir, pasti telah terjadi sesuatu padanya. Rini saat itu tidak langsung kuantar ke kostnya, melainkan pulang ke kostku.

Dia masih tetap diam saja sambil berjalan gontai menuju kamarku. Setelah aku mengikutinya masuk ke kamar, dan kututup pintunya, Rini langsung baring di kasurku sambil memeluk gulingku.

Ternyata dia mulai menangis sesenggukan, sambil berkata lirih “Maafin aku Mo, kamu benar, akhirnya semua terjadi karena aku terkena bujuk rayunya.”

Aku bagai di sambar petir di saat cuaca cerah dan gerah. Aku hanya bisa diam, menunggu sampai dia benar benar tenang. Di saat Rini masih menangisi nasibnya dan mungkin masa depannya, aku mencoba untuk mengecek apa yang di bawa dalam tasnya.

Ternyata dia membawa beberapa helai pakaian, dan yang mencuri perhatianku adalah CD nya yang ada bercak darah. Aku diam saja. Hingga pada saat Rini mulai tenang, aku pun memintanya untuk menceritakan semuanya. Rini pun mengakui kesalahannya, karena sebelumnya sudah aku peringatkan untuk tak ikut menginap.

Walaupun sebelumnya dia selalu menghindar dan bilang kalau tak ikut menginap. Tapi, setelah aku ambil CD dari dalam tasnya, dia pun akhirnya mengakuinya. Aku mengintrogasinya sampai malam. Bahkan saat makan malam pun aku masih membahasnya. Hingga akhirnya dia meminta izin padaku untuk menginap dulu di kostku, karena ingin berkeluh kesah padaku.

Aku pun dengan senang hati mengizinkannya. Saat itu Rini sudah berganti baju untuk dipakai tidur. Kaos lengan pendek, dengan bawahan rok panjang. Aku pun sebagai lelaki normal cukup terangsang dengan melihatnya berpakaian seperti itu, apalagi aku tau dia tidak pakai bra, karena bra-nya dipegang oleh sebelah tangannya.

Mataku langsung menuju ke dadanya, dan benar saja, terlihat samar puting susunya yang menonjol dibalik kaos yang dia pakai. Rini yang mengetahui hal tersebut langsung reflek mencubitku dan menutupi dadanya dengan bantal.

Di saat dia curhat, hingga akhirnya mulai menangis lagi, aku pun memberanikan diri memeluknya dan mengelus punggungnya. Tapi otakku mulai gak sehat, mulai mencari-cari celah untuk memanfaatkan situasi ini. Aku tau ini salah, tapi setan telah mengendalikan pikiranku. Akal sehatku hilang. Hingga kesempatan yang kunanti pun tiba.

Di saat kami akan tidur, Rini aku suruh untuk menempati kasurku, sedangkan aku tidur di lantai. Waktu terasa sangat lama malam itu. Hingga Rini tahu kalau aku masih terjaga. Dia pun menarik tanganku dan memintaku untuk menemaninya dikasur.

Lampu hijau nih pikirku, tapi ternyata dia sambil bilang, “Gulingnya di tengah aja, buat batas, biar kamu gak macam macam,” sambil tersenyum genit. Dia pun melanjutkan tidurnya dengan membelakangiku. Aku pun ikut berusaha memejamkan mataku, hingga pada akhirnya kuberanikan memeluknya dari belakang.

Tak ada penolakan darinya, tanganku mulai mengelus perutnya yang rata, Rini reflek meletakkan tangannya diatas tanganku, seakan mengisyaratkan agar tanganku tetap disitu. Aku yang sudah dikuasai nafsu dan setan, memberanikan menggerakkan tanganku naik ke atas.

Ke dadanya yang benar benar bulat berisi, yang kutaksir ukurannya adalah 34B saat itu. Lama tanganku mengelus payudaranya, sambil sesekali jariku bermain di putingnya dari luar kaosnya.

Hingga tiba-tiba tangan Rini menarik tanganku dan menuntunnya masuk melalui bawah kaosnya, sambil dia memalingkan mukanya kepadaku dan menggigit bibir bawahnya. Aku rasa Rini mulai horny. Aku pun menurutinya.

Lama tanganku bermain di dadanya, guling pembatas pun aku singkirkan. Aku mendekatkan badanku hingga senjataku pun menempel di bokongnya yang padat. Entah karena nafsu atau bagaimana, yang memang kuakui, dalam hal seperti ini setan memang jagonya. Tangan Rini pun sudah mulai bergerilya mermasi batang kejantananku.

Hingga akhirnya dia memasukkan tangannya ke dalam celanaku dan mulai mengelus secara langsung batang kejantananku. Akupun tak tinggal diam, tangan kiriku kini mulai menelusup dari bawah badannya menggantikan posisi tangan kananku yang mulai bosan memainkan payudaranya.

Kini tangan kananku mulai menyingkapkan rok panjangnya hingga sebatas perut, terpampang dihadapanku paha putih mulusnya, dan CD berwarna pink dengan motif hello kity. Tanganku pun langsung mengelus mulai dari paha, naik ke pangkal pahanya, bergantian kiri dan kanan, sambil terkadang meremasi bongkahan pantatnya yang padat.

Hingga tanganku berhenti tepat di area kewanitannya, yang walaupun masih terbungkus CD, tapi telah terasa sedikit basah di sana. Sambil aku mengusapi area kewanitaannya, akupun mulai menciumi belakang daun telinganya hingga ke leher.

Sampai pada akhirnya Rini memalingkan wajahnya dan akhirnya kamipun berciuman dengan ganas. Dari cara berciumannya, aku langsung tau, bahwa sebenarnya Rini cewek yang agresif di atas ranjang. Benar saja, Rini terus menyerangku bertubi tubi dengan ciuman dan elusan tamgannya yang telah berubah menjadi kocokan lembut pada batang kejantananku.

Cukup lama kami melakukan hal ini, hingga akhirnya kami sama-sama tak tahan lagi, dan Rini pun bangkit dari tidurnya dan melepas semua pakaiannya. Aku pun melepas kaosku, tapi belum sempat aku melepas celanaku, Rini sudah terlebih dahulu menariknya.

Ngewe Dengan Sahabatku Rini

Tak lama kemudian, dia seperti anak kecil yang kegirangan karena dibelikan es krim oleh orang tuanya. Batang kejantananku dilumat habis oleh Rini, sampai kantong menyanku sekalian dilumatnya. Aku yang hampir tak tahan diperlakukan seperti itu, akhirnya menarik tubuh Rini ke atas. Gantian kini dia kubaringkan di bawahku.

Kuciumi mulai dari wajahnya, bibirnya yang mungil, turun ke dadanya yang bulat dengan puting berwarna merah muda, hingga akhirnya cumbuanku berhenti tepat di liang kewanitaannya. Perlahan aku mainkan klitorisnya dengan telunjukku sedangkan jari tengah dan ibu jariku menyibakkan bibir kemaluannya yang hanya ditumbuhi rambut halus.

Aku pun tak tahan untuk memainkan klitorisnya dengan lidahku. Pelan pelan kudekatkan wajahku ke liang kewanitannya, perlahan lidahku mulai menyapu liang kwanitannya. Rini pun terlihat sangat menikmatinya, terlihat dari tangannya yang terus memegangi rambutku, seakan aku tak boleh melepaskan cumbuanku pada liang kewanitaannya.

Hingga akhirnya Rini mendesis dengan cepat, seperti orang kepedasan, tubuhnya melengkung naik, tangannya semakin menekan kepalaku di selangkangannya. Rini telah mencapai orgasmenya. Kubiarkan dia mengatur nafasnya dulu, sebelum kumulai babak utama.

Setelah nafasnya mulai teratur, aku pun mulai merangsangnya lagi dengan memainkan payudaranya. Rini memalingkan wajahnya ke hadapanku, menatapku dalam dan berkata, “Mo, sekali ini aja ya, aku gak mau nanti kita bermasalah setelah ini.”

Akupun mengangguk sambil dalam hati berkata “iya sekali aja malam ini, kalau besok besok khilaf kan gak tau juga.”

Akhirnya kuposisikan diriku dan dirinya untuk memasuki babak utama pergelutan malam ini. Aku di atas dan dia di bawah, tanganku langsung membimbing batang kejantananku menuju liang kewanitaanya. Rini hanya mengingatkanku untuk melakukannya dengan lembut, karena dia masih belum terbiasa.

Perlahan mulai kutempelken kepala kejantananku pada bibir kewanitaannya. Hingga sedikit demi sedikit kubiarkan batang kejantananku masuk kedalam dibantu dengan kontraksi liang kewanitaannya yang sperti menyedot untuk masuk lebih dalam.

Setelah yakin mentok seluruh batang kejantananku, aku mulai melakukan gerakan maju mundur, dengan dibantu kedua tangan Rini yang memegangi bokongku. Aku sambil memompanya dengan memperhatikan mimik wajahnya yang begitu terangsang akibat ulahku. Kadang memejamkan mata sambil menggigit bibirnya, kadang menggeleng gelangkan kepala, kadang juga melotot menatapku sambil mendesah keenakan.

Hingga akhirnya kurasakan vagina Rini semakin menjepit penisku, tangannya meraih kepalaku dan menariknya untuk melakukan french kiss, dan aku tau di saat itu Rini akan orgasme kembali. Kutingkatkan tempo permainanku hingga akhirnya Rini bergetar hebat dan kakinya melingkar di pinggangku mengisyaratkanku agar menghujamkan penisku sedalam dalamnya ke vaginanya.

Aku yang masih belum apa apa, kembali menusukkan penisku ke vagina Rini. Kali ini kumasukkan sambil berbaring dibelakangnya. Dengan posisi ini aku lebih leluasa, pinggulku aktif bergoyang, sedangkan tanganku aktif meremasi payudaranya.

Kadang tanganku juga memainkan klitorisnya yang membuat Rini semakin menggelinjang menerima kenikmatan syahwat dariku. Setelah bosan dengan posisi ini, aku pun mencabut penisku, dan kuminta Rini untuk gantian di atas. Rini langsung bangkit dari baringnya, tak lupa sambil menciumku nafsu dan mengocok mesra penisku.

Sebelum Rini menaikiku, dia menyempatkan untuk mengulum penisku terlebih dahulu, walaupun hanya sebentar, karena aku yakin dia sudah tak tahan untuk segera memasukkannya ke dalam liang vaginanya yang mulai becek.

Rini mulai memasukkan penisku perlahan, setelah masuk seluruhnya sampai tak terlihat penisku, Rini mulai melakukan gerakannya yang tak beraturan karena nafsunya yang sudah memuncak. Kadang maju mundur, memutar, naik turun.

Hingga akhirnya Rini akan orgasme lagi, dan aku pun sudah tak sanggup menahan ejakulasiku. Rini akhirnya menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan cepat, hingga akhirnya aku pun menghentakkan penisku ke dalam vaginanya dalam dalam, dan memuntahkan spermaku di dalam vaginanya bersamaan dengan orgasme Rini.

Akhirnya malam itu pun kami tertidur kelelahan dan puas setelah memadu syahwat. Kami tidur telanjang dengan posisiku memeluknya. Dan tak lupa aku mengecup keningnya sebagai tanda maaf dan terima kasihku.

Karena pertempuran semalam, aku jadi bangun agak siang, sekitar jam 8, sedangkan Rini, kulihat sudah tak ada di sampingku. Aku masih dalam keadaan telanjang bulat akhirnya hanya memakai celana pendekku tanpa celana dalam, dan berjalan menuju kamar mandi, membersihkan sisa sisa pertempuran semalam.

Di depan pintu kamar mandi, aku mendengar suara aneh dari dalam kamar bapak kostku. FYI, bapak kostku ini masih muda, ganteng, kalau diibaratkan seperti Aaron Kwok. Aku seperti mengenal suara ini, ya, suara seperti yang semalam aku dan Rini ciptakan, desahan, teriakan kecil, kadang lenguhan. Gila, gumamku, pagi pagi udah olahraga nih bapak kost.

Memang karena ketampanannya, bapak kost wajar gonta ganti pasangan. Karena penasaran, sekarang model cewek gimana lagi yang kena sama bapak kost, setelah sebelumnya gadis penjaga counter HP yang indekos di depan kostku. Aku pun duduk sambil baca koran di ruang tamu yang kebetulan berhadapan dengan kamar bapak kost.

Setelah sekitar 20an menit aku menunggu, suasana pun hening, sudah selesai nih pikirku. Tak lama terdengar kunci kamar dibuka, dan begitu pintu dibuka alangkah kagetnya diriku, ternyata Rini yang keluar dari kamar bapak kostku.

Owalah jembuuuttt, umpatku lirih, ngasih makan buaya ini judulnya, weduss tenan. Rini yang tak kalah kaget langsung berlari menuju kamarku. Aku pun menghampiri bapak kostku yang begitu melihatku hanya bisa cengengesan sambil garuk garuk kepala.

“Wooo jembut kok kamu Mas,” ujarku padanya, “besok gantian pokoknya, anak kost depan buatku.”

Bapak kostku dengan santai menjawab “Tenaaaanggg, bisa diatur.”

Sambil berlalu dari kamar bapak kost, aku masih heran dan menyungut, kok bisa ya. Di kamarku, Rini hanya cengengesan melihatku, kutanya bagaimana bisa, ternyata, karena saat Rini bangun setelah subuh, dia tak sengaja berpapasan dengan bapak kostku, dan akhirnya terkena bujuk rayunya.

“Wooo kamprettt, enak tapi?” tanyaku, Rini hanya membalas dengan tatapan genit sambil menjulurkan lidahnya padaku.

Rini sekarang telah berubah, berubah menjadi wanita yang agresif karena telah mengetahui betapa nikmatnya bercinta.

Hingga pada akhirnya, selang dua bulan sejak kejadian itu, Rini akhirnya hamil, dan dia melakukannya dengan cowoknya yang terakhir. Di kalangan teman teman pun banyak yang menggosipkan diriku dan Rini, karena memang kami sering terlihat kemana mana berdua. Rini mendatangi kosku dan memintaku untuk membantunya menggugurkan janin yang dikandung, tapi tidak kukabulkan.

Hingga akhirnya Rini menikah dengan cowoknya, dan pada saat bayi yang dikandung telah lahir, teman teman dekatku dan Rini heboh, hampir semua orang bilang wajah si bayi mirip denganku. Aku cuma bisa mengelak dan bilang kebetulan aja. Pada akhirnya Rini sibuk membina rumah tangganya, sedangkan aku, sibuk melanjutkan petualanganku.

Tapi persahabatan kami terus berlanjut, terbukti hingga beberapa waktu lalu, Rini memintaku untuk menjadi wali nikah bagi mempelai pria di pernikahan keduanya. Aku pun menyanggupinya, dan si mempelai pria sempat menatapku heran waktu aku berkunjung ke rumah Rini, dan keceplosan ngomongin kamar Rini yang gak berubah.

Cerita sex : Kisah Sex Dengan Nadia Sahabat Istriku

Karena dulu aku memang sempat mengantarkan Rini pulang ke rumahnya, dan menginap sekamar dengan Rini di kamarnya, sedangkan orang tuanya gak masalah. Jadi ya hajar aja…hehehe, rejeki anak lugu. Sekarang aku dan Rini sudah berkeluarga, tapi kami masih tetap berhubungan baik, dan menyimpan semua kenangan indah itu hanya untuk kami berdua.

#Ngewe #Dengan #Sahabatku #Rini

Walk In Interview Yang Berujung Ngewe Terbaru Malam Ini

Walk In Interview Yang Berujung Ngewe 1

Mini jeep yang saya kemudikan meluncur mulus ke pelataran parkir hotel P, sebuah hotel berbintang 5 yang terletak di jalan Asia Afrika.

Sebagai anak kost yang sehari-hari harus prihatin, sebenarnya apa urusannya saya harus datang ke hotel semewah ini ?

Sebelumnya ijinkanlah saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Rio, 23 m Bdg (come on chatters, you should know this code). Saya kuliah di sebuah fakultas teknik yang sering disebut sebagai fakultas ekonominya teknik, karena banyaknya mata kuliah ekonomi yang bertebaran dalam kurikulumnya, di sebuah perguruan tinggi yang cukup ternama di kota ini.

Tapi syukurlah beberapa waktu yang lalu saya telah lulus dan diwisuda menjadi seorang Insinyur, but for now, I’m only an unemployment.

That’s why I come to this hotel. Kemarin seseorang yang mengaku bernama Ibu Ratna menelepon dan mengundangku hari ini untuk mengikuti sebuah psikotest dari sebuah perusahaan tembakau multinasional yang cukup ternama di Indonesia (dan beberapa waktu yang lalu terkena somasi masyarakat akibat acara promosi sebuah produknya yang agak “kelewat batas”).

Setelah memarkirkan mobil di underground, saya melangkah menuju lobby hotel. Selintas saya melihat pengunjung hotel yang sedang menikmati breakfast (atau lebih tepatnya brunch kali yah ?) di coffee shop dan berkeliaran di sekitar lobby.

Yah…dibanding mereka yang berpenampilan santai sih, saya lumayan rapi. Ah cuek aja lah, yang penting pede.

“Maaf Mbak, kalo ruang rekruitmen dimana yah ?”, tanya saya kepada seorang resepsionis yang bertugas di front office sambil menyebutkan nama perusahaan tersebut..

“Oh.., naik aja lewat tangga itu dan belok ke kanan.”, jelasnya sambil menunjukkan tangga yang dimaksud.

Setelah mengucapkan terima kasih, saya pun bergegas menuju ruang recruitment. Hmm… masih sepi nih, maklum jadwalnya jam 10 pagi sedangkan ketika saya melirik jam tangan saya baru menunjukkan pukul 09.22 WIB. Setelah mengisi daftar hadir dan mengambil formulir data diri, saya menghempaskan diri di sebuah sofa empuk di pelataran ruangan tersebut.

Waktu menunjukkan pukul 09.50 WIB ketika seorang wanita mempersilakan para peserta untuk masuk ke ruang tes. Setelah mengambil posisi, saya melihat peserta lainnya. Hmm.. ada beberapa wajah yang saya kenal karena memang teman sekuliah, but now they are my competitor.

Di depan ruangan telah berdiri 2 orang wanita yang kemudian memperkenalkan diri sebagai mbak Rini dan mbak Tia. Saya menyebut mbak karena saya kira mereka tidak terlalu jauh tua dibanding saya, walaupun mereka memperkenalkan diri dengan sebutan “Ibu”.

Keduanya cantik, walaupun dalam perspektif yang berbeda. Mbak Rini berwajah tegas cenderung judes, sangat pede dan terkesan senang mendikte orang lain, sedangkan mbak Tia terkesan lembut, berhati-hati dan komunikatif.

Kalau saya menilainya sebagai wanita yang seharusnya dipacari (mbak Rini) dan wanita yang seharusnya dinikahi (mbak Tia). Hahaha…mungkin agak aneh penilaian saya ini. Setelah acara basa-basi formal, tepat jam 10 tes dimulai.

1 jam 45 menit yang dibutuhkan mbak Tia untuk memandu dan mengawasi jalannya psikotest ini, sedangkan mbak Rini entah menghilang kemana. Tepat jam 11.45 WIB kita “diusir” ke luar ruangan menikmati coffee break untuk 30 menit kemudian diumumkan orang-orang yang lulus psikotest dan menghadapi interview.

Dari 200-an pelamar, hanya 40 yang dipanggil psikotest dan hanya 20 yang dipanggil interview, untuk selanjutnya terserah berapa orang yang akan diterima.

Ternyata nama saya tercantum dalam daftar peserta yang lulus psikotest, so I have to stay longer to join an interview. Interview will be done in english, so I have to prepare myself.

But it’s only my first experience, so what the hell…!! Saya berusaha cuek dan rileks aja menghadapinya, sa’bodo teuing lah kata orang sini.

Sekitar jam 14.45 WIB nama saya disebutkan untuk memasuki ruangan interview. Hhmm…ternyata yang nginterview (eh ini bahasa mana yah ?) saya adalah mbak Tia. Setelah memperkenalkan diri, kita terlibat dalam obrolan yang serius namun akrab.

Berkali-kali dia membujuk saya untuk mau bergabung pada perusahaan ini pada divisi produksi di pabrik. Saya sih sebenarnya lebih senang bekerja pada shop floor di pabrik daripada harus bekerja di kantor manajemen di belakang meja dan di depan komputer.

Tapi permasalahannya adalah bahwa pabrik yang bersangkutan terletak di sebuah kota di pesisir utara pulau Jawa, sebuah kota yang menjadi pintu gerbang Jawa Barat terhadap tetangganya di sebelah timur. Away from home means extra cost for living, am I right ?

Nggak terasa kita ngobrol semakin akrab. Mbak Tia ternyata benar-benar smart, komunikatif dan mampu membawa suasana bersahabat dalam sebuah perbincangan. Nggak heran ternyata dia adalah alumni fakultas psikologi tahun 1992 pada sebuah perguruan tinggi di selatan Jakarta yang terkenal dengan jaket kuningnya.

“That’s all Rio, thank you for joining this recruitment. We will contact you in two weeks from now by mail or phone”, kata mbak Tia mengakhiri pembicaraan. “The pleasure is mine.”, jawab saya pendek sambil berbalik menuju pintu.

“Rio, why do you look so confident today ? The others don’t look like you.”, tiba-tiba mbak Tia berbicara lagi kepada saya.

“I just try to be myself, no need to pretend being someone else.”, jawab saya sambil bingung, sebenarnya apa yang telah saya lakukan sih

sampai dia menilai saya seperti itu ?

“Cool, I like your style”, sambung mbak Tia lagi

“I like your style too.”, jawab saya (pura-pura) cuek, “Tia, I like to talk with you, maybe some other day we can talk more. May I have your number ?”, sambung saya lagi. Asli udah cuek banget, nggak ada malu-malunya lagi. Baru beberapa saat ngobrol bareng dia, tapi kenapa rasanya saya udah kenal lama yah ?

Mbak Tia cuman tersenyum dan memberikan kartu namanya sambil meminta nomor telepon saya juga. Karena saya masih pengangguran dan nggak punya kartu nama, akhirnya dia hanya dapat mencatatnya di kertas note miliknya saja. Dan saya akhirnya langsung pulang.

Bandung, same day at 18.04 WIB

Saya lagi termenung di kamar kost di depan komputer menyesali kekalahan kesebelasan saya dalam game Championship Manager 4.

Sialan…, menyerang habis-habisan kok malah kalah yah, pikir saya sambil menatap statistik permainan.

Tiba-tiba… .krrriiinngg. ., teleponku berbunyi mengagetkanku karena memang dipasang pada volume penuh. Di LCD terpampang nomor telepon asing (maksudnya belum ada di memori). Langsung saya jawab, “Hallo…”.

“Hallo…ini Rio ?”, terdengar sebuah suara wanita di seberang telepon.

“Iya, ini Rio”, jawab saya. Sejenak saya terganggu koneksi telepon yang kresek-kresek, payah juga nih jaringan 0816 prabayar wilayah

sini.

Ternyata itu telepon dari mbak Tia. Dia sih ngakunya cuman iseng aja nge-check nomor saya. Setelah ngobrol sebentar, saya nanya, “Mbak, banyak kerjaan nggak ?”.

“Kenapa nanya, mau ngajak jalan-jalan yah ?”, jawab mbak Tia disusul suara tertawanya yang ramah.

“Boleh.., siapa takutt..?”, balas saya sambil senyum iseng (untung dia nggak bisa lihat senyum saya).

“Nggak kok udah selesai semua, free as a bird.”, katanya lagi sambil mengutip sebuah judul lagu The Beatles (atau John Lennon ? ah sa’bodo teuing lah).

Akhirnya kita sepakat untuk jalan-jalan (but no business talks allowed, kata mbak Tia). Waktu menunjukkan pukul 19.15 WIB ketika saya memarkirkan pantat saya di sofa di lobby hotel yang sama.

Ah…masak dalam sehari ke hotel ini sampai 2 kali, pikirku. Baru beberapa saat saya duduk, terlihat sosok mbak Tia berjalan ke arah resepsionis untuk menitipkan kuncinya dan melihat sekeliling lobby untuk mencariku.

Saya cukup melambaikan tangan untuk memberitahukan posisi saya duduk untuk kemudian bangkit berdiri dan berlahan menghampirinya. Kemeja putih berbunga-bunga kecil berwarna ungu terlihat serasi dengan pilihan celana panjangnya yang juga berwarna ungu.

Wah…aliran “matching”-isme nih, pikirku. “Hi mbak, look so nice”, kata saya sambil sedikit memuji penampilannya yang memang “out of mind” itu.

“Thanks, you too”, jawabnya lagi sambil tersenyum. Tapi kali ini kesan senyumnya jauh dari resmi, seperti senyum kepada seorang teman lama.

Walk In Interview Yang Berujung Ngewe

Kita langsung berangkat. Karena mbak Tia meminta untuk tidak “makan berat”, akhirnya saya membawanya ke LV kafe, sebuah resto dengan city view yang bagus banget di bilangan dago pakar. Kalo udah malem, kelihatan indahnya warna-warni lampu kota Bandung dari situ. Many times I’ve been there, but still never get bored.

Temaramnya cahaya lampu resto, jilatan lidah api dari lilin di meja dan kerlap-kerlipnya lampu kota Bandung di bawah sana tidak mampu menutupi kecantikan yang terpancar dari seorang Tia, wanita yang baru saya kenal dalam beberapa jam saja.

Kalo dilihat dari face-nya sih nggak cantik-cantik banget, tapi gayanya yang ramah, wawasannya yang luas dan obrolannya yang menguasai banyak hal, membuat penampilannya begitu chic dan smart.

Daripada dengan cewek cakep dan seksi serta mampu mengeksploitasi penampilannya semaksimal mungkin, tapi kalo diajak ngomong nggak pernah nyambung dan otaknya isinya cuman kosmetik sama sale baju atau factory outlet doank sih jauh banget bagusan Tia kemana-mana.

Pokoknya smart-lah, saya jadi teringat Ira Koesno, seorang presenter TV favorit saya, yang walaupun tidak terlalu cantik tapi mampu memikat karena gayanya yang smart itu.

Mbak Tia (dan pada kesempatan ini dia minta saya cukup memanggilnya dengan hanya menyebut namanya saja, tanpa embel-embel mbak di depannya) memesan lasagna, biar nggak terlalu kenyang katanya.

Ternyata city view Bandung masih kalah dengan view yang ada di depan saya sekarang. Asik banget melihat Tia menikmati sedikit demi sedikit makanannya. Ada suatu momen yang bagus banget saat tiba-tiba dia mendongak, mengibaskan rambut sebahunya dan menatap saya sambil berkata, ” Lho kok malah nggak makan ?”.

Hhhmmm…..asli sumpah bagus banget angle-nya. Saya pernah ikut kegiatan fotografi saat di bangku sekolah dulu, so mungkin inilah yang disebut dengan angle terbaik.

Ada beberapa saat (mungkin sepersekian detik) dimana seseorang dapat terlihat sangat tampan atau sangat cantik dan saya baru menikmatinya beberapa detik yang lalu. “Heh..kok malah bengong ?”, Tia membuyarkan lamunan saya seketika.

“Ah nggak kok, cuman lagi inget-inget aja tadi taruh kunci kost dimana ?”, jawab saya sambil mencoba berbohong. Kalo dia sampai tahu saya mengagumi pemandangan tentang dia, wah bisa jadi nggak enak suasananya.

“Ooohhh….” , sahutnya pendek, entah tahu saya berbohong atau tidak. Terus terang saya selalu rada takut menghadapi alumni-alumni fakultas psikologi, takut-takut pikiran saya bisa dibaca mereka, hahahaha…. .

Lalu kita terlibat perbincangan yang hangat sambil menikmati makanan. Ada beberapa sisi baru yang saya kenal dari seorang Tia malam itu. Desember nanti usianya 26, termasuk muda untuk seorang angkatan 1992.

Anak kedua dari 3 bersaudara, kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal di Jakarta, sedangkan adik laki-lakinya sedang kuliah di sebuah PTS yang ternama di bilangan Grogol, Jakarta dan terkenal saat-saat perjuangan reformasi mahasiswa medio 1998 lalu.

Dia pernah hampir saja menikah pada awal tahun ini, namun sesuatu terjadi (Tia mengistilahkan dengan something happened in the way to heaven, mirip sama judul lagunya Led Zeppelin 20-an tahun yang lalu), kekasihnya ternyata menikahi wanita lain yang terlanjur dihamilinya.

Tia menyebutkan itulah resikonya pacaran jarak jauh, ternyata seseorang mampu menggantikan tempatnya di hati kekasihnya yang bekerja di kota tersebut. Ah…manusia, cerita tentang kehidupan mereka memang sangat beragam.

“That’s why Rio, ’till now I still can’t trust men”, Tia berkata dengan tatapan kosong ke arah kerlap- kerlip lampu kota Bandung. Dia bilang pria itu seperti kucing, udah disayang-sayang tetap aja nyolong, hahahaha…. lucu juga istilahnya.

Saya cuman bisa membela kaum saya sebisanya. Biar bagaimana pun kayaknya nggak semua cowok itu kayak kucing deh, beberapa diantaranya malah lebih mirip serigala, hahahahaha.. …

Makin lama kita ngobrol, makin banyak sisi-sisi lain yang saya kenal dari seorang Tia. Bahkan sampai sekarang dia masih belum mengerti apa sebenarnya yang ada di otak kekasihnya dahulu saat meninggalkannya, padahal we had a perfect life, katanya.

Saya kira anak psikologi tahu semua jawaban tentang problem pikiran dan perasaan manusia, ternyata nggak juga tuh. Dia bilang sih nggak semua dokter bisa nyembuhin sakitnya sendiri dan nggak semua pilot bisa terbang. Untuk yang terakhir ini dia bisa bikin saya ngakak banget.

“So Rio, why are you still alone ’till now ?”, tiba-tiba Tia mengubah topik pembicaraan. Lho kok… malah ngomongin saya sekarang ?

“Ah nggak ada yang mau sama saya, hehehe…”, jawab saya sekenanya sambil becanda.

“Boong banget, mau tinggi-in mutu yah ?”, todong Tia.

“Hahaha ketahuan deh saya”, jawab saya lagi sambil cengar-cengir.

“Boleh Tia ngomong tentang penilaian Tia ke kamu ?”, katanya tiba-tiba.

“Sok, silakan, mangga….”.

Dan mulailah Tia mengutarakan penilaiannya tentang saya. Yang bikin saya kaget ternyata dia bisa tahu pikiran-pikiran saya yang cuman ada di hati, bahkan tidak ada di otak sekalipun.

Dia bilang kalo dibalik penampilan saya yang selalu tertawa dan becanda melulu, pernah ada sesuatu yang sangat melukai saya di masa lalu, dan itu sangat mungkin berkaitan dengan wanita, mengingat hingga sekarang saya masih sendiri.

Ah….saya jadi teringat masa lalu saya yang berhasil ditebak dengan jitu oleh Tia (katanya semudah membaca buku yang terbuka, sialan…..! !!). Dimana sekarang beradanya si “love of my life” itu, beberapa wanita memang sempat menggantikannya, tapi tidak ada yang benar-benar dapat “menggantikannya” , hehehe….kok jadi sentimentil gini, ini kan CCS. Hahahaha….

Untuk beberapa saat saya terdiam, nggak tahu sebenarnya apa yang saya pikirkan. Apakah pikiran saya lagi ada di masa lalu atau tengah mengagumi sesosok wanita yang duduk tepat dihadapanku. Akhirnya saya hanya melemparkan pandangan menatap gemerlapnya kota Bandung di bawah sana.

…..and baby I…, I’ve tried to forget you

but the light on your eyes still….

shine…., you shine like an angel

spirit that won’t let me go….

Lagu Angel yang dinyanyikan Jon Secada makin menghanyutkan saya dalam lamunan. Sampai akhirnya…, “Bagus yah Rio, pemandangannya. ..”, tegur Tia membuyarkan pikiran kosongku.

“Yup, saya selalu suka city wiew seperti ini”, jawab saya sekenanya, biar nggak dikira ngelamun.

Malam semakin larut ketika kita memutuskan untuk kembali ke hotel. Kita makin dekat satu sama lain, saling curhat selama perjalanan di mobil. Becanda, ketawa-an bareng. Why do I feel that everything seems so right when we’re together? Ah mungkin saya aja yang terlalu terbawa suasana.

Waktu menunjukkan sekitar pukul 11 malam ketika kita kembali menginjakkan kaki di lobby hotel. “Rio, mau nemenin ngobrol sebentar nggak ?”, tanya Tia tiba-tiba.

“Boleh aja, emang belum ngantuk?”, tanyaku balik.

“Nggak, lagipula kalau di tempat yang asing Tia jadi susah tidur.”, katanya memberi reasoning.

Akhirnya saya ikut melangkahkan kaki ke kamar Tia yang terletak di lantai 4. Sebuah kamar standar dengan 2 single bed, TV, kulkas dan peralatan standar layaknya sebuah kamar hotel berbintang. Good enough, daripada kamar kostku, hehehehe….

“Lha kamu sendiri di sini ?”, tanya saya begitu melihat tidak seorang pun di kamarnya.

“Sebenernya kamar ini untuk berdua, dengan Rini, itu lho yang tadi pagi ikut tes juga”, jelasnya, “Tapi dia langsung pulang Jakarta pake kereta terakhir tadi sore, katanya besok mau ada acara apa gitu di keluarganya” .

Kita memasak air dengan menggunakan ketel elektrik yang disediakan hotel untuk kemudian masing-masing menikmati secangkir coffemix panas. Kursi sengaja kita balikkan menghadap ke jendela, untuk memandang Jalan Tamblong yang telah temaram dan senyap.

Sesekali terlihat mobil melintas dengan kecepatan di atas rata-rata, mungkin karena sudah malam. Begitupun suasana di kamar ini, hanya suara MTV Asia dari TV yang dihidupkan yang menemani perbincangan kita, menggantikan cahaya lampu yang memang kami padamkan.

Entah mengapa, saya merasa begitu dekat dengan Tia, padahal baru beberapa jam kita berkenalan. Ah sekali lagi, mungkin saya terlalu terbawa suasana….

Namun kali ini ternyata Tia yang duduk di sebelah saya bukanlah seperti Tia yang saya kenal dalam jam-jam terdahulu.

Dalam curhatnya, ia terlihat sangat rapuh. Entah memang nasib saya untuk selalu menjadi tempat curhat orang lain.

Dari dulu semasa di bangku sekolah hingga kini setelah menamatkan pendidikan tinggi, saya selalu dijadikan tempat curhat orang-orang dalam lingkaran terdekat saya.

Dan kini saya harus menghadapi Tia yang sesekali sesunggukkan, meremas-remas sapu tangannya dan menghapus air matanya yang mulai jatuh satu persatu. Love…, look what you have done to her, bastard…!!

Saya bangkit dari duduk dan berjalan perlahan menghampirinya. Saya hanya bisa termangu berdiri di sampingnya dan melihat ke luar untuk menunggunya menyelesaikan kisah-kisah yang menyesakkannya selama berbulan-bulan.

Saya mencoba menenangkannya sebisa saya dengan menganalisis kehidupannya dari berbagai perspektif. Saya hanya bisa mengatakan bahwa ia masih beruntung karena ditunjukkan ketidaksetiaan kekasihnya pada saat mereka belum menikah, karena akan lebih sangat menyakitkan jika semua itu dihadapi justru ketika mereka telah menikah.

Setelah beberapa waktu kita membahasnya, Tia terlihat sudah agak tenang. “Thanks Rio, kamu mau jadi tempat sampah Tia”, katanya sambil sedikit tersenyum.

“That what friends are for”, jawab saya singkat sambil menepuk-nepuk kepalanya seperti kepada seorang anak kecil, padahal dia 3 tahun lebih tua daripada saya, hehehe..pamali tau…!!

Saya duduk lesehan di karpet bersandarkan pada tepi ranjang sambil meluruskan kaki. Hhmmm..enak juga duduk posisi kayak gini. Tidak berapa lama kemudian Tia menyusul turun dari kursi dan bergabung duduk dengan posisi lesehan di sampingku.

Kayaknya enak banget lihat gaya kamu, katanya sebelum dia menyusulku duduk di karpet. “Rio, kamu itu aneh yah ?”, tiba-tiba suara Tia menyentakku.

“Aneh selanjutnya bagaimana maksud loe?”, tanya saya asal sambil menirukan sebuah dialog sinetron Si Doel beberapa waktu yang lalu. Hihihihi…. terdengar Tia cekikikan mendengarnya.

“Ya aneh aja, Tia baru kenal kamu hari ini, tapi rasanya Tia udah kenal sama kamu lama banget”, katanya lagi, “Sampai Tia mau curhat sama kamu, padahal Tia paling jarang curhat, apalagi sama orang yang baru kenal”.

“Sama, Aku juga gitu kok Ya, jangan-jangan kita pernah ketemu di kehidupan sebelumnya yah ?”, jawab saya sambil nyengir.

“Ada-ada aja kamu….”, katanya sambil tiba-tiba merebahkan kepalanya di bahu kananku. Jujur aja saya cukup terkejut menerima perlakuannya, but santai aja, lagipula apalah yang mungkin terjadi dari sebuah bahu untuk menyandarkan kepala sejenak ?

Cukup lama kita masing-masing terdiam dalam posisi ini sambil memandang sebagian horizon langit yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang dari jendela kamarnya. Sayup-sayup terdengar dari TV rintihan Sinnead O’Connor yang tengah menyanyikan lagu legendarisnya :

…I can eat my dinner in the fancy restaurant but nothing, I said nothing can take away this blue cos nothing compares, nothing compares to you…..

Perlahan saya usap rambutnya dan memberanikan diri untuk mengecup keningnya. Tia mendongakkan kepalanya untuk memandangku. Beberapa saat kita saling berpandangan, ah oase kedamaian dari pancaran matanya inikah yang selama ini saya cari ?

Mungkinkah saya menemukannya hanya dalam beberapa jam saja setelah sekian lama saya mencarinya entah kemana ? How can I be so sure about that ? dan sekian banyak pertanyaan lainnya berkecamuk dalam pikiranku melewati detik demi detik kami berpandangan.

Yang saya tahu beberapa saat kemudian wajah kita semakin mendekat dan sekilas saya melihat Tia menutup matanya dan pada akhirnya saya kecup lembut bibirnya.

Kami berciuman seakan-akan kami sepasang kekasih yang telah lama tidak berjumpa. Menumpahkan segala kerinduan dalam kehangatan sebuah ciuman. Perlahan saya raih pinggang Tia dan mendudukkannya dalam pangkuan.

Kini kami semakin dekat karena Tia saya rengkuh dalam pangkuan saya. Saya usap lembut rambutnya, sedangkan dia memegang lembut pipiku. Ciuman bibirnya semakin dalam, seakan tidak pernah dia lepaskan.

Cukup lama kami berciuman, sesekali terdengar tarikan nafas Tia yang terdengar begitu lembut. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mulai menurunkan bibir ke arah lehernya.

“Ugh…”, hanya terdengar lenguhan lembut seorang Tia ketika ia mulai merasakan hangatnya bibir saya menjelajahi lehernya.

Tidak ada perlawanan dari aksi yang saya lakukan. Tia justru makin mendongakkan kepalanya, semakin memamerkan lehernya yang putih dan jenjang. Kedua tanggannya meremas seprai tempat tidur sebagai tumpuan.

Saya pun semakin terhanyut terbawa suasana. Saya perlakukan Tia selembut mungkin, menjelajahi milimeter demi milimeter lehernya, mengusap rambutnya dan makin menekankan punggungnya ke arah tubuhku.

“Rio…oohh. ..”, lenguh Tia saat dia menyadari terlepasnya satu per satu kancing kemejanya. Ya…saya memang melepaskannya untuk melanjutkan cumbuan saya kepadanya. Jilatan-jilatan lembut mulai menjalari dada Tia, seiring meningkatnya hasrat manusiawi dalam diri kami.

Dengan sekali gerakan, saya dapat menggendongnya. Kami lanjutkan percumbuan dalam posisi berdiri dengan Tia dalam gendongan. Tangannya mulai meremasi rambutku. Perlahan-lahan kemejanya terjatuh terhempas ke karpet, menyisakan bagian atas tubuh Tia yang tinggal berbalutkan sehelai bra putih.

Beberapa saat kami bercumbu dalam posisi ini, sampai akhirnya saya merebahkannya di ranjang. Terdengar suara Donita, presenter MTV Asia, terakhir kali sebelum saya meraih tombol off TV yang terletak di buffet samping ranjang.

Kali ini suasana benar-benar senyap, hanya tarikan nafas kami berdua yang masih sibuk bercumbu. Tia mencoba untuk melepaskan satu per satu kancing kemejaku hingga akhirnya ia berhasil melepaskannya, hampir bersamaan saat saya berhasil melepaskan bra-nya.

Kami meneruskan pergumulan, namun sebuah perasaan aneh menyusup ke dalam hatiku. She’s different, pikirku. Jujur saja, saya sudah beberapa kali mengalami sexual intercouse, pun dengan orang-orang yang baru saja saya kenal. Namun kali ini terasa berbeda.

Ada perasaan lain yang mengiringi nafsu yang bergejolak, sebegitu dahsyatnya sehingga nafsu itu sendiri menjadi tidak berarti lagi keberadaannya. Sayang…., yah mungkin inilah yang disebut dengan perasaan sayang itu, sesuatu yang sudah lama tidak saya rasakan keberadaannya.

Ini membuatku ingin memperlakukannya seindah dan selembut mungkin. Tia bukan hanya seseorang yang mengisi sebuah babak pelampiasan nafsu manusiawi dalam hidupku. Dia berbeda, she deserves the best…!!

Terdengar lagi lenguhan Tia saat saya mulai mengulum buah dadanya. Kali ini terdengar lebih keras dari sebelumnya. Mungkin hasrat itu telah memenuhi kepalanya.

Jilatan-jilatan diselingi gigitan-gigitan kecil mendarat di sekitar putingnya, berkali-kali membuatnya berjingkat terkejut. Saya meneruskan cumbuan saya ke arah perutnya, hingga pada akhirnya berhasil membebaskan celana panjangnya ke karpet.

Sekarang terpampang pemandangan yang tidak mungkin saya lupakan, seorang Tia yang baru saya kenal hari ini, rebah dengan hanya berbalutkan celana dalam. Untuk pertama kalinya saya memandang seorang wanita dalam kondisi seperti ini tidak dengan nafsu yang menguasai.

Begitu terasa bagaimana saya memang menyayangi dan menginginkannya. Matanya yang memandang lembut ke arahku, menghadirkan begitu banyak kedamaian, sesuatu yang terus saya cari selama ini dari diri seorang wanita.

Kini saya mengulum pusarnya, seiring lenguhan-lenguhan kecil yang terdengar dari bibirnya. Perlahan saya mulai menurunkan kain terakhir yang menempel pada tubuh Tia.

Terdengar sedikit nada terkejut Tia saat saya mulai menurunkan centi demi centi celana dalamnya menyusuri kedua kakinya hingga terlepas entah kemana. Seiring itupun, saya mulai menurunkan jilatan ke arah selangkangannya.

“Rio…mau ngapain…, uugghh…”, pertanyaan yang coba diajukan Tia tidak dapat diselesaikannya begitu dirasakannya sebuah jilatan mendarat di organ kewanitaannya.

Permainan lidahku pada liang kewanitaannya memang saya usahakan selembut mungkin, hingga terkadang hanya sedikit saja ujung lidahku menyentuhnya. Namun hal ini malah justru memicu reaksi Tia semakin terbakar. “Ohhh….Riooo. ..”, lenguhnya panjang diiringi nafasnya yang semakin tidak beraturan.

Hisapan dan jilatan silih berganti saya lakukan dengan penuh kelembutan padanya, hingga pada akhirnya terdengar Tia seperti mendekati puncaknya. “Aaahhh….. .”, jeritnya panjang sambil menghentakkan tubuhnya ke atas saat puncak itu datang melandanya, menggulungnya dalam suatu sensasi keindahan yang sangat melenakan dan menghempaskannya ke dalam jurang kenikmatan yang begitu dalam.

Kini saya memandang wajahnya. Matanya yang terpejam sambil menggigiti bibirnya sendiri dan tangannya yang mencengkram seprai di tepian ranjang dengan kencang serta nafasnya yang tidak beraturan cukup untuk mengekspresikan betapa tingginya Tia terbuai dalam gelombang orgasme yang baru saja dilaluinya.

Saya biarkan Tia meregang dirinya dalam detik demi detik puncak kenikmatan yang baru saja didapatnya untuk menyibukkan diri mencari sebuah benda yang “lubricated with nonoxynol 9, for greater protection” (If you were a great CCS fan, you should know this thing) yang selalu disisipkan di dompetku (my friend said that only bastards always bring this thing around. Yeah…maybe I’m the one of them).

Tia baru membuka matanya ketika dirasakannya sebuah benda menempel lembut pada bibir organ kewanitaannya. Dibukanya matanya memandang lembut ke arah wajahku yang tepat berada di depan wajahnya. “Tia, may I….?”, bisikku sambil mengecup keningnya.

Tia hanya mengedipkan kedua matanya sekali sambil tetap memandangku. That’s enough for me to know the answer of this question.

Perlahan-lahan saya tekan kejantananku menerobos liang kewanitaannya. So gentle and smooth. Terdengar nafas Tia tertahan di tenggorokannya, menikmati sensasi mili demi mili penetrasi yang dilakukanku terhadapnya, hingga akhirnya keseluruhannya terbenam utuh.

Kami terdiam dan saling berpandangan sejenak, menikmati bersatunya raga (dan hati) kami berdua. Saya kecup bibirnya lembut sebelum mulai melenakannya dalam sebuah persetubuhan yang sangat indah.

Saya masih ingat persis, bagaimana kedua tangan kami saling bergenggaman erat di sisi tepi ranjang saat kami terus bergumul menyatukan hasrat dan raga kami. Betapa lembut buah dadanya menekan dadaku, dan betapa hangat melingkupi kejantananku yang terus memompanya, membawa kami semakin tinggi terbuai kenikmatan duniawi.

Entah berapa lama keadaan ini berlangsung, ketika pada saatnya terdengar Tia mulai mendekati orgasme keduanya. Tangannya merangkul pundakku, mendekap tubuhku erat seakan ingin mengajakku ikut dalam gelombang orgasmenya.

Nafasnya makin memburu, terdengar jelas di telinga kananku. Saya pun meningkatkan kecepatan penetrasi untuk membantunya mendapatkan puncak kedua kalinya.

“Eeegghhh… .Riooo… …aahhh. .”, jerit Tia tertahan mencoba menyebut namaku saat gelombang orgasme keduanya benar-benar datang menggulungnya, menelannya kembali ke dalam jurang kenikmatan yang sangat dalam.

Saya menghentikan pergumulan kami sejenak, memberinya kesempatan untuk kembali mengatur nafasnya seusai melewati puncaknya yang kedua. Saya hanya memberikan senyuman dan kecupan lembut di keningnya saat pada akhirnya Tia mulai membuka matanya.

“You’re so lovely tonight”, bisikku padanya.

“Rioo…eh.. !!”, teriaknya sedikit terkejut saat tiba-tiba saya menarik kedua tangannya untuk kemudian mendudukkannya dalam pangkuanku. Punggungku bersandar di kepala ranjang, dan wajah kami saling memandang. Kami kembali berciuman.

Perlahan kuangkat tubuhnya, untuk kembali menekankan kejantananku pada liang kewanitaannya. Walaupun kami tengah berciuman, masih sempat kudengar erangan lirihnya saat Tia merasakan bagaimana kejantananku perlahan menikam tubuhnya.

Kali ini kubiarkan Tia memegang kendali. Kubiarkan bagaimana dengan bebasnya Tia memompa diriku. Pundakku dijadikan tumpuan olehnya untuk terus menaik-turunkan tubuhnya di atasku. Saya hanya membantunya dengan meremas buah pinggulnya dan sedikit menaikkan posisi selangkanganku, hingga batangku terasa makin dalam menghujamnya.

Ahh….sungguh suatu pemandangan yang tidak akan terlupakan bagaimana melihat dirinya terus menyatukan raga kami ke dalam suatu persetubuhan yang sangat intim. Matanya yang terpejam, rambut sebahunya yang sudah mulai dibasahi keringat terurai bebas, bibirnya yang digigitnya sendiri dan tubuhnya yang berguncang-guncang. ….Ughh. .., It’s really a loveable thing to see.

Pemandangan yang sangat melenakan ditambah dengan kehangatan yang makin erat menghimpit kejantananku, menit demi menit mulai membuaiku ke dalam sensasi kenikmatan sebuah persetubuhan. Terasa sesuatu mendesak, menghimpitku untuk keluar dari dalam tubuhku. Oh My God, I think I’m gonna cum.., pikirku.

“Riooo….I’ m almost there…”, bisik Tia lirih sambil mempercepat gerakan tubuhnya memompaku.

“Yes…babe, me too…”, jawabku sambil mengecup erat bibirnya.

Selanjutnya terasa bagaimana gelombang menuju puncaknya seakan berpacu dengan gelombang menuju puncakku. Goncangan tubuhnya makin terasa mendesak cairan kejantananku untuk keluar, sementara tikaman batangku

semakin menghadirkan sensasi kenikmatan suatu orgasme yang hanya tinggal sejengkal dari raihannya.

“Aaahhhh…Riooo. …”, jeritnya lirih memanggil namaku saat ternyata gelombang orgasme lebih dahulu menyapanya. Saya masih sempat

meneruskan tikaman kejantananku beberapa kali lagi hingga pada

akhirnya…

“Tiaaaa…., I’m cummiiinngg. …!!”, teriakku sambil mendekap erat tubuhnya. Terasa bagaimana derasnya cairanku menyembur keluar.

Fortunately I use condom, masih sempat diriku berpikir di sela-sela gulungan ombak ejakulasi yang menenggelamkanku dalam suatu sensasi

kenikmatan yang sangat dahsyat.

Dalam beberapa saat ke depan kami hanya mampu berpelukkan erat, untuk kemudian bersisian rebah di ranjang. “Thanks honey, you’re so great…”, bisikku sambil mengecup lembut bibirnya.

“Ahh…Rio.. .”, lirih suaranya terdengar, seakan ingin mengatakan hal yang sama kepadaku

Terlihat bagaimana lengangnya perempatan jalan Tamblong yang memotong Jalan Asia Afrika di bawah sana. Hanya traffic light yang mengerjapkan cahaya kuningnya yang menandakan adanya kehidupan di sana. Sesekali melintas mobil angkutan kota yang beroperasi selama 24 jam menuju terminal Kebon Kelapa.

Kami hanya duduk menatapnya tanpa banyak berkata-kata. Kugenggam erat Tia dalam pangkuanku, menatap kesunyian tanpa sehelai benangpun yang melekat di tubuh kami. Terkadang kudengus lembut telinga Tia, yang selalu saja diiringi desahan manjanya.

Ah..betapa romantisnya, memandang cahaya lampu lewat tengah malam tanpa selembar busanapun yang melekat. Tak terasa sudah lebih dari setengah jam kita berdua tertegun memandang jalanan sejak gelombang orgasme tersebut menelan kami berdua dan menenggelamkan hingga ke dasarnya.

“Rio, Tia pengen mandi rasanya”, tiba-tiba suara Tia mengejutkanku.

“Ya udah sana mandi”, jawabku, “Eh pintunya jangan dikunci yah, siapa tau ntar saya mau nyusul”, godaku lagi.

“Huuh…maunya” , sahut Tia manja sambil menjentikkan telunjuknya di hidungku dan kemudian berlalu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Selanjutnya saya hanya terdiam, melanjutkan lamunanku sendiri. Mengingat betapa beberapa menit yang lalu saya telah melalui sebuah sexual intercouse yang sangat indah.

Kali ini sungguh berbeda rasanya, lembut dan melenakan. Sungguh jauh lebih indah dibandingkan dengan pengalaman- pengalaman terdahulu, dengan beberapa wanita yang sempat hadir dalam malam-malamku.

Entah mengapa tiba-tiba timbul keinginanku untuk selalu berdekatan dengan Tia. Hanya beberapa menit ia tinggalkan (dan itupun hanya untuk mandi), rasa kehilangan itu sudah hadir dalam benakku.

Tanpa kusadar telah kulangkahkan kakiku ke arah kamar mandi untuk menyusul Tia. Krek…terdengar pelan suara handle pintu kamar mandi yang kuputar. Hmm…ternyata memang Tia tidak menguncinya, wah bandel juga nih anak, pikirku.

Perlahan kubuka pintu untuk kemudian mendapatkan suatu pemandangan yang sangat memukau. Terlihat samar-samar dari belakang bagaimana Tia tengah menikmati pancuran air dari shower yang membilas lembut tubuhnya.

Kaca penutup shower menghalangi pandanganku karena telah tertutup uap dari air hangat yang Tia gunakan. Entah mengapa pemandangan yang tersamar ini membangkitkan kembali gairahku. Terasa bagaimana kejantananku mulai menunjukkan reaksinya.

Perlahan kubuka pintu kaca shower untuk kemudian mendekap tubuh Tia dari belakang. “Hei….!!”, seru Tia terkejut sesaat menyadari ada orang lain yang berada dalam kotak showernya.

“It’s me honey…”, kataku menenangkan sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke arah leher belakangnya.

“Ughh…Rio. ..”, lenguh Tia pendek. Terus kudaratkan ciuman bertubi-tubi ke tubuhnya. Kadang di leher belakangnya, kadang di punggungnya, terkadang pula kulumat bibirnya.

Kami berciuman di tengah derasnya pancuran shower yang membasahi tubuh kami. Ingin sekali rasanya kutikamkan kembali kejantananku dari belakang ke dalam liang kewanitaannya, menikmati sensasi bercinta di sebuah shower yang deras menghujani tubuh kami dengan butiran-butiran air.

Setelah kurasa percumbuan kami cukup untuk kembali membuatnya bergairah, perlahan kutuntun batangku ke dalam vaginanya. Sejenak terasa lembut dan hangat tatkala kejantananku menempel pada bibir liang kewanitaannya, sebelum kuhentakkannya menerobos hingga ke pangkal batangku.

“Arrggghh… …”, jerit Tia tertahan ketika ia mulai merasakan dirinya sesak dipenuhi oleh desakan kejantananku.

Saya mulai memompanya perlahan, keluar dan masuk. Tia membuka kedua kakinya lebar sambil kedua tangannya bertumpu pada kedua keran panas-dingin pada shower.

Kami kembali bercinta, bergumul dalam desakan arus birahi yang memenuhi kepala dan tubuh kita. Kami bersetubuh di bawah siraman kehangatan shower yang terus menghujani tubuh kami tiada henti.

Terdengar sayup-sayup deru nafas Tia diantara derasnya suara air yang tumpah keluar dari shower. Kulingkarkan tangan kananku di leher Tia ketika kudaratkan tangan kiriku untuk mempermainkan puting kanannya, sambil tentunya terus memompanya dari belakang.

Terus kutikamkan batangku ke dalam liang vaginanya tiada henti. Menit demi menit berlalu, mengiringi persetubuhan kami yang sangat indah. Terasa bagaimana semakin ketatnya lubang kewanitaan Tia kian menghimpit kejantananku.

Tiba-tiba kedua tangan Tia menjangkau tangkai shower yang terpaku pada dinding bagian atas kepalanya, mendongakkan kepalanya seraya melenguhkan erangan yang begitu menggairahkan perasaan, “Riooo…. aahhhhh….. “.

Ternyata Tia kembali meraih orgasmenya yang menariknya kembali ke dalam kenikmatan yang bergulung-gulung mendera bathinnya. Kudekap erat tubuhnya, menjaganya dari kelimbungan yang mungkin dapat saja menghempaskannya ke lantai marmer yang kami injak.

Beberapa saat tetap kudekap erat tubuhnya, sampai pada saat akhirnya Tia mulai dapat menggerakkan dirinya sendiri. Kami sejenak bertatapan, perlahan kucium lembut bibirnya. “You’re wonderful, Babe”, pujiku saat dia mulai membuka matanya dan memandang ke arahku.

Tia membalikkan tubuhnya dan memelukku erat. Kucium kembali bibir Tia sambil kuangkat tubuhnya meninggalkan kotak shower tempat kami memadu nafsu. Kurebahkan tubuhnya di lantai marmer kamar mandi dengan perlahan. Kembali kuletakkan kejantananku di bibir kewanitaannya seraya perlahan mendorongnya masuk ke dalam.

Sejenak kulihat Tia mengigit bibirnya sendiri, seakan tengah menikmati sensasi penetrasi batangku ke dalam liang vaginanya. Kembali kupompakan kejantananku ke dalam tubuh Tia, membiarkan tungkainya bersandar di pundakku untuk kemudian membuat kami terbang meraih kenikmatan duniawi dengan lembut dan perlahan.

Terus kusetubuhi tubuh Tia yang tergolek di lantai, mencoba mengimbangi gerakan pinggulnya yang makin menjepit batangku.

“Tia, Rio mau keluar…”, bisikku lirih saat mulai kurasakan sesuatu mendesak keluar dari batang kejantananku, setelah beberapa waktu berlalu.

“Yes Rio, cum to my breast”, sahut Tia sambil mengecup perlahan bibirku sejenak.

Terus kupompakan batang kejantananku untuk mencapai puncak ejakulasiku yang kedua dalam hari ini. Saya mencoba untuk menahannya selama mungkin, namun usahaku tidaklah banyak membawa hasil karena tidak berapa lama kemudian kupastikan bahwa benteng pertahananku tidak akan bertahan lama lagi.

Sempat kuhujamkan beberapa kali lagi kemaluanku dalam liang vaginanya sebelum berteriak keras seraya menarik keluar batangku dan memuntahkan isinya, membajiri seluruh permukaan dada Tia.

“Ahh…I’m cummiiiinggg. ..”, teriakku parau.

“Yes….ehhhmmm. ..”, erang Tia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, karena dirasakannya cairan kejantananku ternyata juga mendarat di wajah dan rambutnya.Cukup lama kuregang diriku dalam orgasme yang sangat dahsyat, dimana Tia ikut membantunya dengan mengurut-urut batang kemaluanku, menghabisi cairan yang mungkin masih tersisa di dalamnya.

Kucium bibirnya dalam sambil mengucapkan terima kasih atas klimaks yang baru saja saya dapatkan, sebelum akhirnya merebahkan diriku di sampingnya.

Saya tersadar dari tidur dengan mendadak. Di sampingku tergolek tubuh Tia yang tidur memunggungiku sambil kupeluk dari belakang. Sejenak kucoba mengingat-ingat apa yang baru saja saya alami. Samar-samar saya mulai mengingat bagaimana sekitar satu setengah jam yang lalu kulalui sebuah klimaks yang dahsyat dalam dekapan Tia di lantai kamar mandi.

Yah kuingat bagaimana kemudian kami saling membersihkan diri, mengeringkannya untuk kemudian menikmati tidur dalam posisi saling berpelukan.

Terasa dinginnya udara AC kamar menjalari tubuhku yang tidak ditutupi selembar kainpun saat kusingkapkan selimut untuk kemudian mencari pakaianku yang berserakan di lantai kamar yang ditutupi karpet bernuansa maroon. Kukecup lembut kening Tia saat telah lengkap saya berpakaian.

Terdengar lirih suara Tia saat dia mulai tersadar sedikit demi sedikit dari tidurnya. Kukecup bibirnya saat dia benar-benar telah membuka matanya, memandangku dengan suatu tatapan yang sangat sulit ditebak artinya. Tatapan sayangkah itu…?

Jam mobilku menunjukkan pukul 05.21 WIB ketika dengan santai kukendarai mini jeep-ku membelah jalan Asia Afrika yang masih lengang sambil mendengarkan musik yang mulai dimainkan radio-radio swasta yang mulai mengudara.

Saya memang harus segera pergi dari sisi Tia, setidaknya untuk hari ini, karena dia akan kembali ke Jakarta dengan rombongannya setelah breakfast nanti. Pasti suatu pemandangan yang tidak lucu jika teman-teman yang menyusul ke kamarnya, menemukan kami sedang tidur berpelukkan tanpa busana sama sekali.

But no business talks allowed, masih terngiang di telingaku perkataan Tia saat kuajak dirinya melewatkan malamnya menikmati suasana Bandung semalam. Yah…semoga memang begitu keadaan selanjutnya.

Terus terang saya paling tidak mau mencampurkan urusan pekerjaan dengan pribadi. Jika saya ditolak untuk pekerjaan, biarkanlah itu karena memang saya tidak cukup qualified untuk diterima, bukan karena saya telah berani “kurang ajar” kepada salah seorang pengujinya (itu pun kalau dia anggap bahwa saya kurang ajar, hehehehe…. ).

Di lain pihak jika saya diterima bekerja, biarlah itu karena memang skill dan capability saya memang dibutuhkan oleh perusahaan, bukan karena saya berhasil menjalin suatu hubungan khusus dengan seorang Tia. Meminjam istilah mbak Sari, mendaki corporate lewat ranjang, hahahaha…. .

Dalam hati saya masih sedikit terbersit harapan untuk tetap melanjutkan hubungan ini. Masih terasa bagaimana Tia mengecup lembut bibirku saat dia melepasku di pintu kamarnya.

As I said before, everything seems so right when we’re together.

Is she the Miss Right for me after I’ve been looking for all over places ?

Why do I feel that she’s the one, eventhough I have known her only by day.

Biarlah waktu yang menjawabnya, karena orang bijak berkata hanya waktulah yang dapat secara pasti menentukan apa yang akan kita jalani di masa depan, sepasti sinar matahari yang selalu menyapa penduduk bumi setiap pagi.

Cerita sex : Bertukar Pasangan Dengan Bos

Seperti saat ini, dimana sinar matahari yang pertama jatuh menemani perjalananku menembus lengangnya jalanan kota ini..

#Walk #Interview #Yang #Berujung #Ngewe