Dokter Fitri Terbaru Malam Ini

Dokter Fitri

Fit… hei aku jaga nich malam ini, elu jangan kirim pasien yang aneh-aneh ya, aku mau bobo, begitu pesanku ketika terdengar telepon di ujung sana diangkat. “Udah makan belum?” suara merdu di seberang sana menyahut.

“Cie… illeee, perhatian nich”, aku menyambung dan, “Bodo ach”, lalu terdengar tuutt… tuuuttt… tuuut, rupanya telepon di sana sudah ditutup. Malam ini aku dapat giliran jaga di bangsal bedah sedangkan di UGD alias Unit Gawat Darurat ada dr. Fitri yang jaga. Nah, UGD kalau sudah malam begini jadi pintu gerbang, jadi seluruh pasien akan masuk via UGD, nanti baru dibagi-bagi atau diputuskan oleh dokter jaga akan dikirim ke bagian mana para pasien yang perlu dirawat itu. 

Syukur-syukur sih bisa ditangani langsung di UGD, jadi tidak perlu merepotkan dokter bangsal. dr. Fitri sendiri harus aku akui dia cukup terampil dan pandai juga, masih sangat muda sekitar 28 tahun, cantik menurutku, tidak terlalu tinggi sekitar 165 cm dengan bodi sedang ideal, kulitnya putih dengan rambut sebahu. Sifatnya cukup pendiam, kalau bicara tenang seakan memberikan kesan sabar tapi yang sering rekan sejawat jumpai yaitu ketus dan judes apalagi kalau lagi moodnya jelek sekali. Celakanya yang sering ditunjukkan, ya seperti itu. Gara-gara itu barangkali, sampai sekarang dia masih single. Cuma dengar-dengar saja belakangan ini dia lagi punya hubungan khusus dengan dr. Wisnu tapi aku juga tidak pasti.

Kira-kira jam 2 pagi, kamar jaga aku diketuk dengan cukup keras juga. “Siapa?” tanyaku masih agak malas untuk bangun, sepet benar nih mata. “Dok, ditunggu di UGD ada pasien konsul”, suara dibalik pintu itu menyahut, oh suster Cindy rupanya. “Ya”, sahutku sejurus kemudian. Sampe di UGD kulihat ada beberapa pria di dalam ruang UGD dan sayup-sayup terdengar suara rintihan halus dari ranjang periksa di ujung sana, sempat kulihat sepintas seorang pria tergeletak di sana tapi belum sempat kulihat lebih jelas ketika dr. Fitri menyongsongku, “Gus, pasien ini jari telunjuk kanannya masuk ke mesin, parah, baru setengah jam sih, tensi oke, menurutku sih amputasi (dipotong, gitu maksudnya), gimana menurut elu?” demikian resume singkat yang diberikan olehnya.

“Fit, elu makin cantik aja”, pujiku sebelum meraih status pasien yang diberikannya padaku dan ketika aku berjalan menuju ke tempat pasien itu, sebuah cubitan keras mampir di pinggangku, sambil dr. Fitri mengiringi langkahku sehingga tidak terlalu lihat apa yang dia lakukan. Sakit juga nih.

Saat kulihat, pasien itu memang parah sekali, boleh dibilang hampir putus dan yang tertinggal cuma sedikit daging dan kulit saja.

“Dok, tolong dok… jangan dipotong”, pintanya kepadaku memelas. Akhirnya aku panggil itu si Om gendut, bosnya barangkali dan seorang rekan kerjanya untuk mendekat dan aku berikan pengertian ke mereka semua.

“Siapa nama Bapak?” begitu aku memulai percakapan sambil melirik ke status untuk memastikan bahwa status yang kupegang memang punya pasien ini.

“Supandi”, sahutnya lemah.

“Begini Pak Sup, saya mengerti keadaan Bapak dan saya akan berusaha untuk mempertahankan jari Bapak, namun hal ini tidak mungkin dilakukan karena yang tersisa hanya sedikit daging dan kulit saja sehingga tidak ada lagi pembuluh darah yang mengalir sampai ke ujung jari. Bila saya jahit dan sambungkan, itu hanya untuk sementara mungkin sekitar 2 – 4 hari setelah itu jari ini akan membusuk dan mau tidak mau pada akhirnya harus dibuang juga, jadi dikerjakan 2 kali. Kalau sekarang kita lakukan hanya butuh 1 kali pengerjaan dengan hasil akhir yang lebih baik, saya akan berusaha untuk seminimal mungkin membuang jaringannya dan pada penyembuhannya nanti diharapkan lebih cepat karena lukanya rapi dan tidak compang-camping seperti ini”, begitu penjelasan aku pada mereka.

Kira – kira seperempat jam kubutuhkan waktu untuk meyakinkan mereka akan tindakan yang akan kita lakukan. Setelah semuanya oke, aku minta dr. Fitri untuk menyiapkan dokumennya termasuk surat persetujuan tindakan medik dan pengurusan untuk rawat inapnya, sementara aku siapkan peralatannya dibantu oleh suster-suster dinas di UGD.

“Fit, elu mau jadi operatornya?” tanyaku setelah semuanya siap. “Ehm… aku jadi asisten elu aja deh”, jawabnya setelah terdiam sejenak. Entah kenapa ruangan UGD ini walaupun ber-AC tetap saja aku merasa panas sehingga butir-butir keringat yang sebesar jagung bercucuran keluar terutama dari dahi dan hidung yang mengalir hingga ke leher saat aku kerja itu. Untung Fitri mengamati hal ini dan sebagai asisten dia cepat tanggap dan berulang kali dia menyeka keringatku. 

Aku suka sekali waktu dia menyeka keringatku, soalnya wajahku dan wajahnya begitu dekat sehingga aku juga bisa mencium wangi tubuhnya yang begitu menggoda, lebih-lebih rambutnya yang sebahu dia gelung ke atas sehingga tampak lehernya yang putih berjenjang dan tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Benar-benar menggoda iman dan harapan. Setengah jam kemudian selesai sudah tugasku, tinggal jahit untuk menutup luka yang kuserahkan pada dr. Fitri. Setelah itu kulepaskan sarung tangan sedikit terburu-buru, terus cuci tangan di wastafel yang ada dan segera masuk ke kamar jaga UGD untuk pipis. Ini yang membuat aku tidak tahan dari tadi ingin pipis. Daripada aku mesti lari ke bangsal bedah yang cukup jauh atau keluar UGD di ujung lorong sana juga ada toilet, lebih baik aku pilih di kamar dokter jaga UGD ini, lagi pula rasanya lebih bersih.

Saat kubuka pintu toilet (hendak keluar toilet), “Ooopsss…” terdengar jeritan kecil halus dan kulihat dr. Fitri masih sibuk berusaha menutupi tubuh bagian atasnya dengan kaos yang dipegangnya. “Ngapain lu di sini?” tanyanya ketus. “Aku habis pipis nih, elu juga kok nggak periksa-periksa dulu terus ngapain elu buka baju?” tanyaku tak mau disalahkan begitu saja.

Fitri

“Ya, udah keluar sana”, suaranya sudah lebih lembut seraya bergerak ke balik pintu biar tidak kelihatan dari luar saat kubuka pintu nanti.

Ketika aku sampai di pintu, kulihat dr. Fitri tertunduk dan… ya ampun…. pundaknya yang putih halus terlihat sampai dengan ke pangkal lengannya, “Fit, pundak elu bagus”, bisikku dekat telinganya dan semburat merah muda segera menjalar di wajahnya dan ia masih tertunduk yang menimbulkan keberanianku untuk mengecup pundaknya perlahan. Ia tetap terdiam dan segera kulanjutkan dengan menjilat sepanjang pundaknya hingga ke pangkal leher dekat tengkuknya. 

Kupegang lengannya, sempat tersentuh kaos yang dipegangnya untuk menutupi bagian depan tubuhnya dan terasa agak lembab. Rupanya itu alasannya dia membuka kaosnya untuk menggantinya dengan yang baru. Berkeringat juga rupanya tadi. Perlahan kubalikkan tubuhnya dan segera tampak punggungnya yang putih mulus, halus dan kurengkuh tubuhnya dan kembali lidahku bermain lincah di pundak dan punggungnya hingga ke tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan kusapu dengan lidahku yang basah. “Aaaccch… ach…” desahnya yang pertama dan disusul dengan jeritan kecil tertahan dilontarkannya ketika kugigit urat lehernya dengan gemas dan tubuhnya sedikit mengejang kaku. Kuraba pangkal lengannya hingga ke siku dan dengan sedikit tekanan kuusahakan untuk meluruskannya sikunya yang secara otomatis menarik kaos yang dipegangnya ikut turun ke bawah dan dari belakang pundaknya itu.

Kulihat dua buah gundukan bukit yang tidak terlalu besar tapi sangat menantang dan pada bukit yang sebelah kanan tampak tonjolannya yang masih berwarna merah dadu sedangkan yang sebelah kiri tak terlihat. Kusedot kembali urat lehernya dan ia menjerit tertahan, “Aach… ach… ssshhh”, tubuhnya pun kurasakan semakin lemas oleh karena semakin berat aku menahannya. Dengan tetap dalam dekapan, kubimbing dr. Fitri menuju ke ranjang yang ada dan perlahan kurebahkan dia, matanya masih terpejam dengan guratan nikmat terhias di senyum tipisnya, dan secara refleks tangannya bergerak menutupi buah dadanya. Kubaringkan tubuhku sendiri di sampingnya dengan tangan kiri menyangga beban tubuh, sedangkan tangan kanan mengusap lembut alis matanya terus turun ke pangkal hidung, mengitari bibir terus turun ke bawah dagu dan berakhir di ujung liang telinganya.

Senyum tipis terus menghias wajahnya dan berakhir dengan desahan halus disertai terbukanya bibir ranum itu. “Ssshhh… acchh…” Kusentuhkan bibirku sendiri ke bibirnya dan segera kami saling berpagutan penuh nafsu. Kuteroboskan lidahku memasuki mulut dan mencari lidahnya untuk saling bergesekan kemudian kugesekan lidahku ke langit-langit mulutnya, sementara tangan kananku kembali menelusuri lekuk wajahnya, leher dan terus turun menyusuri lembah bukit, kudorong tangan kanannya ke bawah dan kukitari putingnya yang menonjol itu. Lima sampai tujuh kali putaran dan putingnya semakin mengeras. Kulepaskan ciumanku dan kualihkan ke dagunya. Fitri memberikan leher bagian depannya dan kusapu lehernya dengan lidahku terus turun dan menyusuri tulang dadanya perlahan kutarik tangannya yang kiri yang masih menutupi bukitnya. Tampak kini dengan jelas kedua puting susunya masih berwarna merah dadu tapi yang kiri masih tenggelam dalam gundukan bukit. Feeling-ku, belum pernah ada yang menyentuh itu sebelumnya.

Kujilat tepat di area puting kirinya yang masih terpendam malu itu pada jilatan yang kelima atau keenam, aku lupa. Puting itu mulai menampakkan dirinya dengan malu-malu dan segera kutangkap dengan lidah dan kutekankan di gigi bagian atas, “Ach… ach… ach…” suara desisnya semakin menjadi dan kali ini tangannya juga mulai aktif memberikan perlawanan dengan mengusap rambut dan punggungku. Sambil terus memainkan kedua buah payudaranya tanganku mulai menjelajah area yang baru turun ke bawah melalui jalur tengah terus dan terus menembus batas atas celana panjangnya sedikit tekanan dan kembali meluncur ke bawah menerobos karet celana dalamnya perlahan turun sedikit dan segera tersentuh bulu-bulu yang sedikit lebih kasar. 

“Eeehhhm… ech…” tidak diteruskan tapi bergerak kembali naik menyusuri lipatan celana panjangnya dan sampai pada area pinggulnya dan segera kutekan dengan agak keras dan mantap, “Ach…” pekiknya kecil pendek seraya bergerak sedikit liar dan mengangkat pantat dan pinggulnya. Segera kutekan kembali lagi pinggul ini tapi kali ini kulakukan keduanya kanan dan kiri dan, Gus… ugh…” teriaknya tertahan. Aku kaget juga, itu kan artinya Fitri sadar siapa yang mencumbunya dan itu juga berarti dia memang memberikan kesempatan itu untukku. Matanya masih terpejam hanya-hanya kadang terbuka. Kutarik resleting celananya dan kutarik celana itu turun. 

Mudah, oleh karena Fitri memang menginginkannya juga, sehingga gerakan yang dilakukannya sangat membantu. Tungkainya sangat proporsional, kencang, putih mulus, tentu dia merawatnya dengan baik juga oleh karena dia juga kan berasal dari keluarga kaya, kalau tidak salah bapaknya salah satu pejabat tinggi di bea cukai. Kuraba paha bagian dalamnya turun ke bawah betis, terus turun hingga punggung kaki dan secara tak terduga Fitri meronta dan terduduk, dengan nafas memburu dan tersengal-sengal, “Gus…” desisnya tertelan oleh nafasnya yang masih memburu. Kemudian ia mulai membuka kancing bajuku sedikit tergesa dan kubantunya lalu ia mulai mengecup dadaku yang bidang seraya tangannya bergerak aktif menarik resleting celanaku dan menariknya lepas. 

Ngentot Dengan Fitri

Langsung saja aku berdiri dan melepaskan seluruh bajuku dan kuterjang Fitri sehingga ia rebah kembali dan kujilat mulai dari perutnya. Sementara tangannya ikut mengimbangi dengan mengusap rambutku, ketika aku sampai di selangkangannya kulihat ia memakai celana dalam berwarna hitam dan terlihat belahan tengahnya yang sedikit cekung sementara pinggirnya menonjol keluar mirip pematang sawah dan ada sedikit noda basah di tengahnya tidak terlalu luas, ada sedikit bulu hitam yang mengintip keluar dari balik celananya. Kurapatkan tungkainya lalu kutarik celana dalamnya dan kembali kurentangkan kakinya seraya aku juga melepas celanaku. 

Kini kami sama berbugil, kemaluanku tegang sekali dan cukup besar untuk ukuranku. Sementara Fitri sudah mengangkang lebar tapi lobang memeknya masih tertutup rapat. Kucoba membukanya dengan jari-jari tangan kiriku dan tampak sebuah lubang kecil sebesar kancing di tengahnya diliputi oleh semacam daging yang berwarna pucat demikian juga dindingnya tampak berwarna pucat walau lebih merah dibandingkan dengan bagian tengahnya. Gila, rupanya masih perawan.

Tak lama kulihat segera keluar cairan bening yang mengalir dari lubang itu oleh karena sudah tidak ada lagi hambatan mekanik yang menghalanginya untuk keluar dan banjir disertai baunya yang khas makin terasa tajam. Baru saat itu kujulurkan lidahku untuk mengusapnya perlahan dengan sedikit tekanan. “Eehhh… ach… ach… ehhh”, desahnya berkepanjangan. Sementara lidahku mencoba untuk membersihkannya namun banjir itu datang tak tertahankan.

Aku kembali naik dan menindih tubuh Fitri, sementara kemaluanku menempel di selangkangannya dan aku sudah tidak tahan lagi kemudian aku mulai meremas payudara kanannya yang kenyal itu dengan kekuatan lemah yang makin lama makin kuat.

“Gus… ambilah…” bisiknya tertahan seraya menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sementara kakinya diangkat tinggi-tinggi. Dengan tangan kanan kuarahkan torpedoku untuk menembak dengan tepat. Satu kali gagal rasanya melejit ke atas oleh karena licinnya cairan yang membanjir itu, dua kali masih gagal juga namun yang ketiga rasanya aku berhasil ketika tangan Fitri tiba-tiba memegang erat kedua pergelangan tanganku dengan erat dan desisnya seperti menahan sakit dengan bibir bawah yang ia gigit sendiri. Sementara batang kejantananku rasanya mulai memasuki liang yang sempit dan membuka sesuatu lembaran, sesaat kemudian seluruh batang kemaluanku sudah tertanam dalam liang surganya dan kaki Fitri pun sudah melingkari pinggangku dengan erat dan menahanku untuk bergerak. “Tunggu”, pintanya ketika aku ingin bergerak.

Beberapa saat kemudian aku mulai bergerak mengocoknya perlahan dan kaki Fitri pun sudah turun, mulanya biasa saja dan respon yang diberikan juga masih minimal, sesaat kemudian nafasnya kembali mulai memburu dan butir-butir keringat mulai tampak di dadanya, rambutnya sudah kusut basah makin mempesona dan gerakan mengocokku mulai kutingkatkan frekuensinya dan Fitri pun mulai dapat mengimbanginya. Makin lama gerakan kami semakin seirama. Tangannya yang pada mulanya diletakkan di dadaku kini bergerak naik dan akhirnya mengusap kepala dan punggungku. “Yach… ach… eeehmm”, desisnya berirama dan sesaat kemudian aku makin merasakan liang senggamanya makin sempit dan terasa makin menjempit kuat, gerakan tubuhnya makin liar. 

Tangannya sudah meremas bantal dan menarik kain sprei, sementara keringatku mulai menetes membasahi tubuhnya namun yang kunikmati saat ini adalah kenikmatan yang makin meningkat dan luar biasa, lain dari yang kurasakan selama ini melalui masturbasi. Makin cepat, cepat, cepat dan akhirnya kaki Fitri kembali mengunci punggungku dan menariknya lebih ke dalam bersamaan dengan pompaanku yang terakhir dan kami terdiam, sedetik kemudian.. “Eeeggghhh…” jeritannya tertahan bersamaan dengan mengalirnya cairan nikmat itu menjalar di sepanjang kemaluanku dan, “Crooot… crooot”, memberikannya kenikmatan yang luar biasa. Sebaliknya bagi Fitri terasa ada semprotan kuat di dalam sana dan memberikan rasa hangat yang mengalir dan berputar serasa terus menembus ke dalam tiada berujung. Selesai sudah pertempuran namun kekakuan tubuhnya masih kurasakan, demikian juga tubuhku masih kaku.

Sesaat kemudian kuraih bantal yang tersisa, kulipat jadi dua dan kuletakkan kepalaku di situ setelah sebelumnya bergeser sedikit untuk memberinya nafas agar beban tubuhku tidak menindih paru-parunya namun tetap tubuhku menindih tubuhnya. Kulihat senyum puasnya masih mengembang di bibir mungilnya dan tubuhnya terlihat mengkilap licin karena keringat kami berdua. “Gus… thank you”, sesaat kemudian, “Ehmmm… Gus aku boleh tanya?” bisiknya perlahan. “Ya”, sahutku sambil tersenyum dan menyeka keringat yang menempel di ujung hidungnya. “Aku… gadis keberapa yang elu tidurin?” tanyanya setelah sempat terdiam sejenak. “Yang pertama”, kataku meyakinkannya, namun Fitri mengerenyitkan alisnya. “Sungguh?” tanyanya untuk meyakinkan. “Betul… keperawanan elu aku ambil tapi perjakaku juga elu yang ambil”, bisikku di telinganya. Fitri tersenyum manis.

“Fit, thank you juga”, itu kata-kata terakhirku sebelum ia tidur terlelap kelelahan dengan senyum puas masih tersungging di bibir mungilnya dan batang kemaluanku juga masih belum keluar tapi aku juga ikut terlelap.

 

Baca juga : Bercumbu Dengan Pacar Dihotel

#Dokter #Fitri

Ngentot Dengan Fitri Di Kosan Terbaru Malam Ini

Fitri

Ini peristiwa pertamaku yang sebelumnya tidak terbayangkan bahwa di rumah kost itu, aku akan merasakan bagaimana nikmatnya bercumbu dengan seorang gadis demikian bebas penuh gairah serta nikmatnya bercinta waktu mandi bersama.

Ketika itu aku baru terbangun pertama kali merasakan tidur siang ditemani Fitri dan dengan leluasa menikmati keindahan tubuh gadis yang sudah menunggu untuk kugauli lagi setelah sebelumnya sempat bersamaku menikmati permainan di atas ranjang yang pertama. Dengan segudang perasaan birahi yang tidak terbendung, aku buru-buru untuk segera menemuinya.

Begitu sampai kamarnya, Fitri telah menyambutku dengan tubuhnya yang begitu sexy, sengaja menonjolkan bentuk tubuhnya di balik bajunya yang ketat di atas pusarnya dan celana pendek yang ketat juga, menonjolkan pantatnya yang bulat sintal. Kuperhatikan buah dadanya yang tidak berbalut bra lagi tercetak jelas di bajunya sampai putingnya pun menonjol jelas.

Segera tubuhnya menghambur memeluk tubuhku, bibirnya langsung menyerbu mengulum bibirku dengan ciuman seakan tak mau lepas lagi. Sambil terus Fitri menggelayut tubuhku, lidahnya tak hentinya bermain di dalam mulutku semakin ganas.

“Maas.. eehmmh.. Fitri sudah kangen..” demikian keluh manjanya walau belum lama kutinggal tidur beberapa jam yang lalu, merasakan betapa sepinya dia menungguiku tertidur di sampingnya. “Kenapa tadi nggak bangunin saja..” tanyaku, meskipun badanku masih merasakan lesu baru bangun tidur setelah siang itu menggauli Fitri sampai beberapa kali. “Ahh, nggak enak.. ngeganggu orang lagi pulas tidur.. Mas, sudah lapar belum?” tanyanya dengan manja dengan tetap menggelayut di pundakku. “Yaah, lapar juga.. Kenapa?” tanyaku lagi. “Ya makan dulu, yuk..” seraya dia terus menggayut di pundakku menuju ke meja makan.

Fitri sudah menyiapkan masakan untuk makan siang saat aku sedang istirahat tidur tadi, dan sekarang sudah tersedia di meja. Segera saja aku menghampiri untuk dapat segera mengganjal perutku yang terasa lapar. Begitu aku selesai menuang makanan ku ke piring untuk kusantap,

“Mas, makannya duduk di sini saja.. biar Fitri bisa nemeni lebih enak..” katanya.

Fitri sepertinya tidak mau jauh dariku, dia pun duduk menempel menungguiku makan. Saat aku makan, tangannya aktif memegang batang kejantananku sambil kadang mengocoknya.

“Enak nggak Yaang..?” tanyanya sambil tersenyum menggodaku. “Apanya yang nggak enak.. orang lagi makan dikocok-kocok begini.. eehmm..” jawabku. Dengan kenekatannya dia malah memintaku lebih dari sekedar mengocok batang penisku.
“Yaang.. celananya dilepas saja ya.. Fitri mau..” tanpa menunggu persetujuanku celana dalamku sudah ditarik lepas, dan kini bibir mulutnya mengarah ke selangkanganku, mengulum batang kemaluanku yang sedari tadi demikian tegang.
“Ahh.. cresp.. slepp.. aah.. crespp.. crespp.. sllpp.. aah.. crepp.. crespp.. ahh..”Begitulah yang terdengar sepanjang aku makan hingga selesai. Kunikmati sekali gejolak birahi, Fitri menahan gairahnya dengan mengulum batang penisku. “Non, aku sudah selesai nih makannya, kita mandi dulu yuk,” ajakku agar dia menunda dulu merangsangku. “Ehehh.. biar sampai keluar dulu Yaang..” rengeknya memintaku agar dia tetap mengulum kemaluanku sampai puas.
“Nanti sekalian di kamar mandi saja, kan Mas nanti juga bisa ngerasain punya Fitri..”

Akupun segera berdiri mengajaknya menuju kamar mandi. Sambil tangan kirinya menekan kepalaku, tangan kanannya menyorongkan putingnya ke mulutku, ditekan buah dadanya ke dalam mulutku.

“Ogghh.. Mas.. adduh Mas.. gelii.. Mas.. Fitri kayaak mauu.. ogh.. aduh.. geli Sayang.. mhh.. Mas.. aduh enak.. yach.. tteruss.. sstt.. ehhm..” Mulut Fitri terus mengeluarkan desah yang melepaskan gairah dan gelinjang kenikmatan yang sedang dirasakan. dan dengan penuh kelembutan jari tengahku masuk liang vaginanya yang menganga diantara selangkangan yang terasa licin oleh lendir kenikmatan vaginanya. Aku pun telah merasakan basah karena cairan yang keluar.
“Enak.. enak.. enak.. lebih enak daripada Fitrii kocok sendirian Mas.. yach, terus Mas, Fitri ingin setiap hari begini Mas..” Katanya
“Ehh.. Mass.. terus teken Sayaang.. Fitri.. enaakk aduh Mas.. ogghh.. Maass, gellii.. teruss.. terus..” kian mengharapkan kocokan jariku semakin cepat. Matanya terpejam, sambil lidahnya memainkan dan menjilat bibirku disertai goyangan pinggulnya semakin cepat. “Ohh Maass.. di situ.. terus.. jangan berhenti.. ohh.. ehh..” Fitri mulai bergoyang naik dan turun melawan arah tanganku. Desah suaranya memenuhi kamar mandi. “Ohh.. Mas.. ahh.. ahh.. ahh.. gelii.. sayaang.. nikmat.. Oh.. Oh.. Oh Mas..” begitu ucapan ucapan birahinya yang sepertinya tidak kuduga bila melihat kesehariannya tampak biasa-biasa saja.

Kubuka mulutku dan lidah kami saling menjilat entah bibir atau rongga mulut. Kuangkat dia dan kudorong dia ke dinding. Aku berlutut di depannya dan kemudian lidahku bermain di celah vaginanya. Tangannya menekan kepalaku dan yang satunya mempermainkan payudaranya, Fitri memainkan putingnya sendiri untuk menambah kenikmatan birahinya dengan ditandai puting di dada yang montok itu kelihatan semakin tegang. Dia terus meremas buah dadanya dan mulutnya tidak hentinya mengeluarkan desah nafas yang memburu merasakan birahi yang kian memuncak.

“Sss ahh.. enak Mas..” erangnya.
“Ehm..” matanya setengah tertutup.
“Mas.. eghh putingku teruss.. Mas, mana penismu Mas.. Yach teruss Mas.. Hheegh.. enaak.. eeghh.. yach..” Tangan kananku aktif memilin milin puting susunya yang semakin mengeras sementara tangan kanan Fitri meremas puting buah dadanya sendiri.
“Ah.. Mas.. kalau begini terus Fitrii tambah sayang sekali sama Mas.. ohh.. ohh..” menambah gairah dan semakin merangsang juga. Nafsuku semakin menggebu untuk menyetubuhinya, pelukan ke tubuh Fitri semakin erat menjelajahi birahinya yang bergejolak dan terus-menerus menggelinjang hebat. Fitri melepaskan desah nafsunya dan memintaku mengulum puting susunya yang demikian tegang karena telah terangsang oleh mulutku.
“Ohh.. ohh.. ohh.. nikmatnya.. ohh.. ah.. nikmat..” Gerakan tubuhnya membuat kedua bukit payudaranya bergoyang ke kanan dan ke kiri sambil menahan gelinya puting susunya yang kusedot. Terasa nikmat dapat menyelusuri bukit payudara yang membusung indah di dadanya yang nampak mulus bersih itu. “Ohh.. Mas sayang terus.. terus.. yang keras sedotannya.. ohh..” begitu desahnya di telingaku. “Non, penisku tambah teggang saja kalau Fitri terus-terusan begitu..” bisikku.

Dia gantian berlutut di depanku lalu dia menjilati penisku, dan meremas penisku sampai basah oleh jilatannya. Lalu Fitri menyambut batang penisku, terasa hangat oleh belaian tangannya, kepala penisku dia jilati lagi, sedikit demi sedikit penisku lenyap di rongga mulutnya, bibirnya dengan lincah menyedot lubang penisku, terasa geli-geli nikmat sampai dengkul ku gemetar menahan rasa nikmat.

Ngentot Dengan Fitri

Aku sudah ingin beralih ke vaginanya yang sudah basah oleh lendir kenikmatan, kupegang dengan meraba lembut. “Yaangg.. adiknya bikin ketagihan, aku udah nggak tahan lagi, pingin menjepit penismu.. Yaang, Fitri udaahh nggak tahan ngeliat penis Mas ngaceng sebesar itu ayo masukkan Maas..” kata Fitri sambil membelai-belai kejantananku yang tegak kaku sambil diusapkan ke pipinya.

Sesaat kemudian di atas tubuhku yang rebah di atas ranjang, Fitri mengambil posisi jongkok menancapkan liang senggamanya tepat batang kemaluanku. Fitri menuntun penisku yang sudah teggang, lalu menempelkan di bibir vaginanya. “Ahh.. ohh.. Yang.. ohh.. emh.. aduhh.. nikmat..Yangg.. teruss.. goyangkan pantatmu Mas iyah.. enak Yaang..” Sengaja pantatku aku goyangkan mengikuti gerakan penisku yang terasa hangat di dalam vaginanya. Bergantian Fitri yang aktif bagai menunggang kuda, pantatnya mengayun di atas selangkanganku. Kadang maju mundur atau terkadang memutar sambil kedua tangannya merangsang payudaranya dengan meremas dan memilin putingnya. Kuperhatikan matanya kadang terpejam menahan rasa gelinjang yang hebat, hingga tubuhnya melengkung ke belakang dan ketika pantatku kugoyang, buah dadanya berguncang indah ke kanan ke kiri.

“Mas, aku di bawah.. jangan lepas yahh.. Ughh.. nikmatnya Maas..”
“Yayangg.. ohh.. ohh.. ahh.. ahh.. terus.. terus.. lebih kuat.. dorong terus.. Yang dalam.. ach..ohh..” , “Oh.. Mas.. Sayang.. aku mau keluar.. ohh.. ohh.. ohh..” Lalu tiba-tiba dia goyangkan pantatnya keras keras kiri kanan kiri kanan, diangkat tinggi tinggi sambil mengelinjang agak sedikit teriak panjang. “Maass, tekeen yaang kerraass.. aakkuu mmaauu keelluuaar.. ayo Maas jugaa barreenng..” Liang senggamanya semakin sempit menjepit dan terasa menyedot penisku membuatku tak tahan lagi. “Ohh.. ach.. ach..” pantatnya semakin kuat gerakannya. “Maass.. ohh.. ohh.. hh.. ohh.. oh.. ahh.. aku keluar.. Sayang.. ohh.. aku nggak tahan..” Pantat Fitri yang sintal itu kutangkap dengan kedua tanganku dan kutekan agar kenikmatan orgasme liang senggamanya semakin terasa.
“Ohh.. ohh.. ohh.. ohh.. enakk.. ohh.. iya.. iya Mass.. aahh.. makin cepet Mas.. cepetan..” Aku semakin dirangsang bukan saja oleh suaranya, tapi oleh jepitan vaginanya. Penisku betul-betul terasa digenggam erat sambil dikocok-kocok. Nafas kami berdua semakin memburu. Fitri kelihatannya sudah hampir orgasme, salah satu tangannya memainkan puting susunya dengan cepat dan tiba-tiba teriaknya, “Ahh.. ahh.. Mas.. Mas.. keluarin di dalem, ayoo Sayang aku sudah siap.. ahh.. aah.. ahh.. sekarang.. oohh.. barengan.. ohh..” Desah Fitri semakin keras dan aku pun merasakan kehangatan batang kejantananku di dalam liang senggamanya yang sempit itu.
“Yang.. ohh.. putingku sambil diremas.. ohh.. remas.. pentilku remas.. oogghh.. yaach..”
“Kamu puas Sayang?” “Puas sekali.. Mas memang hebat.. ntar Mas mau lagi nggak?”
“Entar malem kita puaskan lagi ya Yaang.. kita mandi dulu yuk..”

Waktu mandiku bersama Fitri sore itu penuh gelora nafsu birahi yang tidak henti-hentinya. Terkadang kejantananku mulai lemas sengaja dia sabun dan kocok sehingga bangun lagi kemudian dia kemot kemot, atau gantian kupermainkan kewanitaannya sambil jari tengahku masuk sampai ke dalam vaginanya sehingga Fitri menggelinjang hebat, sambil mulutku mencari puting susunya yang mengeras kukulum dan kugigit lembut.

Sengaja Fitri menekan payudaranya yang montok itu, didorong ke bibirku sambil tangan kirinya menekan kepalaku. Sementara tangan kananku terus aku masuk ke dalam vaginanya kubelai dan kugesek-gesekkan, hingga dia merasakan dan memperoleh kenikmatan juga karena tiba-tiba dia membuka pahanya sehingga semakin memberikan kesempatan tanganku leluasa untuk menggosok vaginanya.

“Aaaduh.. saya mau keluar.. ohh.. aahh..” sambil mulutnya menganga dan matanya terpejam , dia mencapai orgasme. Gairah mandiku bersama Fitri kuakhiri persetubuhan di atas ranjang di kamarnya dalam keadaan saling berpelukan tanpa busana sampai waktunya aku makan malam berdua.

Sore itu aku dan Fitri mengenakan pakaian seadanya agar dapat bebas saling memberikan dan memperlihatkan masing-masing bagian tubuh yang dapat dinikmati dan dapat memberikan gairah sambil duduk berdua, untuk istirahat memberikan kesegaran pada tubuh kami masing-masing agar kembali bugar lagi walaupun cukup melelahkan dan terasa ke sendi sendi tulang tetapi sungguh nikmat yang kami reguk berdua dengan Fitri seolah tidak puas sampai disitu saja.

Menunggu malam tiba sengaja aku hanya bercumbu di sofa ruang tamu dengan lampu ruangan yang hanya temeram sehingga memberikan suasana semakin romantis, kusetubuhi sampai ke lekuk likunya yang paling sensitif dimana kenikmatan gairah hubungan kelamin kurasakan. Apalagi Fitri yang dengan sengaja dengan bebasnya memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya yang indah semakin lebih mengundang tanganku untuk lebih menikmati keindahan tubuhnya yang hanya dengan sedikit menyingkap baju seadanya yang dia kenakan sore itu. Sengaja malam itu tubuhnya kupeluk dan wajahku terbenam diantara hangatnya jepitan kedua bukit payudaranya yang membusung indah di dada Fitri.

 

Baca juga : Pemerkosaan Artis Terkenal

#Ngentot #Dengan #Fitri #Kosan