Kenikmatan Dari Tante Juliet Tersayang Terbaru Malam Ini

Kenikmatan Dari Tante Juliet Tersayang

Suatu ketika rumahnya sedang kosong cuma tinggal Tante Juliet bertiga dengan anak asuhnya yang masih berumur 3 tahun dan pembantunya. Tante Juliet meneleponku untuk meminta tolong membetulkan kran kamar mandinya.

Tentu saja kupenuhi karena aku baginya sudah dianggap seperti keluarga di rumahnya dengan sendirinya cepat saja kupenuhi permintaan itu.

Aku datang dengan segera tapi kran rusak ternyata hanya alasan saja melainkan diminta untuk menemani sambil membantu memijiti kakinya yang katanya sedang kram. Di ruang tengah Tante waktu itu duduk di sofa panjang sedang menonton acara telenovela di televisi.

“Abis kalo nggak pake alesan betulin keran nanti nggak enak didengar keluargamu. Sini dong Son, Sony bisa bantuin mijetin kaki Tante, nggak? kaki Tante agak keram sedikit..” begitu katanya menyambutku dan langsung meminta bantuanku.

Aku mengangguk dan mendekat berlutut di depannya akan mulai memijit sebelah kakinya di bagian bawah tapi rupanya bukan di situ.

“Oo bukan di situ Son.. Di sini, di selangkangan ini. Nggak apa ya Tante begini, nggak usah kikuk, Sony kan udah kayak anak Tante sendiri. ” katanya sambil menyingkap roknya ke atas menunjukkan daerah yang harus kupijit yaitu di selangkangan pahanya.

Tidak tanggung-tanggung, rok itu disingkap sampai di atas celana dalamnya sehingga mau tak mau terpandang juga gundukan vaginanya menerawang dari balik kain tipis celana dalamnya itu.

Tentu saja, biarpun sudah dipesan lebih dulu agar aku tidak usah kikuk-kikuk, tidak urung mukaku langsung berubah merah malu dengan pemandangan yang seronok ini.

Tante seperti tidak mengerti apa yang kurasakan, dia menyuruh aku mendekat masuk di tengah selangkangannya dan mengambil kedua tanganku, meletakan di masing-masing paha atasnya persis di tepi gundukan bukit vaginanya.

Dia minta bagian yang katanya sering pegal itu kutekan pelan-pelan dan waktu kumulai agak bergetaran juga tanganku mengerjainya sementara Tante Juliet memejamkan matanya pura-pura menikmati pijitanku. Padahal sungguh, aku sama sekali tidak tahu bahwa aku sedang diperangkap olehnya.

“Iya di situ sering pegel Son, tapi ntar dulu.. Kurang pas yang itu, Tante naikin kaki dulu.. Ya.. “katanya. Berikutnya dengan alasan kurang puas Tante menaikan kedua telapaknya ke atas tepi sofa di mana dia sekarang minta aku memijit lebih ke dalam lagi sehingga boleh dibilang aku hanya memijit-mijit otot seputar kemaluannya saja.

Pikiranku mulai terganggu karena bagaimanapun meremas-remas tepi bukit yang sedang terkangkang menganga ini mau tidak mau membuat nafasku memburu juga.

Maklum, meskipun masih remaja tapi aku sudah kenal tidur dengan perempuan sehingga jelas mengenal rasa yang bisa diberikan bukit menggembung di depanku. Apalagi dalam pemandangan yang merangsang seperti ini. Nah, di tengah-tengah kecamuk lamunan seperti ini Tante semakin jauh menggodaku.

“Ngomong-ngomong Sony udah pernah maen ama cewek, belum?” katanya agak genit.

“Ngg.. Maen cewek maksud Tante pacaran?” kataku balik bertanya pura-pura tidak mengerti.

“Maksudnya tidur sama cewek, ngerasain ininya,” katanya sambil menunjuk vaginanya.

Ditanya begini wajahku merah lagi, jadi gugup aku menjawab, “Ngmm.. Belum pernah Tan..” jawabku berbohong. Mungkin aku salah menjawab begini karena kesempatan ini justru dipakai tante makin menggodaku.

“Ah masak sih, coba Tante pegang dulu..” begitu selesai bicara dia sudah menarikku lebih dekat lagi dengan menjulurkan kedua tangannya, satu dipakai untuk menggantol di leherku menahan tubuhnya tegak dari sandaran sofa, satu lagi dipakai untuk meraba jendulan penisku.

“Tante pengen tau kalo bangunnya cepet berarti betul belum pernah..” lanjutnya lagi.

Entah artinya yang sengaja dibolak-balik atau memang ini bagian dari kelihaiannya membujukku, namanya aku masih berdarah muda biarpun sudah terbiasa menghadapi perempuan tapi dirangsang dalam suasana begini tentu saja cepat batangku naik mengeras. Kalau sudah sampai di sini sudah lebih gampang lagi buat dia.

“Wihh, memang cepet bener bangunnya.. Tapi coba Son, Tante kok jadi penasaran kayaknya ada yang aneh punyamu..” katanya tanpa menunggu persetujuanku dia sudah langsung bekerja membuka celanaku membebaskan penisku.

Aku sulit menolak karena kupikir dia betul-betul sekedar penasaran ingin melihat keluarbiasaan penisku. Memang, waktu batangku terbuka bebas matanya setengah heran setengah kagum melihat ukuran penisku.

“Buukan maen Sonyy.. Keras banget punyamu..” katanya memuji kagum tapi justru melihat yang begini makin memburu niatnya ingin cepat menjeratku.

“Tapi masak sih yang begini belum pernah dipake ke cewek. Kalo gitu sini Tante kenalin rasa sedikit, deket lagi biar bisa Tante tempelin di sini..” lanjutnya, lagi-lagi tanpa menunggu komentarku dia memegang batangku dan menarikku lebih merapat kepadanya.

Apa yang dimaksudkannya adalah dengan sebelah tangan bekerja cepat sekedar menyingkap sebelah kaki celana dalamnya membebaskan vaginanya, lalu sebelah lagi membawa penisku menempelkan kepala batangku di mulut lubang vaginanya.

Di situ digosok-gosokannya ujung penisku di celah liangnya beberapa saat dulu baru kemudian menguji perasaanku.

“Gimana, enak nggak digosok-gosokin gini?” katanya tambah super genit.

Tentu, jangan bilang lagi kalau sudah begini aku yang sudah tegang dengan sinar mata redup sudah sulit untuk melepaskan diri, berat rasanya menolak kesempatan seperti ini. Aku cuma mengiyakan dengan mengangguk dan Tante Juliet meningkat lebih jauh lagi.

“Kalo gitu Sony yang nyoba sendiri biar bisa tahu gimana rasanya, tapi tunggu Tante buka aja sekalian supaya nggak ngalangin..” lanjutnya dengan cepat melepas celana dalamnya untuk kemudian kembali lagi pada posisi mengangkangnya.

Menggosok-gosokan sendiri ujung kepala penisku di mulut lubang vaginanya yang menganga tambah membuatku semakin tegang dalam nafsu, tapi untuk menyesapkan masuk ke dalam aku masih tidak berani sebelum mendapat ijinnya.

Padahal itu justru yang diinginkan tante hanya saja mengira aku benar-benar masih hijau dia masih memakai siasat halus untuk menyeretku masuk.

“Ahh.. Kedaleman gosokinnya..” katanya menjerit geli memaksudkan aku agak terlalu menusuk. Padahal rasanya aku masih mengikuti sesuai anjurannya, tapi ini memang akal dia untuk masuk di siasat berikut, “Tapi gini, supaya nggak keset sini Tante basahin dulu punyamu. ” katanya mengajak aku bangun berdiri.

Kali ini apa yang dimaksudkannya adalah dia langsung mengambil penisku dan mulai menjilati seputar batangku, sambil sesekali mengulum kepalanya. Kalau sudah sampai di sini rasanya aku bisa menebak ke mana kelanjutannya.

Dan memang, ketika dirasanya batangku sudah cukup basah licin dia pun menarik lagi tubuhku berlutut dan kembali memasang vaginanya siap untuk kumasuki.

Dalam keadaan seperti itu aku betul-betul sudah buntu pikiranku, terlupa bahwa dia adalah istri dari Mas Fadli-kakak angkatku. Rangsangan nafsu sudah menuntut kelelakianku untuk tersalurkan lewat dia.

Sehingga sekalipun Tante Juliet tidak lagi menyuruh dengan kata-katanya, aku sudah tahu apa yang akan kulakukan. Ujung penis mulai kusesapkan di lubang vaginanya segera kuikuti dengan gerakan membor untuk menusuk lebih dalam.

Tante sendiri meskipun mimik mukanya agak tegang, dia ikut membantu dengan jari-jari tangannya lebih menguakkan bibir vaginanya menjadi semakin menganga, untuk lebih memudahkan usaha masuk batangku.

Tapi baru saja terjepit setengah, tiba-tiba Jul anak asuhnya datang mengganggu konsentrasi teristimewa bagi Tante Juliet. Si kecil yang belum mengerti apa-apa ini naik ke sofa langsung menunggangi perut Tante seolah-olah ingin ikut bergabung dengan kami.

“Nanti dulu Dek, Mama lagi dicuntik Mas Sony.. Adek maen dulu sana, ya?” agak kerepotan Tante membujuk SonJul untuk menyingkir dan kembali bermain, sementara aku sendiri tetap sibuk membor dan menggesek keluar masuk penisku untuk menanam sisa batang yang masih belum masuk.

Di atas dia repot meredam kelincahan SonJul, sedang di bawah dia juga repot menyambut batangku. Sesekali merintih memintaku jangan terlalu kuat menyodokkan penisku.

“Aashh.. Sonn.. Pelan Son.. Memek mama sakit.. Jangan dicuntik keras-kerass..” erangnya.

Untung berhasil Tante Juliet membujuk SonJul tepat pada saat seluruh batangku habis terbenam. Lega wajahnya ketika SonJul sudah mau turun kembali bermain.

“Naa, sekarang Mama Adek mau maen sama Mas Sony dulu, ya? Ayo Mas Son.. Pindah ke bawah dulu, Mama Adek juga pengen ikutan ngerasain enaknya.. ”

Kenikmatan Dari Tante Juliet Tersayang

Tanpa melepas kemaluan masing-masing kami pun berpindah ke karpet, Tante Juliet yang di bagian bawah. Di situ begitu posisi terasa pas kami segera menikmati asyik gelut kedua kemaluan denganku memompa dan Tante Juliet mengocok vaginanya.

Nikmat sanggama mulai meresap dan meskipun di tengah-tengah asyik itu SonJul juga sering datang mengganggu, tapi kami sudah tidak peduli karena masing-masing sedang berpacu menuju puncak kepuasan. Dan ini ternyata bisa tercapai secara bersamaan.

Agak terganggu dengan adanya SonJul lagipula suasana kurang begitu bebas, tapi toh cukup memuaskan akhir permainan itu bagi kami berdua. Kelanjutan hubungan kami memang sulit mencari kesempatan yang lowong seperti itu lagi. Setelah yang pertama ini masih sempat dua kali kami melakukan hubungan badan tapi kemudian terputus.

Ada satu keasyikan tersendiri yang kurasakan jika sedang bercinta dengan Tante Juliet yang bertubuh montok ini. Enak rasanya bergelut dengan daging tebalnya, seperti menari-nari di atas kasur empuk berbantalkan susunya yang juga montok dan besar itu.

Rasanya dalam sejarah percintaanku dengan para wanita yang kesemuanya cantik-cantik lagi berlekak-lekuk padat menggiurkan, maka cuma dengan dia satu-satunya yang berbeda. Tapi, inilah yang kusebut asyik tadi.

Aku sama sekali tidak merasa menyesal dan justru selalu merindukan untuk mengulang kenangan bersama dia, hanya saja kesempatan sudah sulit sekali untuk didapat.

Kesempatan kali keempat kudapat tiga tahun setelah itu yaitu ketika aku diminta mengantar Tante Juliet untuk menghadiri upacara perkawinan seorang keluarga mereka di Las Vegas.

Waktu itu rencananya aku hanya mengantar saja dan setelah acara selesai akan pulang langsung ke LA ke tempat kuliahku, tapi rupanya Tante Juliet berubah pikiran ingin pulang menumpang lagi denganku.

Mau tak mau aku pun berputar melewati Washington, DC untuk mengantarkan Tante Juliet ke rumahnya dulu sebelum ke LA. Tante memang rupanya tidak ingin berlama-lama dalam kunjungannya, itu sebabnya SonJul tidak diajak serta dan ditinggal bersama pembantu serta suaminya di rumah.

Begitu, dalam perjalanan yang cuma kami berdua di mobil kami pun ngobrol dengan akrab, dengan Tante Juliet yang lebih banyak bertanya-tanya tentang keadaanku sementara aku sendiri sibuk mengemudi.

Sampai kemudian menyinggung tentang kegiatan seksku, Tante Juliet memang bisa menduga bahwa aku tentu sudah banyak pengalaman galang-gulung dengan perempuan.

“Ngomong-ngomong soal kita dulu kalo sekarang Sony udah kenal banyak cewek cakep pasti kamu nyesel kenapa bikin gitu sama Tante waktu hari itu, ya nggak Son?”

“Nyesel sih enggak Tan, gimanapun kan Tante yang pertama kali ngenalin rasa sama Sony. Apalagi Sony juga punya kenangan manis dari Tante..” jawabku menyinggung hubungan intimku waktu itu dengannya.

“Tapi itu kan duluu.. Sekarang dibanding-bandingin sama kenalan-kenalanmu yang lebih muda pasti kamu mikir-mikir lagi, kok mau-maunya aku sama Tante model gitu. Itupun waktu dulu, sekarang apalagi.. Tambah nggak nafsu liatnya, ya nggak?” Aku langsung menoleh dengan tidak enak hati.

“Jangan bilang gitu Tan, Sony nggak pernah nyesel soal yang dulu. Malah kalo masih boleh dikasih sih sekarang pun Sony juga masih mau kok.”

“Jangan menghibur, ngeliat apanya sama Tante kok berani bilang gitu?”

“Lho kenyataan dong.. Tante emang sekarang gemukan tapi manisnya nggak kurang. Malah tambah ngerangsang deh..” jawabku memuji apa adanya.

Karena memang, sekalipun dia sekarang terlihat lebih gemuk dibanding dulu tapi wajahnya masih tetap terlihat manis.

“Ngerangsang apanya Son?” tanyanya penasaran.

“Ya ngerangsang pengen dikasih kayak dulu lagi. Soalnya tambah montok kan tambah enak rasanya.” jawabku dengan membuktikan langsung meraba-raba buah dadanya yang besar itu, Tante Juliet langsung menggelinjang kegelian.

“Aaa.. Kamu emang pinter ngerayu, bikin orang jadi ngira beneran aja.” katanya mencandaiku.

“Lho Sony serius kok, kalo masih kepengen ngulang sama Tante. Makanya tadi Sony nanya, kalo emang masih boleh dikasih sekarang juga Sony belokin nyari hotel, nih?” Lagi-lagi dia tertawa geli mendengar candaku.

“Yng bilang nggak boleh siapa. Tapi dikasih pun kamu pasti nggak selera lagi, kan percuma.”

“Ya udah, kalo nggak percaya.. Tapi ngomong-ngomong sebentar lagi udah gelap, Sony lupa kalo lampu mobil kemaren mati sebelah belum sempat diganti. Gimana kalo kita nyari hotel aja Tan, besok baru terusin lagi.” kataku mengajukan usul karena kebetulan memang lampu mobilku padam sebelah.

Sebetulnya ada cadangan tapi ini kupakai alasan untuk mengajaknya menginap.

“Duh kamu kok sembrono sih Son.. Ayo cari penginepan aja kalo gitu, dipaksa nerusin nanti malah bahaya di jalan..”

Kupercepat laju mobilku sebelum gelap dan di kota terdekat aku pun mencari sebuah hotel. Begitu dapat aku langsung turun memesan sebuah kamar sementara Tante menunggu di mobil. Dan setelah kembali ke mobil untuk mengajak Tante turun sempat kubuktikan dulu padanya tentang lampu mobil sebelahku yang memang padam itu.

Berdua masuk ke kamar, setelah mandi dan makan malam kami pun bersantai dengan ngobrol sampai kemudian Tante mengajakku untuk pergi tidur.

Kamar yang kupesan memang hanya satu tapi dilengkapi dua tempat tidur sebagaimana biasanya bentuk kamar hotel. Melihat dari keadaan ini Tante Juliet tidak mengira bahwa aku betul-betul serius dengan keinginanku untuk mengulang lagi kenangan lama.

Dia baru saja mengganti baju tidur dan baru akan mulai mengancingnya ketika aku keluar dari kencing di kamar mandi langsung mendekat memeluknya dari belakang. Aku sendiri hanya mengenakan handuk berlilit pinggang setelah membuka bajuku di kamar mandi.

“Gimana Tan, masih boleh dikasih Sony nggak..” bisikku meminta di telinganya tapi sambil mengecup leher bawah telinganya diikuti kedua tanganku mulai meremasi masing-masing susunya. Tersenyum geli dia karena sudah sampai di situ pun dia masih mengira aku cuma bercanda menggoda.

“Apanya yang enak sih sama orang yang udah gembrot dan tua gini, Son..” tanyanya penasaran.

“Buat Sony sih nggak ada bedanya, malah Sony kangen deh Tan..”

Sambil bicara begitu kubuka lagi satu kancing daster tidurnya yang baru terpasang, sehingga bagian depan tubuhnya terbuka berikut kedua susunya yang bebas karena Tante sengaja tidur tanpa memakai kutang, untuk kemudian tanganku berlanjut meremasi susu telanjangnya itu. Tante membiarkan saja tapi dia bertanya mengujiku dengan nada setengah ragu kepadaku.

“Masak sih kangen sama Tante? Kan kamu biasanya sama cewek-cewek cakep, yang masih muda lagi langsing-langsing badannya..?” katanya lagi.

“Justru melulu sama yang begituan, Sony malah bosan.. Sony suka sama Tante yang montok.. ”

“Kamu bisa aja..”

“Lho bener Tan. Montoknya Tante ini yang bikin enak, mantep rasanya. Apalagi yang ini.. Hmm.. Sekarang tambah montok berarti tambah enak lagi rasanya..” kali ini sebelah tanganku sudah kujulurkan ke bawah meremas-remas gemas gundukan vaginanya.

Tante Juliet merengek senang, sekarang baru dia percaya dengan keseriusanku. Apalagi ketika dia juga membalas menjulurkan tangannya ke belakang, di situ dia mendapatkan bahwa di balik handuk itu aku sudah tidak mengenakan celana dalam lagi.

Tanpa diminta lagi dia sendiri membuka lagi daster tidur sekaligus juga celana dalamnya sendiri untuk bersama-sama telanjang bulat naik ke tempat tidur.

Wanita berwajah cantik diusianya mencapai 32 tahun ini memang sudah mekar tubuhnya, tapi tubuhnya masih cukup kencang lagi mulus sehingga montoknya berkesan sexy yang punya daya tarik tersendiri.

Dan aku juga jujur mengatakan bahwa aku merindukan kemontokannya, karena baru saja melihat dia terbuka sudah langsung terangsang gairah kelelakianku.

Sebab dia belum lagi merebah penuh, masih duduk di tengah pembaringan untuk mengurai gelung rambutnya, sudah kuburu tidak sabaran lagi. Kusosor sebelah susunya, sebelah lagi kuremas-remas gemas, dengan rakus mulutku mengenyot-ngenyot bagian puncaknya, mengisap, mengulum dan menggigit-gigit putingnya.

“Ehngg.. Gelli Soon.. Iya, iya, nanti Tante kasih.. Deh.. ” merengek kegelian dia karena serangan mendadakku.

“Abis gemes sih Tan.. ” sahutku cepat dan kembali lagi menyerbu bagian dadanya.

Melihat begini Tante Juliet mengurungkan merebahkan badannya, untuk sementara bertahan dalam posisi duduk itu seperti tidak tega menunda ketidaksabaranku.

Air mukanya berseri-seri senang, sebelah tangannya membelai-belai sayang kepalaku dan sebelah lagi lurus ke belakang menopang duduknya, ditungguinya aku melampiaskan rinduku masih pada kedua susunya yang montok dan besar itu.

Seperti anak kecil yang asyik sendiri bermain dengan balonnya, begitu juga aku sibuk mengerjai bergantian kedua daging bulat gemuk itu untuk memuaskan lewat rasa mulut dan remasan gemasku.

Sampai berkecapan suara mulut rakusku dan sampai meleyot-leyot terpencet, terangkat-angkat dan jatuh terayun-ayun, membuat Tante Juliet kadang meringis merintih atau merengek mengerang saking kelewat gemas bernafsu aku dengan keasykanku, tapi begitupun dia tidak mencegah kesibukanku itu. Baru setelah dirasanya aku mereda, diapun bersiap-siap untuk memberikan tuntutan kerinduanku yang berikutnya.

Ini karena dilihatnya aku sudah cukup puas bermain di atas dan sudah ingin berlanjut ke bawah, yaitu sementara mulutku masih tetap sibuk tapi tangan yang sebelah mulai kujulurkan meraba selangkangannya, segera Tante Juliet pun merubah posisi untuk memberi keleluasaan bagiku.

Tubuhnya direbahkan ke belakang sambil meluruskan kedua kakinya yang duduk terlipat menjepit selangkangannya, langsung dibukanya sekali agar aku bisa mencapai vaginanya.

Mulutku masih terus mengejar menempel di sebelah susunya tapi tanganku sekarang sudah bisa memegang penuh bukit vaginanya. Bukit daging tebal setangkup tanganku yang ditumbuhi bulu-bulu keriting halus ini langsung kuremas-remas gemas, darah kelelakianku pun tambah mengalir deras.

Keasyikan yang baru menarik perhatian baru juga, berpindah dulu aku ke tengah selangkangannya yang kudesak agar lebih mengangkang sebelum kutarik kepalaku dari susunya.

Tante mengira aku sudah akan mulai memasukinya, dia sempat menyambar batangku yang sudah tegang dan melocok-locok dengan tangannya sebentar. Seperti ingin lebih mengencangkan lagi tapi ada terasa bahwa dia juga merindukan batangku, bisa terbaca dari remasan gemasnya yang menarik-narik penisku

Begitu posisiku terasa pas, aku pun memindahkan mulutku turun menggeser ke bawah dengan cara menciumi lewat perutnya sampai kemudian tiba di atas vaginanya yang terkangkang.

Di sini konsentrasiku terpusat dengan mengusap-usap dan memperhatikan dulu bentuk vaginanya. Ini untuk pertama kali aku mendapat kesempatan melihat jelas kemaluannya yang sudah pernah tiga kali kumasuki, tapi karena waktunya sempit tidak sempat kulihat dengan nyata.

Betul-betul suatu pemandangan yang merangsang sekali. Bukit segitiga yang menjendul dengan dagingnya yang tebal itu ditumbuhi bulu-bulu yang begitu lebat, tidak cukup menutupi bagian celah lubang yang diapit pipi kanan kirinya.

Tepi bukit itu persis seperti pipi bayi yang montok menggembung, saking tebalnya sehingga menjepit bibir vagina hanya terkuak sedikit meskipun pahanya sudah kukangkangkan lebar-lebar. Penasaran kukuakkan bibir vaginanya dengan jari-jariku untuk melihat lebih ke dalam, tapi belum lagi jelas, Tante Juliet sudah menegurku dengan muka malu-malu merengek geli.

“Ahahngg.. Sony mau ngeliat apa di dalem situ sih Son..?” katanya sambil meringis.

Aku tidak menyahut tapi sebelum dia berubah pikiran untuk mencegahku, langsung saja kusosorkan mulutku ke tengah lubang yang baru kukuakkan itu.

“Ssshh Sonyy.. Ahh.. Ammpuunn.. Sonn!”

Betul juga. Tante Juliet menjerit malu, tangannya refleks ingin menolak kepalaku tapi sudah terlambat. Sebab begitu menempel sudah cepat kusambung dengan menjilat dan menyedot-nyedot tengah lubangnya.

Adu ngotot berlangsung hanya sesaat karena Tante kemudian menyerah, menganga dengan wajah tegang dia ketika geli-geli enak permainan mulutku mulai menyengat dia.

Untuk berikutnya aku sendiri mulai meresap enaknya mengisap vagina montok yang baru pertama kudapat darinya. Lagi-lagi ada keasyikkan tersendiri, karena tidak seperti dengan milik cewek lain yang pernah tidur denganku, umumnya celah lubang mereka terasa kecil karena tepi kanan kirinya tidak setebal ini.

Milik Tante Juliet justru penampilannya kelihatan sempit tapi kalau dikuakan malah jadi merekah lebar dan dalam. Disosor mulutku yang mengisap rakus, seperti hampir tenggelam wajahku di situ dengan pipiku bertemu pipi vaginanya.

Di bagian inipun untuk beberapa lama kupuaskan diriku dengan menyedot menjilat-jilat tengah lubangnya, sesekali menyodok-nyodokkan ujung lidah kaku lebih ke dalam, membuatnya mengejang sampai membusung dadanya. Atau juga menggigit-gigit klitoris, menarik-nariknya serta menjilati cepat membuatnya menggelinjang kegelian.

Serupa dengan puting susunya, bagian ini pun sudah mengeras tanda dia sudah terangsang naik berahinya, tapi Tante Juliet juga tetap membiarkan aku bermain sepuas-puasnya untuk melampiaskan rinduku.

Ketika kurasa sudah cukup lama aku mengecap asyik lewat mulutku dan sudah cukup matang dia kubawa terangsang, barulah aku mulai memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Di sini baru giliran Tante untuk ikut melampiaskan rindunya kepadaku terasa dari sambutannya yang hangat.

Seperti pengalaman yang kuingat, Tante Juliet bukan type histeris dengan gaya merintih-rintih dan menggeliat-geliat erotis, tapi dalam keadaan saat ini tidak urung meluap juga gejolak rindunya lewat caranya tersendiri kepadaku.

Yaitu seiring putaran vagina laparnya menyambut masuknya penisku, tubuhku pun ditarik menindihnya langsung didekapnya erat mengajakku berciuman. Yang ini juga sama hangatnya karena begitu menempel langsung dilumat sepenuh nafsunya. Berikutnya kami yang sama saling merindukan seolah tidak ingin melepaskan dekapan menyatu ini.

Seluruh permukaan tubuh depan melekat erat dengan bagian atas kedua bibir saling melumat ketat sedang bagian bawah kedua kemaluan pun bergelut hangat. Aku yang memainkan penisku memompa keluar masuk diimbangi vaginanya yang diputar mengocok-ngocok.

Ini baru namanya bersetubuh atau menyatukan tubuh kami, karena hampir sepanjang permainan kami melekat seperti itu. Hanya sekali kami menunda sebentar untuk menarik nafas dan kesempatan ini kupakai dengan mengangkat tubuhku dan melihat bagaimana bentuk wanita montok dalam keadaan sedang kusetubuhi ini.

Ternyata suatu pemandangan yang mengasyikkan sekaligus makin melonjakkan gairah kejantananku. Di bawah kulihat vaginanya diputar bernafsu, seolah kesenangan mendapat tandingan yang cocok dengannya.

Memperhatikan vagina di bawah itu bagaikan mulut bayi berpipi montok yang kehausan menyedot-nyedot botol susunya sudah menambah rangsangan tersendiri, apalagi melihat keseluruhan goyangan tubuh Tante Juliet.

Seluruh daging tubuhnya ikut bergerak teristimewa kedua susunya yang berputaran berayun-ayun tambah menaikkan lagi rangsang kejantananku, sampai aku tidak tahan dan kembali turun menghimpit dia karena sudah terasa akan tiba di saat ejakulasiku.

Pada saat yang sama Tante Juliet juga sudah merasa akan tiba di orgasmenya, dia yang mengajak lebih dulu dengan menyambung lumatan bibir tadi untuk menyalurkannya dalam permainan ketat seperti ini.

“Hghh ayyo Soon.. Nnghoog.. Hrrhg..” dengan satu erang tenggorokkan dia membuka orgasmenya disusul olehku hanya selang beberapa detik kemudian.

Kami sama mengejang dan sempat menunda sebentar ketika masuk di puncak permainan, tapi segera berlanjut lagi melumat dengan lebih ketat seolah saling menggigit bibir selama masa orgasme itu. Baru setelah mereda dan berhenti, yang tinggal hanya nafas turun naik kelelahan dan tubuh terasa lemas.

Cukup luar biasa, karena meskipun tidak berganti posisi atau gaya tapi permainan terasa nikmat dengan akhir yang memuaskan. Malah seluruh tubuh sudah terasa banjir keringat saking serunya berkonsentrasi dalam melampiaskan kerinduan lama kami.

Untuk itu aku begitu melepaskan diri hanya duduk di sebelahnya agar keringat di punggungku tidak membasahi sprei tempat tidur.

“Gimana Son rasanya barusan..?” Tante Juliet mengujiku sambil tangannya mengusap menyeka-nyeka keringat di punggungku. Aku berputar menghadap dia.

“Makanya Sony tadi ngotot minta, soalnya udah yakin duluan memek montok Tante ini bakal ngasih enak.. ” jawabku dengan meremas mencubit-cubit vaginanya.

“Udah enak, puas lagi.. Tapi Tante sendiri, gimana rasanya sama Sony?” balik aku bertanya padanya. Mendapat pujianku air mukanya bersinar senang, ganti dia memujiku.

“Sama kamu sih nggak usah ditanya lagi, Son. Dulu aja kalau nggak sayangin kamu masih muda sekali, udah mau terus-terusan Tante ngajakin kamu.”

“Oya? Kok tadi diajak masih kayak ogah-ogahan?”

“Bukan ogah-ogahan, tapi takut ketagihan sama Sony..” jawabnya bercanda sambil tertawa.

“Kalau tante mau, Sony mau kok married ama tante..” kataku.

“Akh.. Apa Son.. Kamu becanda ya.. Tante kan udah punya suami..” katanya.

“Tante nggak usah bohong deh.. Mas Fadli kan nggak bisa normal lagi tante.. Sony tahu kalau Mas Fadli sekarang punya penyakit impoten.. Ya kan tante..” kataku.

“Kamu tahu darimana Son.. Tapi tante akui kalau Mas Fadli nggak bisa bikin tante puas..” katanya sambil menangis.

“Nah.. Gimana tante suka kan ama Sony.. Selama ini hubungan Sony dengan cewek-cewek lain itu hanya sekedar fun aja kok tan.. Sony sebenarnya cinta ama tante dari pertama pertemuan kita dulu..” kataku sambil mengecup bibirnya.

“Son.. Benarkah ucapanmu itu.. Sony benar mencintai tante yang udah tua ini..?” tanyanya.

“Ya tante, Sony cinta ama tante dan Sony mau married ama tante..” kataku sambil meluk tubuh dia.

“Oh.. Son.. Tante juga suka ama kamu..” katanya sambil memeluk tubuhku.

“I Love You Juliet..” kataku.

“I Love You too Sony..” katanya.

Cerita sex: Menikmati Tubuh Linda Sang Manager

Lalu, kami berpelukan erat dan bahagia menyertai kami berdua.

#Kenikmatan #Dari #Tante #Juliet #Tersayang

Celah Antar Dinding Yang Memberi Kenikmatan Terbaru Malam Ini

Celah Antar Dinding Yang Memberi Kenikmatan

Cerita dewasa Lara, 26 tahun dan suaminya Tono, 32 tahun, tinggal di rumah petak kontrakan di samping kanan kamar pasangan suami isteri Mas Diran, 38 tahun dan Murni, 28 tahun. Dan cerita sex disamping kirinya tinggal Mak Sani, janda tua 64 tahun, yang tinggal sendirian karena anak-anaknya sudah pada menikah dan berada di tempat lain.

Pasangan Lara dan Tono serta para tetangganya itu tinggal di deretan petak-petak rumah kontrakan di bilangan kota Bekasi. Ada sekitar 3 atau 4 rumah petak lain yang sejenis juga tersebar di sekitar rumah yang ditempati Lara dan Tono itu.Rumah-rumah itu rata-rata berbentuk bangunan panjang sederhana dengan deretan petak ruang-ruang kamar ukuran 3 X 6 m2.Dalam ruang yang sempit itu para penghuninya melakukan berbagai kegiatan rumah tangganya. Fungsi dapur, kamar tidur dan ruang keluarga atau ruang tamu saling silih berganti sesuai kebutuhan.Antara petak satu dengan lainnya hanya dibatasi oleh dinding tipis yang terbuat dari tripleks. Dinding itu telah banyak mengelupas di sana-sini. Pada beberapa bagiannya bahkan juga ada lubang-lubang sehingga bukannya tidak mungkin tetangga yang satu mengintip tetangga lainnya.Secara berkala Lara dan Tono menempelkan kertas koran di sana sini pada dindingnya untuk menutupi bolong-bolong itu sebelum mereka mengecatnya. Dengan dinding macam itu, untuk saling tegur sapa antar tetangga mereka tak perlu secara khusus berhadapan atau keluar rumah. Mereka sudah terbiasa lempar omongan diantara dinding-dinding itu. Sambil melakukan kegiatan sehari-hari mereka bisa saling bicara dari tempat masing-masing. Mereka ini memang orang-orang yang mudah dengan cepat menyesuaikan diri dan terbiasa menghadapi hidup yang serba kekurangan di tengah kota besar macam Bekasi itu.Akan halnya keluarga Lara, Tono suaminya bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan angkutan. Hampir setiap hari dia berangkat kerja dari pukul 6 pagi hingga pulangnya pada pukul 7 malam.

Maklum dia menggunakan kendaraan umum yang apabila kesiangan di pagi hari akan kena macet di jalanan sehingga berakibat terlambat sampai di kantor. Sebaliknya pada saat pulang tidak mudah mendapatkan tempat di bus kota yang berjubel itu. Dan tentu saja hampir setiap hari pula Lara harus sibuk sendirian di rumah. Sesekali dia ngobrol sama Mak Sani atau tetangga lain untuk sekedar membuang rasa bosan.Adapun tetangga samping kirinya, Mas Diran dan istrinya Murni, adalah juga orang-orang yang sibuk. Mas Diran bekerja sebagai Satpam di kompleks pergudangan Bekasi. Dia bekerja bergilir, seminggu tugas malam, dari pukul 6 malam hingga pulangnya pukul 6 pagi, kemudian seminggu berikutnya tugas siang dari pukul 6 pagi hingga pulangnya pukul 6 malam. Istrinya, Murni bekerja sebagai perawat di rumah sakit bersalin di bilangan kecamatan tidak jauh dari rumahnya.Jadi pada waktu-waktu tertentu di siang hari rumah Mas Diran dan Murni kosong selama satu minggu karena Mas Diran kebetulan kena giliran jaga di siang hari. Dan pada minggu lainnya sesekali Lara melihat Mas Diran yang sedang santai di rumahnya karena kebagian gilir jaga di malam harinya.Begitulah kehidupan per-tetangga-an mereka selama berbulan-bulan hingga.. Terjadilah peristiwa dan cerita ini..Peristiwa dan cerita yang penuh nafsu syahwat birahi, yang akan merubah suasana dan situasi kehidupan mereka yang tinggal di deretan rumah kontrakan sederhana itu. O, ya.. Aku lupa. Perlu aku jelaskan bahwa untuk keperluan mandi, mencuci dan kakus pada mereka tersedia tempat dan fasilitasnya untuk digunakan bersama. Secara bergantian tentunya. Dan di situlah terjadi saling ketemu, saling tegur dan saling pandang antar tetangga satu sama lainnya.Dan dari sini pulalah awal dari segala peristiwa dan cerita ini..Lara adalah perempuan yang suka sibuk. Dia tidak mau diam. Selalu ada yang dia kerjakan. Disamping setiap hari dia membersihkan dan merapikan rumahnya yang kecil itu Lara juga senang memasak dan mencuci pakaiannya atau pakaian suaminya. Hampir banyak waktunya dia habiskan di dapur dan tempat mandi dan cuci.Dan tentu saja tetangganya, dalam hal ini Mas Diran justru sering melihat dan berjumpa Lara di tempat ini. Pada saat dia kena gilir jaga malam se-siang hari Mas Diran yang sendirian karena istrinya lagi kerja banyak keluar masuk di tempat mandi dan cuci ini. Karena seringnya bertemu berdua saja, mau tidak mau seringlah terjadi saling tegur sapa antara Lara dan Mas Diran. Tidak bisa dipungkiri bahwa Lara yang baru 26 tahun itu memiliki daya tarik seksual yang lumayan. Ibarat kembang Lara ini sedang mekar-mekarnya dan ranum.Semerbak bau dan tampilan tubuhnya bagaikan madu yang mampu membuat mabok para kumbang dan kupu-kupu. Tubuhnya yang nampak ‘getas’ dengan tingkahnya yang gesit membuat dia demikian mudah memancing syahwat para lelaki normal yang melihatnya. Dan tentu saja syahwatnya Mas Diran yang juga lelaki normal itu. Diam-diam selama ini Mas Diran memang selalu memperhatikan sosok Lara. Dia cukup ‘kesengsem’ dengan istri tetangganya itu.Dan dari waktu ke waktu Mas Diran sering dan semakin merasa sepi saat tidak bisa menyaksikan Lara berada di tempat mandi dan cuci. Dia jadi gelisah. Mondar-mandir atau mengintip ke belakang di tempat mandi cuci itu. Tak dipungkiri bahwa Mas Diran suka membayangkan betapa nikmatnya kalau bisa berasyik masyuk dengan Lara.Dia melihat banyak kelebihan Lara dari istrinya Murni. Dia melihat dan membayangkan betapa Lara akan sangat ‘panas’ saat berada di ranjang. Dia bisa merasakan bagaimana perempuan dengan betis kecil dan dada yang bidang macam Lara itu akan menjadi kuda betina liar yang terus meringkik kehausan saat bergelut di ranjang. Mas Diran juga membayangkan bagaimana susu Lara yang belum melahirkan anak itu akan menjadi kenyal saat mendapatkan sentuhan atau sedotan dari lidah atau bibir lelaki. Susu yang pada saat kena sentuhan birahi akan membuat putingnya naik terangkat dan mencuat ke depan.

Warnanya yang merona merah akan sangat menantang seseorang untuk mendekatkan bibirnya dan menghisapinya.Mas Diran tidak bisa mengelakkan penisnya yang selalu ngaceng saat membayangkan pesona Lara yang istri tetangganya itu. Akan halnya Lara sendiri, dia menyadari dan tahu bahwa dirinya termasuk seorang perempuan yang memilik pesona seksual. Banyak lelaki dan khususnya Mas Diran yang tetangganya itu sering kepergok saat memperhatikan tubuh indahnya.Beberapa kali, atau sering kali dia mencuri pandang dan melihat bagaimana Mas Diran melotot matanya melihat tampilan dirinya. Sebagai perempuan muda, Lara tidak menutupi kebanggaannya saat ada lelaki, siapapun dia, yang menunjukkan ketertarikan atau kekaguman pada dirinya atau pada tubuhnya. Bukankah itu merupakan semacam pengakuan dari para lelaki bahwa dirinya cantik, menarik dan pantas dikagumi? Dan Lara termasuk perempuan yang selalu haus pengakuan macam itu.Walaupun Tono suaminya tak pernah berhenti memuji kecantikannya dia masih juga senang aat ada lelaki lain yang memperhatikan dengan penuh nafsu pada bagian-bagian sensual tubuhnya. Dia tahu Mas Diran suka memperhatikan tulang pipinya yang tinggi dan membuatnya nampak manis itu. Dia tahu Mas Diran sangat suka memperhatikan bibirnya saat dia sedang berbicara apa saja. Dia tahu Mas Diran suka memperhatikan lehernya yang jenjang dan bahunya yang lebar, seakan menunggu kesempatan kapan untuk bisa mendaratkan lidah dan bibirnya di atasnya.Dia tahu Mas Diran suka memperhatikan celah di antara buah dadanya. Dia tahu Mas Diran suka memperhatikan ketiaknya saat menjemur pakaiannya. Dia tahu Mas Diran suka memperhatikan pantatnya yang seksi saat dia nungging menyapu lantai tempat mencuci. Dia juga tahu bagaimana mata Mas Diran berusaha menembusi celah roknya saat dia jongkok di tempat cucian. Dia juga tahu dan merasakan betapa Mas Diran pingin melihat bagian-bagian tubuhnya yang sangat rahasia.Dan Lara sangat menikmati bagaimana Mas Diran memuaskan matanya untuk menikmati pesona tubuhnya. Dia sangat senang saat melihat mata Mas Diran yang melotot seakan hendak menelanjangi dan melahap tubuhnya. Dan Lara akan kesepian dan gelisah pada saat tak ada Mas Diran. Pada saat Mas Diran kena giliran jaga siang hari, hati Lara menjadi kosong dan merasa sendirian.Lara menjadi malas berbuat apapun. Malas masak, malas nyuci, malas mandi dan malas lain-lainnya. Dia merasa kehilangan pengagumnya. Dan dia juga seakan kehilangan semangat hidupnya.Begitulah hingga pada suatu pagi..Lokasi di rumah kontrakan pagi ini nampak sunyi. Murni sudah berangkat kerja. Tono sudah berangkat kerja pula. Kebetulan Mak Sani juga sedang pergi nginap di tempat anaknya di Serang. Nampak Lara dengan cuciannya yang menggunung, karena baru saat ini pingin nyuci sesudah 4 hari bermalas-malasan. Dia nampak sibuk dengan memilah-milah dan menggilas pakaian-pakaiannya. Pagi ini dia menunjukkan semangatnya kembali. Dia tahu mulai hari ini Mas Diran untuk selama satu minggu ke depan akan selalu berada di rumah pada siang hari. Dia kena tugas jaga di malam hari selama seminggu.Sesudah satu minggu menunggu dalam sepi, hari ini Lara sudah bertekad akan banyak nyuci atau masak yang membuatnya bisa mondar-mandir di tempat mandi dan cuci ini. Dia sudah rindu akan mata hausnya Mas Diran yang seakan menelanjangi dan hendak menelan tubuhnya itu. Dia sudah rindu akan pandangan penuh birahi Mas Diran yang bisa membakar semangat kerjanya pula. Dia merasakan betapa dari setiap pandangan mata Mas Diran pada bagian-bagian tubuhnya membuat dirinya sangat bangga dan tersanjung.Pagi ini Lara lebih dari sekedar nyuci. Pagi ini Lara sengaja berdandan khusus untuk Mas Diran. Dia memakai baju atas yang memperlihatkan belahan dadanya lebih membelah, disamping lebih menunjukkan keindahan bahu dan ketiaknya. Baju atasnya itu hanyalah sepotong kain yang membungkus sebagian kecil dadanya dengan tali kecil yang nyangkut ke bahunya. Dengan baju macam itu Mas Diran akan lebih bisa menikmati keindahan tubuhnya, ketiaknya dan belahan dadanya.Lara juga mengenakan rok yang sangat pendek. Dia ingin menunjukkan betisnya yang ranum bak padi bunting serta membuat lebih banyak menampakkan bagian dengkul hingga naik ke sedikit pahanya.

Pada saat jongkok, bukan tidak mungkin Mas Diran juga berkesempatan melihat secercah celana dalamnya. Jantung Lara berdesir saat mengkhayalkan bagaimana nanti Mas Diran terpukau pada saat menyaksikan bagian-bagian tubuhnya yang sensual dan sangat rahasia ini.Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Lara sudah tak sabar menanti kehadiran Mas Diran. Mas Diran memang biasa bangun siang sesudah tugasnya yang hingga pagi hari itu. Biasanya dia baru keluar untuk mandi sekitar pukul 10 pagi.Tetapi untuk pagi ini, mungkinkah dia keluar lebih awal..?Hati Lara melonjak girang sekaligus deg-degan saat mendengar gerendel pintu rumah Mas Diran dibuka. Dengan hanya bercelana kolor dan kalung handuk Mas Diran keluar dari rumahnya.
“Pagi, Dik Lara. Sudah rajin nih, ya. Bagaimana kabarnya. Dik Lara dan Mas Tono sehat?”, sapa ramah Mas Diran.Dengan muka berona kemerahan karena menahan desirnya jantung dan hati,
Lara menjawab, “Pagi Mas Diran. Baik. Baru bangun ya?!”, sambil menebar senyuman dan matanya menatap tubuh Mas Diran.
“Iya, nih. Semalam benar-benar begadang karena ada satu teman yang absen. Saya mesti menggantikannya. Ss.. Saya kk.. Kehilangan giliran tidurnya, dd.. D.. Dik”, kali ini jawabannya agak tersendat. Mas Diran menyaksikan betapa Lara nampak sangat membangkitkan birahinya dengan pakaiannya yang banyak terbuka itu.Sepertinya Lara langsung tahu. Dia gembira hatinya karena tujuannya tercapai. Kemudian sambil pura-pura membetulkan ikatan rambutnya, Lara mengangkat tangannya hingga ketiaknya yang mulus dan indah itu nampak terbuka lebar. Bak seorang penari yang sekaligus koreografer, dia juga menggerakkan bagian-bagian tubuh lainnya dengan harapan Mas Diran bisa menikmati keindahan leher lehernya, belahan dadanya dan juga bibir sensualnya.Dia menyahut omongan Mas Diran dengan sedikit melempar umpan,“Yaa.., khan ada Mbak Murni, Mas. Tentunya khan ada dong.. Sambutan di pagi hari.. “, sambil sedikit melepas senyuman dan lirikan matanya yang menggoda. Seperti gayung bersambut, Mas Diran merespon dengan penuh pemahaman dan dorongan untuk’jemput bola’.

Dengan gaya ‘lelaki yang penuh derita’ dia menjawab,“Ah.., nggak koq, dik. Setiap pagi saya datang, setiap pagi itu pula Murni siap berangkat. Jadinya yaa.. Selalu selisiban, begitu”.Mas Diran juga sempat mikir, kenapa kali ini Lara ini kok demikian beda. Pakaiannya beda. Duh.., tuh lihat.., belahan dadanya.., dan ituu.., ketiaknyaa.. Huuhh.. Indah banget, sih.. Pasti wanginyaa.. Dia memang tahu, Dik Lara ini seneng kalau diperhatikan. Apalagi kalau saat memperhatikan menampakkan pandangan kekagumannya. Tetapi kali ini..Dan omongannya lebih berani. Bukankah omongannya tadi banyak mengandung godaan dan pancingan-pancingan? Adakah Lara dilanda rasa sepi? Adakah Mas Tono, yang suami Dik Lara kurang memberikan makanan batin? Mungkinkah Lara ini kesepian dan sengaja menunggu sentuhan-sentuhan birahinya.., ah.., jangan terlalu jauh.. Kasihan Dik Tono, begitu pikir Mas Diran.Tetapi tak perlu dipungkiri, penis Mas Diran ngaceng juga. Rasa sepi hati Lara telah sedikit terobati. Dia sudah menyaksikan kembalinya sang pengagum dirinya. Persiapan yang sungguh-sungguh untuk disuguhkan kepada pengagumnya juga sudah dia lakukan. Dia sudah memakai baju yang paling menarik.Dengan berpura-pura membetulkan ikatan rambutnya dia sudah menyuguhkan pesona ketiaknya, leher jenjangnya dan belahan dadanya pada Mas Diran dengan cara yang sangat atraktip dan mendebarkan hati. Dia juga sudah sudah membuka omongan dengan omongan yang tak biasanya. Omongan yang nyata-nyata bisa menjadi umpan pancingan. Omongan yang mengandung goda. Sebenarnya dia juga nggak tahu, kenapa omongan itu keluar begitu saja dari mulutnya?!Bukankah omongan macam tadi bisa menimbulkan pertanyaan aneh dan menggoyahkan hati serta pikiran Mas Diran?! Ah.., Mas Diran nampak beranjak untuk mandi. Sepintas Lara mengikuti dengan ekor matanya hingga Mas Diran masuk dan menutup kamar mandinya. Dia melihat betapa tubuh Mas Diran itu demikian kekar sehat. Dia melihat sepintas betapa dadanya penuh otot. Mas Diran bisa merawat tubuhnya. Tidak seperti dada Mas Tono yang kerempeng itu.

Lara juga memperhatikan betapa dengan tubuh jangkungnya Mas Diran, ada kali sekitar 175 cm, sungguh membuatnya tampil sebagai lelaki yang jantan dan tegap. Dd.. Dan, seandainya kepalaku jatuh bersandar pada dada ituu.. Ahh.., jangan terlalu jauh.Ada Mbak Murni.., jangann.., begitu lamunan Lara yang langsung membuat wajahnya memerah. Begitulah, nampaknya hari ini telah tumbuh sebuah komunikasi yang beda antara Lara dan Mas Diran. Komunikasi yang terasa bernuansa romantis walau yang tak ter-ucapkan dalam kata-kata vulgar. Komunikasi dua insan manusia yang selalu haus akan penyaluran naluriah syahwatnya.Komunikasi yang membuat hati keduanya berdesir-desir. Komunikasi yang kemudian membuat dan menggelisahkan batin mereka berdua. Sejauh ini komunikasi itu memang masih bersifat ‘cara mata memandang serta ucapan pameo’ yang bisa mengandung banyak makna. Komunikasi itu memang masih diluar jangkauan akan makna ‘hubungan’. Makna ‘hubungan’ yang bisa lebih konkrit mengarah dalam bentuk komunikasi fisik.Tetapi komunikasi yang terjadi antara Lara dan Mas Diran hari ini sudah memungkinkan berkembang ke arah ‘bahaya’, mengingat pada Lara ada Tono dan pada Mas Diran ada Murni, pasangan-pasangan hidup mereka.Bukan tidak mungkin mereka terseret ke komunikasi yang menyentuh hati. Dan lebih jauh lagi menjadi komunikasi yang menebar panggilan birahi, seperti serbak bunga pada kumbang. Atau nyanyian angsa jantan untuk menarik angsa betina. Atau aroma kemaluan serigala betina yang menebar hingga tercium serigala jantan. Dan akan lebih berbahaya lagi apabila komunikasi itu bergeser dan berubah menjadi ‘hubungan’ yang bersifat fisik.Yang telah terjadi saat ini adalah, kalau tadinya antara mereka hanya saling curi pandang, kini baik Mas Diran maupun Lara sudah berani langsung saling pandang. Saling melirikkan matanya, saling mengangkat alis sebagai pertanda pada hal-hal yang belum mungkin terucapkan. Saling menggoda dan menyindir pada hal-hal yang mengarah ke erotisme.Tetapi bagaimanapun baik Lara maupun Mas Diran masih memperhitungkan adanya tetangga yang tinggal di rumah petak yang lain di sekitarnya. Mereka sangat menjaga jangan sampai terlanjur mengundang perhatian tetangga mereka itu. Kalau hal itu terjadi akan berbahaya bagi kehidupan rumah tangga mereka dan akan sulit bagi mereka untuk bisa melangsungkan komunikasi selanjutnya.Tetapi yang namanya panggilan syahwat dan birahi tak pernah putus akal. Dewa-dewa cinta yang sangat kreatip selalu mengirimkan berbagai akal bulusnya. Gagasan dan akal bulus para dewa cinta itu dengan gampang merasuki keduanya. Lihatlah..
“Dik Lara, kemarin Mas Tono bawa koran Kompas, khan? Aku pinjam dong. Aku pengin baca berita Pemilu 2004, nih,” terdengar suara Mas Diran dari balik dinding rumahnya yang penuh bolong itu.
“Ada, Mas. Aku antar ke depan rumah ya,” jawab Lara.
“Nggak usah. Lewat sini saja dik. Dari arah bangku Dik Lara ini khan ada bolongan. Cukup untuk nyeploskan koran. Gulung saja dulu, dik,” usul Mas Diran yang sangat unik, menggunakan bolongan dinding mereka untuk mengirimkan koran Kompasnya.Dan sejak itu banyak dan beragamlah pemanfaatan lubang dinding dekat bangku Lara itu. Dari kiriman sambel kecap untuk makan siang, pisang goreng, pinjam ballpen, pinjam buku dan sebagainya. Lubang yang letaknya kira-kira sepinggang di atas lantai itu terjadi karena triplek dinding yang telah keropos.Semula sudah ditutup koran-koran yang ditempel dengan lem sagu. Tetapi ya, mudah lepas. Dilem lagi, lepas-lepas lagi. Dan akhirnya setengah dibiarkan. Lubang itu tidak tepat berbentuk bulatan. Dari atas turun memanjang hingga sekitar 12 cm dengan lebarnya yang 3 cm. Tetapi kalau diperlukan, lubang itu bisa direnggangkan sedikit sehingga bisa untuk nyeploskan botol kecap yang besar itu atau lainnya.Pada saat lain lubang itu kembali menyempit sehingga tidak menarik perhatian siapapun termasuk Tono suami Lara maupun Murni istri Mas Diran. Dengan lubang macam itulah akal bulus para dewa cinta bisa memanggil-manggil birahi dan syahwat manusia kapan saja.

Dengan adanya lubang pada dinding itu komunikasi erotis antara Mas Diran dan Lara berkembang dengan sangat pesat.Dari waktu ke waktu panah dewa cinta dengan pasti menembus dan membutakan mata dan hati mereka.Kata-kata yang saling ejek dan goda dengan seling tawa saling dilontarkan antara Lara dan Mas Diran melewati dinding rumah mereka. Dan ucapan-ucapan mereka dengan cepat berkembang semakin bebas, semakin panas serta semakin vulgar. Kini nampak keduanya sedang ber-asyik masyuk dengan saling berbisik antar dinding.Lara secara khusus menarik bangku plastik untuk kemudian duduk mendekat ke dinding dan lubang itu. Demikan pula Mas Diran. Dia menarik kursi makannya untuk mendekati dinding dengan lubangnya itu pula.
“Gede donk, punya Mas Tono?,” bisik Mas Diran melontarkan godaan ‘hot’-nya.“Ah, jangan mengejek lho. Dosa tuh. Memangnya seperti punya Mas Diran, bisa buat pentungan kalau lagi jaga malam?,” balas Lara disertai tawanya yang menderai tertahan.
“Ya, tapinya banyak loh yang pengin kena pentunganku,” ganti Mas Diran yang ketawa.
“Ya, sudah. Sana cari yang suka pentungan Mas Diran!,” ketus Lara bernadakan cemburu.
“Eh, eh, eh.. Jangan marah.., ayolah say..,” buru-buru Mas Diran membujuk Lara.Justru cemburu Lara kian membara. Dia menganggap Mas Diran juga mengobral goda pada perempuan lain. Dia merasa seakan Mas Diran punya perempuan simpanan. Mukanya cemberut. Dia tidak menjawab bisikkan Mas Diran.Sesudah beberapa kali berusaha memancing omongan Lara, bisikkan Mas Diran tetap tak mendapatkan respon, Sekali lagi dewa cinta perlu ikut campur.“Ya, sudaahh.., aku mau tidur sajaa..,”
“Eeii.. Tunggu. Kembalikan dulu koranku. N’tar dicari yang punya,
”Kemudian Lara menuju lubang di dinding, “Mana?,” permintaan ketusnya.
“Nih, ambil sendiri?,” jawab Mas Diran dari balik dinding sambil menunjukkan koran di tangannya..“Ceploskan saja!,”
“Nggak, ah, nanti robek. N’tar aku dimarahin Mas Tono, lagi!,”Cemburunya yang masih membakar akhirnya kalah. Lara takut nanti suaminya mencari korannya. Dan apa katanya kalau ternyata koran itu ada di tempat Mas Diran. Akhirnya dia mengasongkan tangan kanannya masuk ke lubang itu untuk mengambil korannya.Melihat tangan yang indah dan lembut itu Mas Diran tak mampu menahan pesonanya. Saat itulah Mas Diran kontan meraih tangan Lara. Lara kaget dan serta merta berusaha menarik tangannya. Tetapi mana kuat melepaskan diri dari pegangan kokoh Mas Diran. Sambil meronta-rontakan tangannya dia berteriak-teriak dalam bisikkan,“Lepaskan. Lepaskan. Aduh.. Lepaskaann..!,”Tetapi Mas Diran justru lebih menggoda. Dengan memegang pada tangan kanannya, tangan kirinya mengelusi jari-jari Lara. Elusan yang cepat berkembang menjadi urutan-urutan. Dan rontaan tangan Lara itu pelan-pelan mereda. Cemburu Lara padam. Dia menikmati elusan tangan Mas Diran. Sesaat hening. Yang terdengar nafas-nafas dua insan yang terpisah oleh dinding tripleks.Tiba-tiba Lara disergap perasaan merinding. Dia seakan jatuh dari ketinggian tetapi tak pernah menyentuh tanah. Dia merasakan ke-lengang-an yang nikmat pada saat jatuh itu. Ketinggian itu seakan tanpa batas. Elusan tangan Mas Diran pada tangannya telah menyentuh sanubari dan membangkitkan nikmat. Lara seperti terlempar dan jatuh melayang ke awang-awang.Akan halnya Mas Diran. Sebenarnya dia tidak sengaja dan merencanakan hadirnya tangan Lara itu. Tetapi ketika dia menyaksikan tangan lembut nyeplos dari lubang dindingnya, refleksnyalah yang meraih tangan itu. Yaa, macam inilah hasil kerjanya dewa cinta..Dan saat tangan lembut itu meronta, dia tak ingin melepaskannya lagi. Dia sungguh mengagumi kelembutan tangan itu. Itu bukan macam tangan Murni yang kasar. Dia langsung terdorong untuk mengelusi kelembutan tangan Lara itu. Duh, punggung tangan inii.., betapa indahnya.. Duh, jari-jari inii.., betapa lentiikk..Dan tiba-tiba hadir sebuah dorongan yang sangat kuat. Mas Diran mendekatkan tangan Lara itu ke mukanya. Dia menciumi tangan itu. Dan kemudian lebih jauh lagi dengan menjilat dan mencaplok. Mas Diran mulai mengulum jari-jari Lara yang lentik itu. Siirr.. Jantung Lara terasa berdesir. Sebuah badai birahi mendera langsung ke sanubarinya. Lara seperti tersengat listrik ribuan watt saat ujung-ujung jarinya merasakan adanya sentuhan lunak kehangatan.Dia memastikan Mas Diran sedang mencium dan memasukkan jari-jari tangannya kemulutnya. Sengatan listrik itu merambati seluruh bagian tubuhnya. Lara merasakan seakan hendak pingsan. Dia cepat berpegang pada dinding dan tanpa sadar dia merintih,
“Dduuhh.. Mas Diraann.., j.. Jj.. Jangaann.. ,” tangannya kembali meronta kecil.Kata ‘jangan’ yang keluar dari desah Lara itu tanpa disertai upaya sungguh-sungguh untuk menarik lepas dari kuluman bibir Mas Diran.

Lumatan Mas Diran pada jari-jari Lara disertai dengan sedotan-sedotan. Dia isep-isep jari-jari itu dengan sepenuh perasaannya. Dia merasakan betapa lembut tangan Lara di ujung bibirnya.Dia juga menjilati telapak tangan Lara yang terasa membasah karena keringat dinginnya. Lara menggelinjang hebat. Dan tanpa sepenuhnya disadari tangan kiri Lara mulai bergerak meraih kemudian merabai buah dadanya sendiri. Badai birahi itu telah membuat Lara tenggelam dalam samudra nikmat.Dia bergetar dan menggigil merasakan kuluman mulut Mas Diran pada jari-jarinya. Dia merasa nafsu birahinya seketika terdongkrak dan terpacu keluar. Buah dadanya terasa sangat menggatal sehingga tangan kirinya serta merta meremasinya. Jari-jarinya memijit-mijit pentil-pentilnya. Dia juga meracau..“Mmaass.., Mass.., Maass.. Jangaann.. Ampun Maass.. ,” ucapan yang penuh paradoks dari bibir mungil Lara.Kata ‘.. Jangaann.. ‘ itu semakin jauh dari makna sejatinya. Kata itu justru untuk mengukuhkan kuluman Mas Diran pada tangan dan jari jemarinya. Lara semakin memperkeras pijitan pada pentil-pentilnya.Mas Diran semakin terbakar mambara. Nafsunya yang tidak banyak tersalurkan pada istrinya kini pengin ditumpahkan pada Lara. Tetapi apa mau dikata. Mereka berada di ruangan terpisah. Yang mereka bisa lakukan hanyalah berbisik atau seperti sekarang ini, merabai dan menciumi tangan Lara.Dan nampaknya Lara telah menyerah dalam kendali Mas Diran. Dia tengah tenggelam dalam birahi syahwatnya. Mas Diran jadi kini pengin tahu, adakah Lara juga merindukannya?Adakah Lara juga ingin menyalurkan dorongan birahinya?Adakah Lara akan memberikan respon balik sesudah tangan dan jari-jarinya kini dalam kulumannya?Pelan-pelan dia kendorkan pegangannya pada tangan Lara. Dia pengin tahu, apakah Lara akan langsung menarik tangannya ke balik dindingnya.Ternyata tidak.Justru kupingnya menangkap desah lirih dari mulut Lara yang mengesankan betapa haus perempuan yang istri tetangganya itu untuk dipuaskan syahwatnya. Justru jari-jari Lara kini meruyak-ruyak dalam mulutnya. Sesaat Mas Diran tetap mengkulum dan menggerakkan lidahnya pada jari-jari indah itu sebelum akhirnya menarik lepas tangan itu dari mulutnya dan meraih tangan itu untuk mengembalikan ke balik dindingnya.Lara mengikuti apa yang menjadi kehendak Mas Diran. Tangan Mas Diran terus menggamit tangannya untuk dikembalikan nyeplos melalui lubang dinding itu. Tetapi ternyata tangan Mas Diran terus ikut nyeplos. Lubang itu melebar ditembusi oleh tangannya yang kekar. Tangan penuh otot yang coklat kehitaman, yang nampak banyak didera oleh kehidupan yang kasar dan keras itu kini berada di depannya.Lara berdesir terpana melihat tangan Mas Diran itu. Mau apa dia?Tangan itu bergerak menggapai-gapai. Lara memastikan Mas Diran ingin meraih dirinya. Dia memang tak akan bergerak dari tempat duduk bangku plastiknya. Dan tangan itu berhasil menyentuh pahanya yang hanya memakai rok pendek. Nampak dengan jari-jarinya yang kasar tangan itu merabai dan mengelusi pahanya.Apa yang kini terlihat dan dirasakan Lara sungguh suatu hal yang penuh sensasi. Selama ini tak pernah satu orang lelakipun yang pernah menyentuh tubuhnya apalagi pahanya macam yang Mas Diran lakukan dengan tangannya ini. Tetapi kini sebuah tangan lelaki yang berotot dan kasar itu datang nyeplos dari lubang dinding untuk mengelusi pahanya. Kembali jantungnya langsung berdesir. Dan kembali badai birahi menderanya. Kembali nuraninya serasa disengat listrik ribuan watt.Darah Lara yang tersirap membuat wajahnya serasa terbakar memerah. Matanya tak lagi mem-fokus ke arah manapun. Pelupuk matanya setengah tertutup. Lara terbawa arus birahi yang sangat nikmat. Elusan-elusan yang sering juga diseling sedikit cakaran dari tangan Mas Diran mengaduk-aduk nuraninya dan membuahkan erang dan rintih nikmat yang penuh iba.“Oohh.. Mmaass Diraann..,” sambil tangannya seakan mau menahan gerak dan laju tangan Mas Diran.“Maass.. Mass..”.Sementara itu tangan Mas Diran itu mulai menggeser sentuhannya menuju ke arah pangkal pahanya. Lara membiarkan tangan itu bergerak kemana maunya. Dia seperti sedang melayang. Kenikmatan birahi ini membuatnya ngambang di atas bumi. Hingga terjadilah.

Tangan Mas Diran kini merabai bagian tubuh Lara yang paling peka. Tangan Mas Diran mengelus-elus pangkal paha dan selangkangan Lara itu. Tangan dan jari-jari Mas Diran meremas celana dalamnya untuk menggelitiki vagina Lara. Lara menggelinjang dengan hebat. Nafasnya tersengal. Tangan-tangannya mencari apapun untuk bisa dia pegang. Mulutnya merasa sangat haus.Tangannya akhirnya memegang meremasi tangan Mas Diran. Lara merintih dengan diikuti tubuhnya menggoyang-goyang maju mundur hendak menjemput rabaan tangan Mas Diran itu. Begitulah perempuan. Dia menikmati antara ‘ya’ dan ‘jangan’, untuk membiarkan semuanya berjalan tanpa kendalinya.Jari-jari ituu.., aacchh, uucchh..Jari-jari itu meretas tepian celana dalam. Jari-jari itu menyentuhi bibir vaginanya. Jari-jari itu berusaha merogoh vaginanya. Tangan Lara mencekalnya lebih erat. Bukan untuk menghambatnya.Tangan Lara mencekal untuk mengkokohkan posisi tangan Mas Diran. Lara ingin jari-jari Mas Diran mengorek-orek lebih jauh kemaluannya. Lara sangat merasakan kegatalan pada vaginanya.vagina Lara telah basah oleh cairan birahinya. Lara minta jari Mas Diran mengoboki lebih dalam lagi. Tetapi tangan itu tak akan berhenti di sana. Tangan Mas Diran masih mau menjerlajah. Tangan itu melepaskan vagina Lara yang telah membasah. Tangan itu meninggalkan siksa kepada Lara. Tangan dan jari-jarinya itu terus memanjati tubuh Lara. Ke perutnya sesaat, kemudian meluncur ke buah dadanya yang memang telah setengah terbuka sejak awal tadi.Kini kenikmatan yang beda kembali melanda Lara. Tangan Mas Diran dengan liar meremasi buah dadanya. Jari-jarinya memelintir puting-puting susunya. Bagaimana mungkin menghentikan desah dan rintih dari mulutnya,“Ammpuunn, Maass.. Maass.. Maass.. ‘, hanya itulah kata-kata yang berkali dan berulang disuarakan.Tetapi Mas Diran belum juga menghentikan gerak panjat tangannya. Dia menjamah dan mengelusi leher Lara sesaat kemudian meluncur ke atas lagi hingga jari-jarinya menyentuh sepasang bibir Lara. Jar-jari itu bermain di celah bibir dan menyentuh gigi Lara. Jari-jari itu seakan merangsek ke mulut Lara.Dan tanpa komando serta tanpa sadar sepenuhnya, Lara membuka mulutnya dan langsung mencaplok kemudian mengulum jari-jari Mas Diran. Ini memang salah satu terminal birahi yang ingin dia rambah. Kini dia tahu dan percaya bahwa Lara memang merindukannya dengan penuh dendam.Mas Diran merangsang terjadinya respon Lara untuk melumati jari-jarinya. Kini dia juga semakin tahu. Istri tetanganya ini memang perempuan yang sangat lapar dan haus. Mas Diran ingin menjawab lapar dan hausnya Lara itu. Dia biarkan Lara. Dia memberikan kesempatan Lara untuk memuaskan dulu lumatannya atas jari-jarinya.Lara yang kini telah histeris. Jari-jari dan tangan Mas Diran telah dibuat kuyup oleh bibir, lidah dan ludahnya. Lara dengan setengah membungkuk, juga meletakan lidahnya itu hingga ke lipatan lengan Mas Diran. Maunya sih lebih jauh lagi.Tetapi dinding rumah kontrakan itulah yang mengatur semuanya. Lara juga membawa tangan dan jari-jari itu kembali merabai leher dan buah dadanya. Lara masih ingin buah dadanya berada dalam cengkeraman tangan kasar itu. Tetapi dari balik dinding, Mas Diran punya mau ada beda.Pelan-pelan dia tuntun dan gamit kembali tangan Lara untuk dibawa nyeplos kembali ke ruangannya. Disana telah ada yang menunggu jamahan tangan Lara. Mas Diran telah menyiapkan kejutan bagi Lara. Terus terang seluruh tubuh Mas Diran saat ini juga telah dikobarkan oleh nafsu syahwatnya. penisnya sudah ngaceng dan menyesakkan celananya. Bagaimana nih, jalan keluarnya?!“Dik Lara, Mas nggak tahaann, niihh..,” rintih Mas Diran. Terdengar suaranya agak serak.
“Dik Lara, Mas nggak tahaann.., niihh..,”
“Dik Larsiihh.., tolong Mas diikk..”.Rintihan Mas Diran itu semakin memacu nafsu birahi Lara. Dia juga tidak tahu harus bagaimana. Pada Lara dan Mas Diran ada batasan-batasan yang tak mungkin diterjangnya. Masing-masing tak mungkin saling mengundang atau saling bertandang. Apa kata tetangga nanti.Tetapi Lara sendiri juga semakin tertekan oleh kehendak syahwatnya. Lara juga memerlukan penyaluran gejolak nafsu birahinya. Lara juga telah ditelan badai syahwat yang menggelora.

Dia diombang-ambingkan oleh prahara libidonya.Pada vaginanya sudah dia rasakan ada cairan yang tak terbendung. Cairan birahinya telah membuat celana dalamnya basah kuyup. Sementara jari-jari tangan kirinya tak henti-hentinya memijat dan memilin-milin puting susunya sendiri.Ternyata diam-diam Mas Diran telah mengeluarkan melepaskan celana kolornya. Dan kemaluannya yang gede panjang itu telah lepas keluar melalui tepian celana dalamnya yang nampak setengah kumal itu. Dan tak bisa dia tahan, tangan kanannya kini nampak meijat-mijat dan mengelusi kemaluannya itu. Tersirat ‘precum’-nya yang bening meleleh dari lubang kencingnya.“Dik Lara, Mas nggak tahaann, niihh..,” kembali rintihan Mas Diran mengiang di telinga Lara. Kali ini Lara nampak iba. Bagaimana dia menolong Mas Diran.
“Diikk, aku nggak tahaann..,” sekali lagi rintih serak Mas Diran,Syahwat birahi Lara-lah yang kini menjawabnya dalam bisik,“Gimana dong, mass.. Lara mesti ngapaiin..? Gimanaa..?,”
“Dd.. Dik Lara mm.. Mau b. Bantu Mass.., yaa..??,”
“Gimanaa..??,” suara Lara yang bernada desah dan rintih pula.Itu bukan suara orang bertanya. Maksud ucapan itu adalah untuk mendorong tindakan Mas Diran. Terserah Mas Diran, mau kemana nikmat bersama ini akan dibawa.Tiba-tiba Mas Diran menuntun tangan Lara. Dari balik dinding ini Lara tidak melihat apa yang telah terjadi pada Mas Diran. Dia tidak tahu kalau Mas Diran sudah melepasi celana kolornya. Dan Lara juga tidak melihat kalau kemaluan Mas Diran sudah lepas keluar dari celana dalamnya.Tangannya pasrah mengkuti tuntunan Mas Diran. Darahnya berdesir dan jantungnya memukul-mukul dadanya. Kemana tangannya akan dibawa? Lara menunggu dalam harapan yang cemas.. Tiba-tiba dirasakannya Mas Diran kembali menciumi telapak tangannya. Ah, hanya itu.., demikian sesaat pikir Lara sedikit menyiratkan kecewa.Tetapi tunggu.., ternyata ciuman Mas Diran ini tak lama. Tangan itu kembali dituntunnya. Mas Diran juga merubah posisi pegangannya. Dia buka telapak dan jari-jari Lara untuk kemudian dengan cepat digenggamkannya kembali. Pada saat itulah Lara baru menyadari dan merasakannya.Sebuah bulatan batang yang panjang dan hangat kini berada dalam genggamannya. Oohh, ini khan.. Kk.. K.. Kemaluan.. Mas Diran?! Lara terpekik kecil.Dia sangat kaget. Dia tidak menduga Mas Diran akan membawa tangannya untuk menggenggam kemaluannya. Tetapi ada yang lebih mengejutkan. Dan ini sama sekali tidak pernah dibayangkan Lara sebelumnya. Kemaluan Mas Diran ini demikian kerasnya, hangatnya serta gede dan panjangnya. Lara setengah tidak percaya akan apa yang sedang terjadi hingga Mas Diran membantu tangannya meremas-remasi batang penisnya itu.
“Ayyoo Dik Larah.. Bantuin Maass..,” rintihan penuh iba Mas Diran sambil tangannya menekan-nekan genggaman tangan Lara untuk meremas lebih keras kemaluannya.Prahara birahi benar-benar telah membakar syahwat Lara. Telah memporak porandakan statusnya selaku istri Tono. Menghancur leburkan naluri setia seorang perempuan pada suaminya. Juga telah membutakan segala akal sehatnya selaku Lara yang masih istri Tono.Dalam keadaan begini dia sama sekali tak ingat lagi akan suaminya. Tak ingat lagi akan batasan kewajiban dan larangan. Tak ingat lagi apa yang boleh dan tak boleh sebagai seorang istri. Lara kini lebur dan larut dalam genggaman nafsu syahwatnya sendiri yang menggelegak tak terkendalikan lagi. Tubuhnya oleng kehilangan daya. Dengan tetap menggenggam kencang penis Mas Diran Lara jatuh terduduk di lantai bertumpu pada kedua lututnya.
“Dik Lara, tolong Diikk.., di peres-peres gitu, lohh.. Ayoo..,” bisik Mas Diran yang tidak tahu keadaan Lara sambil mencontohkan pada tangannya untuk meremasi penisnya.Lara yang masih dalam keadaan ‘shock’ itu belum mampu mencerna apa maunya Mas Diran. Walaupun dia tidak melepaskan genggamannya tetapi dia belum bisa mendengarkan bisikan dari balik dinding itu.“Ayyoo, Dik Larah.., bantu mass.., ayo dipijit-pijit gituu..

Mas gatel banget, niihh..”. Dan akhirnya memang Lara tahu. Dan apa mau dikata, rasanya bagi Lara tak ada yang harus dipilih.Dia juga dilanda rasa gerah dan gatal pada bagian-bagian pekanya. Disamping situasi erotiknya yang semakin memanas, udara panas ruangannya juga ikut membuat keringatnya berkucuran dari seluruh tubuhnya.Pakaiannya juga sudah setengah awut-awutan. BH-nya sudah terlepas hingga buah dadanya itu nampak telanjang. Rasa gatal pada pentilnya membuat Lara menjadi sangat histeris. Dia tarik-tarik ujung pentil itu untuk dia sedoti. Tetapi betapa susahnya. Mulutnya tak bisa menjangkaunya.Dan saat kupingnya mendengar suara penuh iba dari Mas Diran membuat Lara menjadi semakin merana. Permintaan dalam rintihan dan desah berbisik itu benar-benar membuat Lara larut dalam gelombang syahwat yang menenggelamkannya.Yang melanda Lara kini adalah sebuah ‘sensasi syahwat birahi’. Bisa dikatakan sensasi karena Lara belum pernah mengalami hal seperti yang sekarang sedang berlangsung ini.Memang dia pernah meremas-remas. Tetapi meremasi kemaluan Tono suaminya berbeda banget dengan apa yang kini dalam genggamannya. Ditangannya kini ada batang gede, panjang dan hangat. Dia seakan sedang memegang lontong gede isi oncom yang baru keluar dari dandangnya.Dan saat ngaceng seperti ini penis Mas Diran ini bukan main kerasnya. Batang itu mendenyut-denyutkan uratnya yang beraliran darah. Denyutnya terasa teratur seperti saat dia memegang urat nadinya. Sensasi syahwat birahi ini telah membuat Lara merinding dan gemetar hebat.Dia tak lagi kuasa untuk menolak nikmat macam ini. Dia mulai menggerakkan jari-jarinya. Dan mulailah tangan cantik dan lembutnya Lara itu melumat-remasi kemaluan Mas Diran. Kini Lara mulai merasakan betapa mantapnya menjamah dan menggenggam penis gede macam ini.Dan akhirnya bukan hanya meremas dan memijit. Lara juga mengelus dan mengurut-urut kemaluan Mas Diran dari ujung hingga ke pangkalnya. Lara juga merabai betapa lebat jembut Mas Diran itu. Dia rasakan adanya rimba yang tebal pada pangkal kemaluan Mas Diran. Tangannya menarik dan jambaki gelimang rambut kemaluan itu.Dia juga mengelusi dan memijit halus bijih pelir Mas Diran. Jari-jarinya merabai bijih itu dan saat datang geregetannya dia sedikit memjit sehingga Mas Diran berteriak kecil merasakan ngilunya.Dia rabai kepala yang mirip topi baja tentara Nazi itu. Lara bisa merasakan betapa licin dan mengkilatnya kepala penis Mas Diran yang sangat mengeras itu. Jari-jarinya seakan mengelusi pucuk terong ungu yang licin besar.Kemudian jari-jari itu merabai seputar lingkar leher penis itu untuk kemudian bergerak lagi merabai kepala serta lubang kencing kemaluan Mas Diran itu. Jangan dikata nikmat yang dirasakan Mas Diran dari permainan jari-jar lentik dan rabaan tangan lembut Lara ini.

“Duuhh.. Dikk, teerruuss.. Enak bangeett.. Dik Larah..”.Hati Lara dirambati semacam perasaan tersanjung dan puas saat mengetahui Mas Diran menerima kenikmatan remasan tangannya. Mas Diran mulai maju mundur menggoyang-goyangkan pantatnya. Dia berharap Lara mengocoki batangnya pula. Goyangan maju mundur pantat Mas Diran menandakan dia tak mampu menahan derita kenikmatan itu.Mendengar rintihan yang keluar dari mulut Mas Diran, Lara membayangkan.. Seandainya penis Mas Diran yang segede ini menembusi vaginanya, rintihan macam bagaimana yang akan keluar dari mulutnya itu. Dan.. Betapa nikmat pula yang akan diraih dan didapatkan Lara.Kembali vaginanya menggatal dan terus melelehkan cairan birahinya hingga celana dalamnya semakin kuyup. Permainan tangan Lara itu memang bukan untuk menghilangkan kegatalan birahi kemaluan seorang lelaki. Lumatan, pijatan dan urutan tangan Lara itu justru mendongkrak syahwat Mas Diran untuk lebih dipuaskan lagi.Kenikmatan remasan tangan Lara membuatnya serasa terbang ke awang-awang. Nikmat itu kini mulai mencari terminal transitnya. Nikmat itu harus ada saat terminalnya sebelum nyambung ke nikmat berikutnya. Mas Diran merasakan air maninya mendesak-desak untuk keluar dari saluran penisnya.“Ach.. Ww.. Uuch.. Aacchh,” terdengar ah uh Mas Diran merasakan desakan nikmatnya.

Air mani ini tentu akan sangat pekat karena telah lebih sebulan tak pernah tersalurkan. Murni istrinya tak pernah punya waktu untuk berasyik masyuk melepas kerinduan dengan Mas Diran. Dan kini ada Lara perempuan ‘hot’ istri tetangganya yang dengan tangan lembutnya sedang mempermainkan saraf-saraf peka di sekujur batang tubuh penisnya yang gede panjang itu.Dan lebih-lebih lagi mulut Lara yang memperdengarkan desahan-desahan erotis itu yang semakin memacu syahwat birahinya,“Enak ya maass.. Tangan Lara?? Terus ya Maass?? Mas Diraann.. Lara juga senaanng sekali bisa memuaskan Maass..”.
“Enak, maass..?,” tanya dalam desah Lara berulang-ulang.Tak pelak lagi pantat Mas Diran semakin tak terkendali maju mundurnya. Rasanya air maninya tak akan mampu ditahan lagi. Mas Diran kembali menghiba,“Diikk Larsiihh.. Kencengin dong remasannyaa.. Cepetin.. Kocok-kocookk.. Yang cepeett..,”
“Ayyoo, Ddikk, Mas Diran mau keluarr, nniihh..”.Dengar ucapan terakhir Mas Diran, Lara tanggap. Dan lebih dari itu memang Lara telah sangat menunggunya. Dia ingin penis Mas Diran menyemprotkan pejuh-nya. Dia ingin tangannya kena semprotan air mani Mas Diran yang pasti sangat hangat itu. Lara juga ingin menyaksikan betapa air mani Mas Diran akan tumpah sangat banyak dan kental.Lara ingin merabai air mani kental itu. Mungkin juga akan dia jadikan lulur untuk dadanya, bahkan untuk lulur wajahnya.. Mungkin juga Lara akan menciuminya atau menjilati air mani itu.Lara nggak tahu kenapa dan bagaimana keinginan seperti itu tiba-tiba hadir dari dalam dirinya.Keinginan seperti itu bahkan tak pernah muncul saat berhubungan badan dengan suaminya selama ini.Lara terlampau merasa jijik saat air mani Tono kesenggol tangannya sekalipun. Dan biasanya dia cepet-cepet cebok sesudah bersebadan dengan Tono. Dia ingin selekasnya terbebas dari cairan yang menjijikkannya dalam liang vaginanya.Tetapi dengan Mas Diran ini, justru dia mendapatkan dorongan nafsu birahi yang beda. Rasanya Lara Ingin melahap apapun yang keluar dari tubuh Mas Diran. Dipercepatnya kocokkan tangannya. penis Mas Diran terasa semakin menegang dan semakin keras dalam genggaman tangannya. Lara merasakan pegal menggenggam penis segede itu.“Yaa.., yaa.., teruss Dik Larah.. Enakk bangeett diikk.., Larsiihh, oohh Larsiihh, Larsiihh,” Mas Diran menyongsong puncak nikmatnya sambil meracau memanggil manggil nama Lara. Pantatnya semakin kuat dan cepat maju mundurnya.Ah.. Akhirnya datanglah..,Dengan meremasi tangan Lara dan juga menahan agar tangan itu terus mijat-mijatnya Mas Diran menunggu air maninya tumpah,
“Ampuunn.. Dik Larah.. Ampuunn.. Dik Larsiihh, .. Enak banget Dik Larah..”.Diawali dengan meregang-regang sesaat penis Mas Diran menyemprotkan sperma dengan kerasnya.Genggaman tangan Lara merasakan sebuah kedutan yang sangat keras. Urat besar penis Mas Diran mengedut dan memompa keluar muncrat cairan putih kental. Air mani Mas Diran deras terpompa keluar. Mungkin ada sekitar 8 atau sembilan kedutan besar yang memompa dan memuncratkan cairan putih kental itu.Tangan Lara merasakan cairan hangat berlumuran pada sekujur lengannya. Telapak tangannya merasakan ada pelumas hangat kental yang memperlicin genggamannya. Air mani Mas Diran telah berlelehan pada tangan dan lengan Lara.Untuk sementara Mas Diran merasakan kelegaan yang sangat mendalam. Kehausan syahwatnya telah mendapatkan saluran keluar dengan muncratnya spermanya. Kini dia membiarkan saat tangan Lara mengendorkan dan melepaskan remasan pada kemaluannya. Mungkin Lara ingin menyaksikan sperma yang berlumuran di tangannya.Dia menarik lengannya. Dia memang ingin melihat bagaimana air mani Mas Diran kini belepotan di tangannya. Dia juga ingin sekali hidungnya mendekat untuk mengendusi baunya. Dan saat tangannya keluar nyeplos dari lubang dinding itu Lara langsung menyaksikan betapa air mani Mas Diran telah belepotan pada telapak, jari-jari dan lengan tangannya.Mata Lara melihat tangannya menjadi lebih indah dan sangat menggairahkan dengan sperma yang berserakan itu. Saat mendekatkan tangannya yang berlepot itu ke wajahnya, hidungnya menangkap bau yang khas. Bau air mani. Air mani yang keluar dari penis Mas Diran. Pelan dan dengan lembut, Lara mengusap-usapkan tangannya ke wajahnya. Dia gunakan cairan kental yang keluar dari penis Mas Diran sebagai masker untuk mempercantik wajahnya.

Kemudian dia juga lulurkan sebagian lainnya ke leher dan kemudian dadanya. Dia pencet-pencet dan lumur buah dada dan puting susunya dengan air mani itu. Dia tak perlu malu pada Mas Diran. Karena dengan sedikit menjauh dan menepi ke dinding, Mas Diran tak akan bisa melihat apa yang dia lakukan.Sebatas untuk melumuri bagian tubuhnya, Lara telah memuaskan dirinya dengan air mani Mas Diran itu. Memang Lara belum tega hatinya untuk menjilat sperma itu. Perasaan jijiknya masih menguasainya.Hingga sore hari tak ada bisikkan antar dinding yang terdengar. Mas Diran tergolek lemas di ranjangnya. Dia langsung tertidur. Dan Lara sibuk menunggu air mani yang dilulurkan di sekitar tubuhnya mengering sendiri. Dia menikmati sensasi erotik dari cara itu.Rasanya Lara ingin membiarkan sperma kering itu tetap nempel pada tubuhnya sampai kapanpun.Saat suaminya pulang, bekas-bekas lulur sperma Mas Diran di wajah dan lehernya telah ngelotok dan lepas. Tono tidak lagi melihat sesuatu yang aneh di wajah dan lehernya itu.Sementara pada dadanya Lara telah menutupinya dengan kaos oblong yang memang dipakai sehari-harinya. Dengan membiarkan kering dan ngelotok sendiri sperma Mas Diran yang dilulurkan ke tubuhnya Lara mendapatkan semacam kepuasan erotis. Sesekali bau khas air mani itu masih menyirat pada hidungnya.Malam itu, sebagaimana malam-malam yang lain Tono makan bersama istrinya. Secangkir kopi dan sepiring pisang goreng telah melengkapi kegiatan makan malam mereka. Sesekali tanpa sepengetahuan suaminya, Lara melirik ke lubang nikmat di dinding itu. Hatinya berdesir saat mengingat betapa lewat lubang itu tangannya telah menggenggam dan meremasi penis Mas Diran yang gede, keras dan hangat milik Mas Diran.Lara masih terkesan saat penis Mas Diran berkedut dengan kerasnya yang kemudian disusul dengan muncratnya air mani yang berlepotan di tangannya. Sementara itu di rumah sebelah, Murni sedang sibuk merangkai bunga kering yang menjadi hobi utamanya. Setiap ada kesempatan dia mampir di toko depan tempat bekerjanya untuk membeli bahan-bahan bunga kering.Secara sambilan dia juga menjual hasil karyanya kepada siapa yang berminat. Banyak teman-teman atau tetangganya yang membeli hasil karya Murni. Mas Diran, suaminya mendukung hobi istrinya yang juga terbukti bisa menghasilkan tambahan uang untuk dapurnya ini. Walaupun terkadang dia harus sedia berkorban.Sering Murni lupa membuatkan kopi saat suaminya hendak berangkat kerja. Bahkan dalam pemenuhan konsumsi libido seksnya selaku suami istri, Murni juga kurang memberikan perhatian kepada Mas Diran. Tadi sore mereka nggak sempat ketemu lama karena begitu Murni pulang, Mas Diran sudah siap hendak tugas jaga malam.Murni juga nggak terlampau perhatian pada dinding rumahnya yang bolong-bolong itu. Sesekali nampak suaminya menambal dengan kertas koran untuk kemudian disapu dengan cat dinding. Sebelum berangkat menuju tugas malamnya, Mas Diran memastikan bahwa lubang tempat masuk tangan Lara saat meremasi penisnya tadi tidak menarik perhatian istrinya. Ah.. Indahnya lubang itu.Masih terkenang betapa lewat lubang itu tangan lembut Lara telah memberikan nikmat melalui remasan-remasannya. Dia ingin sepulang kerja besok bisa mengulangi kenikmatan itu. Dia akan memberikan kejutan bagi Lara. Sore itu Mas Diran berangkat ketempat kerjanya dengan membawa penisnya yang ngaceng sepanjang jalan.Sepanjang malam itu Lara tak bisa nyenyak tidurnya. Dia masih menyimpan obsesi birahinya. Keasyikan ber-asyik masyuk dengan Mas Diran tadi siang belum memberikan akhir nikmat yang tuntas. Memang dia merasa cukup puas saat mendengar bagaimana Mas Diran mendesah dan merintih karena remasan serta lumatan-lumatan tangannya.Dia juga sangat puas bisa melulur wajahnya, lehernya dan dadanya dengan air mani Mas Diran. Tetapi vaginanya sendiri yang sempat basah dan sangat gatal tadi belum menerima sentuhan apapun untuk menyalurkan syahwatnya.Lara nampak gelisah dalam tidurnya. Obsesi birahinya sempat terbawa dalam mimpi.

Celah Antar Dinding Yang Memberi Kenikmatan

Dia melihat Mas Diran sedang menyetubuhi istrinya Murni. Dia menyaksikan betapa Murni menjerit nikmat saat kemaluan Mas Diran yang gede panjang itu menusuki vaginanya.Kemudian dilihatnya pula bagaimana Murni nungging dan Mas Diran memasukkan senjatanya dari arah belakang. Dia melihat bagaimana Murni mengaduh dan merintih merasakan hebatnya kenikmatan syahwat yang diraihnya. Belum lagi usai mimpinya Lara terbangun. Udara rumah kontrakannya yang sempit itu serasa sangat panas. Dia perlu turun dari ranjang untuk minum untuk mengobati tenggorokannya yang kehausan.Dilihatnya suaminya begitu lelap tidurnya. Mungkin karena bekerja seharian, Tono langsung tertidur begitu selesai makan malam tadi. Begitulah yang sering ditemui Lara dalam kehidupan suami istrinya.Hingga pagi hari, praktis Lara tak bisa benar-benar memejamkan matanya. Ingatan akan peristiwa yang terjadi bersama Mas Diran kemarin siang benar-benar membuatnya menyimpan dendam syahwat yang memerlukan saluran keluar.Betapa kemaluan Mas Diran itu demikian menggoda sanubarinya. penis yang demikian gede dan tegar itu pasti akan membuat setiap perempuan yang kehausan birahi siap bertekuk lutut kepada Mas Diran. Dan mimpinya tentang Murni istri Mas Diran yang nampak demikian nikmat menerima tusukkan penis suaminya!?Mungkinkah dia meniru Murni seperti dalam mimpinya? Mungkinkah dia nungging di depan lubang itu dan Mas Diran mau menusukkan kemaluannya dari sebelah dinding yang lain? Cukup lebarkan lubang itu untuk kemaluan Mas Diran? Bisakah hal itu terjadi padanya?“Ahh.. Bagaimana aku mesti menyampaikan keinginanku ini pada Mas Diran?,” demikian pikir Lara. Ah, bagaimana nanti sajalah.Dari ranjangnya Lara sempat mengamati lubang di dinding itu. Lubang yang telah memberikan nikmat siang hari tadi dan akan memberikan nikmat-nikmat yang lain pada siang hari nanti.Sesudah menemani suaminya sarapan pagi dan kemudian melepaskannya untuk berangkat kerja Lara kembali menyibukkan dirinya membereskan rumahnya. Saat menyapu di depan, dia sempat menyaksikan Murni istri Mas Diran berangkat kerja pula. Pada kesempatan itu Mas Diran yang melepas istrinya mengedipkan matanya. Itulah bahasa teguran di pagi hari yang langsung membuat hati Lara berdesir.Sesudah diperhitungkan cukup jauh Tono maupun Murni meninggalkan rumah masing-masing, mereka berdua, Lara dan Mas Diran bergegas mendekat ke lubang kenikmatan kemarin itu.

“Dik Larah..,” panggil Mas Diran dalam bisikkan dari sebelah dinding.
“Mas kangen banget niihh..,” sambungnya.
“Mas nggak bisa tidur semalaman. Mas pengin menyentuh Dik Lara seperti kemarin itu”.
“Sama Mas, aku juga nggak bisa tidur.. Aku mimpi Mas Diran bermesraan dengan Mbak Murni, loh”.
“Asyik banget. Sampai Mbak Murni jerit-jerit karena kenikmatan,” cerita Lara tentang mimpinya.
“Ah, masa sih. Tapi Dik Lara nggak marah toh?,” goda Mas Diran.
“Ya, nggak toh. Khan sama istrinya sendiri,” begitu goda balik Lara.Tiba-tiba dilihatnya Mas Diran memberikan kejutan. Tangan kirinya berhasil menguak lebih lebar lubang dinding itu dengan cara melipat triplek itu ke samping hingga tangan kanannya kini lebih leluasa untuk bergerak. Lubang itu menganga kira-kira selebar ubin 20 X 20 cm.Lara jadi ingat kembali mimpinya. Tetapi..? Mungkinkah membuat lubang yang lebih leluasa lagi? Agar dia bisa nungging di depan lubang itu??Tetapi dengan adanya lubang itu untuk sementara telah cukup membuat situasi dan hubungan menjadi lebih berkembang. Tanpa saling berkesepakatan Lara dan Mas Diran langsung melongok ke lubang. Mereka bisa saling pandang. Dalam pandangan penuh kehausan kedua insan saling mengamati wajah lawannya.Dalam saling pandang itu Lara dan Mas Diran semakin saling mendekatkan wajahnya. Mata-ketemu mata dalam pancaran pandang yang sangat dalam. Mereka juga saling mengamati pipi, dagu, hidung dan bibir lawannya dengan penuh kehausan.Mereka masing-masing ingin mendapat tetapi sekaligus juga memberi. Yang terjadi kemudian wajah-wajah itu saling mendekat. Mendekat. Mendekat. Hingga nafas masing-masing saling menghembus wajah lawannya. Hingga Lara maupun Mas Diran bisa saling merasakan dan menangkap kehangatan wajah lainnya. Mereka saling menyentuh dan berciuman.Ah.. Betapa kalau dua pasang bibir yang penuh dendam birahi berjumpa. Saling sedot dan lumat lidah untuk menghapus dahaga.

Setiap bibirnya serasa ingin meneguk sebanyak-banyak ludah pasangannya.Desah-desah yang dalam saling bersambut. Kecipak bibir yang terkadang lepas dari gigitan atau sedotannya sering nyaring terdengar. Kedua wajah haus itu saling memilin berputar sedikit untuk meraih posisi nikmat.Mas Diranlah yang memulai melepas pagutan. Dia sedikit mundur dari lubang nikmat itu. Dia susulkan tangan kanannya menerobos dinding. Mas Diran mengulang kenikmatan kemarin. Kembali meremasi buah dada Lara.Lara sedikit merana karena lepasnya bibir Mas Diran tetapi dia tidak protes. Dia kini menyambut tangan Mas Diran pada susunya. Dia juga ingin kembali merasakan apa yang telah dia dapatkan kemarin. Dia ingin rasakan kembali remasan tangan tangan Mas Diran pada bagian-bagian peka pada tubuhnya. Dia bahkan menuntun tangan Mas Diran untuk menyentuhi puting susunya.Uhh, jari-jari kasar inii.. Langsung memberikan nikmat dengan menyentuhku, demikian desah Lara sambil matanya merem melek merasakan remasan jari-jari kasar Mas Diran pada kulit buah dadanya yang lembut dan mulus itu. Kemudian saat jari-jari itu memilin putingnya,
“Aduuhh.., maass.. Aku nggak tahan mass.. E.. Ee.. Nak bangett, maass.., amppuun..”.Mas Diran sangat menyenangi jeritan siksaan nikmat dari mulut Lara itu. Pilinan pada putingnya semakin di putar-putar dan pelintir kecil. Terdengar nafas Lara yang sangat memburu. Mas Diran tahu betapa nikmat yang kini melanda syahwat Lara. Tangan Mas Diran juga merabai ketiaknya,
“Dik Lara, Mas pengin menciumi ketiak Dik Lara inii.., Mas pengin menjilati susu Dik Lara..”.
“Mas pengin menggigit-gigit pentil inii diikk.., Mas pengin melumat-lumat ketiakmu, Diikk..,” demikian erang dan rintih Mas Diran yang berkesinambungan.Lara sangat tersanjung dan nikmat mendengar suara Mas Diran itu. Gelora nafsunya terbakar hebat. Rasa haus yang sangat tiba-tiba menyerang tenggorokkan Lara,
“Aku haus, Maass.., akuu hauss.., Mas Diran..,”Dia renggut tangan Mas Diran dari remasan susunya. Dia kembali mengulum jari-jari kasarnya itu dengan penuh nafsu. Lara juga mulai menggigit penuh gereget pada batang-batang jari itu. Entah dalam bayangan erotis macam apa, batang-batang jari kasar milik Mas Diran itu ternyata memberikan saluran akan obsesi syahwatnya. Lidah dan ludah Lara melumat dan membuat kuyup jari-jari itu.Mas Diran merasakan betapa semakin histeris perempuan yang istri tetangganya ini. Sementara itu dia juga merasakan penisnya semakin menuntut untuk dipuaskan. Nalurinya melihat dan mengatakan bahwa Lara bisa memberikan jalan menuju kepuasan itu.Seperti mengalir begitu saja, tiba-tiba Mas Diran ingin bangun berdiri. Dia seakan tahu apa yang diinginkan Lara. Dia tarik cepat tangannya dari mulut Lara dan keluar dari lubang itu. Seperti rasa haus anak bayi yang belum tersembuhkan, tetapi botol minumannya telah direnggut dari mulutnya, begitulah perumpamaan bagi Lara yang kembali kecewa saat tangan dan jari-jari Mas Diran di tarik dari kulumannya,“Aacch, Maass.., Mass, toloong, Mas Diraann.., aku hauuss bangeett Maass..,” Lara merana seperti hendak menangis sambil mengasongkan wajah dan bibirnya ke arah lubang nikmat itu. Tidak lama, tiba-tiba tangis dan iba Lara mendapatkan sentuhan. Jari-jari kasar Mas Diran kembali menyentuh hendak meruyak bibirnya. Bibir haus Lara langsung mencaploknya. Tetapi kenapa jari-jari ini jadi cepat membengkak?Dan, aahh.. Kok ada bau lelaki yang sangat kuat.., sepintas bau yang mengingatkan saat bersebadan dengan Tono suaminya..Dengan sedikit heran Lara mundur sesaat dari celah nikmat itu. Dia kaget saat mengetahui apa yang barusan dicaploknya. Sebuah batang dengan ujung berbentuk bongkahan licin mengkilat dan berwarna merah kecoklatan. Dan.. Lara langsung tahu bahwa itu adalah kemaluan Mas Diran. Edaann..Lara tidak menduga kalau Mas Diran akan mengasongkan penisnya untuk dia kulum ke mulutnya. Tetapi itulah rupanya yang Mas Diran inginkan.“Iseplah Dik Lara.., aku pengin banget Dik Lara mengisep inii.., ayyoo, dikk, Mas pengin merasakan mulut Dik Lara..,”Aah.. Bagaimana aku bisa menolak permintaan Mas Diran. Aku sendiri sangat kehausan untuk menyalurkan keinginan seksku, demikian suara batin Lara. Dia mencoba mengamati batang dan kepala penis Mas Diran.

Duh, bukan main.. Kemaluan lelaki itu sangat mempesonanya. Mata Lara yang indah itu belum pernah menyaksikan kemaluan lelaki selain kecuali milik suaminya. Matanya belum pernah melihat penis segede dan setegar itu.Kenapa kepalanya sebegitu mengkilat seakan menahan tekanan yang sangat kuat dari dalamnya..? Bukankah karena Mas Diran sangat mendendam birahi padanya??Dan itu, lubang kencingnya yang besar menganga, nampak ada cairan bening yang meleleh keluar. Itukah yang namanya pelumas? Cairan yang hanya keluar saat birahinya terangsang??Lara masih terbengong saat Mas Diran kembali mengasong-asongkan kemaluannya dan minta agar Lara mengulum dan mengisepnya,

“Ayyoo, Dik Lara.., Mas pengin Dik Lara menciumi dan menjilati inii.., ayoo, diikk..”.Bisik rintih dari balik dinding yang berulang-ulang diperdengarkan oleh Mas Diran. Merasa terdorong oleh rasa iba, tanpa sadar sepenuhnya tangan Lara langsung meraih batang gede dan hangat itu untuk digenggamnya. Ah, bagi tangannya batang ini tak begitu asing. Bukankah kemarin siang Lara telah mengurut-urut dan mengocokinya hingga cairan kentalnya tumpah.Tetapi kini, oohh, .. Lihatlah, dengan matanya betapa Lara bisa melihat urat-urat kasar melingkar-lingkar di sekujur batang itu. Dan lihatlah betapa kencang dan mengkilat kepalanya karena mendendam birahi.Lihatlah betapa sangat mempesona dan menantang lubang kencing ini. Tak pelak lagi, Lara menjadi histeris menyaksikan apa yang kini dalam genggamannya. Dengan histeris pula, sambil setengah menutup matanya mukanya kedepan dan mengusapkan ujung kemaluan Mas Diran itu ke wajahnya.Ujung kemaluan yang melelehkan lendir pelumas itu diusapkannya ke pipinya. Sepintas hidungnya juga mengendus untuk menangkap aroma kemaluan Mas Diran itu. Ooohh, .. Sedap sekali.Ahh, Mas Dirann.. Biarlah aku memuaskan kehendak syahwatmu. Biarlah aku ciumi dan kulum kemaluanmu yang mempesonakan ini. Biarlah aku jilat dan bikin kuyup dengan ludahku batang yang tegar dan panas ini. Sinilah, biar kuisep-isep dengan sepenuh nikmat birahiku..Dan.. Genjotlah maju mundur penismu ke dalam mulutku. Goyangkan pantatmu, Mas Diran. Begitulah racau batin Lara yang mengalir berkesinambungan. Lara semakin lupa diri. Sambil jari dan tangannya memilin-milin dan memijit batang kemaluan itu, mulutnya yang kini terisi penuh oleh ujung penis yang gede dan berkilatan itu nampak bergerak memompa. Lara melakukannya dengan merem melek.Kemudian ganti, lidahnya bergerak menjilat dari pangkal batangnya hingg ujung lubang kencing kemudian dengan bibirnya yang mengecup-ecup. Dia merasa seperti terbang ke awang nikmat yang tak bertara. Lara menemukan dambaan dan obsesinya. Lara larut dalam prahara nafsu seksualnya.Jangan tanyakan bagaimana Mas Diran dilanda gamang syahwat dari celah dinding rumah kontrakannya yang disebabkan isepan mulut mungil Lara itu. Jangan tanyakan bagaimana Mas Diran langsung terlempar ke pucuk-pucuk kepuasan libidonya. Jangan tanyakan betapa Mas Diran merasa mendapatkan jawaban atas keresahan dan impian erotisnya pada Lara selama ini.Dan walaupun ada dinding pembatas, tetapi kini Lara impiannya itu ada di depannya. Lara, istri tetangganya yang meresahkan syahwatnya selama ini sedang meciumi, menjilati dan mengulum penisnya. Dan itu tak seberapa lama..Kenikmatan tak bertara itu langsung mendongkrak nafsu birahi Lara dan Mas Diran. Lara yang menjadi sangat histeris menjilat, mencium, mencaplok, mengulum dengan penuh gereget kemaluan Mas Diran. Dan sebaliknya Mas Diran yang mendapatkan limpahan histeris birahi Lara hingga syahwatnya menjadi terpacu. Kandungan spermanya terangsang untuk cepat menyemprotkan air maninya keluar.Saraf-saraf peka di seputar selangkangan Mas Diran berinteraksi dan tak mampu bertahan. Urat-urat yang menyalurkan sperma dari kandangnya mulai berdenyut memompa keluar. Mas Diran merasakan air maninya mau muncrat. Pada Lara dia teriak dalam bisiikan,“Dik Lara.., a.. Ak.. Kku.. Mm.. Mauu.. Keluaarr.., niihh. Booleehh..”.
“Ayyoo, Mass.., inilah yang kutunggu..,” demikian suara batin Lara.
“Bantuin Dik. Tolong sambil dikocok-kocok.., tolong Dik Larah..”.Kemudian serta merta Lara meningkatkan rangsangannya pada kemaluan Mas Diran.

Tangannya mengocok dan menguruti batangnya sambil ditusuk-tusukkannya ujung ludahnya pada lubang kencing kemaluan itu. Kemudian disapunya kepala yang mengkilat itu dengan lidahnya hingga menyentuh seputaran lehernya.Tak mungkin lagi dipertahankan. Mas Diran merasakan seluruh saraf-saraf di seputar kemaluannya mulai meregang untuk menjemput muncratnya air mani. Tangannya kini memerlukan ada yang dipegang. Tetapi tak ada pada dindingnya yang bisa diraih oleh tangan Mas Diran. Akhirnya dialihkannya pegangan pada sandaran kursi di dekatnya. Tangannya memerlukan sandaran itu untuk menahan getaran kenikmatan yang semakin datang menderanya. Tak mungkin lagi..“Aacchh.., Dik Laraaa.. Dik Larah.. Keluaarr..,” teriakan penuh nikmat dari mulut Mas Diran.Lara merasakan seperti kemarin. Bedanya, kalau kemarin tangan kanannyalah yang merasakan kedutan besar penis ini, kini rongga mulutnyalah yang menanggung kedutan itu. Beda yang lain adalah, kalau kemarin sperma Mas Diran tumpah terserak ke segala arah, termasuk melumuri tangannya, maka kini sebagian besar kedutan-kedutan itu untuk memompa air mani yang akan muncrat dalam rongga mulut Lara. Dan selebihnya yang dibiarkan lepas jatuh ke lengan dan tangannya, Lara ingin kembali melulur wajah dan tubuhnya dengan air mani itu. Untuk awet muda, katanya.Mas Diran langsung rubuh terpuruk. Spermanya yang nyemprot keluar demikian banyaknya. Tenaga Mas Diran tersedot habis. Kini dia terbaring telanjang di ranjangnya sambil menariki satu-satu nafas panjangnya.Dia tidak pernah menyangka bahwa Lara istri tetangganya itu akan minum atau makan spermanya. Selama ini dengan Murni sekalipun, Mas Diran tak pernah mau menyuruh menjilati kemaluannya. Apalagi menampung sperma di mulut macam Lara ini.Tetapi Lara ini memang terlampau ‘panas’. Dia bukan sebagaimana perempuan biasa lainnya. Lara ini termasuk perempuan luar biasa. Benar juga kata orang, perempuan yang tampilannya macam Lara ini akan sangat kuat dan liar saat bermain di ranjang. Perempuan yang tidak mudah dipuaskan.Lara masih menyibukkan dengan lulurnya. Air mani Mas Diran telah meratai leher dan dadanya. Dia heran kenapa bisa melayani lelaki macam Mas Diran. Apapun yang Mas Diran mau dengan rela dia memberikannya. Yang masih tetap heran, kenapa akhirnya dia tanpa merasa jijik bisa minum sperma Mas Diran. Ternyata rasa sperma itu tak beda dengan telor putih ayam kampung yang sering dia dan suaminya minum sehabis mereka melakukan kewajiban suami istrinya.Ahh.. Aku jadi pengin minum lebih banyak, begitu pikir Lara.Pada malam harinya kembali sebagaimana biasanya, Lara menemani suaminya Tono saat makan malam.Secangkir kopi, kesukaan suaminya dan sepiring kacang rebus menyertai mereka bercengkerama di depan tevisi-nya. Lara menyandarkan kepalanya pada bahu Tono. Nampak seakan tak ada hal yang serius dalam kehidupan mereka, khususnya sepanjang hari itu.Tono tidak melihat hal-hal yang aneh di rumah tangganya. Lara mencoba mengamati lubang yang kini bisa terkuak lebih lebar itu. Tak ada hal yang mengkhawatirkan. Sesaat hatinya berdesir ketika ingat apa yang telah berlangsung melalui lubang itu di siang hari tadi.Pada pagi hari esoknya, hal-hal rutin kembali berjalan. Lara mengantarkan hingga ke pintu depan saat melepas suaminya berangkat kerja. Demikian pula Mas Diran, melepas Murni sambil menutup pagar halamannya.Ketika mereka perhitungkan Tono maupun Murni sudah cukup jauh dari rumah, kembali mereka bergegas menuju ke lubang dinding. Dialog yang menembus dinding antara Lara dan Mas Diranpun dimulai.

“Dik Laraaa.., Mas kangen banget nihh..,”
“Mana pipi indahmu?? Mana bibir indahmu??,” rayuan Mas Diran mengalir.Dengan hanya bercelana pendek ‘hot pant’, Lara mendekat ke dinding.Mereka kembali saling pandang melalui lubang itu kemudian berpagutan. Bermenit-menit mereka saling gigit, sedot dan jilat. Mereka saling minum ludah lawannya. Segala gaya dan cara sebatas kemungkinan yang bisa dilakukan melalui lubang itu, mereka lakukan.
“Mass.., lubangnya bisa lebih gede lagi, nggak, siihh..,”
“Aku pengin lebih lebar lagi. Jadinya kita bisa puaass.. Banget,” rajuk Lara pada Mas Diran.Mas Diran tahu, itu adalah isyarat hausnya syahwat Lara. Mas Diran tahu, dengan lubang yang lebih lebar hubungan antar kelamin bisa dilakukan lebih maksimal. Dia juga menginginkan hal yang sama. Mas Diran mencoba mengamati dinding itu.

“Sana Dik Lara bikin kopi dulu buat Mas, nanti aku cari akal supaya lubang ini lebih leluasa tanpa kelihatan oleh orang,” Mas Diran sudah terbiasa menyuruh Lara. Entah yang bikin kopi, atau goreng nasi, atau bikin sambel kecap dan sebagainya.Kemudian dia mencari peralatan di kotak raknya. Dia patahkan lembaran dinding itu lebih ke kanan, tanpa membuatnya lepas dari ikatannya. Dia tempelkan sedikit kertas dengan lemnya sehingga bisa berfungsi seperti engsel pintu. Dia tunjukkan pada Lara patahan itu dan kemudian membuka lubangnya. Wwoo.., ini mah macam pintu saja, demikian surprise yang dirasakan oleh Lara.Sebuah lubang dinding selebar kurang lebih berukuran lebar 40 cm dan tinggi 30 cm dengan mudah dibuka maupun ditutup tanpa kelihatan menyolok oleh siapapun. Tetapi mereka sepakat, setiap sore akan menutup dengan tempelan koran untuk menghilangkan jejak sama sekali. Memang jadi sedikit repot, tetapi biarlah, yang penting aman.Mereka langsung mencoba perdana lubang itu. Kini kepala Lara atau kepala Mas Diran bisa nyeplos ke kamar sebelahnya. Mereka tertawa senang. Kini Mas Diran bisa melihat betapa Lara sangat seksi dengan ‘hot pant’nya.“Sini, Dik.. Aku mau sun ini, ya..,” dia raih pinggul Lara untuk didekatkan ke depannya. Kemudian wajahnya berusaha melekat ke selangkangan istri tetangganya itu.Lara tertawa tertahan karena kegelian. Dia menggelinjang. Tetapi Mas Diran tidak berhenti disitu. Kini tangannya bisa meraih dan melepasi kancing-kancing ‘hot pant’ Lara. Dan ditariknya turun ‘hot pant’ itu hingga tinggal celana dalamnya saja yang tinggal. Mas Diran langsung kembali melekatkan wajahnya ke celana dalam itu. Dia mencoba mengendusi vagina Lara.Hidungnya menangkap semburat bau kencing pada vagina itu yang membuat birahinya langsung bangkit. Lara sangat tersanjung. Bibir dan dagu Mas Diran yang menyentuhi pangkal pahanya membuat nafsu birahinya terdongkrak. Dia meremas kepala Mas Diran sambil mendesah berat,

“Duuhh.. Mmaass.. Maass..”.Mas Diran belum puas juga. Ditariknya hingga celana dalam itu hingga lepas dari tempatnya.Kini nampak vagina Lara yang diselimuti bulu-bulu lembut itu. Kembali diraihnya pinggul Lara. Dan dibenamkannya wajahnya ke selangkangannya. Kini lidahnya menjulur untuk menjilat-jilat.Lara merasakan jilatan Mas Diran pada kemaluannya. Dia tidak pernah membayangkan Mas Diran mau dan rela menjilati vaginanya yang tentu bau pesing itu. Sekali lagi dia sangat tersanjung. Suaminya, Tono tak pernah mau melakukan itu.Rasa nikmat saat lidah menyentuhi bibir vaginanya membuat nafsu birahi Lara langsung membara di pagi hari itu. Dia ingin Mas Diran mau menjilat untuk lebih merangsangnnya lagi. Dia tarik kursi plastik di sampingnya. Dia angkat satu kakinya ke atas kursi itu. Selangkangan Lara langsung terbuka dan memudahkan Mas Diran lebih merasuk ke dalamnya.Kenikmatan yang melanda membuat tangan Lara langsung kembali meremasi kepala dan rambut Mas Diran. Dia mendesah sambil menggoyang pantatnya, mendorong-dorong menjemput jilatan dan sedotan bibir Mas Diran.Mas Diran merasakan betapa legit vagina Lara. Mungkin Tono jarang menikmati vagina istrinya ini. Urat-urat bibir vagina itu masih sangat kencang. Dan saat terlanda birahi vagina ini menunjukkan betapa kerasnya remasan dinding vaginanya. Walaupun cairan birahinya terus mengalir, ternyata lidah Mas Diran tak mampu menembusinya. Penis Mas Diran ngaceng. Dia membayangkan betapa nikmatnya kalau kemaluannya bias menembusi vagina istri tetangganya ini.Mas Diran mulai melakukan ancang-ancang. Dia ingin Lara benar-benar menggelinjang hingga pada akhirnya dia minta agar Mas Diran memasukkan kemaluannya ke liang vaginanya. Tangan Mas Diran mulai menyertai bibirnya mengolah saraf-saraf peka pada vagina itu.

Dengan lidahnya lebih memusatkan jilatan pada kelentit atau klitoris Lara, jari-jari tangannya yang kukuh mulai melakukan penetrasi pada lubang vagina Lara. Jari-jari yang gede dan kasar itu sangat menggelitik saraf-saraf dinding vagina yang memang telah lama menantinya. Lara merasakan betapa dinding-dinding lubang vaginanya mencengkeram erat-erat jari-jari Mas Diran. Duuhh.. Rasaya aku nggak tahan banget, niihh.., begitu desah pelan Lara. Saat jari-jari itu mengocok-ocok kemaluannya Lara berteriak histeris,
“Mas Diran, Mas Diran, Mas Diran.. Ampuunn.. Lara nggak bias tahaann.. Aammppuunn..”.

Merasa upayanya nampak berhasil Mas Diran semakin mempercepat kocokkan sekaligus membuat variasi dengan juga mengaduk putar jari-jarinya hingga seluruh dinding kemaluan Lara tersedak jari-jari kasarnya itu.Tak ada ampun lagi. Lara cepat melakukan perubahan posisi. Dia tarik lepaskan jari Mas Diran dan kemudian dengan kedua tangannya dia menggeret meja makan untuk dipepetkan ke lubang dinding itu,

“Mas Diran, aku pengin banget merasakan yang lebih gede.. Aku pengin penis Mas Diran menusuki vaginaku. Ayyoo, maass..,” Lara tak mampu memilih kata-kata lagi. Keinginannya dia lontarkan secara vulgar kepada Mas Diran sambil dia naik dan kemudian telentang ke meja makan itu.Dia mengangkat kedua kakinya sambil menghadapkan vagina dan pantatnya tepat pada arah lubang dinding itu. Dia melipat kakinya hingga pahanya menyentuh dada. Dari balik lubang dinding, kini Mas Diran menyaksikan citra 3 dimensi melalui lubang ukuran 40 cm X 30 cm. Citra 3 dimensi itu adalah vagina Lara yang muncul dengan mulus dan sangat menantang sanubari dan birahinya. Vagina itu nampak basah. Tetapi walau basah rupanya tak mampu untuk menutupi hausnya tusukkan penisnya. Vagina Lara yang tampak macam ini sangat membakar syahwat Mas Diran. Dan inilah puncak dari usahanya.Lara yang istri tetangganya itu kini telah benar-benar menyerahkan kekayaannya yang paling rahasia. Lara kini benar-benar menyerahkan kehormatannya padanya. Lara telah menyerahkan vaginanya untuk memuaskan penisnya. Dengan penuh pengendalian tempo dan perasaannya, Mas Diran mendekatkan bibirnya.Dia ingin Lara benar-benar tersiksa oleh prahara syahwatnya. Dia ingin istri tetangganya itu benar-benar memohon agar penisnya menembusi gua garbanya. Menembusi liang vaginanya dan menggaruk-garuk dinding-dindingnya.Mas Diran melumati kemaluan Lara. Dia mencium dan menjilat kemaluan yang menantangnya itu, seperti saat dia sedang mencium dan melumati bibirnya. Bibir vaginanya dia rasakan seperti bibirnya. Klitorisnya menjadi lidahnya. Dan cairan birahi yang mengalir deras itu dia anggap ludahnya. Dia lahap semua dengan penuh kerakusannya.Lara histeris. Mas Diranlah yang membuat Lara histeris. Lara tak berdaya. Tangannya tak bisa menjadi sarana untuk melampiaskan kegatalan nikmat yang kini bak puting beliung melemparkan dan menenggelamkan dirinya ke dalam lautan nikmat yang tak bertara. Tangannya menggapai angin mencari sesuatu yang bisa diremas-remas atau di cabik-cabik. Yang akhirnya dia bisa raih adalah buah dadanya sendiri.Lara dengan sepenuh emosi syahwatnya nampak seakan-akan hendak merobek atau mencabik-cabik susunya. Seakan-akan dia ingi mencopoti puting-putingnya. Kegatalan yang luar biasa itu membuat dia kelabakan dan memohon dalam tangisannya,“Ampunn, Mass.., ampuunn.., ayoolahh Mass.. Cepat masukiinn.., ampunn..”.

Tangisan itu belum juga menyentuh hati Mas Diran. Tetapi keindahan sensual yang memancarkan nafsu syahwat luar biasa dari vagina Lara ini sangat sayang untuk dilewatkan. Bibir dan lidahnya masih menikmati pancaran sensual itu.Bahkan lidahnya kini berusaha menembusi lubang sempit vagina Lara. Lubang yang menebar aroma vagina dari seorang perempuan yang istri tetangganya itu. Tangisan Lara justru menambah semangat birahinya untuk melanjutkan jilatan dan sedotannya.Tangan Mas Diran kembali melakukan rangsangan. Kalau tadi jari-jarinya menusuki lubang vagina, kini jari-jari itu mulai merambah lubang anus Lara. Dia memang belum menusukkan ke anus itu. Tetapi elusan-elusan kulit kasarnya mengakibatkan Lara tak lagi mampu mengendalikan desahannya. Dia tak lagi membisik.

Desahan yang keluar dari mulutnya bukan tak mungkin terdengar dari ruang Mak Sani. Untungnya sampai saat ini Mak Sani belum pulang dari rumah anaknya.Penis Mas Diran benar-benar telah menegang dalam ukurannya yang maksimal. Pada saat birahinya ada di puncak tertinggi macam sekarang ini, penis itu tegak kaku mengarah naik sekitar 60% mencuat ke atas. Batangnya bergeligir penuh dengan otot yang memompa darahnya. Otot itu melingkar-lingkat sejak dari batas leher hingga ke pangkal kemaluannya.Kepala penisnya berkilat-kilat seakan hendak meledak menahan desakan birahi dari dalamnya. Lubang kencingnya yang sangat menantang untuk jilatan lidah para perempuan terus menerus mengalirkan cairan birahi yang siap untuk melumasi vagina Lara yang telah siap ditembusinya.Dibawah batangnya bijih pelirnya nampak menggelantung, dengan bungkus kulitnya yang membulat dengan penuh kerur-kerut bak bundaran bijih salak muda yang baru dipetik. Siapapun yang melihatnya pasti tergoda untuk memainkan kuluman bibir atau jilatan lidah pada bijih pelir Mas Diran itu.

“Amppuunn, Mass.., Lara bisa jantungan Maass.., masukin Maass.. Aku rindu penismu Mas Diran.., mana penismu.. Mana penismuu..??,” Lara sudah semakin tak mampu lagi menahan kata-kata vulgarnya. Dia benar-benar telah berada di ambang kritis yang harus diatasi oleh Mas Diran.Dan Mas Diran kini memahami. Dia juga puas mendengar ucapan Lara terakhir itu. Mas Diran menikmati betapa Laralah yang minta agar kemaluannya merasuki gua garba penuh kenikmatan yang dimiliki istri tetangganya itu.Laralah yang memohon agar penisnya menusuk vaginanya.Kini Mas Diran bergerak pasti. Bibir dan lidahnya meninggalkan sedot dan jilatannya. Dia bangun dan mengatur posisinya. Dia sedikit bergeser ke depan sambil mengarahkan penisnya yang ngaceng kaku itu ke lubang kemaluan Lara. Dia tuntun ujung penisnya yang berkilatan itu untuk menyentuh vagina Lara yang sudah demikian haus menunggunya.Bibir vagina itu nampak menegang dan juga memancarkan sedikit kilatan yang disebabkan dorongan darahnya yang menekan ke arah permukaannya. Saat kepala itu menyentuhnya, Lara terlonjak. Dia tahu situasi di balik dinding itu telah berubah. Dia tahu Mas Diran telah siap menusuki lubang vaginanya. Dia tahu bahwa sebentar lagi kenikmatan yang tak terkirakan akan melandanya.Dia tahu dan telah siap apabila Mas Diran akan menonjok-nonjokkan kemaluannya pada bibir vaginanya untuk bisa mulus menembusinya. Dan itulah yang terjadi. Kepala penis Mas Diran terasa mulai menekan. Bibir vagina atau gerbang vaginanya yang sudah demikian menanti seakan kini menjual mahal. Bibir itu tidak demikian saja mengijinkan penis Mas Diran masuk. Bibir itu seakan merapatkan barisan untuk menahan serbuan penis.Bibir itu merapat dan membuat lubang vagina menyempit. Itulah kenikmatan luar biasa yang mengawali penetrasi seorang Mas Diran ke vagina Lastri istri tetangganya yang binal ini. Berkali-kali tonjokkan penis itu dilakukan. Berkali-kali serbuan penis dilancarkan hingga akhirnya mulai terkuak. Lubang vagina Lara mulai memberi kesempatan dan melepas sedikit demi sedikit cengkeramannya. Gerbang vagina memberikan ruang hingga kepala penis Mas Diran melesak masuk hingga batas lehernya.Bagi Mas Diran hal ini sudah sangat cukup. Upaya berikutnya tak terlampau sulit. Dikocok-kocokkannya kepala penisnya pada ruang sempit itu hingga cairan birahi Lara tak lagi terbendung. Kocokkan-kocokkan itu menghasilkan dinding pertahanan vagina jadi sangat licin. Dan kondisi licin macam itulah yang membuat vagina Lara benar-benar tak mampu menahan desakan penis Mas Diran.Dari balik dinding Lara seperti kemasukan setan. Tangan-tangannya yang terus membetoti susunya dan menarik-nark serta memilin puting-putingnya kini disertai kepalanya yang terus bergoyang kekanan dan kekiri. Goyangan kepalanya itu demikian histeris hingga rambut-rambutnya awut-awutan terlempar sana-sini.Tonjokkan penis Mas Diran telah membuat Lara sama sekali kehilangan kontrol diri. Dia tak mampu lagi membendung banjirnya cairan pelumas pada bibir vaginanya. Dia kini merasakan betapa senti demi senti batang kemaluan Mas Diran menembus gerbang vaginanya.Dia kini merasakan betapa dinding-dinding vaginanya mulai mencengkeram dan menghambat setiap senti batang penis Mas Diran untuk bergerak maju menembus lubangnya. Lara merasakan betapa cengkeraman dinding vaginanya itu membuahkan nikmat syahwat yang tak terhingga. Saraf-saraf peka yang menebar di seluruh permukaan dinding itu melakukan interaktif dan menjemput nikmat dengan remasan-remasannya.

Mas Diran yang merasakan cengkeraman vagina Lara terkadang justru melambatkan atau menghentikan sama sekali dorongan penisnya untuk menembus lebih ke dalam. Dia ingin menikmati betapa cengkeraman itu menjadi empotan yang meremas.Saat saraf-saraf itu berusaha menahan, terjadilah pegangan erat pada batangnya. Tetapi itu hanya sesaat. Berikutnya pegangan itu pasti kendor dan melemah sebelum kembali memegang erat. Siklus itulah yang membuat rasa empot-empot pada batang penis Mas Diran.Tetapi semua itu hanyalah sebuah ‘awal’ atau ‘pembukaan’. Penis Mas Diran akan terus bergerak maju. Dan vagina Lara akan terus menghisap masuk bak rahang ular piton yang menelan mangsanya dan tak mungkin melepaskannya. Pantat Lara menggoyang untuk menjemput dan melahap ‘mangsa’-nya itu.Pantat Lara juga menggoyang untuk mengurangi derita nikmat yang melandanya. Pantat itu menggoyang seirama dengan gerak laju penis Mas Diran yang terus bergerak menembus vaginanya. Dan apabila ‘pembukaan’ itu telah lewat, maka yang dirasakan Lara kini adalah sebuah benda panas dan sangat kenyal memenuhi rongga vaginanya. Tak ada celah kosong sejak gerbang hingga mentok ke dinding rahimnya. Batang itu dengan sesak menembusi lorong penuh nikmat milik Lara.Sesak itu terjadi karena ada dua arah penyebabnya, yaitu batang kemaluan Mas Diran yang sangat gede dan dinding vagina Lara yang mencengkeram, menyempit dan menjepit. Tetapi anehnya tak ada satupun yang merasa dirugikan. Mas Diran dan Lara justru menemukan nikmat dari apa yang kini sedang berlangsung itu.Kini kembali Mas Diran membuat kemaluannya diam tanpa gerak dalam kepadatan ruang vagina Lara. Ujung penisnya merasakan dinding batas. Itulah dinding rahim Lara. Kemudian vagina Lara itu dengan cepat mengempot-empot meremasi batang penisnya. Lara kembali lagi mengoyang-goyang pantatnya. Dia dilanda rasa gatal yang sangat. Dia ingin penis Mas Diran mulai menarik dan mendorong. Dia ingin merasakan pompaannya kemaluan gede dan panjang milik Mas Diran itu. Dia ingin merasakan gosokan atau gesekan batang penis dengan dinding-dinding lubang vaginanya.Dan terjadilah. Mas Diran mulai pelan menarik. Hanya setengahnya. Kemudian kembali mendorong hingga mentok ke dinding rahim.Kemudian diulanginya route itu berkali-kali. Setiap kali Mas Diran menambah kecepatan. Dan pada setiap tusukkan maupun tarikan desah dan rintih Lara menyertai dengan penuh iba derita nikmat.Dan saat penis Mas Diran mulai memompa dengan ritmis dan tempo yang semakin sering, kedua orang itu saling memperdengarkan desahan dan nafas-nafasnya yang memburu.Dan saat pompaan semakin sering dan cepat yang mengakibatkan meja makan Lara berderit-derit, serta dinding penuh syahwat pembatas kamar mereka berderak-derak, mulut Lara dan Mas Diran memperdengarkan suara konser desah dan rintih penuh irama. Jangan tanya lagi tentang racauan. Semua kata-kata vulgar tumpah berserakan mengalir dari kedua mulut yang asyik masyuk itu.Pada ghalibnya semua yang ada ‘pembukaan’ memang harus diikuti dengan ‘akhiran’. Dan siapa atau apapun saat menyongsong titik ‘akhiran’ itu selalu berusaha menumpahkan semua beban-beban agar pada ‘pemberhentian’ nanti bisa berlangsung lunak, menyeluruh dan tuntas.Saat Mas Diran merasakan betapa air maninya tak mungkin bisa terbendung, dan kini tengah merambati saraf-saraf disekitar kemaluannya untuk muncrat, dia menengadahkan wajahnya ke langit-langit. Dia memusatkan seluruh dirinya untuk menyambut muncratnya spermanya. Dia merasakan betapa nikmat dan legitnya vagina Lara yang kini sedang dalam pompaannya.LaraPun menghadapi kenyataan yang sama. Kerinduan berbulan-bulan yang ditanggungnya, kemudian pula limpahan birahi tak tertahankan selama hari-hari terakhir ini menggiring dirinya untuk menapaki orgasme yang memang jarang dia dapatkan. Dia merasakan sebuah sensasi erotik yang luar biasa saat penis Mas Diran merasuki ruang sempit lubang vaginanya.Dia merasakan betapa dinding-dindingnya yang penuh saraf peka begitu mencengkeram untuk merasai betapa penis itu memberikan nikmat tak bertara pada dirinya.

Dia kini merasakan tonjokkan yang semakin cepat dari kemaluan Mas Diran. Dia merasakan bahwa Mas Diran sedang mendekati muncratnya air maninya ke haribaan kemaluannya.Dia merasakan betapa desahan Mas Diran tak lagi mampu menahan puncratan itu. Bak kuda betina yang sangat binal dan liar Lara berusaha menggantikan atau mempercepat pompaan Mas Diran. Meja makannya terdengar berderit-derit menahan gerakan Lara yang menerima dorongan Mas Diran maupun karena goyang yang dia buat.Lara ingin air mani Mas Diran nyemprot di dalam vaginanya. Lara merindukan sperma yang panas melaburi dinding vaginanya. Lara menginginkan Mas Diran melampiaskan dendam birahinya dalam sekapan lubang vaginanya dan menyirami dinding rahimnya. Mas Diran merasakan saat puncak itu tak jauh lagi. Dia merasakan betapa air maninya mengaliri dan merambati otot-ototnya menuju pintu akhir untuk tumpah. Ahch, aacch.., akhirnya..Tangan-tangan Mas Diran menggapai dinding-dinding datar itu. Dia cakar-cakar tambelan koran-koran yang berkelupasan. Dia remasi serpihannya. Air mani Mas Diran muncrat tak terbendung.Penisnya berkedutan memompa keluar cairan kentalnya. Dia berteriak tertahan. penisnya lebih dia benamkan dengan menekannya kuat-kuat ke dinding rahim Lara.Sementara Lara menerima apa yang berlangsung dengan tampilan lebih histeris. Orgasmenya sendiri ternyata hadir membarengi semprotan air mani Mas Diran. Kedutan penis Mas Diran dalam kemaluannya disambut dengan semprotan hangat cairan birahinya. Betotan tangannya pada buah dadanya mengencang seakan hendak mencopot susunya dari tempatnya.Bibirnya menggigit bibirnya sendiri hingga terluka dan mengalirkan darah kecil. Pantatnya berputar-putar seakan ingin menelan seluruh kemaluan gede Mas Diran itu. Cairan birahi Lara terus bertumpahan. Dia mengalami apa yang sering orang sebut sebagai ‘orgasme beruntun’. Setiap tusukkan kemaluan Mas Diran disertai pula dengan muncratnya cairan birahi Lara. Setiap kedutan pompa sperma Mas Diran dia timpali dengan erang dan rintih nikmat orgasmenya. Mungkin Mas Diran menyemprotkan 6 atau 7 kali air maninya. Dan sebanyak itu pula Lara mengalami orgsame beruntunnya.Dan..Mereka langsung jatuh tersungkur begitu segalanya usai. Tubuh Lara merosot lunglai kelantainya. Mas Diran telentang di lantainya pula. Keduanya hanya memperdengarkan nafas-nafas berat dan panjangnya sambil keringatnya yang mengucur deras untuk menyalurkan kelelahan yang tak terhingga. Nampak lubang di dinding itu menggapai-gapai kena angin dari jendela. Serpihan kertasnya yang hampir lepas melambai.Lubang, jendela dan serpihan kertas rumah kontrakan itu menjadi saksi betapa Mas Diran dan Lara telah bersama-sama merengkuh nikmat syahwat yang paling nikmat sepanjang pengalaman mereka.Lara masih merasakan apa yang baru saja usai. Penis Mas Diran yang demikian sesak masih meninggalkan pedih. Tetapi bukannya sesal. Dia masih ingin bangkit untuk kembali merasakan kenikmatan luar biasa itu. Kenikmatan syahwat yang belum pernah dia alami sebelumnya itu.Mas Diran tergolek. Dia belum bisa sama sekali melepaskan ingatan nikmat yang barusan dia alami. Masih terasakan pada batang kemaluannya, betapa vagina Lara memijit-mijit dan mencengkeram demikian hebatnya hingga spermanya penuh tumpah pada lubang nikmat itu. Mas Diran ingin bangkit lagi untuk merasai kembali kenikmatan tak bertara itu.Beberapa saat kemudian..Lara mengajak Mas Diran makan. Dia telah menyimpan makanan untuk makan siang berdua. Lara telah memasak untuk suaminya yang bisa disimpan beberapa hari. Melalui lubang itu Mas Diran bersama Lara saling bersuapan. Terkadang Lara mengigit sepotong makanan untuk disuapkan ke gigitan Mas Diran.Mereka juga melaksanakan makan siang bersama dari lubang syahwat yang sama. Hari itu mereka mengulangi kenikmatan-kenikmatan yang pernah diraihnya. Mereka melakukan berbagai macam jalan nikmat yang pernah mereka lakukan melalui lubang dinding itu. Mas Diran sempat memuncratkan air maninya hingga 4 kali sampai dekat ke jam 5 sore hari itu.

Sementara Lara sudah tahu bagaimana mendapatkan ‘orgasme beruntun’.Entah berapa kali pula orgasme beruntun datang menerpa dan berhasil diraihnya. Sesudahnya, sesuai kesepakatan sebelumnya mereka menambal lubang dinding dengan kertas koran yang ada.Lara mengembalikan letak meja makan sebagaimana sebelumnya. Meja makan dimana sebentar lagi dia akan makan malam bersama Tono suaminya.Demikianlah kisah ini. Selama Mas Diran kebagian gilir jaga malam, selama beberapa hari ini hingga genap satu minggu, menghabiskan waktu siangnya untuk berasyik masyuk bersama Lara istri tetangganya.Hal itu kemudian berulang pula pada setiap 2 minggu berikutnya. Lubang kenikmatan itu mereka rawat dengan baik hingga tak seorangpun, baik itu Tono suami Lara maupun Murni istri Mas Diran mencurigainya. Keadaan itu terhenti saat ada peristiwa baru. Peristiwa yang menunjukkan betapa bumi dan kehidupan di atasnya terus berputar.Karena prestasi kerjanya Tono ditunjuk menjadi kepala cabang kantor angkutannya di Sampang, Madura. Dalam tempo 1 minggu keluarga Tono dan Lara sudah menempati rumah baru di Sampang. Sebuah rumah batu, lengkap dengan perabotan, kamar mandi sendiri dan kendaraan kijang bekerja. Pada saat liburan pasangan Tono dan Lara sering berekreasi meninjau kota-kota atau tempat-tempat bersejarah yang banyak tersebar di pulau Madura.Dengan cepat Lara menyesuaikan keadaan. Dia kini menjadi lebih matang. Dia mulai tahu bahwa kenikmatan bisa diraih dalam berbagai cara. Bahkan dia sering menuntun Tono menapaki kepuasan ranjang pengantin mereka.Setahun setelah tinggal di Madura, pasangan Tono dan Lara dikaruniai anak perempuan yang secantik ibunya. Tono ingin anaknya nanti bisa meneruskan sekolah bapaknya hingga mencapai sarjana.Akan halnya Mas Diran. Dia kini diangkat menjadi pegawai administrasi dan koordinator keamanan gudang tempat dia bekerja. Mas Diran tidak perlu lagi kerja malam. Dari kantornya Mas Diran diberi kesempatan untuk mendapatkan rumah yang layak dengan kredit lunak dari bank.Sejak itu Mas Diran dan Murni selalu bisa menonton TV bersama, makan malam bersama dan berlibur bersama dalam suasana keluarga yang lengkap, utuh dan penuh kegembiraan.Akhirnya Murni hamil. Seorang bayi lelaki yang kuat dan tampan telah lahir untuk pasangan Mas Diran dan Murni. Mas Diran tidak ingin mewarisi tugas bapanya yang hanya Satpam itu. Dia ingin anaknya nanti bisa jadi Caleg dari partai favoritnya.

Cerita sex : Dipuaskan Oleh Tante Ratih Yang Bahenol

#Celah #Antar #Dinding #Yang #Memberi #Kenikmatan

Selimut Duka Kenikmatan Terbaru Malam Ini

Selimut Duka Kenikmatan

Mendung bergelayut diatas sekumpulan orang yang sedang bergerombol mengitari liang di sebuah pemakaman umum di kota Surabaya yang panas. Suasana sedih tampak jelas dari raut muka para hadirin di tempat itu. Walau bermuka tegar dan berusaha tak menunjukkan kesedihannya, tapi hati Anton meraskan kehilangan yang amat dalam. Edo adalah sahabatnya sejak SMU dan sekarang meninggalkannya untuk selamanya. Dengan tatapan tajam pada jenazah yang diturunkan ke liang lahat, Anton melepas sahabatnya yang telah gigih berjuang melawan penyakit kanker selama satu tahun terakhir ini.

Kembali ke rumah duka, Anton hanya duduk dilantai dipojok kamar tempat sahabatnya mengehembuskan nafas terakhir. Dia hanya melamum mengenang kejadian dua hari yang lalu dimana Edo yang terbaring lemah diatas tempat tidur dalam kamar itu bercerita tentang rencana pelangsungan pernikahan yang sedang digagasnya. Dalam hati Anton merasakan sebuah peristiwa yang sangat ironis dari rencana sahabatnya itu. Hampir semua yang berada dalam rumah duka tersebut masih meneteskan air matanya kecuali Anton. Sementara diluar masih ramai para teman Edo yang juga temannya bercakap-cakap mengenang seorang teman yang baru saja dimakamkan. Seorang teman mengajak Anton keluar untuk ikut bercakap-cakap dan menerima tamu, tapi Anton hanya terdiam saja.

Calon mempelai Edo terlihat masih menangis tersedu-sedu diruang tengah berusaha ditenangkan oleh keluarga sahabatnya. Melihat kejadian itu, Anton juga ingin menangis tapi otaknya yang penuh kenangan terhadap sahabatnya mampu menghibur hatinya yang penuh kesedihan. Ingatannya kembali pada masa lalu, masa dimana ia dan sahabatnya sering menghabiskan waktu bersama untuk mempelajari hal-hal yang berbau teknologi komputer. Kebersamaan Anton dengan sahabatnya yang baru saja meninggal itu naik turun karena kesibukan masing-masing. Tapi sejak sahabatnya pindah kembali ke kota Surabaya, kebersamaan Anton dan sahabatnya kembali seperti saat-saat mereka di sekolah. Walau tak banyak yang dilakukan Anton di rumah duka sahabatnya kecuali diam dan merokok, tapi ia tak segera pulang hingga malam hari. Merasa merepotkan keluarga sahabatnya, iapun dengan berat hati berpamitan pulang. Ketika melangkahkan keluar dari pintu rumah itu, sebuah suara yang datang dari arah belakang memanggilnya. Rupanya kakak perempuan sahabatnya dari luar kota yang telah lama tak dijumpainya minta tolong untuk diantarkan ke hotel tempatnya menginap. Anton sebenarnya sudah agak lupa dengan wajah Mbak Eka, kakak sulung sahabatnya yang lebih tua 2 tahun darinya. Eka adalah satu-satunya anggota keluarga sahabatnya yang tidak begitu dikenal oleh Anton.

“Anton, Sorry ya ngrepotin, bisa minta tolong mengantar aku dan Lusi balik?”, tanya Eka tanpa basa-basi. 

“Bisa Mbak “, jawab Anton dengan serta merta. Eka lalu balik kembali kedalam rumah dan tak lama kemudian keluar bersama Lusi, calon mempelai sahabatnya. Berbeda dengan Mbak Eka, wajah Lusi masih tampak sembab dan berjalan sangat pelan. 

“Sorry ya, aku nemenin Lusi di kursi belakang, kamu sendirian didepan”, kata Mbak Eka. “Nggak apa-apa kok Mbak”, jawab Anton. Dilepas oleh beberapa anggota keluarga sahabatnya sampai depan rumah, Anton segera menyalakan mobilnya dan mengantar Lusi dan Mbak Eka. Didalam perjalanan Eka tak henti-hentinya berusaha menghibur Lusi dan sesekali menasihatinya agar tetap tabah. Anton mengendarai mobilnya dengan pelan sambil sesekali menanyakan arah tempat tinggal keluarga Lusi pada Lusi karena sebelumnya memang belum pernah ketempatnya. Sebelumnya memang Anton sudah dikenalkan sahabatnya pada Lusi, tapi hal itu telah berlalu 6 bulan yang lalu saat ia diajak Edo ke Jakarta. 

Karena perkenalan yang singkat dan tak pernah bertemu lagi hingga sekarang maka Anton hanya mengenal Lusi sebatas yang Edo ceritakan padanya. Setelah sampai di rumah keluarga Lusi, Eka mengantarkan Lusi hingga ke kamarnya. Anton yang duduk di ruang tamu mendengar isak tangis Lusi kembali muncul ketika akan ditinggal Eka. Demi menenangkan calon adik iparnya yang batal sepeninggal Edo, Eka terpaksa harus menunggu Lusi hingga tenang kembali. Sementara itu, Anton yang banyak diam ditemui oleh ayah Lusi di ruang tamu. Dalam benak Anton timbul sebuah penasaran mengenai Eka.

Dia heran terhadap ketabahan Eka menerima kematian adik kandungnya. Dan yang membuatnya heran lagi adalah sikap Eka yang menunjukkan kebijaksanaan dalam tutur katanya yang lembut ketika menenangkan Lusi. Sebuah hal yang sulit bagi seseorang yang berduka cita mendalam tapi mampu mengendalikan emosinya apalagi mengendalikan emosi orang lain. Anton tak mengenal Eka secara langsung tapi dari cerita-cerita Edo dan anggota keluarganya yang lain, ia mengetahui bahwa Eka merupakan wanita karier dengan prestasi yang membanggakan. Walau umurnya telah menginjak kepala tiga tapi ia masih melajang. Anton yakin bahwa kelajangan Eka bukan disebabkan oleh penampilannya. Penampilan Eka meski tak menyolok tapi sangat menarik. Dengan tinggi 165 cm, berat tak lebih dari 60 kg, tubuh atletis dan berparas manis mampu membuatnya dengan mudah memilih pria yang disukainya bila ia mau. Tapi mungkin karena pekerjaannya sebagai manajer HRD di sebuah perusahaan asing di Jakarta banyak menyita waktunya sehingga saat ini ia belum berkeluarga.

Jam dinding rumah keluarga Lusi berdenting hingga 11 kali ketika Eka mengajak Anton untuk berpamitan pada kedua orang tua Lusi. Seperti sebelumnya, Anton mengendari mobilnya tanpa banyak bicara. Dia hanya menanyakan nama hotel tempat Eka menginap. Berkali-kali Eka membuka bahan pembicaraan tapi Anton tetap tak banyak komentar. Sesampai didepan pintu masuk hotel, Anton menghentikan mobilnya dan berpamitan langsung pada Eka. Semula Eka memang hanya ingin diturunkan di pintu masuk hotel. Tetapi setelah melihat seseorang yang dikenalnya dari kejauhan ia meminta Anton untuk mengantarnya kekamar. Wajah tenang Eka berubah menjadi gelisah saat turun dari mobil. Anton memang tak tahu apa yang terjadi pada Eka tapi ia merasakan ada sesuatu. Ketika melewati lobby hotel, seseorang pria menyapa dan menghentikan langkah mereka berdua. Eka menanggapinya dengan acuh tak acuh meski tetap meladeninya bicara. Merasa bukan urusannya, Anton mengambil jarak dari Eka.

Seakan tak mau jauh dari Anton, Eka memegang pergelangan tangan Anton dan menariknya agar tetap berada disampingnya. Pria itu memperhatikannya dengan wajah cemburu. Dalam keadaan masih berdiri, pria itu berbincang pada Eka dan berusaha membujuknya segera balik ke Jakarta dengan berbagai alasan perihal urusan kantor tanpa peduli terhadap kedukaan Eka sepeninggal adiknya.

Dengan tenang Eka meladeninya dan dapat membalik kata-kata pria tersebut karena dia tahu maksud sebenarnya yang tak terungkap dari omongan pria tersebut. Anton tetap saja diam tak ingin mencampuri urusan Eka dan setiap kali berusaha mengambil jarak, gandengan Eka pada pergelangan tangannya mampu menahannya. Kesabaran pria itu mulai sirna. 

“Meskipun Mr. Smith bos kamu telah memberimu cuti 5 hari, tapi dia pasti akan menjadikanmu kambing hitamnya bila harga saham perusahaan jatuh dalam minggu ini!”, kata pria itu dengan nada tinggi. Kata-kata itu membuat Eka terdiam karena dia merasa omongan pria itu ada benarnya. 

“Maaf om, bukannya mau mencampuri urusan, tapi bukankah saham perusahaan “X” habis rebound kemarin? Menurut prediksi malah akan terus naik minggu ini karena masih under value. Dan lagi bukankah pasar yang menentukan?”, celetuk Anton dengan tenang tapi mengejutkan Eka maupun pria itu. Ucapan Anton mengingatkan Eka pada berita dari lantai bursa kemarin dan semakin mengukuhkan pendiriannya untuk tidak segera kembali ke Jakarta. Pada saat yang sama, pria itu merasa sangat marah pada Anton karena mencampuri urusannya dan mematahkan argumennya. 

“Tahu apa kamu tentang bursa saham?”, tanya pria itu dengan nada menghina dan mendekat pada Anton. Pria itu berusaha agar dapat berkelahi dengan Anton untuk melampiaskan rasa kekesalannya yang sudah muncul sejak tadi. Tapi Anton hanya diam dan menggeleng kepala, sedikitpun tak terprovokasi. Sumpah serapah yang diterima Anton selanjutnya hanyalah bagai angin lewat tanpa sedikitpun mengusik emosinya yang ikut terkubur bersama jenazah sahabatnya.

Anton tetap diam berdiri ditempat, tegar dan pasrah seakan siap menerima apapun membuat pria itu makin marah dan mendorong-dorongnya dengan keras tapi dicegah oleh Eka. Datangnya beberapa satpam dan pegawai hotel tersebut membuat pria itu malu dan segera meninggalkan tempat itu. Sepeninggal pria itu Eka menggandeng tangan Anton mengajaknya ke arah lift untuk menuju kekamarnya di lantai 4. 

“Maaf ya Ton aku jadi ngrepotin kamu!”, kata Eka sesampai didalam kamar. 

“Nggak apa-apa kok Mbak”, jawab Anton tanpa ekspresi. 

“Sebentar ya aku ganti pakaian dulu”, kata Eka langsung masuk ke kamar mandi. 

“Ton, kamu pandai masalah saham juga ya!”, puji Eka sewaktu keluar dari kamar mandi tanpa mengenakan lagi celana jeans-nya. Pujian Eka memotong lamunan Anton yang sedang menatap pemandangan malam kota Surabaya dari jendela kamar hotel. Setelah memutarkan badan ke arah ucapan Eka ia melihat sosok wanita cantik berkaki indah nan mulus hanya mengenakan kemeja lengan panjang dan bercelana dalam saja. Anton memperhatikan Eka yang sedang berjongkok mengambil minuman kaleng dari lemari es kecil. 

“Maaf Mbak, maksud saya tadi bukannya sok tahu soal saham, saya hanya penasaran soal saham perusahaan Mbak, saham yang baru saja rebound apalagi masih under-valued bisa kembali anjlok lagi seperti dibilang orang itu”, ungkap Anton dengan nada datar. 

“Omongan pria itu hanya mengada-ada, dia itu yang sok tahu, analisa sahammu cukup jitu”, kata Eka sedikit menggoda sambil menyerahkan minuman kaleng pada Anton. 

“Analisa berita bukan analisaku”, kata Anton tanpa ekspresi sedikitpun. Eka menatap pemuda yang duduk didepannya dan lagi sibuk membuka kaleng dengan rasa kagum. Hatinya merasa bangga pada adiknya yang tak salah memilih sahabat. 

“Ton, aku bisa minta tolong lagi? Tapi kalau kamu nggak bersedia nggak apa-apa!”, tanya Eka. “Nggak usah sungkan Mbak, kalau bisa ya aku bersedia”, jawab Anton sambil mengusap ceceran minumannya di bibir. 

“Keberatan nggak kalau kamu bermalam disini untuk jagain aku malam ini. Soalnya pria tadi baru saja kuputus 2 hari yang lalu dan kelihatannya masih belum bisa terima. Aku takut kalau tiba-tiba ia ngelabrak aku lagi seperti tadi”, ungkap Eka. 

“Nggak masalah kok Mbak”, jawab Anton. 

“Pacarmu apa nggak marah kalau tahu kamu menginap di hotel berdua dengan cewek?”, tanya Eka agak penasaran. 

“Belum punya, Mbak!”, jawab Anton singkat. Berbekal salah satu gelar sarjana yang dimilikinya, psikologi, ditambah dengan pengalamannya, Eka meyakini bahwa Anton tidak berbohong dengan jawabannya.

Keyakinan atas jawaban Anton beserta sikapnya membuat Eka merasa terhibur. “Ton, kalau ngantuk tidur aja disampingku, tempat tidurnya besar kok”, ajak Eka sambil membaringkan badan dan menarik selimut. 

“Silakan Mbak tidur dulu, saya nggak ngantuk kok”, tolak Anton halus dan kembali termenung dikursinya menatap langit dengan pandangan kosong dari balik jendela kamar hotel. Bagi Anton saat ini meninggalnya Edo masih memberinya perasaan hampa dalam hatinya seakan mengunci pintu emosi dan nafsunya. Penolakan Anton akan ajakannya menimbulkan sedikit kekecewaan pada Eka, meskipun sepenuhnya dapat memaklumi situasi dan kondisi Anton. Dalam benaknya ia mempertanyakan kembali perasaan kecewanya. Sejak melihat kembali Anton siang tadi setelah waktu yang sekian lama, ia sudah menganggap pemuda itu sebagai adiknya

Dan ia yakin Anton menganggapnya sebagai kakak yang tak pernah dia miliki. Tapi Eka heran pada perasaannya sendiri. Munculnya getaran lain sewaktu mendengar jawaban singkat Anton yang belum punya pacar dan timbulnya rasa sedikit kecewa tadi membuatnya semakin penasaran. Dalam pembaringannya Eka masih dapat melihat sosok Anton yang sedang duduk menerawang ke langit. Keberadaan Anton sekamar dengannya memberinya selimut rasa aman yang lebih hangat dari selimut yang sedang dipakainya. Kehangatan itu membawanya ke alam mimpi. Berjam-jam Anton hanya duduk sambil terus menggali kembali ingatannya ketika bersama Edo. Seperti orang gila, Anton sesekali tersenyum seorang diri. Tiap detik waktu berlalu membawa ingatannya setitik demi setitik semakin menuju masa-masa akhir berhembusnya nafas Edo.

Tak ada senyum lagi. Setetes demi setetes air matanya meleleh hangat di kedua pipi dinginnya. Suasana hening kamar dan sejuknya AC kamar hotel menambah kerinduannya pada sahabatnya yang belum 24 jam meninggalkannya untuk selamanya. Semakin kuat ia menahan perasaannya, isaknya semakin dalam. “Anton, kamu Kenapa?”, suara khawatir Eka mengagetkan Anton. 

“Nggak apa-apa Mbak, masih gelap kok, tidur aja lagi!”, jawab Anton sambil mengusap air matanya berusaha menyembunyikan kesedihannya. Eka yang khawatir pada keadaan Anton dapat menebak beban kesedihannya. Eka turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju ke tempat duduk Anton.

Lalu ia duduk di kursi yang berseberangan meja dengan kursi yang diduduki Anton. 

“Ton, putar kursimu dan mengobrol denganku, tak baik membenam kesedihan seperti itu”, ucap Eka. Walau menuruti perintah Eka untuk memutar kursi dan berhadapan dengannya tapi Anton masih menyanggah perasaan sedih yang membebaninya pada Eka. 

“Kamu nggak usah merasa malu menangis didepanku. Aku tahu bahwa kamu sangat dekat dengan Edo. Selain Lusi aku dapat menebak bahwa kamu orang selain keluargaku yang amat sangat kehilangan Edo. Bahkan mungkin beban kesedihanmu bisa-bisa lebih berat daripada keluargaku sendiri”, ungkap Eka panjang lebar pada Anton. 

“Kasihan Edo, masih muda seumur denganku, karier mantap, calon pendamping sudah punya, tabungan hari tua juga cukup, tapi penyakitnya..”, kata Anton tak mampu meneruskan kata-katanya sambil sesenggukan. Eka bangkit dari tempat duduknya mendekat ke tempat Anton duduk. Tapi Anton sudah terburu menghamburkan tubuhnya ke tempat tidur dan membenamkan mukanya diatas bantal. Eka menyusulnya dan memeluk pundaknya. 

“Sudah Ton, lepaskan kepergian adikku! Biarkan dia tenang! Sahabat sejati tak akan menambah penderitaan sahabatnya yang pergi, bukan?”, suara lirih Eka diatas telinga Anton yang masih menelungkupkan mukanya. Nasihat Eka menyadarkan Anton dari keterpurukan suasana kalut hatinya. Sedikit demi sedikit beban kesedihan Anton mulai berkurang. Seiring dengan itu ia mulai membalikkan badannya pelan. Kepalanya menengadah ke arah plafon dengan muka masih berurai sisa-sisa air matanya. Sentuhan tangan Eka yang lembut mengusapnya. Keduanya sangat dekat hingga satu sama lain dapat merasakan nafas masing-masing. Membangkitkan kembali kesadaran emosi dan nafsu Anton. Anton bingung dengan apa yang sedang dialaminya hingga tak mampu mengeluarkan sepatah kata maupun berbuat sesuatu. Yang dapat dilakukannya adalah memeluk bahu Eka yang saat ini tengah menidurkan kepalanya diatas dada Anton. Eka merasakan pelukan tangan Anton pada bahunya dengan hati tersenyum. Degup jantung yang didengar Eka dari dada Anton bagaikan irama “nina-bobo” yang mengantarkannya kembali tidur. Terbuai dengan kehangatan tubuh Eka yang sedang memeluknya, Anton pun ikut tertidur. Sinar matahari pagi membangunkan Eka dari tidurnya. Bangkit pelan ia memberanikan diri mendekatkan mukanya pada muka Anton yang masih tertidur pulas. Ditatapnya wajah sahabat adiknya itu. Dalam hati Eka menanyai dirinya sendiri, dia heran mengapa dia bisa merasa sangat dekat dengan Eko. Padahal sebelumnya ia sangat jarang bertemu dengannya dan telah lama tak bertemu dengannya. 

Pertemuan-pertemuan sebelumnya pun terjadi tanpa sengaja dan sangat sebentar. Memang Edo pernah menceritakan perihal Anton tapi itupun tidak detil dan banyak yang sudah ia lupakan. Yang ia tahu pasti adalah Anton merupakan sahabat Edo dalam masa lebih dari 10 tahun. Dan keluarganya sudah menganggap Anton seperti anggota keluarganya begitu pula keluarga Anton juga sudah menganggap Edo sebagai keluarganya. Kebiasaan rutin Eka setelah bangun adalah segera mandi untuk menyegarkan badan. Tapi kali ini ia merasa berat untuk melakukannya. Ia masih terbelenggu oleh perasaannya dan belum beranjak dari tempatnya. Tak kuasa menahan kehendak hatinya, dengan pelan ia mengusapkan bagian belakang jari-jari tangannya pada wajah Anton yang imut dan lugu selagi pulas. Usapannya pelan dan lembut penuh perasaan. Kembali hatinya menanyakan perasaannya pada Anton. Hatinya tak mau diajak kompromi untuk menganggap Anton hanya sebagai adiknya sepeninggal Edo. Perasaannya menginginkan lebih dari itu. Semakin keras usaha Eka untuk melawan perasaannya semakin gundah pula hatinya. 

Tapi berkat pengalamannya berhubungan dengan lawan jenisnya, akhirnya Eka dapat menepis semua itu dengan rasionalnya. Rasio sadarnya menyatakan bahwa perasaannya pada Anton muncul hanya karena situasi dan kondisi serta pengaruh gairah nafsunya yang sedang memuncak. Ciuman bibir basahnya ia layangkan pada kening Anton untuk tanda ucapan perpisahan bagi perasaannya pada Anton. Kemudian ia bergegas ke kamar mandi, khawatir ciumannya akan membangunkan Anton. Dalam guyuran air shower, rasio pikiran Eka ikut jatuh terguyur. Perasaan yang telah ditepisnya kembali menghinggapi hati Eka. 

“Kenapa aku sangat tertarik pada Anton? Apakah ini bukan sekedar ajakan nafsu? Apakah hal ini benar-benar kata hatiku? Apakah aku harus mengikuti kata hatiku? Ataukah harus kuhalau semua perasaan itu? Tapi bagaimana caranya? Bagaimana dengan Anton? Bagaimana sikapnya kalau dia mengetahui perasaanku padanya?”, itulah sebagian pertanyaan yang muncul dibenak Eka ketika ia mandi.

Ketukan pintu kamar dan suara perbincangan antara Eka dengan pegawai room service hotel membangunkan Anton dari tidurnya. Anton agak bingung merasa seakan-akan ingatannya hilang sebagian. Lalu dilihatnya Eka dengan troli makanan. Sedikit demi sedikit ingatannya pulih dan akhirnya ia ingat akan semua kejadian kemarin hingga saat ini. 

“Ton, kamu kupesankan nasi goreng untuk sarapan”, ujar Eka sambil buru-buru mengenakan celana jeansnya sementara masih mengenakan piyamanya. Lalu Eka memutar badannya dan mengganti piyamanya dengan kaos putih berkerah. Celana dalam dan BH warna hitam yang dikenakannya sempat terlihat oleh Anton tanpa sengaja. Pemandangan Eka berganti pakaian itu membuat ereksi pagi yang sedang dialami Anton semakin kuat. Segera saja ia turun dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar mandi karena tak ingin malu pada kakak sahabatnya itu. Di kamar mandi ia hanya buang air kecil, membasuh muka dan menyempatkan gosok gigi dengan sikat gigi dalam plastik dari fasilitas kamar hotel.

 “Mbak, sikat gigi hotelnya kupakai”, kata Anton pada Eka yang lagi minum kopi panasnya dengan hati-hati. 

“Nggak apa-apa, aku juga nggak akan memakainya”, jawab Eka. 

“Cepat minum kopimu sebelum keburu dingin, eh kamu suka kopi atau nggak?”, lanjutnya. “Suka malah sudah jadi kebutuhan, Mbak kok repot-repot sih!”, balas Anton sedikit berbasa-basi. 

“Hitung-hitung punya bodyguard yang dibayar pakai sarapan”, canda Eka sambil tersenyum manis pada Anton. Anton pun membalasnya dengan senyuman dan segera menghabiskan sarapan yang telah dipesankan Eka. 

“Omong-omong, mandimu cepat sekali, Tok!”, komentar Eka seusai sarapan.

 “Memang nggak Mbak”, jawab Anton santai. 

“Apa? Kamu nggak mandi.. Uhh.. jorok kamu!”, komentar Eka yang sempat keheranan. 

“Sudah dari dulu Mbak”, kata Anton polos tanpa rasa bersalah. 

“Pantas aja kamu belum dapat pacar!”, olok Eka. 

“Ah, Mbak bisa aja! Saya memang belum usaha cari kok Mbak!”, tangkis Anton. 

“Hmm.. rupanya kamu pinter ngomong juga ya, kukira kamu pendiam”, kata Eka.

 “Soalnya kuperhatikan sejak kemarin, kamu banyak diam”, imbuh Eka. 

“Bukannya gitu Mbak, tapi kenyataannya memang seperti itu”, jawab Anton. 

“Terus kalau sudah usaha, apa kamu yakin dan pasti bisa dapat pacar?”, kejar Eka. 

“Belum, namanya juga usaha, Mbak”, jawab Anton tanpa beban. Eka kemudian berdiri ke depan cermin dan menyisir rambutnya serta melanjutkannya dengan sedikit merias wajahnya.

Sambil memperhatikan Eka, Anton berceloteh, “Mbak meskipun aku belum berusaha cari pacar tapi sudah ada kok cewek yang memperhatikan aku”. Eka hanya melirikkan matanya ke arah Anton sambil tersenyum penuh arti. Senyuman bibir mungil Eka diantara kedua lesung pipitnya membuat Anton terpana sesaat dan salah tingkah. 

“Eh, Mbak.. mm.. saya bisa bertanya sedikit soal Edo?”, kata Anton mengalihkan pembicaraan setelah ia teringat perihal yang lebih serius. 

“Soal apa Ton?”, tanya Eka sambil kembali ke tempat duduknya. 

“Ini soal hutang piutang Edo dengan saya, apa bisa kuutarakan pada bapak dan ibunya Mbak Eka?”, tanya Anton kemudian. 

“Sebaiknya jangan diutarakan hari ini, tunggulah 2-3 hari lagi, biar bapak dan ibu agak tenang dulu”, jawab Eka. Anton hanya mengangguk mendengar penjelasan Eka. 

“Begini saja, kalau kamu memang sedang butuh kira-kira berapa hutang Edo biar kutanggung dulu”, kata Eka agak tegang. 

“Mbak, kalau Edo yang berhutang pada saya, sudah kurelakan sejak kemarin, tapi ini kebalikannya Mbak”, kata Anton. 

“Maksudmu?”, tanya Eka kebingungan. 

Selimut Duka Kenikmatan

“Saya yang masih punya tanggungan pada Edo makanya saya merasa punya beban hutang”, jelas Anton. 

“Kalau begitu sewaktu-waktu kamu bisa mengembalikannya baru kamu ngomong ke bapak dan ibu”, kata Eka kembali tenang. 

“Mbak, ini bentuknya bukan uang tunai”, kata Anton. Melihat Eka yang jadi bingung oleh penjelasannya, Anton menceritakan dengan lebih rinci lagi soal investasi Edo yang dipercayakan padanya.

Dari penjelasan Anton akhirnya Eka mengetahui bahwa Edo memutarkan sebagian tabungannya di pasar saham bersama Anton. Dan sewaktu Edo meninggal sebagian besar investasi Edo masih berbentuk saham yang belum diuangkan didalam account Anton. Dan saat ini Anton sedang tidak tahu apakah investasi Edo tersebut ingin dicairkan atau terus diputar karena si empunya sudah tiada. Tapi akhirnya Eka dapat membantu memberinya saran solusi mengenai hal itu. 

“Sudah lama kamu bermain saham Ton?”, tanya Eka. 

“Hampir 2 tahunan Mbak, tapi Edo baru ikut setelah kerjanya pindah kesini, ya kira-kira 8 bulanan kalau Edo”, jelas Anton. 

“Makanya semalam kamu tahu soal saham, sungguh nggak mengira aku”, kata Eka. 

“Semalam itu sebenarnya saya penasaran dengan perkataan temannya Mbak dan ingin memancing keluarnya informasi baru mengenai saham perusahaan Mbak bekerja kalau memang ada, eh tahunya malah dapat caci-maki”, jawab Anton. 

“Tentu saja Ton, kamu cari informasi dengan orang yang lagi cemburu padamu”, komentar Eka. Anton terbengong mendengar komentar Eka, lalu beranjak dari kursinya untuk menghindar dari subyek yang dikomentari Eka. 

“Mbak, aku pamit pulang dulu ya!”, ujar Anton. 

“Eh, tunggu! Tolong anterin aku ke rumah lagi ya”, kata Eka. 

“Iya Mbak, saya kan sudah dibayar sarapan, jadi ya tidak bisa nolak”, canda Anton sambil menuju ke arah pintu kamar. Eka senang mendengar Anton dapat bergurau dan melupakan kesedihannya tapi juga agak gemas terhadap kata-kata yang dilontarkan Anton karena seperti tak pernah serius.

Setelah menyalakan mesin mobil Anton tak segera melajukan kendaraannya. Ia menyempatkan mengambil hand phone nya dari laci dashboard didepan Eka. Tanpa sengaja tangannya bergeser dengan paha Eka. 

“Oh, maaf Mbak!”, kata Anton. 

“Memangnya kenapa?”, tanya Eka sengaja bergurau. 

“Nggak, eh nggak apa-apa!”, jawab Anton dengan muka agak merah dan segera menyibukkan diri dengan HP nya menunggu mesin mobilnya panas. Eka pun hanya tersenyum melihat Anton salah tingkah. Dalam perjalanan mereka berdua banyak berbincang tentang keadaan kota Surabaya. Mereka berdua juga saling menukar nomer HP masing-masing.

Sesampai dirumah orang tua Eka, Anton langsung melajukan mobilnya kembali tanpa mampir. Di rumahnya yang sedang ramai dikunjungi oleh sanak famili keluarganya, Eka kembali disibukkan oleh kesibukan-kesibukan yang berhubungan dengan meninggalnya seseorang. Di sela-sela kesibukannya ia sempat menanyakan perihal Anton pada adik-adiknya. Rupanya tak hanya Edo yang mengenal Anton tapi adik-adiknya yang lain juga karena ia memperoleh informasi lebih banyak yang ia perkirakan. 3 Hari Kemudian Anton sedang bercakap-cakap dengan kedua orang tua Edo, ketika Eka datang bersama Edi adiknya, dengan membawa bungkusan makanan.

“Ton, kamu kok tahu kalau ada makanan enak”, ujar Eka. 

“Ayo Mas kita santap bersama makanan ini”, imbuh Edi. Belum sempat Anton berkomentar, Edwin si bungsu keluar dari kamarnya sambil berteriak, 

“Kok lama sih kak, sudah lapar nih!”. 

“Ah kamu bisanya ngomel melulu, antrinya nih bikin kaki capek”, hardik Eka tak dihiraukan Edwin karena sudah berlari menyusul Edi ke ruang makan.

Tak mau ketinggalan Anton pun langsung menyusul Edi dan Edwin meninggalkan sopan santunnya pada kedua orang tua sahabatnya. Ayah dan ibunya Edo menyambut hal itu dengan bahagia karena kesedihan keluarga sepeninggal Edo berangsur-angsur surut. Sewaktu Eka melangkahkan kaki ke ruang makan, Ayahnya memanggilnya. 

“Ini Ka, tadi Anton menyerahkan ini tapi ayah masih belum mengerti meski Anton sudah menerangkannya tadi”, kata ayahnya sambil menunjukkan cek dan beberapa lembar catatan. “Iya Ka, darimana sih kok Edo bisa dapat banyak uang?”, lanjut ibunya. Eka pun menerangkan dengan bahasanya hingga kedua orang tuanya mengerti. Setelah agak mengerti, ibunya berkomentar, 

“Edo tak pernah cerita soal ini pada siapapun, beruntung ia punya sahabat seperti Anton”. Komentar itu diiyakan oleh ayahnya dan wajah Eka yang berbinar haru. Ramainya ruang makan terdengar hingga ruang tengah dan mengingatkan Eka pada makanan yang dibelinya. Bergegas ia pun bergabung dengan 3 pemuda yang sedang melahap makan malam sambil bersenda gurau. 

“Awas kalian kalau sampai aku nggak kebagian”, ancam Eka. Anton, Edi dan Edwin saling menyalahkan dan mengolok yang makannya banyak. Ketiga pemuda itu telah menyelesaikan makannya ketika Eka mengambil lauk pauk yang ada di meja. 

“Sudah Kak, meski ada Mas Anton nggak usah malu-malu, ambil aja yang banyak seperti biasanya”, goda adiknya Edwin. 

“Iya, kemarin bisa menghabiskan 3 potong, masa sekarang cuman satu”, timpal Edi. 

“Makanya kakakmu belum dapat jodoh, rupanya calon-calonnya takut nggak bisa memberi jatah”, tambah Anton yang langsung disambut tawa oleh Edi dan Edwin. Eka berusaha menahan emosinya dengan wajah bersungut dan diam seribu bahasa. 

“Ngambek nih ye!”, goda Edi. 

“Marah, ya?”, imbuh Edwin.

 “Eh, kalian kesini sebentar!”, ajak Anton pada Edi dan Edwin agar duduk mendekat disampingnya.

 “Coba lihat, wajah kakakmu, kalau lagi ngambek gitu tambah cakep ya, tapi kenapa jodohnya pada lari ya!”, kata Anton sambil tertawa diikuti Edi dan Edwin. Mendengar kata-kata Anton, Eka pun tak kuasa menahan amarahnya. Ia langsung berdiri memegang piring kosong yang ada disampingnya.

Ketiga pemuda yang ada didepannya segera saja lari ketakutan dan berhamburan dari ruang makan. Dan Eka pun kembali duduk untuk melanjutkan makannya karena memang dia hanya berniat menggertak saja. Sesaat kemudian ayah dan ibunya ikut duduk di meja makan. 

“Kamu apakan mereka sampai pada lari keluar rumah?”, tanya ayahnya pada Eka. 

“Uhh.. itu Yah, Edi dan Edwin kompak banget sama Anton menggoda aku”, keluh Eka. 

“Mereka kan sudah kumpul lama jadi wajar kalau kompak, kamu sih jarang pulang!”, kata ayahnya. 

“Kok aku yang salah, mereka itu yang kekanak-kanak-an”, tangkis Eka. 

“Mereka kalau sudah kumpul memang gitu, Edo yang mau nikah pun juga gitu kalau sudah kumpul dengan Anton”, kata ibunya. Dalam hati, Eka tertawa dengan kelakuannya sendiri. Ia merasa menjadi muda kembali ketika bergurau dengan adik-adiknya dan Anton. Sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan selama sibuk bekerja di Jakarta yang selalu menuntut kedewasaannya. Keberadaan Anton juga memberi suasana baru dalam hatinya, sayangnya hal itu baru muncul sepeninggal Edo. Ketertarikannya pada Anton semakin bertambah walau tanpa rayuan. Sebaliknya ia malah lebih sering mendapat gurauan lugu nan cerdik tanpa dibuat-buat setiap kali berbincang dengannya pada tiap kali temu dalam 2 hari ini. Tak jarang pula ia menerima godaan kekanak-kanak-an dari Anton. Semua itu cukup mengusik emosinya pada daya tarik Anton yang aneh dan belum pernah ia jumpai pada pria-pria yang dikenalnya. Dari pengetahuan dan pengalamannya, Eka tahu bahwa Anton memiliki wawasan yang luas dan sangat dalam di beberapa bagian.

Ia juga tahu bahwa Anton memiliki pola pikir mirip seperti teman-teman dan bos-bosnya yang bule walau tak sepenuhnya meninggalkan adat istiadatnya. Cara berpikir Anton juga cenderung praktis, dewasa dan bijak. Sikap skeptis pada sekelilingnya sangat kuat membuatnya selalu cepat merespon keadaan sekeliling. Satu hal yang membuat Eka penasaran adalah kenapa Anton terlihat seperti menyembunyikan sifat-sifat positifnya dibalik sifat-sifat kekanak-kanak-annya. Eka memperkirakan ada sesuatu yang ditakuti oleh Anton. Sebuah dering HP nya membuyarkan lamunan Eka. Setelah berbincang lama ia menutup pembicaraan dengan rasa kecewa telah mengangkat panggilan telepon dari pimpinannya tadi. Setelah berbincang sebentar dengan kedua orang tuanya, ia pun bergegas masuk kamar dan mengemasi pakaiannya.

Sementara itu ayahnya memanggil Anton, Edi dan Edwin yang masih ngobrol dan merokok di teras rumah. 

“Eh, kakak masa ngambek sampai keburu balik malam-malam begini?”, tanya Edwin pada Eka yang dilihatnya sudah siap-siap bepergian. Raut muka Edi dan Anton pun juga kaget dan tegang merasa bersalah pada Eka. Apalagi Eka tak kunjung membuka mulut. Hal ini disengaja Eka untuk membalas godaan yang dialaminya tadi. 

“Mbak maafin kami deh, kami memang keterlaluan menggodanya tadi”, ujar Anton. 

“Iya memang kalian keterlaluan, sorry ya tak ada maaf bagi kalian”, jawab Eka. 

“Udah Ka, jangan bercanda lagi, ini udah malam, Malang itu nggak dekat apalagi malam begini”, kata ibunya. Walau masih bingung tapi ketiga pemuda itu sudah merasa kalau dikerjai Eka yang sekarang lagi menahan tawanya. 

“Rupanya kalian juga berat ya kutinggal”, ejek Eka pada adik-adiknya dan Anton. 

“Jelas dong adikmu merasa berat karena nggak ada lagi yang membelikan makanan lezat”, kata Anton spontan. 

“Heh, Mas Anton juga ikut makan gitu lho”, kilah Edi.

 “Tapi itu kan sedikit, cuman ngicipin doang”, balas Anton.

“Enak aja, Mas Anton habis 2 piring kok bilang cuman ngincipin doang”, sergah Edwin. Perang mulutpun terjadi antara Anton, Edi dan Edwin. Eka melihat pemandangan itu sambil tersenyum. “Eh, sudah-sudah! Kalian kok seperti anak kecil saja, ini sudah malam”, bentak ayah Eka membuat semuanya terdiam. 

“Siapa yang bisa mengantar aku malam ini?”, tanya Eka sambil berharap Anton bisa. 

“Yuk, kita antar kakakmu ke Malang, kita bisa menghirup udara pegunungan”, ajak Anton pada dua bersaudara itu. Tapi Edi dan Edwin beralasan dengan kesibukannya masing-masing sehingga hanya Anton yang terlihat bisa. Satu jam berselang, Anton dan Eka telah berkendaraan di jalanan luar kota Surabaya-Malang. Anton melajukan kendaraannya dengan santai.

Berdua mereka menembus kegelapan malam sambil bercakap soal berbagai hal ringan. Setiap hal yang mereka bicarakan selalu berkepanjangan seakan mereka berdua memperoleh lawan bicara yang cocok. Diselingi canda dan tawa, mereka berdua merasakan saat-saat yang tak akan mudah mereka lupakan. Waktu mendekati pukul 12 tengah malam ketika mereka berdua sampai ditempat tujuan. Di sebuah pelataran hotel berbintang 1 yang mereka masuki telah menunggu 2 orang kolega Eka. Anton menolak turun dari mobil ketika diajak Eka karena dia merasa tak ada kepentingan dengan urusan perusahaan Eka. Tak lama setelah Eka masuk ke lobby hotel, ia kembali ketempat Anton memarkir kendaraannya. 

“Ton, kamu tidur di kamar ini ya, aku langsung rapat sampai pagi dan mungkin baru bisa ketemu kamu lagi besok agak siang karena setelah rapat langsung menuju ke perkebunan”, kata Eka sambil menyerahkan sebuah kunci kamar hotel. Anton segera bergegas turun dari mobilnya dan masuk kedalam hotel mencari kamar yang nomernya tertera di gantungan kunci yang dipegangnya. Dalam perjalanannya menuju kamarnya, Anton sempat berjalan bersama-sama Eka sebelum akhirnya berpisah di lobby.

Dalam kesempatan itu, Anton menyempatkan curi-curi pandang ke arah Eka. Wanita berparas manis dengan rambut hitam lurus sebahu yang berada selangkah didepannya itu membuat hati Anton gusar. Sebuah perasaan yang telah terpupuk di hati Anton makin tak kuasa ia hindari. Panah asmara yang menembus hatinya ikut menyertai dinginnya kota Malang yang menembus jaketnya. Tertegun didepan sebuah acara TV yang ramai, pandangan Anton masih kosong dan hanya terisi oleh bayang-bayang wanita berwajah lonjong agak oval dengan alis tebal, mata bersinar, berhidung mancung, berlesung pipit dan berbibir mungil.

Bayang-bayang itu tak lain adalah Eka. Pikirannya berusaha berontak dan menaklukkan hatinya, tapi semua itu sia-sia belaka. Hanya rasa kantuk akibat lelah yang akhirnya menyapu kesadarannya hingga pulas. Sendiri di dalam kamar, membuat Anton bermalas-malasan semenjak bangun. Bosan didalam ia pun keluar dan berjalan-jalan disekitar hotel setelah membasuh muka. Setelah sarapan dengan menu makan pagi yang telah disediakan hotel secara gratis, Anton duduk-duduk di lobby sambil merokok dan membaca koran. Merasa puas, ia pun kembali ke kamarnya untuk melanjutkan bermalas-malasan. Tak terasa waktu berjalan sangat cepat.

Eka kembali dengan raut muka terlihat lelah dan langsung membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Melihat Eka yang capek, Anton membantu melepaskan sepatu yang masih dikenakan Eka. “Urusannya bagaimana Mbak?”, tanya Anton yang hanya dijawab Eka dengan kata “beres”. 

“Jam berapa Mbak kita bisa pulang?”, tanya Anton lagi. 

“Santai Ton, aku masih capek!”, jawab Eka sambil melelapkan matanya. Anton lalu duduk di kursi yang tak berjauhan dengan tempat tidur dan memandangi Eka yang terbaring dengan lemas. Meski matanya menutup tapi hati Eka merasakan seseorang sedang memperhatikannya. Matanya terbuka dan melihat Anton yang masih duduk memperhatikan dirinya. 

“Ton, kamu kok duduk disitu, takut ya dekat denganku? Ayo sini kalau berani!”, tantang Eka dengan nada manja. Mendengar tantangan itu, Anton memberanikan diri berbaring disamping Eka yang masih telentang diatas tempat tidur. 

“Hii.. dingin ya disini”, sebuah kalimat meluncur dari bibir Eka sambil memeluk tubuh Anton. Anton hanya diam bagai guling yang bernapas. Sedikit demi sedikit kedua kepala mereka berdekatan dan saling bersentuhan.

Eka memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka, menunggu reaksi Anton. Tapi Anton hanya memandang saja wajah Eka. 

“Ada apa Ton?”, tanya Eka berbisik setelah membuka kembali matanya. 

“Mbak cakep sekali”, jawab Anton dengan pandangan mata beradu dengan Eka. Perasaan Eka bergetar bagai lonceng yang berdentang membawa bibir mungilnya menempel pada bibir Anton. Tanpa aba-aba, Anton melumat lembut bibir Eka. Gelombang asmara menyapu rasio mereka berdua. Kuluman demi kuluman datang silih berganti baik dari Anton maupun Eka. Pertautan dua bibir menghasilkan pergumulan lidah dalam kurungan asmara dan nafsu. Sebuah persamaan yang tidak ada bandingannya dengan rumusan matematis yang ada sampai saat ini. Saling memeluk masing-masing tubuh terjadi tanpa mereka sadari. Gesekan tubuh dengan tubuh terasa nikmat bagai buaian mimpi walau masih terhalang oleh pakaian yang masih dikenakan. Irama halus yang menjadi awal berubah seiring dengan tindih menindih yang saling mereka lakukan pada satu sama lainnya.

Rotasi posisi mereka lakukan sambil berciuman bibir tanpa ada habisnya. Sesaat kemudian, Eka menghentikan ciumannya pada bibir Anton. Berpandangan mata dengan penuh arti, tangan Eka melepas kancing dan membuka resleting celana Anton. Anton mereaksinya dengan membuka kancing kemeja Eka dengan pelan. Satu persatu pakaian mereka berjatuhan dari tempat tidur. Duduk berhadap-hadapan, mereka saling memandang tubuh bugil masing-masing. Lekuk-lekuk tubuh yang ada didepan satu sama lainnya merasuki pikiran mereka dan mengundang selera Anton dan Eka. Benak mereka terisi dengan rasa bahagia akan kenikmatan yang akan segera mereka rengkuh. Waktupun terasa berhenti bagi keduanya. Api cinta menyulut asmara dan mengobarkan nafsu yang telah sampai diubun-ubun Anton dan Eka. Embun duka telah mengering dan tak mampu lagi memadamkan apa yang akan terjadi. Titik kritis dimana perbuatan ini masih dapat dicegah telah mereka lewati. Yang tersisa saat ini hanyalah lampu hijau traffic light yang takkan padam walau putus kabelnya.

Pelan tapi pasti, Anton dan Eka merapatkan tubuhnya. Sambil duduk beradu pandang, mereka berdua mengusap lembut bagian tubuh masing-masing. Bibir Eka makin terbuka mengeluarkan desahan-desahan pendek ketika usapan tangan Anton melewati daerah kemaluannya yang telah basah. Eka pun segera membelai batang kemaluan Anton dengan perasaan. Lalu.. Merangkul dalam pelukan masing-masing, menghantarkan hangat di tubuh pada lawannya. Kelembutan kulit Eka menyentuh kulit berbulu milik Anton. Pelan-pelan Eka naik keatas pangkuan Anton. Tangan Eka merarangkul bagian belakan leher Anton. Sedangkan Anton memegang punggung Eka dan mengusapkan tangannya naik turun. Keduanya beradu ciuman kembali dengan sangat-sangat mesra dan dekat. Tiba-tiba Eka melepaskan bibirnya dari bibir Anton sambil mendesah panjang, “Ahh..”.

Batang kemaluan Anton yang tengah mendongkak keatas terselip masuk kedalam liang kenikmatan Eka. Ciuman Anton mendarat di leher Eka membuat ia tak kuasa untuk segera menurunkan tubuhnya dan membenamkan seluruh batang kemaluan Anton kedalam lobang kenikmatannya. Eka pun mendesah makin keras dan makin panjang, “Aaahh..”. Lepas pulalah kecupan nikmat bibir Anton pada leher Eka. Mata Eka yang sedang terpejam membelalak menatap pandang mata Anton. Pandangan Eka bagai menembus kalbu Anton. Daya tarik keduanya sudah seperti 2 magnet yang beda kutub. Bibir menganga Eka disambut dengan kuluman bibir juga Anton. Sedikit demi sedikit Eka menggerakkan tubuhnya keatas kebawah di pangkuan Anton. Gerakan pelan Eka sesekali membuat ciumannya terlepas dari bibir Anton dan berlanjut dengan adu pandang. Dua tubuh saling menempel dan bergesek. Dua nafas saling bersambung. Kulit bertemu kulit. Dada Anton bagai dibelai payudara Eka yang menegang. Belaian punting Eka yang mengeras menyentuh puntingnya.

Belaian yang lain daripada yang lain. Irama gerakan naik-turun Eka terus berlanjut walau pelan. “Ohh Mbak.. ohh..”, ucap Anton dalam kenikmatan dengan mata berkejap-kejap. Eka makin mempererat dekapannya dan berbisik pada telinga Anton, 

“Ton, aaku mauu..”. Tapi belum tuntas kalimatnya, Eka sudah mengejang hebat tak kuasa menahan tumpahan kenikmatan dalam perasaannya yang terdalam. Seakan mengerti apa kelanjutan kalimat Eka, Anton membalas bisikan dengan bisikannya tepat ditelinga Eka, “Lepaskan Mbaak, ohh..”. “Ahh..”, desah Eka tak bergerak lagi serta bergelinjang dalam kehangatan dekapan Anton. Dinding-dinding liang kenikmatan Eka terasa berdenyut mengantarkan tumpahan kebahagiannya. Cairan orgasme Eka yang membasahi batang kemaluannya, dirasakan Anton bagai guyuran gelombang asmara. Sesaat kemudian mereka berdua tak bergerak maupun bersuara. Masih dalam dekapan Anton, Eka lemas diatas pangkuan Anton sambil terpejam. Eka membelai rambut Anton dengan rasa kasih sayang. Anton pun membalasnya dengan kecupan dalam di pangkal leher Eka. Masih tegak bertopi baja bagai tentara siap perang dalam kegelapan, batang kemaluan Anton tak kunjung keluar dari liang kenikmatan Eka. Dengan segenap tenaganya, Anton mengangkat lalu membaringkan tubuh Eka. Menindih diatas tubuh Eka, Anton memandangi kecantikan wajah Eka yang makin mempesonanya. Tak kuasa menahan gejolak jiwanya, Anton kembali melayangkan ciumannya pada bibir Eka. Pertautan lidah kembali terjadi walau sesaat. Bergerak pelan dan penuh perasaan, ia menggerakkan pinggulnya naik-turun maju-mundur. Kaki-kaki Eka yang semula terlempang lemas, kemudian mengapit kaki-kaki Anton yang tengah berada diantaranya. Anton terus menggerakkan pinggulnya dengan irama yang menghanyutkan. Membawa dirinya bersama Eka meniti tangga gairah menuju puncak kenikmatan. Tangan-tangan Eka menggapai bantal dan seprei yang ada disekelilingnya. Menggegamnya erat-erat seakan menahan sesuatu yang tak ingin ia lepaskan lebih dahulu. Diiringi dengan desahan-desahan menggairahkan yang jujur nan polos tak dibuat-buat. Pendakian bersama akhirnya mencapai tujuannya. Gerakan Anton terhenti tiba-tiba dengan tubuh yang menegang. Didalam liang kenikmatang Eka yang paling dalam, batangnya bergemuruh hebat.

Berdenyut tiada henti disambut dengan cengkeraman dinding liang. Kehangatannya melumuri permukaan dinding, memicu sambutan selanjutnya. Melepas semua yang telah ia tahan sejak tadi, Eka melenguh dalam kenikmatan, “Ooaah..”. Tubuhnya bergelinjang dalam dekapan Anton. Waktu seakan berhenti ketika denyut dan aliran kenikmatan mereka bersatu padu. Ledakan nafsu asmara menyisakan bara kasih yang membahana didalam 2 jiwa yang sedang berdekapan. Kecupan bibir Anton pada kening Eka menjalankan kembali alur waktu yang telah terhenti beberapa saat. Lalu ia beranjak dari tindihannya pada tubuh Eka dan berbaring disampingnya. Keduanya merasa lemas seakan tak ada lagi sisa tenaga yang mampu mereka keluarkan kecuali mendekapkan diri satu sama lain dibawah kehangatan selimut. Dan tertidur pulas hingga sore. Dalam perjalanan pulang, mereka berdua hampir tak mengeluarkan suara. Sikap Anton berubah dingin dan Eka juga tak mengerti apa yang harus diperbuat menanggapi sikap Anton tersebut. Walau berbagai usaha mengajak bicara yang dilakukan Eka pada Anton selalu dijawab dengan hanya beberapa patah kata tapi ia tetap merasa bahwa Anton adalah pria idamannya.

Sesampai di depan rumah keluarga Eka, Anton menurunkannya dan hanya mengucapkan kata perpisahan pendek lalu tancap gas pulang. Diatas ranjangnya, Anton bersiap untuk tidur. Tapi aktivitas yang biasa ia lakukan dengan mudah itu terasa sulit dilakukan saat ini. Pikirannya berkecamuk, bingung dan ragu akan apa yang harus dilakukannya selanjutnya. Disatu sisi ia menyesal telah melakukan permainan cinta dengan Eka dan merasa mengkhianati sahabatnya Edo. Tapi disisi yang lain ia menyesal telah bersikap dingin pada Eka, kakak Edo. Anton merasakan kecocokan ketika berhubungan dengan Eka. Tak hanya oleh parasnya yang selalu mempesona dirinya tapi juga oleh semua sikapnya yang mampu merebut simpatinya. Hatinya seakan berat melepas Eka tapi wanita yang ada dalam hatinya itu adalah kakak sahabatnya yang telah meninggal. Dalam benaknya, ia merasa harus memposisikan Eka bukan sebagai kekasih tapi sebagai kakaknya. 2 Hari Kemudian Telah 2 hari Eka berusaha menghubungi Anton setiap ada waktu tapi selalu gagal. Telepon dan SMS nya tak pernah memperoleh jawaban dari Anton. Ia benar-benar tak mengerti atas sikap Anton yang telah berubah sepulangnya dari Malang. Yang ia inginkan saat ini adalah bertemu dengannya dan berbicara dengan Anton, karena besok pagi ia harus balik ke Jakarta. Rasa penasarannya membawanya menuju kamar adiknya, Edi. “Ed, tumben ya Anton nggak pernah kesini lagi?”, tanya Eka pada Edi yang mengerjakan tugas kampus. 

“Tadi aku ketemu”, jawab Edi. 

“Di sini?”, tanya Eka. 

“Nggak, di rumahnya sewaktu aku pinjam bukunya”, jawab Edi 

“Memangnya ada perlu apa kak sama Mas Anton?”, lanjut Edi. Eka hanya menggelengkan kepala. 

“Kangen ya, hehehe..”, goda Edi pada kakaknya. Eka hanya bisa cemberut dengan wajah yang agak merah.

“Mas Anton itu orangnya aneh ya kak?”, kata Edi pada Eka kemudian. 

“Aneh gimana maksudmu?”, tanya Eka tidak mengerti. 

“Dia sepertinya lebih senang sendiri daripada punya pacar, pergaulannya juga kurang, tapi kalau kita sudah berteman dan mengenalnya, rasanya sulit untuk melepaskannya”, jelas Edi. “Lalu, anehnya dimana?”, tanya Eka penasaran. 

“Kak, umurku jauh lebih muda dari Mas Anton, jelek-jelek begini apalagi cuma bermodal dengkul, aku sudah gonta-ganti pacar sampai 5 kali, Mas Anton belum satu pun”, jawab Edi sedikit menyombongkan diri. 

“Hmm.. Kamu yang keterlaluan dan layak disebut playboy kampungan”, kata Eka meledek adiknya, tapi yang diledek malah tertawa cekikikan. 

“Eh Ed, cewek macam apa sih yang dicari Anton”, tanya Eka. Edi tak langsung menjawab tapi memandangi kakaknya dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, 

“Jelas, jelas bukan yang dicari, huahaha..”. 

“Apa kamu bilang? Aku kurang cakep ya? terlalu tua ya?”, tanya Eka nerocos. 

“Kak, kak aku cuman bercanda, kakak memang cakep dan masih muda kok, tapi..”, jawab Edi tergesa-gesa tapi ragu untuk melanjutkannya. 

“Tapi apa?”, buru Eka. 

“Tapi kakak ada hubungan saudara dengan almarhum kak Edo”, jawab Edi. Kakak beradik itu lalu terdiam sesaat.

 “Apa hubungannya Ed?”, tanya Eka.

 “Saya pernah mencuri dengar bahwa Mas Anton punya prinsip kalau ia tak akan mengencani saudara ataupun relatif sahabatnya walaupun cakep, alasannya bisa merusak persahabatan”, kata Edi. Eka hanya terdiam mendengar penjelasan itu.

Ia mulai mengerti arti sikap Anton saat ini. Eka melangkahakan kakinya keluar dari kamar Edi. Tiba-tiba sebuah bunyi SMS masuk dari HP nya Edi. “Wow, Mas Anton sakti sekali, baru di bicarakan sudah SMS aku”, kata Edi. Eka menghentikan langkahnya dan menunggu reaksi Edi atas SMS Anton. 

“Aduh! sayang sekali, Mas Anton ngajak kok pas lagi banyak tugas gini, terpaksa dilewatkan nih”, kata Edi dengan raut menyesal dan sibuk menjawab SMS. 

“Emangnya, ngajak apa si Anton?”, tanya Eka. 

“Ngajak latihan main game Counter-Strike dirumahnya yang lagi sepi”, jawab Edi. 1 Jam Kemudian Di Rumah Anton Bel rumah keluarga Anton berbunyi dan mengagetkan Anton yang lagi asyik nonton acara TV. 

“Siapa sih malam-malam gini?”, pikir Anton dalam hati. Dengan enggan ia menuju kedepan rumah.

Lalu ia bergegas membukakan pintu setelah dipikirnya Edi yang datang walau SMS dari nya mengatakan sebaliknya. 

“Paling SMSnya cuman bercanda saja”, dalam benak Anton. Kagetnya bukan kepalang setelah dilhatnya yang datang adalah Eka bukan Edi. Anton sempat tertegun tak bergerak membiarkan Eka yang masih berdiri di depan pintu pagar rumahnya. 

“Aku boleh masuk nggak nih?”, tanya Eka dengan nada canda. 

“Sorry-sorry Mbak!”, kata Anton dengan tergopoh-gopoh. Lalu Anton membukakan pintu dan menyilakan Eka masuk. 

“Sepi sekali Tok rumahmu, sendirian?”, tanya Eka. 

“Eh, iya Mbak, keluarga lagi keluar kota semua, pembantu juga pulang”, jawab Anton. Eka berkeliling dirumah Anton yang luas dan melihat-lihat tempat nongkrongnya adik-adiknya terutama Edo. Setelah puas berkeliling, Eka duduk di sofa ruang tengah.

 “Ada perlu apa Mbak kesini?”, tanya Anton tanpa basa-basi. 

“Eh, jahat sekali kamu, masa cuma adik-adikku yang boleh main kesini?”, tanya Eka. “Bukannya jahat gitu Mbak, tapi Mbak kok berani kesini sendirian”, kata Anton. 

“Apa yang perlu kutakutkan?”, tanya Eka tegas. 

“Nggak ada, malah aku yang takut, hehehe..”, jawab Anton dengan bergurau.

 “Sejak dari Malang kenapa kamu nggak mau jawab HP dan SMS ku?”, tanya Eka. Anton tertunduk malu mendengar pertanyaan itu. 

“Ton, aku tidak menuntut pertanggung jawaban, aku hanya butuh penjelasan darimu”, kata Eka. “Kita sama-sama dewasa dan aku bisa mengerti kalau kamu hanya menganggap yang kita lakukan adalah sex”, lanjut Eka semakin blak-blakan. Anton menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, “Bukan Mbak, bukan hanya sex tapi lebih dari itu, dan itulah penyebab perubahan sikap saya. Saya memang sengaja menjauh dari Mbak, bukan karena saya tidak suka tapi sebaliknya, saya suka sekali dengan Mbak. Mmm.. Saya mencintai Mbak Eka..”. Kata-kata terakhir Anton menggetarkan hati Eka, membuatnya tak mampu mengucapkan sepatah kata.

Eka hanya diam dan memandang Anton, menunggu dan menunggu. “Kalau Mbak hanya menganggap yang kita lakukan hanyalah sex semata, saya bisa mengerti. Maaf Mbak, sebenarnya saya tahu saya tak pantas mengutarakan cinta pada Mbak. Apapun tanggapan Mbak terhadap saya, saya akan menerimanya. Mbak jangan kasihan pada saya”, lanjut Anton. Eka mendehem mencoba dapat bersuara kembali, lalu berkata, “Aku nggak mengerti sama kamu Ton? Biasanya bila pria menyukai wanita, ia akan mengejarnya bukan sebaliknya, apalagi menghindar. Kenapa kamu menghindar dariku?”. 

“Supaya saya dapat melupakan perasaan saya pada Mbak Eka”, jawab Anton. 

“Kenapa? Apa karena aku saudaranya sahabatmu?”, tanya Eka. Anton terkejut dengan dugaan Eka yang benar. Ia hanya menganggukkan kepalanya. 

“Sekarang sahabatmu, adikku Edo sudah tiada, apa kamu masih ingin melupakan perasaanmu padaku?”, tanya Eka lagi. 

“Edo memang sudah meninggal, jazadnya memang sudah tiada, tapi ia masih ada di pikiranku sampai akhir hayatku”, jawab Anton. Sebuah jawaban yang membuat haru hati Eka. “Selanjutnya apa mau mu, Ton?”, tanya Eka. Anton hanya geleng kepala dan mengangkat pundaknya.

Keduanya terdiam dan saling memandang. Dengan ragu Anton bertanya, “Mbak Eka, sebenarnya ada perasaan sama aku atau nggak?”. Pipi Eka merona dan tersenyum mendekat kearah Anton. 

“Menurutmu bagaimana?”, bisik Eka dengan manja. 

“Mbak Eka cuma merasa kasihan saja padaku karena masih jomblo, tak lebih dari itu”, jawab Anton polos tak mengerti maksud dibalik pertanyaan Eka. Senyum Eka berubah jadi cemberut dan berkata, “Huh, teganya kamu ngomong gitu!”. Kali ini Anton jadi bingung dengan sikap Eka. “Jadi, jadi..”, kata Anton tak mampu melanjutkan kata-katanya karena mulai mengerti maksud Eka. “Jadi apa? ha..”, tanya Eka dengan nada menantang sambil mendekatkan wajahnya di dekat wajah Anton. Mendengar nada Eka, Anton merasa apa yang tadi dimengertinya salah. Ia pun lalu menunduk lemas.

Dua tangan Eka memegang dan mendongkakkan wajah Anton hingga memandang wajahnya. “Ton, kamu terlalu polos”, kata Eka. Belum sempat Anton menanggapinya, bibirnya telah dilumat oleh bibir Eka. Karena agak kaget, Anton bergerak mundur. Tapi Eka mengikutinya dengan merangsek maju, makin mendekat hingga tubuhnya condong ke tubuh Anton. Ciuman Eka dibibirnya, sempat membuat Anton bingung, tapi akhirnya ia pun meresponnya. Tiba-tiba Eka menghentikan ciumannya dan berkata, “Aku takkan melakukan hal itu pada sembarang pria.

Saat ini mungkin kita belum dapat menjadi kekasih. Tapi apakah kita juga harus berhenti menjadi teman akrab?”, tanya Eka. 

“Saya selalu menganggap Mbak Eka lebih dari teman akrab meskipun bukan kekasih”, jawab Anton. 

“Kalau begitu beres kan urusan kita?”, tanya Eka dengan senyum manisnya. Anton mengangguk tanda setuju. Mereka berdua lalu duduk berdampingan dengan santai diatas sofa ruang tengah. Lalu Eka mengeluarkan sebuah permintaan, 

“Ton, besok aku balik ke Jakarta. Sebagai teman akrab masa kamu tidak memberiku sesuatu”. “Saya mau memberi kejutan, tapi Mbak Eka harus memejamkan mata dulu”, kata Anton. Permintaan Anton dituruti oleh Eka. Dengan mata terpejam, Eka merasakan bibirnya memperoleh ciuman basah dari Anton. Sebuah sentuhan hangat telapak tangan ia rasakan mengusap payudaranya. Jiwanya seakan terbang ke awang-awang. Sekujur tubuhnya terasa bergairah kembali. Ciuman bibir basah Anton bergerak ke arah leher lalu turun ke arah payudara Eka. Eka heran dengan kecepatan dan kelihaian Anton membuka kancing kemejanya serta melepas BHnya tanpa ia sadari.

Keheranannya sirna karena jalan pikiran Eka telah terbuntu oleh rasa nikmat yang ia rasakan. Dengan mata masih terpejam, Eka dapat merasakan kedua payudaranya memperoleh kuluman nikmat secara bergantian. Tangan-tangan Anton bergerak lagi, membuka kancing dan resleting celana jeans Eka. Lalu mengusap-usap celana dalam Eka tepat di daerah kemaluannya. Eka mengeluarkan desahan pertamanya, “Ahh.. Oh.. Ton, lepaskan sekalian, ahh..”. Tanpa kesulitan Anton telah melepaskan celana jeans dan celana dalam Eka secara bersamaan karena Eka sudah mengangkat pantatnya. Mata Eka terbelalak ketika ciuman bibir basah Anton telah mencapai liang kenikmatannya. “Ahh..”, Desah panjang nan dalam membahana di ruang tengah yang luas nan sepi. Sesekali lidah Anton menjulur-julur kedalam liang kenikmatan Eka menyelingi kuluman yang dibuat oleh bibirnya. Tak lama kemudian, Eka mengerang, menarik kepala Anton dengan tangannya dan menjepitnya dengan kedua kakinya. Tubuhnya mengejang dan akhirnya menggelinjang. “Oh, kamu nakal banget Ton”, kata Eka manja dan tersenyum puas.

Cerita sex : Nadia Si Karyawan Baru

“Itu tadi belum masuk kategori nakal Mbak! Apa Mbak ingin tahu kategori nakal?”, tanya Anton. Eka hanya tersenyum dan mengangguk agak penasaran. Anton langsung melayangkan ciuman di bibir Eka setelah mendapat anggukan dari Eka. Sesaat kemudian Anton telah melepaskan semua celananya sambil tetap memberi ciuman bibir pada Eka. Anton merebahkan Eka di sofa dan segera menindih serta menyetubuhinya. Aksi tiba-tiba yang dilakukan Anton membuat Eka terkejut dalam kenikmatan tingkat tinggi. Anton melepas ciumannya dan menegakkan tubuhnya untuk membuat dorongan maju mandur yang makin lama makin cepat sambil memegang kedua kaki Eka. “Ahh.. ahh.. Tok.. oh..”, desah Eka. Anton melepas pegangan pada kaki Eka dan segera memeluk tubuhnya. Kedua tubuh yang saling bercengkerama itu sama-sama mengejang. Akhirnya Anton dan Eka melepas muatan nafsu asmara yang telah mereka tahan. Kenikmatan dan kepuasan mereka raih bersama-sama dalam selimut duka yang telah menyatukan mereka berdua.

#Selimut #Duka #Kenikmatan

Kenikmatan Seks Dengan Atasanku Yang Seksi Terbaru Malam Ini

Kenikmatan Seks Dengan Atasanku Yang Seksi

Saat itu aku Ronny masih kuliah dan saya mempunyai teman karib namanya Mona, dari Sumatera, dia menumpang di rumah tantenya. Cerita Sex ini Kebetulan antara saya dan Mona mempunyai hoby yang sama, naik gunung, lintas alam, atletik, lempar lembing. Saya sering bertandang ke rumahnya, makin lama makin sering. Karena saya juga naksir sama Rita, adik sepupu Mona atau anak tantenya. Walau saya sudah menjadi akrab dengan keluarganya, tapi Rita tak kunjung kupacari. 

Setelah selesai SMA Mona melanjutkan studi di Kota lain, tapi aku mencoba untuk bertandang ke rumah Rita, tapi jarang ketemu. Namun perjalanan waktu menentukan lain bagi Rita, ayahnya yang wakil rakyat itu meninggal. Sekarang ini ibunya mencari nafkah sendiri dengan memegang beberapa perusahaannya yang memang sudah dirintis cukup lama, sebelum terpilih menjadi wakil rakyat. Harapanku memacari Rita tetap ada di dada, walaupun saat aku berkunjung, justru bu Ita (ibunya Rita/tantenya Mona) yang sering menemuiku. karena Rita ada kesibukan di Jakarta, sehubungan dengan keikutsertaannya dalam sekolah presenter di sebuah stasion tv swasta di sana. Tapi sebenarnya kalau mau jujur Rita masih kalah dengan ibunya. 

Bu Ita lebih cantik.,kulitnya lebih putih bersih, dewasa dan tenang pembawaannya. Sementara Rita agak sawo matang, nurun ayahnya kali? Seandainya Rita seperti ibunya: tenang pembawaannya, keibuan dan penuh perhatian, baik juga. Sekarang, di rumah yang cukup mewah itu hanya ada bu Ita dan seorang pembantu. Mona sudah tidak di situ, sementara Rita sekolah di ibukota, paling-paling seminggu pulang.

Akhirnya saya di suruh bu Ita untuk membantu sebagai karyawan tidak tetap mengelola perusahaannya. Untungnya saya memiliki kemampuan di bidang komputer dan manajemennya, yang saya tekuni sejak SMA. Setelah mengetahui manajemen perusahaan bu Ita lalu saya menawari program akuntansi dan keuangan dengan komputer, dan bu Ita setuju bahkan senang. Merencanakan kalkulasi biaya proyek yang ditangani perusahaannya, dsb. Saya menyukai pekerjaan ini. Yang jelas bisa menambah uang saku saya, bisa untuk membantu kuliah, yang saat itu baru semester dua. Bu Ita memberi honor lebih dari cukup menurut ukuran saya. Pegawai bu Ita ada tiga cewek di kantor, tambah saya, belum termasuk di lapangan. Saya sering bekerja setelah kuliah, sore hingga malam hari, datang menjelang pegawai yang lain pulang. Itupun kalau ada proyek yang harus dikerjakan. Part time begitu. Bagi saya ini hanya kerja sambilan tapi bisa menambah pengalaman. Karena hubungan kerja antara majikan dan pegawai, hubungan saya dengan bu Ita semakin akrab. Semula sih biasa saja, lambat-laun seperti sahabat, curhat, dan sebagainya. Aku sering dinasehati, bahkan saking akrabnya, bercanda, saya sering pegang tangannya, mencium tangan, tentu saja tanpa diketahui rekan kerja yang lain. Dan rupanya dia senang. Tapi aku tetap menjaga kesopanan. 

Pengalaman ini yang mendebarkan jantungku, betapapun dan siapapun bu Ita, dia mampu menggetarkan dadaku. Walaupun sudah cukup umur wanita ini tetap jelita. Saya kira siapapun orangnya pasti mengatakan orang ini cantik bahkan cantik sekali. Dasar pandai merawat tubuh, karena ada dana untuk itu, rajin fitnees, di rumah disediakan peralatannya. Kalau sedang fitnees memakai pakaian fitnees ketat sangat sedap dipandang. Ini sudah saya ketahui sejak saya SMA dulu, tapi karena saya kepingin mendekati Rita, hal itu saya kesampingkan. Data-data pribadi bu Ita saya tahu betul karena sering mengerjakan biodata berkaitan dengan proyek-proyeknya. Tingginya 161 cm, usianya saat kisah ini terjadi 37 tahun, lima bulan dan berat badannya 52 kg. Cukup ideal. Pada suatu hari saya lembur, karena ada pekerjaan proyek dan paginya harus didaftarkan untuk diikutkan tender. Pukul 22.00 pekerjaan belum selesai, tapi aku agak terhibur bu Ita mau menemaniku, sambil mengecek pekerjaanku. Dia cukup teliti. Kalau kerja lembur begini ia malah sering bercanda.

Bahkan kalau minumanku habis dia tidak segan-segan yang menuang kembali, aku malah menjadi kikuk. Dia tak enggan pegang tanganku, mencubit, namun aku tak berani membalas. Apalagi bila sedang mencubit dadaku aku sama sekali tidak akan membalas. Dan yang cukup surprise tanpa ragu memijit-pijit bahuku dari belakang. 

“Capek ya..? Saya pijit, nih”, katanya. Aku hanya tersenyum, dalam hati senang juga, dipijit janda cantik. Apalagi yang kurasakan dadanya, pasti teteknya menyenggol kepalaku bagian belakang, saya rasakan nyaman juga. Lama-lama pipiku sengaja saya pepetkan dengan tangannya yang mulus, dia diam saja. Dia membalas membelai-belai daguku, yang tanpa rambut itu. Aku menjadi cukup senang. Hampir pukul 23.00 baru selesai semua pekerjaan, saya membersihkan kantor dan masih dibantu bu Ita. Wah wanita ini betul-betul seorang pekerja keras, gumanku dalam hati. Saya bersiap-siap untuk pulang, tapi dibuatkan kopi, jadi kembali minum. 

“Kamu sudah punya pacar Ron?” 

“Belum Bu”, jawabku 

“Masa.., pasti kamu sudah punya. Cewek mana yang tak mau dengan cowok ganteng”, katanya “Belum Bu, sungguh kok”, kataku lagi. Kami duduk bersebelahan di sofa ruang tengah, dengan penerangan yang agak redup. Entah siapa yang mendahului, kami berdua saling berpegangan tangan saling meremas lembut. Yang jelas semula saya sengaja menyenggol tangannya… Mungkin karena terbawa suasana malam yang dingin dan suasana ruangan yang syahdu, dan terdengar suara mobil melintas di jalan raya serta sayup-sayup suara binatang malam, saya dan bu Ita hanyut terbawa oleh suasana romantis. Bu Ita yang malam itu memakai gaun warna hitam dan sedikit motif bunga ungu. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Wanita pengusaha ini makin mendekatkan tubuhnya ke arahku. Dalam kondisi yang baru aku alami ini aku menjadi sangat kikuk dan canggung, tapi anehnya nafasku makin memburu, kejar-kejaran dan bergelora seperti gemuruh ombak di Pelabuhan Ratu. Saya menjadi bergemetaran, dan tak mampu berbuat banyak, walau tanganku tetap memegang tangannya. “Dingin ya Ron..?!”, katanya sendu. Sementara tangan kiriku ditarik dan mendekap lengan kirinya yang memang tanpa lengan baju itu. 

“Ya, Bu dingin sekali”, jawabku.

Terasa dingin, sementara tangannya juga merangkul pinggangku. Bau wewanginan semerbak di sekitar, aku duduk, menambah suasana romantis “Kalau ketahuan Darti (pembantunya), gimana Bu?”, kataku gemetar. 

“Darti tidak akan masuk ke sini, pintunya terkunci”, katanya. Saya menjadi aman. Lalu aku mencoba mengecup kening wanita lincah ini, dia tersenyum lalu dia menengadahkan wajahnya. Tanpa diajari atau diperintah oleh siapapun, kukecup bibir indahnya. Dia menyambut dengan senyuman, kami saling berciuman bibir saling melumat bibir, lidah kami bertemu berburu mencari kenikmatan di setiap sudut-sudut bibir dan rongga mulut masing-masing. Tangankupun mulai meraba-raba tubuh sintal bu Ita, diapun tidak kalah meraba-raba punggungku dan bahkan menyusup dibalik kaosku. Aku menjadi semakin terangsang dalam permainan yang indah ini. 

Sejenak jeda, kami saling berpandangan dia tersenyum manis bahkan amat manis, dibanding waktu-waktu sebelumnya. Kami berangkulan kembali, seolah-olah dua sejoli yang sedang mabuk asmara sedang bermesraan, padahal antara majikan dan pegawainya. Dia mulai mencumi leherku dan menggigit lembut semantara tanganku mulai meraba-raba tubuhnya, pertama pantatnya, kemudian menjalar ke pinggulnya. 

“Sejak kamu kesini dengan Mona dulu, saya sudah berpikir: “Ganteng banget ini anak!””, katanya setengah berbisik. 

“Ah ibu ada-ada saja”, kataku mengelak walaupun saya senang mendapat sanjungan. 

“Saya tidak merayu, sungguh”, katanya lagi. Kami makin merangsek bercumbu, birahiku makin menanjak naik, dadaku semakin bergetar, demikian juga dada bu Ita. Diapun nampak bergetaran dan suaranya agak parau. Kemudian saya beranjak, berdiri dan menarik tangan bu Ita yang supaya ikut berdiri. Dalam posisi ini dia saya dekap dengan hangatnya. Hasrat kelakianku menjadi bertambah bangkit dan terasa seakan membelah celana yang saya pakai. Lalu saya bimbing dia ke kamarnya, bagai kerbau dicocok hidungnya bu Ita menurut saja. Kami berbaring bersama di spring bed, kembali kami bergumul saling berciuman dan becumbu. “Gimana kalau saya tidur di sini saja, Bu”, pintaku lirih. Ia berpikir sejenak lalu mengangguk sambil tersenyum. Kemudian dia beranjak menuju lemari dan mengambil pakaian sambil menyodorkan kepada saya. 

“Ini pakai punyaku”, dia menyodorkan pakaian tidur. Lalu aku melorot celana panjangku dan kaos kemudian memakai kimononya. Aku menjadi terlena. Dalam dekapannya aku tertidur. Baru sekitar setengah jam saya terbangun lagi. Dalam kondisi begini, jelas aku susah tidur. Udara terasa dingin, saya mendekapnya makin kencang. Dia menyusupkan kaki kanannya di selakangan saya. Penisku makin bergerak-gerak, sementara cumbuan berlangsung, penisku semakin menjadi-jadi kencangnya, yang sesungguhnya sejak tadi di sofa. Aku berpikir kalau sudah begini bagaimana? Apakah saya lanjutkan atau diam saja?

Lama aku berfikir untuk mengatakan tidak! Tapi tidak bisa ditutupi bahwa hasrat, nafsu birahiku kuat sekali yang mendorong melonjak-lonjak dalam dadaku bercampur aduk sampai kepada ubun-ubunku. Walaupun aku diamkan beberapa saat, tetap saja kejaran libido yang terasa lebih kuat. Memang saya sadar, wanita yang ada didekapanku adalah majikanku, tantenya Mona, mamanya Rita, tapi sebagai pria normal dan dewasa aku juga merasakan kenikmatan bibir dan rasa perasaan bu Ita sebagai wanita yang sintal, cantik dan mengagumkan. Sedikitnya aku sudah merasakan kehangatannya tubuhnya dan perasaannya, meski pengalaman ini baru pertama kali kualami. Aku tak kuasa berkeputusan, dalam kondisi seperti ini aku semakin bergemetaran, antara mengelak dan hasrat yang menggebu-gebu. Aku perhatikan wajahnya di bawah sorot lampu bed, sengaja saya lihat lama dari dekat, wajahnya memancarkan penyerahan sebagai wanita, di depan lelaki dewasa. Pelan-pelan tanganku menyusup di balik gaunnya, meraba pahanya dia mengeliat pelan, saya tidak tahu apakah dia tidur atau pura-pura tidur. Aku cium lembut bibirnya, dan dia menyambutnya. Berarti dia tidak tidur. Ku singkap gaun tidurnya kemudian kulepas, dia memakai beha warna putih dan cedenya juga putih. Aku menjadi tambah takjub melihat kemolekan tubuh bu Ita, putih dan indah banget. Ku raba-raba tubuhnya, dia mengeliat geli dan membuka matanya yang sayu. Jari-jari lentiknya menyusup ke balik baju tidur yang kupakai dan menarik talinya pada bagian perutku, lalu pakaianku terlepas. Kini akupun hanya pakai cede saja. 

“Kamu ganteng banget, Ron, tinggi badanmu berapa, ya?”, bisiknya. Saya tersenyum senang. “Makasih. Ada 171. Bu Ita juga cantik sekali”, mendengar jawabanku, dia hanya tersenyum. Aku berusaha membuka behanya dengan membuka kaitannya di punggungnya, kemudian keplorotkan cedenya sehingga aku semakin takjub melihat keindahan alam yang tiada tara ini. Hal ini menjadikan dadaku semakin bergetar. Betapa tidak?! Aku berhadapan langsung dengan wanita tanpa busana yang bertubuh indah, yang selama ini hanya kulihat lewat gambar-gambar orang asing saja. Kini langsung mengamati dari dekat sekali bahkan bisa meraba-raba. Wanita yang selama ini saya lihat berkulit putih bersih hanya pada bagian wajah, bagian kaki dan bagian lengan ini, sekarang tampak seluruhnya tiada yang tersisa. Menakjubkan! Darahku semakin mendidih, melihat pemandangan nan indah itu. Di saat saya masih bengong, pelan-pelan aku melorot cedeku, saya dan bu Ita sama-sama tak berpakaian. Penisku benar-benar maksimal kencangnya. Kami berdua berdekapan, saling meraba dan membelai. Kaki kami berdua saling menyilang yang berpangkal di selakangan, saling mengesek. Penisku yang kencang ikut membelai paha indah bu Ita. Sementara itu ia membelai-belai lembut penisku dengan tangan halusnya, yang membawa efek nikmat luar biasa. generasi Tanganku membela-belai pahanya kemudian kucium mulai dari lutut merambat pelan ke pangkal pahanya. Ia mendesah lembut. Dadaku makin bergetaran karena kami saling mencumbu, aku meraba selakangannya, ada rerumputan di sana, tidak terlalu lebat jadi enak dipandang. Dia mengerang lembut, ketika jemariku menyentuh bibir vaginanya. Mulutku menciumi payudaranya dengan lembut dan mengedot puntingnya yang berwarna coklat kemerah-merahan,lalu membenamkan wajahku di antara kedua susunya. Sementara tangan kiriku meremas lembut teteknya. Desisan dan erangan lembut muncul dari mulut indahnya. Aku semakin bernafsu walau tetap gemetaran. Tanganku mulai aktif memainkan selakangannya, yang ternyata basah itu. Saya penasaran, lalu kubuka kedua pahanya, kemudian kusingkap rerumputan di sekitar kewanitaannya. Bagian-bagian warna pink itu aku belai-belai dengan jemariku. Klitorisnya, ku mainkan, menyenangkan sekali. Bu Ita mengerang lembut sambil menggerakkan pelan kaki-kakinya. Lalu jariku kumasukkan keterowongan pink tersebut dan menari-nari di dalamnya. Dia semakin bergelincangan. Kelanjutannya ia menarikku. 

“Ayo Ron”aku tak tahan”, katanya berbisik Dan merangkulku ketat sekali, sehingga bagian yang menonjol di dadanya tertekan oleh dadaku. Aku mulai menindih tubuh sintal itu, sambil bertumpu pada kedua siku-siku tanganku, supaya ia tidak berat menompang tubuhku. Sementara itu senjataku terjepit dengan kedua pahanya. Dalam posisi begini saja enaknya sudah bukan main, getaran jantungku makin tidak teratur. Sambil menciumi bibirnya, dan lehernya, tanganku meremas-remas lembut susunya. Penisku menggesek-gesek sekalangannya, ke arah atas (perut), kemudian turun berulang-ulang Tak lama kemudian kakinya direnggangkan, lalu pinggul kami berdua beringsut, untuk mengambil posisi tepat antara senjataku dengan lubang kewanitaannya. Beberapa kali kami beringsut, tapi belum juga sampai kepada sasarannya. Penisku belum juga masuk ke vaginanya “Alot juga”, bisikku. 

Bu Ita yang masih di bawahku tersenyum. “Sabar-sabar”, katanya. 

Kenikmatan Seks Dengan Atasanku Yang Seksi

Lalu tangannya memegang penisku dan menuntun memasukkan ke arah kewanitaannya. “Sudah ditekan… pelan-pelan saja”, katanya.

Akupun menuruti saja, menekan pinggulku… “Blesss”, masuklah penisku, agak seret, tapi tanpa hambatan. Ternyata mudah! Pada saat masuk itulah, rasa nikmatnya amat sangat. Seolah aku baru memasuki dunia lain, dunia yang sama sekali baru bagiku. Aku memang pernah melihat film orang beginian, tetapi untuk melakukan sendiri baru kali ini. Ternyata rasanya enak, nyaman, mengasyikkan. Wonderful! Betapa tidak, dalam usiaku yang ke 23, baru merasakan kehangatan dan kenikmatan tubuh wanita. Gerakanku mengikuti naluri lelakiku, mulai naik-turun, naik-turun, kadang cepat kadang lambat, sambil memandang ekspresi wajah bu Ita yang merem-melek, mulutnya sedikit terbuka, sambil keluar suara tak disengaja desah-mendesah. Merasakan kenikmatannya sendiri. “Ah… uh… eh… hem”” Ketika aku menekankan pinggulku, dia menyambut dengan menekan pula ke atas, supaya penisku masuk menekan sampai ke dasar vaginanya. Getaran-getaran perasaan menyatu dengan leguhan dan rasa kenikmatan berjalan merangkak sampai berlari-lari kecil berkejar-kejaran. 

Di tengah peristiwa itu bu Ita berbisik “Kamu jangan terlalu keburu nafsu, nanti kamu cepat capek, santai saja, pelan-pelan, ikuti iramanya”, ketika saya mulai menggenjot dengan semangatnya. 

“Ya Bu, maaf”, akupun menuruti perintahnya. Lalu aku hanya menggerakkan pinggulku ala kadarnya mengikuti gerakan pinggulnya yang hanya sesekali dilakukan. Ternyata model ini lebih nyaman dan mudah dinikmati. Sesekali kedua kakinya diangkat dan sampai ditaruh di atas bahuku, atau kemudian dibuka lebar-lebar, bahkan kadang dirapatkan, sehingga terasa penisku terjepit ketat dan semakin seret. Gerak apapun yang kami lakukan berdua membawa efek kenikmatan tersendiri. Setelah lebih dari sepuluh menit , aku menikmati tubuhnya dari atas, dia membuat suatu gerakan dan aku tahu maksudnya, dia minta di atas. Aku tidur terlentang, kemudian bu Ita mengambil posisi tengkurap di atasku sambil menyatukan alat vital kami berdua. Bersetubuhlah kami kembali.Ia memasukkan penisku rasanya ketat sekali menghujam sampai dalam. Sampai beberapa saat bu Ita menggerakkan pinggulnya, payudaranya bergelantungan nampak indah sekali, kadang menyapu wajahku. Aku meremas kuat-kuat bongkahan pantatnya yang bergoyang-goyang. Payudaranya disodorkan kemulutku, langsung kudot. Gerakan wanita berambut sebahu ini makin mempesona di atas tubuhku. Kadang seperti orang berenang, atau menari yang berpusat pada gerakan pinggulnya yang aduhai. Bayang-bayang gerakan itu nampak indah di cermin sebelah ranjang. Tubuh putih nan indah perempuan setengah baya menaiki tubuh pemuda agak coklat kekuning-kuningan. Benar-benar lintas generasi! Adegan ini berlangsung lebih dari lima belas menit, kian lama kian kencang dan cepat, gerakannya. Nafasnya kian tidak teratur, sedikit liar. Kayak mengejar setoran saja. Tanganku mempererat rangulanku pada pantat dan pinggulnya, sementara mulutku sesekali mengulum punting susunya. Rasanya enak sekali. 

Setelah kerja keras majikanku itu mendesah sejadi-jadinya” “Ah… uh, eh… aku, ke.. luaar..Ron..”, rupanya ia orgasme. Puncak kenikmatannya diraihnya di atas tubuhku, nafasnya berkejar-kejaran, terengah-engah merasakan keenakan yang mencapai klimaknya. Nafasnya berkejar-kejaran, gerakannya lambat laun berangsur melemah, akhirnya diam. Ia menjadi lemas di atasku, sambil mengatur nafasnya kembali.

Aku mengusap-usap punggung mulusnya. Sesekali ia menggerak-gerakkan pinggulnya pelan, pelan sekali, merasakan sisa-sisa puncak kenikmatannya. Beberapa menit dia masih menindih saya. Setelah pulih tenaganya, dia tidur terlentang kembali, siap untuk saya tembak lagi. Kini giliran saya menindihnya, dan mulai mengerjakan kegiatan seperti tadi. Gerakan ku pelan juga, dia merangkul aku. Naik turun, keluar masuk. Saat masuk itulah rasa nikmat luar biasa, apalagi dia bisa menjepit-jepit, sampai beberapa kali. Sungguh aku menikmati seluruhnya tubuh bu Ita. Ruaar biasa! Tiba-tiba suatu dorongan tenaga yang kuat sampai diujung senjataku, aliran darah, energi dan perasaan terpusat di sana, yang menimbulkan kekuatan dahsyat tiada tara. Energi itu menekan-nekan dan memenuhi lorong-lorong rasa dan perasaan, saling memburu dan kejar-kejaran. Didorong oleh gairah luar biasa, menimbulkan efek gerakan makin keras dan kuat menghimpit tubuh indah, yang mengimbangi dengan gerakan gemulai mempesona. Akhirnya tenaga yang menghentak-hentak itu keluar membawa kenikmatan luar biasa”, suara tak disengaja keluar dari mulut dua insan yang sedang dilanda kenikmatan. Air maniku terasa keluar tanpa kendali, menyemprot memenuhi lubang kenikmatan milik bu Ita. “Ahh… egh… egh… uhh”, suara kami bersaut-sahutan. Bibir indah itu kembali kulumat makin seru, diapun makin merapatkan tubuhnya terutama pada bagian bawah perutnya, kuat sekali. 

Menyatu semuanya, “Aku” keluar Bu”, kataku terengah-engah. 

“Aku juga Ron”, suaranya agak lemah.

 “Lho keluar lagi, tadi kan sudah?! Kok bisa keluar lagi?!”, tanyaku agak heran. 

“Ya, bisa dua kali”, jawabnya sambil tersenyum puas. Kami berdua berkeringat, walau udara di luar dingin. Rasanya cukup menguras tenaga, bagai habis naik gunung saja, lempar lembing atau habis dari perjalanan jauh, tapi saya masih bisa merasakan sisa-sisa kenikmatan bersama. Selang beberapa menit, setelah kenikmatan berangsur berkurang, dan terasa lembek, saya mencabut senjataku dan berbaring terlentang di sisinya sambil menghela nafas panjang. Puas rasanya menikmati seluruh kenikmatan tubuhnya. Perempuan punya bentuk tubuh indah itupun terlihat puas, seakan terlepas dari dahaganya, yang terlihat dari guratan senyumnya. Saya lihat selakangannya, ada ceceran air maniku putih kental meleleh di bibir vaginanya bahkan ada yang di pahanya. Pengalaman malam itu sangat menakjubkan, hingga sampai berapa kali aku menaiki bu Ita, aku lupa. Yang jelas kami beradu nafsu hampir sepanjang malam dan kurang tidur. Keesokan harinya. Busa-busa sabun memenuhi bathtub, aku dan bu Ita mandi bersama, kami saling menyabun dan menggosok, seluruh sisi-sisi tubuhnya kami telusuri, termasuk bagian yang paling pribadi. Yang mengasyikkan juga ketika dia menyabun penisku dan mengocok-kocok lembut. Saya senang sekali dan sudah barang tentu membawa efek nikmat. “Saya heran barang ini semalaman kok tegak terus, kayak tugu Monas, besar lagi. Ukuran jumbo lagi?!”, katanya sambil menimang-nimang tititku. 

“Kan Ibu yang bikin begini?!”, jawabku. Kami tersenyum bersama. Sehabis mandi, kuintip lewat jendela kamar, Darti sedang nyapu halaman depan, kalau aku keluar rumah tidak mungkin, bisa ketahuan. Waktu baru pukul setengah enam. Tetapi senjata ini belum juga turun, tiba-tiba hasrat lelakiku kembali bangkit kencang sekali. Kembali meletup-letup, jantung berdetak makin kencang. Lagi-lagi aku mendekati janda yang sudah berpakaian itu, dan kupeluk, kuciumi. Saya agak membungkuk, karena aku lebih tinggi. Bau wewangian semerbak disekujur tubuhnya, rasanya lebih fresh, sehabis mandi. Lalu ku lepas gaunnya, ku tanggalkan behanya dan kuplorotkan cedenya. Kami berdua kembali berbugil ria dan menuju tempat tidur. Kedua insan lelaki perempuan ini saling bercumbu, mengulangi kenikmatan semalam. Ia terbaring dengan manisnya, pemandangan yang indah paduan antara pinggul depan, pangkal paha, dan rerumputan sedikit di tengah menutup samara-samar huruf “V”, tanpa ada gumpalan lemaknya. Aku buka dengan pelan kedua pahanya. Aku ciumi, mulai dari lutut, kemudian merambat ke paha mulusnya. Sementara tangannya mengurut-urut lembut penisku. Tubuhku mulai bergetaran, lalu aku membuka selakangannya, menyibakkan rerumputan di sana. Aku ingin melihat secara jelas barang miliknya. Jariku menyentuh benda yang berwarna pink itu, mulai bagian atas membelai-belainya dengan lembut, sesekali mencubit dan membelai kembali. Bu Ita bergelincangan, tangannya makin erat memegang tititku. Kemudian jariku mulai masuk ke lorong, kemudian menari-nari di sana, seperti malam tadi. Tapi bibir, dan terowongan yang didominasi warna pink ini lebih jelas, bagai bunga mawar yang merekah.

Beberapa saat aku melakukan permainan ini, dan menjadi paham dan jelas betul struktur kewanitaan bu Ita, yang menghebohkan semalam. Gelora nafsu makin menggema dan menjalar seantero tubuh kami, saling mencium dan mencumbu, kian memanas dan berlari kejar-kejaran. Seperti ombak laut mendesir-desir menerpa pantai. Tiada kendali yang dapat mengekang dari kami berdua. Apalagi ketika puncak kenikmatan mulai nampak dan mendekat ketat. Sebuah kejutan, tanpa aku duga sebelumnya penisku yang sejak tadi di urut-urut kemudian dikulum dengan lembutnya. Pertama dijilati kepalanya, lalu dimasukkan ke rongga mulutnya. Rasanya saya diajak melayang ke angkasa tinggi sekali menuju bulan. Aku menjadi kelelahan. Sesi berikutnya dia mengambil posisi tidur terlentang, sementara aku pasang kuda-kuda, tengkurap yang bertumpu pada kedua tangan saya. Saya mulai memasukkan penisku ke arah lubang kewanitaan bu Ita yang tadi sudah saya “pelajari” bagian-bagiannya secara seksama itu. Benda ini memang rasanya tiada tara, ketika kumasukkan, tidak hanya saya yang merasakan enaknya penetrasi, tetapi juga bu Ita merasakan kenikmatan yang luar biasa, terlihat dari ekpresi wajahnya, dan desahan lembut dari mulutnya. “Ah”, desahnya setiap aku menekan senjataku ke arah selakangannya, sambil menekankan pula pinggulnya ke arah tititku. Kami berdua mengulangi mengarungi samodra birahi yang menakjubkan, pagi itu.

Cerita sex : Kisah Sex Main Dengan Ibu Guruku Yang Bahenol

Semuanya sudah selesai, aku keluar rumah sekitar pukul setengah delapan, saat Darti mencuci di belakang. Dalam perjalanan pulang aku termenung, Betapa kejadian semalam dapat berlangsung begitu cepat, tanpa liku-liku, tanpa terpikirkan sebelumnya. Sebuah wisata seks yang tak terduga sebelumnya. Kenikmatan yang kuraih, prosesnya mulus, semulus paha bu Ita. Singkat, cepat dan mengalir begitu saja, namun membawa kenikmatan yang menghebohkan. Betapa aku bisa merasakan kehangatan tubuh bu Ita secara utuh, orang yang selama ini menjadi majikanku. Menyaksikan rona wajah bu Ita yang memerah jambu, kepasrahannya dalam ketelanjangannya, menunjukkan kedagaan seorang wanita yang mebutuhkan belaian dan kehangatan seorang pria. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, si kumbang muda makin sering mendatangi bunga untuk mengisap madu. Dan bunga itu masih segar saja, bahkan rasanya makin segar menggairahkan. Memang bunga itu masih mekar dan belum juga layu, atau memang tidak mau layu.

#Kenikmatan #Seks #Dengan #Atasanku #Yang #Seksi

Berawal Dari Kenalan Berakhir Ke Dunia Kenikmatan Terbaru Malam Ini

Berawal Dari Kenalan Berakhir Ke Dunia Kenikmatan 1

Hari ini badanku terasa lelah sekali, seharian ini banyak sekali pekerjaan yg kuselesaikan, meski selesai semua rasanya puas juga menjalani kesibukan hari ini. Sore itu waktu sudah hampir setengah 6 sore, setelah membereskan berkas-berkas di ruang kerjaku aq siap pulang kerumah, mobil kijang hijauku sudah siap di tempat parkir mengantarku pulang.

Kulihat jalanan di depan kantorku terlihat lancar, ternyata perkiraanku salah, kurang lebih 1 km dari kantor, jalanan macet total, ya sudahlah nikmati saja daripada menggrutu juga nggak ngurangi macet.

Lokasi kantorku kebetulan dekat dengan jajaran pabrik-pabrik, dan jam segitu rupanya macet angkuta umum yg mencari penumpang, tiba-tiba ditengah kemacetan jalanan kulihat didepan sebuah toko ada seorang perempuan yg manis sekali, kulitnya putih, tingginya sekitar 165 cm dengan menggunakan seragam pabrik biru-biru ditutup blazer hitam terbuka yg kelihatan ketat terlihat dadanya begitu menyesakkan baju seragamnya, untuk ukuran karyawan pabrik, cewek itu terlalu cantik, meski bajunya begitu sederhana tdk sebanding dengan kecantikannya.

Kuperhatikan dengan seksama, dia kelihatan memandangku dan tersenyum tipis menatapku, akupun tersenyum memandangnya, tiba-tiba aku dikagetkan suara klakson mobil dibelakangku, cepat-cepat kutancap mobilku berhubung jalan didepan sudah lancar sekitar 30 meter ke depan.

Menyesal sekali aku tdk bisa berhenti waktu itu, kulihat di spion perempuan itu naik angkot di tiga mobil dibelakangku.. Seandainya saja?

Sekira 200 meter jalan lancer, tiba-tiba kemacetan datang lagi, makin sumpek aja aku, akhirnya kulihat didepan ada toko kecil dengan tempat parkir yg agak luas, akhirnya lampu sent mobil kunyalakan kekiri dan aku berhenti, meski masih ada rokok, kuniatkan beli lagi sambil beli minuman ringan, sambil berharap perempuan di angkot belakang bisa ketahuan lagi jejaknya. 

Alamak.. Sambil minum teh botol dingin, tiba-tiba saja angkot dibelakang yg membawa perempuan itu berhenti, aku berharap.. Tiba-tiba benar saja perempuan itu turun kemudian membayar ongkos ke sopir di depan.

Wah memang benar kalau sudah jodohku nih.. Kulihat perempuan itu masuk juga ke dalam toko, sambil tersenyum tipis dia menuju ke penjual toko itu dan kulihat membeli lima buah indomie, susu dancow dan kopi instant lima sachet.

“Lho rumahnya dimana Mbak?” tanyaku sambil tersenyum.

“Oh saya kos dibelakang toko ini, Mas,” jawabnya sambil mencari dompet dari dalam tasnya.

“Nama saya Iwan, boleh kenalan Mbak?” tanyaku sambil menjulurkan tangan buat bersalaman.

“Saya Naina, Mas,” jawabnya sambil senyum dan menjabat tanganku..

Busyet tangannya mulus sekali dan hangat sekali agak berkeringat.

“Berapa Mbak?” kata Naina pada penjual toko sambil mengeluarkan dompetnya.

“Dua puluh sembilan ribu lima ratus Mbak “jawab penjual toko itu.

“Ini saja Mbak, sekalian teh botol satu dan rokok dua bungkus” kataku sambil ngeluarin uang seratus ribu ke wanita penjaga toko.

“Nggak usah Mas, saya ada kok” kata Naina sambil ngeluarin dua lembar uang dua puluh ribuan.

“Ya sudah gini aja, uang ini bawa dulu, tapi saya minta dibikinin kopi dulu, sekalian kalau boleh main ke kos-mu sambil nunggu macet, boleh nggak?” Kataku sambil ngembaliin uangnya.

“Baiklah kalau begitu terima kasih, tapi tempatnya jelek lho Mas, kata Naina sambil tersenyum.

“Ah jangan gitu, saya malah nggak enak nih ngrepotin minta kopi segala” Kataku sambil nerima kembalian dari penjaga toko.

“Mbak, saya titip mobil ya, sekalian ini buat parkirnya,” sambil kukasih wanita penjaga toko uang lima ribu”

“Wah makasih ya Mas” kata penjaga toko.

Naina tersenyum dan mengajakku berjalan di gang sebelah toko itu, jalannya kecil cuman satu meter lebarnya, jadi kalau jalan nggak bisa bareng, harus satu-satu, Naina jalan di depan dan aku dibelakangnya.

Kuperhatikan selain dadanya yg membusung, ternyata pinggul dan pantat Naina benar-benar montok habis, sampai-sampai rok yg dipakainyapun membungkus ketat pantat indah itu serasi sekali dengan pinggul yg ramping, ditambah bau tubuhnya yg wangi meski kutahu itu bau parfum biasa.

Kira-kira dua puluh meter jalan, Naina berhenti dan membuka pagar besi kecil disebuah rumah tanpa halaman dan ternyata didalamnya berjajar kamar-kamar kontrakan dengan pembatas tembok satu meter antar kamarnya.

“Disini Mas, kamarku paling ujung, dekat dengan kamar mandi, silahkan masuk dulu Mas, aku mau panasin air sebentar buat bikin kopi” kata Naina nerocos.

Kamarnya ternyata cukup bersih, di ruang tamu ada karpet biru, meja kecil ditengahnya dan diujung TV 14 inch terpasang rapi ditambah hiasan manik-manik yg bagus, tak sempat kulihat kamar tidurnya, tapi melihat ruang tamunya tertata rapi aku yakin kamar tidurnya pasti bersih juga.

Kuambil remote TV dan kunyalakan, pas berita sore, kuikuti perkembangan pencalonan presiden dari para politikus negeri ini, tapi aku lebih tertarik melihat foto dibelakangku ternyata foto Naina menggunakan kebaya dan samping, cantik sekali.. Tdk dandan saja dia cantik, apalagi dalam foto itu belahan dada kebaya agak rendah, sehingga sembulan toket putihnya kelihatan seksi dan erotis sekali.

“Itu fotoku waktu di kampung bulan lalu Mas, waktu acara kawinan sepupuku” kata Naina sambil membawa dua gelas kopi.

“Memangnya kampungmu dimana? Dan lagi jadi apa waktu acara itu?” Tanyaku sambil membantu nurunin gelas kopi ditaruh di meja.

“Kampungku di Cianjur Mas, waktu itu aku kebagian ngisi nari Jaipongan, yah gini-gini aku penari Jaipongan Mas, meski hanya sebatas acara di kampung aja” Kata Naina sambil tersenyum manis.

“Pantesan tapi cantik juga kamu baju kebaya ya, lebih sensual dan menarik” Kataku sambil memandang wajah cantiknya.

“Pantesan apa Mas? Masak orang kampung gini dibilangin sensual dan menarik” Kata Naina.

“Pantesan tubuh kamu bagus dan terawat itu karena rajin jaipongan ya”

“Ah Mas, bisa aja,” katanya sambil mencubit tanganku.

“Silahkan Mas diminum kopinya, aku tinggal sebentar ya mau mandi dulu, udah gerah banget nih rasanya”

Naina masuk ke dalam kamarnya dan mengambil peralatan mandi, letak kamar mandi kontrakan itu ada di luar tapi masih dekat dengan kamar Naina mungkin cuma sekitar 4 meter saja dari pintu kamarnya.

“Tunggu sebentar ya Mas, silakan diminum kopinya” Naina berjalan dengan berkalungkan handuk putih dipundaknya, sementara rambutnya diikat ke belakang, terlihat cantik dan alami sekali.

Sekitar sepuluh menit Naina di dalam kamar mandi, kudengar suara, ‘waduh gimana nih bajunya basah gini,’ akhirnya aku mendekat kamar mandi dan berteriak.

“Ada apa Nai? Ada yg bisa saya santu?” kataku sedikit cemas dan heran.

“Nggak apa-apa kok Mas, bajuku pada jatuh dan basah, Mas apa diluar ada orang lain?” Tanya Naina sambil teriak.

“Ntar aku lihat dulu, ke pintu depan” kataku sambil berjalan ke pagar dan gang kecil menuju rumahnya.

“Nggak ada siapa-siapa” Kataku sambil mendekat ke pintu kamar mandi.

Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan kulihat Naina hanya berbalut handuk putihnya, kulihat pundaknya putih sekali, sementara toketnya yg montok sedikit menyembul dan pahanya yg putih dan mulus sekali terlihat tertutup handuk kira-kira 20 cm diatas lututnya, wah aku jadi kaget sekali dan tiba-tiba Naina menengok dari belakang pintu dan berlari menuju kamarnya.

“Sorry ya Mas, bajuku pada basah semua, aku ganti baju dulu ya,” kata Naina sambil berlari dengan tubuh mulus terbalut handuk.

Melihat pemandangan yg menggairahkan itu, mengakibatkan otot dalam celanaku berdenyut-denyut, dan sedikit mengembang, ‘gile bener, tubuhnya montok bener’. Kataku dalam hati, sambil masuk ke kontrakannya dan melihat-lihat lagi foto sensualnya.

“Maaf ya Mas, sebenarnya aku malu tadi,” kata Naina sambil duduk di sampingku, Naina sore itu memakai kaos kuning dan bawahan celana strit hitam ketat sebatas lutut, namun kaos panjangnya menutupi bagian bawah sampai 10 cm diatas lutut.

Malam itu kita hanya ngobrol saja sampai jam delapan malam, dari obrolan itu kutahu kalau Naina sudah hampir setahun bekerja, pernah kuliah D-1 bagian Sekretaris dan sekarang bekerja di bagian administrasi keuangan sebuah pabrik, dan kutahu bahwa Naina sudah punya pacar di kampungnya, namun orangtuanya kurang setuju.

“Jangan kapok main ya Mas,” kata Naina berharap.

“Justru aku yg berharap boleh main kesini lagi kalau kamu nggak keberatan,” kataku sambil memakai sepatu, sambil berjalan pulang kuberikan kartu namaku.

“Kalau ada apa-apa telpon aja,” kataku sambil bersalaman, perlahan kuremas tangan halusnya dan Naina kelihatan malu dan tertunduk.

“Daah” aku pamitan dan Naina mengantarkan aku sampai ke tempat parkir.

Setelah perkenalan itu, kurang lebih dua bulan, kami hanya bersahabat saja, bahkan Naina menyatakan kekaguman karena aku nggak pernah bertindak tdk sopan, meski kami sering pulang sampai jam 10 malam, paling hanya berpegangan tangan saja, entahlah mungkin lama-kelamaan dia mulai sayang, meski sudah kuceritakan bahwa aku sudah beristri dan punya seorang anak. Hingga suatu hari, aku masih ingat itu hari Rabu, dia menelpon ke HP-ku,

“Mas, aku pengen ngobrol bisa nggak, sore ini jemput aku ya?” kata Naina di telepon.

“Oke, emangnya ada apa?” Tanyaku.

“Yah pokoknya nanti aja deh, aku mau cerita, udah dulu ya, sampai nanti di tempat biasanya,” Naina menutup telponnya.

Tepat jam 16.30 aku meninggalkan kantor, kulihat dari kejauhan Naina sudah menunggu dan sedikit melambaikan tangan kegirangan. Naina masuk ke mobilku dan tersenyum.

“Mas, kita jangan pulang dulu ya, aku pengen cerita banyak dan menenangkan hatiku,” kata Naina sambil menatapku.

“Oke, kita jalan-jalan ke Ciater aja ya, disana kita bisa berendam air panas sambil ngobrol,” ajakku sambil terpikir ada kolam renang yg memang cukup nyaman untuk berendam di malam hari.

“Oke, kayaknya asyik juga tuh,” Kata Naina mengiyakan.

Aku menelepon ke rumah, dan bilang ada pekerjaan di kantor yg harus diselesaikan, kalau ada apa-apa ngebel aja ke kantor, kebetulan aku sudah setting teleponku tiga kali kring di-forwardkan ke HP-ku.

“Kamu ada masalah apa, kok kelihatan kusut begitu?” kataku sambil mencubit dagu Naina.

“Nggak tahu kenapa aku pengen cerita masalahku ke Mas, kayaknya aku tenang kalau udah ada di sampingmu Mas,” kata Naina sambil memegang lenganku.

Posisi mobilku memang agak susah untuk berdekatan, hingga akhirnya Naina hanya bisa memegang lenganku saja. Sambil sedikit berkaca-kaca, Naina menceritakan bahwa pacarnya di kampung sudah memutuskan hubungan dengannya. Selama di perjalanan aku banyak kasih nasehat dan pengertian kepadanya, dan diapun kelihatan lebih tenang. Sampai di Ayam Goreng Brebes, Lembang aku memarkirkan mobilku.

“Kita makan dulu yuk,” ajakku.

Berhubung tempat parkirnya penuh, aku agak jauh memarkir mobilku, dan baru kali ini Naina berani berjalan disampingku sambil memeluk pinggangku, akupun akhirnya merapatkan tubuh dan memeluk pundaknya sambil menuju ke tempat makan.

Menuju ke Ciater, diperjalanan Naina memandangku terus dan tiba-tiba saja bibirnya mengecup pipiku, aku agak gugup namun menikmati juga, sambil sesekali kuremas tangan halusnya. Wah mau nggak mau banyaknya rangsangan selama perjalanan mulai mempengaruhi adrenalinku juga. Dan sesampai di Ciater ternyata suasananya hujan agak deras, jam sudah menunjukkan jam delapan malam, berendam di kolam renang rasanya nggak mungkin, pulang juga sudah telanjur, akhirnya kutawarkan ke Naina.

“Gimana kalau kita berendamnya di kamar aja?”

Aku agak khawatir dia keberatan, tapi katanya, “Ya terserah Mas aja” kata Naina.

Di front room hotel, aku booking satu kamar yg ada bathtub buat berendam air panas, didepan meja frontroom Naina masih memeluk pinggangku, kali ini terasa kelembutan dadanya menyentuh badanku, dan ini mau nggak mau berpengaruh pada otot pejal didalam CDku.

Malam itu Ciater dingin banget, kabut turun tebal banget setelah hujan, hingga perjalanan menuju ke kamarpun harus perlahan, petugas hotel sudah menunggu di depan kamar dan membukakan pintu kamar.

“Silahkan Pak, silahkan Bu, apa ada yg dipesan?” kata petugas hotel ramah, mengira kami pasangan suami istri.

“Sementara belum Mas, nanti saja kalau perlu saya telpon dari kamar,” kataku sambil memberi sedikit tips buat petugas hotel.

Naina masuk ke kamar dan aku masih duduk di ruang TV, sambil mencari-cari chanel yg bagus, sambil melepas penat dua jam lebih di belakang kemudi. Tiba-tiba Naina keluar dari kamar, alamak Naina sudah berganti baju dengan celana pendek pink ketat dan kaos senam ketat putih polos pendek hingga kelihatan pusarnya, kulihat bayangan puting toketnya yg kecoklatan, tanpa dibungkus beha, pahanya putih dan mulus menantang, sementara pantatnya yg bahenol tercetak ketat di celananya dan dadanya benar-benar montok menantang.

“Ayo Mas, katanya mau berendam? Jangan liatin gitu dong,” Kata Naina sambil duduk disampingku.

“Oke, tapi aku nggak bawa baju berendam nih,” kataku sambil membuka baju kerjaku, aku yg sudah tdk kuat melihat pemandangan yg memancing birahi itu.

“Mas, badanmu kekar juga ya, “kata Naina sambil memeluk lenganku dari samping, terasa toket montoknya melekat erat di lenganku.

Perlahan kuusap paha putih Naina dan tiba-tiba Naina berdiri dan duduk di pangkuanku, akhirnya tubuh montok itu kupeluk sambil kuangkat kakinya kuletakkan pahanya yg putih, mulus dan hangat itu diatas pangkuanku. Perlahan Naina menatap mataku, kemudian memelukku erat sekali, terasa sekali kekenyalan toket montoknya, meski terhalang kaos tipis yg dipakainya, cukup lama Naina menyembunyikan wajahnya di bahuku, kemudian dia berkata lirih.

“Mas, aku sayang kamu, aku takut kehilangan kamu Mas,” kubelai perlahan rambutnya, kurenggangkan pelukannya dan kutatap mata Naina, dalam hitungan detik, bibir kami saling melumat pertama agak perlahan, sambil kunikmati kelembutan bibirnya, cukup lama kami beratraksi dengan bibir kami dan makin lama pagutan dan ciumannya makin buas, dan kami pun saling melumat bibir.

Berawal Dari Kenalan Berakhir Ke Dunia Kenikmatan 2

Perlahan ciuman kami agak melemah, lembut kuciumi lehernya, belakang telinga dan pundaknya, kukecup lembut tanpa suara, tangan kananku mendarat perlahan di dadanya, begitu padat, kenyal dan kencang, sementara tangan kiriku pelahan mengangkat kaos ketatnya. Naina menengadahkan wajahnya dan membusungkan dadanya sambil mengangkat tangannya, dan segera kulepas kaos ketatnya, betul-betul keindahan toket seorang wanita yg kulihat didepanku, kulitnya yg putih bersih tanpa cacat, ditambah sepasang toket yg montok, padat dan menantang, perlahan kujelajahi dan kusapu lembut gunung indah nan menantang itu, dan perlahan kuusap putingnya yg menonjol keras kecoklatan, mungkin dia sudah terangsang.

“Mas, pantatku kayak ada yg mengganjal nih, dibuka celananya ya Mas, biar nggak sakit,” kata Naina.

Aku berdiri dan Naina membuka reslutingku, melepas ikat pinggangku dan menurunkan celanaku.

“Apa itu Mas?” kata Naina sambil menutup matanya dengan jari yg masih terbuka.

Otot pejalku yg sudah membesar dan mengeras sekali, tercetak jelas pada celana pendek katun yg ketat, perlahan kutarik tangan Naina, kutempelkan tangannya menyusuri bonggol keras dari luar celana pendekku, perlahan dan lama-lama Naina berinisiatif meremas penisku dari luar celana pendekku.

Kubiarkan Naina mengelus dengan jemarinya dan sesekali meremas, kadang pelan kadang agak kuat, mungkin dia mulai menikmati mainan barunya, sementara kunikmati aliran kenikmatan, sambil kulihat ekspresinya.

“Gimana Nai?” kataku sambil menatap matanya.

“Mas, aku belum pernah melakukan seperti ini, tadinya malu sekali aku melihatnya, ternyata kemaluan cowok bisa segede ini ya?” katanya sambil tersipu.

“Kalau kamu mau, kamu boleh buka celanaku” kataku.

Perlahan tangan halus itu menurunkan celana pendekku dan tiba-tiba penisku yg sudah tegak dan berdiri keras seolah miniatur tugu monas, Naina menatap tak berkedip melihat kemaluanku, pelan jarinya mengelus batangku yg tegang seperti kayu, urat-urat yg menonjol dia telusuri perlahan, alamak nikmat sekali, dan garis urat di tengah-tengah bagian belakang ditelusurinya perlahan,

penisku berkedut-kedut dan tiba-tiba diremasnya kantong pelirku, sungguh kenikmatan yg luar biasa.

Kutarik Naina untuk berdiri, kebelai pinggul indahnya, berputar kebelakang meremas bongkahan pantatnya yg bahenol, kupeluk dan kuusap erat punggungnya, perlahan kukecup lehernya, belakang telinganya dan pundaknya, kulihat dan kurasakan kulitnya merinding, Naina mempererat pelukannya dan menempelkan ketat dadanya yg padat membusung ke dadaku, paduan antara kehangatan dan aliran birahi yg mengalir lewat kulitnya.

Naina yg hanya tinggal memakai CD tipis warna pink, menggoyangkan dan menempelkan ketat kemaluanku yg sudah tegang membesar ke daerah bukit venusnya, meski masih terpisahkan CDnya, namun kurasakan ada kelembaban dari balik CDnya. Kulihat mata sendu Naina menikmati foreplay yg panjang malam itu, kelihatan dia sudah terangsang sekali, dari sorotan matanya dan pelupuk matanya yg agak sembab, serta toketnya yg kencang menantang dengan puting yg mengeras.

Kuraba CDnya dan kuturunkan, Naina membantu menurunkan CDnya dan melempar dengan ujung kakinya, sambil kucium dan kulumat bibir seksinya, kujamah dan kuremas toket montoknya, dan serta merta kuangkat tubuh telanjang nan mulus itu ke kamar dan kutidurkan diatas kasur bersprei putih bersih.

Sambil tetap menciuminya, aku tidur merapatkan ke tubuhnya, kaki kuangkat dan kegesek-gesekkan diatas paha putihnya, sementara tanganku kembali meremas dadanya yg kian montok dan menggunung dengan puting susunya yg menonjol kecil kecoklatan. Perlahan aku turun menciumi lehernya dan memutar-mutarkan lidahku ke gunung kembarnya bergantian, kusapu hingga basah dengan menyisakan puting, pada bagian akhir nanti, sementara tanganku menjelajah ke pangkal pahanya, menyibak rambut kemaluannya yg halus menghitam itu, kuusap bibir memeknya dan Naina menggelinjangkan pinggulnya.

Kuperhatikan Naina memejamkan matanya menikmati sentuhan dan rangsangan yg kuberikan, sementara tanpa sadar penisku yg tegak dan keras, diremasnya perlahan dan kadang menguat saat rangsangan datang menguat. Kumainkan ujung jariku menyapu bibir memeknya yg sudah membasah dan kusapu pelan belahan lubang memeknya yg membasah, sambil kujilati putingnya dengan ujung lidahku bersamaan kuputar perlahan kelentitnya dengan ujung jari telunjukku,

seirama antara jilatan lidahku di ujung putingnya dan usapan ujung jari telunjukku di ujung kelentitnya, serta merta Naina menggoyangkan pantat dan pinggulnya, menggeleparkan dan membuka lebar pahanya dan membusungkan dadanya hingga kelihatan merangsang sekali, sambil menutup matanya dengan bibir yg membasah dan sedikit terbuka, sementara tangannya menggenggam erat sekali kemaluanku yg masih mengeras dan berdenyut-denyut.

“Uuff mmaas, kau apakan tubuhku ini,” mulut Naina mengerang menahan kenikmatan.

Tubuhnya menggelinjang keras sekali, pahanya bergetar hebat dan kadang menjepit tanganku dengan erat saat jariku masih menyentuh kelentitnya, dan tiba-tiba penisku dicengkeram dengan keras seolah mengajak untuk menikmati orgasmenya dalam foreplay itu.

Kuremas dengan irama perlahan toketnya yg tambah mengeras dan membusung itu dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku terjepit diantara kedua paha mulusnya, kemaluanku diremasnya dan tangan satunya memelukku erat sementara paha dan kakinya menggelepar keras sekali hingga sprei putih itu berserakan tak karuan, orgasme pertama sudah dirasakannya.

Tanpa berhenti kumainkan pelan tanpa henti kelentitnya, dan mungkin sekarang Naina sudah terangsang kembali.

“Mas, tolong masukkan, aku ingin merasakannya sayang,” katanya sambil menghiba dan meringis menahan kenikmatan tiada tara yg dirasakannya.

Perlahan aku menaiki tubuhnya, pahaku menempel erat dipahanya yg mengangkang dan kepala penisku menempel di kelentitnya menggantikan ujung jari telunjukku.

Sambil kuciumi leher putihnya, pundak dan belakang telinganya, kepala penisku bergerak-gerak mengelilingi bibir memeknya yg hangat dan basah, kulihat Naina merem melek menikmati benda pejal di bibir memeknya, lidahnya menyapu bibirnya hingga membasah, dan wajahnya memerah dengan mata merem melek tak beraturan. Dengan perlahan akhirnya sedikit demi sedikit kumasukkan batang penisku ke dalam memeknya, saat kucoba menyelipkan kepala penisku ke mulut memeknya rasanya peret dan sulit sekali, kulihat Naina sedikit meringis dan membuka mulutnya dan sedikit menjerit.

“Aah,”

Namun akhirnya kepala penisku sudah mulai masuk dan mulai kurasakan kehangatan memeknya, perlahan kumasukkan sesenti demi sesenti, pada sekitar centimeter ke 4 menuju ke 5, Naina tiba-tiba berteriak dan menjerit.

“Aduh Mas sakit sekali,” katanya, “Seperti ada yg menusuk dan nyerinya sampai ke perut,” katanya.

“Aku cabut aja ya?”

“Jangan, biarkan dulu kutahan rasa sakit ini,”

Aku yg sudah merasa kenikmatan yg luar biasa dan sedikit demi sedikit mulai kumasukkan lagi batang penisku. Kulihat Naina meneteskan air mata, namun tiba-tiba dia menggoyangkan pantatnya dan tentunya akhirnya penisku hampir seluruhnya masuk, kenikmatan yg belum pernah kurasakan, penisku serasa digigit bibir yg kenyal, hangat, agak lembab dan nikmat sekali.

Akhirnya kamipun mulai menikmati hubungan badan ini.

“Mas rasa sakitnya sudah agak berkurang, sekarang keluar masukkan penismu Mas, rasanya nikmat sekali”

Perlahan aku mulai mengayun batang penisku keluar masuk ke memek Naina, kulihat tangannya diangkat dan memegang erat-erat kepalanya dan akhirnya menarik sprei tempat tidurnya, sementara pahanya dia kangkangin lebar-lebar dan mencari-cari pinggulku, hingga akhirnya kakinya melingkar di pantatku dan seolah meminta penisku untuk dimasukkan dalam-dalam ke memeknya.

Beberapa kali ayunan, akhirnya aku agak yakin dia sudah tdk begitu merasakan sakit di memeknya, dan kupercepat ayunan penisku di memeknya. Naina berteriak-teriak dan tiba merapatkan jepitan kakinya di pantatku, kepala menggeleng-geleng dan tangannya menarik kuat-kuat sprei tempat tidurnya, mungkin dia mau orgasme, pikirku. Tiba-tiba tangannya memelukku erat-erat dan kakinya makin merapatkan jepitannya di pantatku, kurasakan toket besarnya tergencet dadaku, rasanya hangat dan kenyal sekali, aku diam sejenak dan kubenamkan penisku seluruhnya di dalam memeknya.

“Oh, mmas aku keluar.. Ahh.. Ahh.. Ahh,”

Aku merasakan nikmat yg amat sangat, penisku berdenyut-denyut, rasanya aliran darah mengalir kencang di penisku, dan aku yakin penisku sangat tegang sekali dan begitu membesar di dalam memek Naina, sepertimya aku juga akan mengeluarkan air kejantananku.

Beberapa saat kemudian, kubuka sedikit jepitan kaki Naina dipantatku, sambil kubuka lebar-lebar paha Naina, kulihat ada cairan kental berwarna kemerah-merahan dari memek Naina, penisku rasanya licin sekali dialiri cairan itu, dan akhirnya dengan cepat aku kayuh penisku keluar masuk dari memek Naina, nikmat sekali rasanya. Ada mungkin delapan sampai sembilan kayuhan penisku di memek Naina, tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yg akan meledak dari dalam penisku dan akhirnya..

Croot.. Croot.. Croot.. Croot..

Memeknya berdenyut-denyut menikmati aliran maniku yg hangat, sementara kurasakan batangku masih berdenyut-denyut nikmat, kubenamkan batangku dalam kehangatan memeknya yg basah. Kupandang wajahnya yg berkeringat, perlahan kusapu dengan tanganku dan kuciumi dengan penuh rasa sayang, akhirnya kamipun terkulai lemas dan Naina memeluk tubuhku erat, tanpa mempedulikan cairan yg merembes keluar dari lubang kenikmatannya.

Ada lebih sejam kami tertidur dalam kenikmatan, dan selanjutnya berdua kita berendam dengan air hangat di bathtub, hingga badanpun terasa segar kembali. Setelah menikmati makan malam di cafeteria, akhirnya kamipun kembali ke kamar jam 12.00 malam, mengulangi permainan dengan lebih ganas hingga jam 1 dinihari, kamipun tertidur tanpa busana, dan kupeluk tubuh telanjangnya dalam kehangatan selimut.

Cerita sex : Main Dengan Presenter Yang Bohay

Hingga esoknya kuputuskan untuk mengambil cuti sehari dan sebelum checkout jam 12 siang, kami masih menyisakan dua kali permainan di kamar tidur dan di bathtub. Lain kali akan kuceritakan pengalamanku dengan Naina di kampungnya saat aku mengantarnya mudik.

#Berawal #Dari #Kenalan #Berakhir #Dunia #Kenikmatan

Penungguan Yang Membawa Kenikmatan Terbaru Malam Ini

Penungguan Yang Membawa Kenikmatan

Cerita ini terjadi sekitar 2018 Kemaren saat saya masih kuliah di semester satu sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Nama saya Denis, sekarang saya bekerja sebagai system engineer suatu perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Ceritanya begini. Pada suatu pagi saya ditelepon oleh seorang kawan lama saya yang bernama Herry, yang baru datang dari Bandung untuk suatu keperluan. Kebetulan sekali saat itu saya tidak ada kuliah, sehingga dapat bebas pergi ke mana pun. Sesampainya di sana ternyata teman saya telah lama menunggu di kamarnya, dan saya pun masuk, tetapi tidak lama kemudian, Herry pamit kalau dia ada janji mau pergi ke kantor temannya di Jl. Rasuna Said dan saya pun menunggu di kamarnya sampai Herry pulang.

Ternyata menunggu merupakan suatu yang sangat menjengkelkan, tak terasa telah satu jam kupindah-pindahkan channel televisi dari CNN sampai STAR TV, tapi semua terasa membosankan, sehingga pada suatu ketika bel di kamar berbunyi, ting tong.. ting tong, malas kubuka pintu. Terlihat sesosok tubuh wanita dengan tinggi kurang lebih 167 cm dengan rok span dan pakaian kerja, seksi dengan dada kupikir sekitar 36B.

“Permisi, mau bertemu Bapak Herry ada?” tanyanya.

“Mm.. oh Bapak Herry sedang pergi ke Jl. Rasuna Said, ada janji?” tanyaku.

“Ya.. boleh saya menunggu?” tanyanya.

“Silakan”, jawabku sambil mengajak dia masuk.

Wanita itu pun masuk dan duduk di sofa. Jam saat itu menunjukkan pukul 10 pagi.

“Mbak ini siapa ya?” tanyaku memberanikan diri.

“Saya Selly, utusan dari cabang Bandung yang menjemput Pak Herry ke mari”, jawabnya.

“Ooo.. perkenalkan saya Denis, teman Herry.”

Selly memang sosok wanita ideal. Selain anggun, dia juga cantik, kalau dilihat mirip Drew Barrymore. Jam menunjukkan pukul 11.00, dan Herry belum pulang juga. Aku sudah gelisah juga, soalnya di kamar hotel begini bersama seorang wanita cantik. Perlahan-lahan kuberanikan untuk duduk di sebelah Selly.

“Mmm.. gimana ya Mbak.. kok belum datang juga Herry”, kataku membuka kebisuan.

“Ah.. nggak apa kok, kan ada Mas Denis”, jawabnya sambil memegang tanganku.

Wah lampu hijau nih pikirku. Gila juga nih orang, aku sempat grogi dipegang kayak gitu.

“Mau ke kamar kecil bentar ya Denn.. di mana sih tempatnya?” tanyanya manja.

“Di situ tuh”, kataku cuek.

“Nitip tasnya ya!” katanya lagi, dan Selly pun masuk ke kamar kecil.

“Awww.. awww.. tolong Den.. ada kecoa..” jeritnya dari dalam kamar mandi.

Kupikir mana mungkin sih di hotel bintang lima macam begini ada kecoa. Tapi aku bangkit juga menuju kamar mandi. Baru sampai di depan pintu kamar mandi Selly sudah menarik tanganku.

“Masuk.. sini..” katanya sambil menutup pintu. Kulihat Selly sudah melepaskan rok spannya, hanya tinggal CD sama baju saja. Dan dia pun langsung mencium mulutku. Aku yang belum siap mental malah menghindari ciumannya. 

“Mana kecoanya?” tanyaku pura-pura bodoh. Habis baru sekali ini sih aku dibegitukan oleh wanita.

“Ini nih masuk ke dalam celana”, jawabnya cuek.

Dia terus berusaha menciumi mulutku, lama kelamaan aku terangsang juga. Gantian kuciumi juga mulutnya. Sekitar tiga menit acara pagut-memagut itu pun berlangsung. Kupraktekan cara mencium yang sering kulihat di film porno. Kemudian tanganku pun segera merambah bukit kembarnya dari celah-celah bajunya.

Gila benar ini anak, ternyata dia tidak memakai BH. Langsung kumainkan bukit kembarnya dan kupelintir sedikit-sedikit putingnya. Terasa putingnya mengeras, kata orang sih tanda-tandanya sudah terangsang. “Awww.. pelan-pelan dong Den”, protesnya saat kupelintir putingnya. Terus kuciumi lehernya yang jenjang, Selly pun cuma mendesah, “Aah.. hmm.. ahh.. Deenn..” langsung kubuka bajunya dan semakin terpampang jelas gundukan di dadanya yang menggairahkan. Kuciumi kedua bukit kembarnya dan kujilat-jilat putingnya, lagi-lagi dia bergumam, “Terus Den.. ahh.. ouchh..” aku melanjutkan menciumi pusarnya, terus ke bawah pusarnya. Terpampang dengan jelas rambut tipis berbentuk segitiga di pangkal pahanya. Kujilati sepuas-puasnya.

Setelah itu dia kubimbing duduk di samping bathtub dan duduk di situ. Terus dia kusuruh membuka pahanya. Ooh, seperti ini toh liang kemaluan wanita. Soalnya seumur-umur baru kali ini aku melihat langsung yang asli. Langsung saja kulihat dari dekat. 

“Kok diliatin doang Denn.. dijilatin donk”, kata Selly. Aku diam saja, terus kusibakan bibir kemaluannya dan terlihat di situ daging yang menonjol. Barangkali ini yang disebut klitoris pikirku. Terus dengan iseng kupelintir daging itu pelan-pelan. 

“Ahh.. ouhh.. Denn.. ahh.. terus Den.. mainin klitorisku ahh”, wah benar juga pikirku. Terus perlahan kupegangi dalamnya, kok agak lembab dan basah. Wah rupanya Selly terangsang berat nih. Kulihat lebih dekat lagi, tiba-tiba saja tangan Selly membenamkan kepalaku ke dalam pangkal pahanya. 

“Jilatin dong Den.. ahh.. ahh.. jangan nakal, gitu dong.. masa cuma diliatin aja”, aku pun terus menjilati kedua bibir kemaluannya. Mmm.. terus kujilati juga klitorisnya dan cairan yang ada di situ rasanya asin-asin nikmat dan baunya itu loh bikin batang kemaluanku semakin mengeras saja. Terus kujilati dengan ganas klitorisnya sambil kugigit sedikit. 

“Ahh.. Denn.. ouchh.. Denyy.. akkhh.. akkuu.. akkh.”

Terlihat cairan semakin deras saja yang keluar dan Selly semakin membenamkan kepalaku ke dalam kemaluannya. Wah rupanya Selly sudah klimaks nih, “Ahh.. Denn ouchh.. aku keluarr..” katanya. Kujilati semua cairan yang keluar dari kemaluan Selly.

Terus dia pun berdiri dan menuju ke tempat tidur. Wah gila nih perempuan, masa aku dianggurin, pikirku. Aku terus mengikuti dia pergi ke tempat tidur.

Rupanya dia duduk di samping tempat tidur. “Sini deh Den.. gantian aku yang mainin kontolmu”, katanya. Aku menurut saja dan aku rebahan di tempat tidur dengan kaki di lantai. Terus Selly mulai memainkan kemaluanku dari luar celana dalam. Dia jilati batang kemaluanku yang dari tadi sudah sangat tegang, terus dibukanya CD-ku pakai giginya. “Wah nih orang pasti kebanyakan lihat film-film gituan”, pikirku. Setelah CD-ku lepas, gantian dia mainkan kantong kemaluanku, dia jilati ke atas dan ke bawah. Rasanya sungguh mengejutkan. Terus dia pegangi batangku dengan kedua tangannya dan dijilat-jilatin kepalanya sambil matanya melihat ke arahku. Langsung dia benamkan seluruh batang kemaluanku ke dalam mulutnya dan dikocok-kocok pakai mulutnya yang mungil. 

“Oohh.. Selly.. akhh.. uhh”, desahku merasakan nikmat di sekujur batangku. Sambil terus mengulum-ngulum batang kemaluanku, dia pun memijit-mijit buah kemaluanku, rasanya linu-linu nikmat.

Setelah berlangsung 5 menit, Selly pun mulai bosan dengan permainannya. “Den, kita main beneran yuk”, katanya. Aku pun tanpa berpikir langsung menjawab dengan semangat 45, “Ayoo!” Selly langsung duduk di atas pahaku dan memegang batang kemaluanku sambil diarahkan ke dalam lubang kemaluannya. Bless.. seluruh batang kemaluanku masuk ke dalam liang kemaluannya. Terasa lembab dan nikmat tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. 

“Ahh.. mm.. uhh.. aahh..” desah Selly sambil merem melek menikmati pergesekan batang kemaluanku dengan liang kemaluannya. Tak lupa tangannya pun ikut-ikutan memegangi kedua buah dadanya. 

“Ohh.. Denis.. akhh.. uhh.. yeahh.. Denisy.. ahh.” Aku pun dengan reflek mengimbangi permainannya dengan menaik-turunkan batang kemaluanku, sehingga terdengar bunyi pluk.. pluk.. ketika batang kemaluan dan liang kemaluan berbenturan. 

“Ahh.. oughh.. mmhh.. ahh..” desah Selly.

Selly pun makin menjadi-jadi, dia pun kemudian memegangi rambut kepalanya dan kurasakan gerakannya semakin liar, “Ahh.. uhh.. ahh.” Aku bantu merangsangnya dengan memegangi kedua payudaranya.

Tak lama kemudian Selly pun menjerit, “Denisy.. ahh.. ouhh.. akuu.. mau.. keluar.. ahh..”

Di kepala batang kemaluanku pun terasa ada aliran yang tak dapat dibendung lagi, “Kita keluar sama-sama Sell.. ahh.. ouhh..” Kurasakan cairan hangat menyemprot pada kepala batang kemaluanku dan menyebabkan kepala batang kemaluanku tak dapat menahan aliran yang deras dari dalam batang kemaluanku. “Ahh.. aku keluarr.. Selly”, teriakku. 

“Akuu.. jugaa.. Denis.. akhh.” Kemudian kami pun lemas dan tertidur sampai pukul 5 sore

Sampai tiba-tiba terdengar bunyi bel, tet.. tet.. wah gila nih, Herry pulang. Langsung saja kubangunkan, “Selly.. Sell.. Selly.. bangun..” ternyata Selly tidur dengan nyenyaknya. Aku cuek saja soalnya susah kalau membangunkan orang yang tidur dengan berjuta kenikmatan. Akhirnya pintu hotel kubuka, ternyata wanita bule yang mengetuk pintu. “Excuse me.. Is this Mr. John’s Room, 513?” tanyanya. 

“Oh.. No, I think.. its beside this room”, jawabku sekenanya dan wanita bule itu pun pergi ke kamar sebelah. Setelah dibel berkali-kali ternyata tidak ada orangnya. Dia pun pergi ke arahku lagi. 

“He is not in his room”, katanya. 

“Bisa sa.. ya.. tunggu di sini?” katanya. Wah bisa juga dia ngomong Indonesia, pikirku. “Oh.. sure.. tentu”, kataku. 

“silakan masuk.” Dia pun duduk di sofa. Karena kamar ini termasuk luas, sekitar 7×7 meter, maka Selly yang tertidur di springbed tak kelihatan.

“Anda dari mana?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Oh.. I come from USA, Nevada”, katanya.

“Oh.. Las Vegas”, kataku.

“Anda sudah menikah?” tanyaku lagi.

“Ya.. saya.. menikah 2 tahun lalu dan saya sudah cerai selama setahun”, katanya lagi.

Wah kesepian juga nih cewek, pikirku. Kalau dilihat-lihat wanita ini tingginya sekitar 170-an, wajahnya mirip-mirip Dana Scully-nya X-File, usianya sekitar 30-an. Kalau dilihat bodinya sih mantap juga. Rambutnya sebahu, matanya biru, bibirnya, wah sensual sekali.

Penungguan Yang Membawa Kenikmatan

“Can I know your name?” tanyaku. 

“Jessica”, katanya sambil mengulurkan tangan.

“Denis”, kataku.

“What is your job Denis?” tanyanya.

“I’m student”, kataku.

“What major?” tanyanya.

“Informatics”, kataku.

Wah bisa-bisa dua jam cuma nanya masalah sekolah nih pikirku. Harus dihentikan nih. Kuberanikan tanya soal lain. Sambil pindah duduk ke samping Jessica.

“Can I know something about life?” tanyaku.

“Yah.. apa? please in Indonesian, cause I think you can not speak fluently in english”, katanya.

Wah ketahuan deh modalku, pikirku.

“Ini agak pribadi, nggak apa-apa?” tanyaku.

“No problem, cause I think kamu orang baik-baik”, katanya.

“Kalau udah cerai, gimana kamu memenuhi kebutuhan biologismu?” tanyaku.

“Maksud kamu seks?” tanyanya.

“Yes..” kataku mantap.

“Saya bisa main seks kapan saja, dan dimana saja dengan orang yang kusuka, that’s menyebabkan my husband menceraikan saya.”

Wah gila juga nih cewek pikirku.

“Kamu pernah main seks Denis?” tanyanya.

“No..” jawabku.

Dia pun tersenyum melihatku, terus lihat wanita tergolek di atas ranjang. Wah ketahuan deh kalau menipu.

“Siapa dia Denis?” tanyanya.

“She is my sister”, jawabku sembarangan.

“Oh.. jadi kamu betulan belum pernah ya.. mau belajar sama saya, Denis?” tanyanya.

“Wah mau sekali Jessy”, kataku mantap.

“Sini Denis.. kamu ke depanku.. apa your sister tidak marah kalau lihat kita Denis?” tanyanya.

“Nggak apa-apa Jessy”, kataku sambil mendekat ke depannya. Terus dia membuka bajunya. “Sini Denis.. kamu pegang dada saya”, katanya. Terus kupegangi susunya yang ukurannya 36C.

“And cium bibirku Denis”, katanya.

Aku tanpa dikomando langsung menciumi bibir Jessica. Langsung mulut kami beradu, kulumat bibir yang sensual itu dan lidah kami pun saling berbelit, “Ouchh.. mm..” terus aku langsung turun ke lehernya yang jenjang dan dia pun mendesah,

“Aahh.. mm.. ouchh.. ssh.. Denn.. kamu membuat akuu.. ahh..” Kulanjutkan ke susunya, kulumat kedua putingnya pakai mulut. “Ahh.. ouhh.. shh.. Denis.. oo.. kamu memang nakal baby, yeahh.. ahh..” Terus kubuka rok spannya dan CD-nya, langsung kuturun ke pangkal pahanya.

Kujilat habis kemaluannya dengan rakus. “Aahh.. stop Denis.. akan kuberikan gaya favoritku kepadamu”, katanya.

Padahal sudah basah liang kemaluannya. Sepertinya dia sudah terangsang berat. Langsung saja kulepaskan celana jeans-ku, dan kemudian Jesicca pun membantu melepaskan CD-ku sambil memegang batang kemaluanku yang 7 inchi.

“Kemaluan yang bagus”, katanya sambil meremas batanganku yang sudah tegang berat. “Coba kamu duduk di kursi ini sayang”, katanya. Aku pun duduk dan terus dia duduk di atas kedua pahaku. Wah asyik juga nih kayaknya.

Terus dia memegang kemaluanku yang sudah tegang berat dan dia arahkan ke dalam lubang kemaluannya dan dia pun duduk di atasku, bless.. kemaluanku pun masuk ke dalam liang kemaluan Jesica.

Dia lalu menggoyang-goyangkan pinggulnya naik turun. “Ouchh.. yeahh.. mm.. oohh.. ohh.. ini seperti naik kuda saja, Denis”, katanya.

“Aakkhh.. oukkhh.” Aku pun mengimbangi dengan menaik-turunkan pinggulku. “Mmm.. akhh.. sshh.. ukhh.. akh.. Denyy.. ukhh.. yeajjhh.. yeahh.. oukhh..” Tiba-tiba saja Jessica teriak-teriak tak keruan dan tak lama kemudian..

“Denis.. aku keluaarr..” terasa panas cairan menyembur dari lubang kenikmatan Jessica dan tanpa kulepaskan masih saja kukocok lubang kemaluan Jessica dengan batang kemaluanku.

“Yeah.. ouchh Denis.. tolong berhenti Denis.. akhh.. ouchh..” masih tetap saja kukocok. Malahan tambah kencang frekuensinya. “Tolong.. hentikan sayang akkhh.. akhh..” Tanggung nih pikirku.

Tiba-tiba saja Jessica meronta dan karena sudah diambang klimaks. Begitu Jessica mencabut cengkeraman liang kemaluannya pada batang kemaluanku, langsung saja cairan sperma yang sudah di ujung kepala keluar semua.

“Oouchh.. baby..” langsung saja mulut Jesicca menyambar kepala kemaluanku dan dilumatnya habis cairan di kepala kemaluanku.

Tiba-tiba saja Selly terbangun, “Denis.. Denis..” aku dan Jessica kaget bukan main. Untungnya aku bisa mengatasi keadaan yang sangat gawat ini.

“Ada apa sayang? enak ya tidurnya”, kataku tanpa dosa. Untunglah Selly dapat memahami keadaan ini.

“Denn.. siapa tuh?” tanyanya, dan Jessica pun masih dengan telanjang bulat mendekati Selly dan berjabat tangan.

“Jessica”, katanya.

“I’m sorry.. udah ganggu tidurmu ya?” kata Jessica.

Tanpa berkata apa-apa, Selly malah langsung menciumi Jessica. Wah nggak aku sangka, ternyata si Selly ini biseks dan Jessica mungkin karena terbawa oleh Selly juga mengikuti saja. Kedua wanita itu pun terhanyut dalam permainannya.

Aku dari sofa cuma mangamati permainan mereka. Selly kemudian menciumi seluruh leher Jessica dan Jessica pun meraba pantat Selly.

Kemudian Selly mencium dan menjilati buah dada Jessica. “Ohh.. uchh.. sshh”, hanya kata itu yang mencuat dari mulut Jessica. Kemudian Selly pun turun ke perut Jessica dan kemudian menjilati dengan rakusnya. Tak lama kemudian Jessica rebah di atas spring bed dan kakinya diletakkan di lantai. Selly kemudian menciumi seluruh permukaan kemaluan Jessica mulai dari bibir-bibirnya.

“Kamu memang pemain yang hebat sayang, mm.. ukhh.. ss..” kata Jessica. Selly pun mulai menjilat-jilat dan mengaduk isi kemaluan Jessica tanpa kompromi. Dengan lidahnya dia mulai merangsang seluruh syaraf yang ada di vagina Jessica dan dengan reflek pinggul Jessica pun bergerak-gerak ke atas dan ke bawah mengimbangi jilatan-jilatan yang menimpa pada pangkal pahanya.

“Aahh.. uhh.. yess.. ohss.. babyy..” jerit Jessica saat Selly menjilati klitorisnya dan menggigit-gigit klitorisnya pelan-pelan. Tampak terlihat kemaluan Jessica bertambah basah saja. Tak lama kemudian mereka pun berhenti dan melihat ke arahku. “Wah gawat, bisa jadi pejantan buat mereka berdua nih”, pikirku khawatir.

“Hey Denis.. mau gabung?” tanya Selly sambil tersenyum nakal.

“Ah nggak.. aku liat aja.. udah capek”, jawabku.

Mereka pun melanjutkan aksinya. Sekarang kayaknya mereka mau 69. Eh tapi tunggu dulu, ternyata Jessica mengambil tas hitamnya di atas meja dan mengambil sesuatu.

Oh ternyata dia bawa vibrator yang berbentuk batang kemaluan. “Hi.. Selly.. kamu akan lebih nikmat dengan alat ini”, kata Jessy sambil memberi vibrator ke Selly.

Kemudian Jessica pun kembali duduk di sampingku. Terlihat Selly langsung menghidupkan vibrator tersebut dan memasukkannya ke dalam liang vaginanya. “Aahh.. ohh.. ujhh.. ss..” jerit Selly kesenangan dengan mainan barunya. “Hai Jessy.. mainan ini bener-bener dahsyat shh.. ohh”, katanya sambil merem-melek. Jessica pun tersenyum di sampingku sambil mengelus-elus batang kemaluanku yang sudah tidur. “Lebih dahsyat pake ini..” sahut Jessica. Wah diperlakukan demikian tentu saja kemaluanku bangkit lagi.

“Mau lagi Denn?” tanya Jessy.

“Tidak!” jawabku.

“Sure?” katanya sambil mulutnya turun mendekati batang kemaluanku dan dia pun nmenjilat-jilat biji kemaluanku dari bawah ke atas. 

“Please relax Denis”, aku pun sambil tiduran menikmati jilatannya. 

“Ahh.. ouckhh.. shh.. aku hampir keluar Jessyy..” jerit Selly saat dia mencapai orgasme dengan vibrator. Jessy pun sudah nggak menghiraukan jeritan Selly. Dia sudah asyik dengan kemaluanku dan dia mulai menjilati kepala kemaluanku dan memainkan lidahnya di ujungnya. Hal ini membuatku sangat geli dan nikmat. 

“Jessyy.. sshh, uch..” dan Jessy pun mulai memasuk-keluarkan batang kemaluanku di kerongkongannya dan setelah 10 menit acara kulum batang kemaluan, aku pun menjerit, “Jessyy.. aku mau keluaarr..” dan air maniku pun bercucuran di muka Jessy. 

Cerita sex : Diperkosa Supir Tapi Akhirnya Menikmati

“Ah enak sekali”, kata Jessy sambil tersenyum genit. Akhirnya kami bertiga pun tertidur. Sampai akhirnya sekitar pukul 6 pagi terbangun dan kami beriga kembali ke tempat masing-masing.

#Penungguan #Yang #Membawa #Kenikmatan

Cerita Sex Kenikmatan Seks Antar Tetangga Sungguh Nikmat Terbaru Malam Ini

Aku dan suami sudah pindah kerumah kami sendiri. Kami baru pindah ke sebuah kompleks perumahan yang masih sangat baru.

Belum banyak penghuni yang menempatinya, malahan di gang rumahku (yang terdiri dari 12 rumah) baru 2 rumah yang ditempati, yaitu rumahku dan rumah Pras. Rumah Pras hanya berjarak 2 rumah dari rumahku. Karena tidak ada tetangga yang lain, Pras jadi cepat sekali akrab dengan suamiku.

Aku dan Winda, istri Pras jadi seperti sahabat lama, kebetulan kami seumuran. Hampir tiap hari kami saling curhat tentang apa saja, termasuk soal seks. Biasa kami berbincang di teras depan rumah Winda kalau sore sambil Winda menyuapi Aria, anak mereka. Aku kurang “happy” soal urusan ranjang ini dengan suamiku. Bukannya suamiku ada kelainan, tapi dia senangnya tembak langsung tanpa pemanasan dahulu, sangat konservatif tanpa variasi dan sangat egois. Begitu sudah ngecret ya sudah, dia tidak peduli dengan aku lagi. Sehingga aku sangat jarang mencapai kepuasan dengan suamiku. Sebaliknya Winda bercerita kalau dia sangat “happy” dengan kehidupan seksnya. Pras hampir selalu bisa memberikan kepuasan kepada istrinya. Kami saling berbagi cerita dan kadang sangat mendetail malah. Sering aku secara terbuka menyatakan iri pada Winda dan hanya ditanggapi dengan tawa terkekeh2 oleh Winda.

Jum’at petang itu kebetulan aku sendirian di rumah. Terdengar ketukan di pintu sambil memanggil2 nama suamiku.Aku membukakan pintu. “Eh .. Mas. Masuk Mas,” sapaku ramah. Aku baru selesai mandi sehingga tanpa make up dengan rambut yang masih basah tergerai sebahu. Aku mengenakan daster batik mini warna hijau tua dengan belahan dada rendah, tanpa lengan yang memeperlihatkan pundak dan lengan yang putih dan sangat mulus. “Nnng … suamimu mana Sin?” “Wah ke luar kota Mas.” “Tumben Sin dia tugas luar kota. Kapan pulang?” “Iya Mas, kebetulan ada acara promosi, jadi dia harus ikut, sampai Minggu baru pulang.

Mas Pras ada perlu ama suamiku?” “Enggak kok, cuman pengin ngajak catur aja. Lagi kesepian nih, Winda ama Aria nginep dirumah ibunya.” “Wah kalo cuman main catur ama Sintia aja Mas.” “Emang Sintia bisa catur?” “Eit jangan menghina Mas, biar Sintia cewek belum tentu kalah lho ama Mas.” kata ku sambil tersenyum. “Ya bolehlah, aku pengin menjajal Sintia,” katanya dengan nada agak nakal.Aku hanya tersenyum menjawab godaanku. Aku membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan dia duduk di kursi tamu. “Sebentar ya Mas, Sintia ambil minuman. Mas susun dulu caturnya.”

Aku melenggang ke ruang tengah. Pas aku melangkah sambil membawa baki yang berisi 2 cangkir teh dan sepiring kacang goreng kegemarannya dan suamiku kalau lagi main catur, dia sedang menyusun biji2 catur dipapannya. Aku membungkuk meletakkan baki di meja, mau tak mau belahan dada dasterku terbuka dan menyingkap dua bukit toketku yang putih dan sangat padat. Aku tidak memakai bra. Kemudian aku duduk di kursi sofa di seberang meja. “Siapa jalan duluan Mas?” “Sintia kan putih, ya jalan duluan dong,” jawabnya. Beberapa saat kami mulai asik menggerakkan buah catur. Aku membuktikan bahwa aku cukup menguasai permaian ini. Beberapa kali langkah ku membuat dia harus berpikir keras. Tapi aku pun kerepotan dengan langkahnya.

Beberapa kali aku harus memutar otak. Kadang2 aku membungkuk di atas meja yang rendah itu dengan kedua tanganku bertumpu di pinggir meja. Posisi ini tentu saja membuat belahan dasterku terbuka lebar dan kedua toketku yang aduhai itu menjadi santapan empuk kedua matanya. Satu dua kali dalam posisi seperti itu aku mengerling kepadanya dan memergoki dia sedang menikmati toketku. Aku membiarkan matanya menjelajahi toketku sehingga aku sama sekali tidak mencoba menutup daster dengan tanganku. “Cckk cckk cckk Sintia memang hebat, aku ngaku kalah deh.” “Ah dasar Mas aja yang ngalah dan nggak serius mainnya. Konsentrasi dong Mas,” jawab ku sambil tersenyum menggoda. “Ayo main lagi, Sintia belum puas nih.” kataku rada genit.

Kami main lagi, permainan berjalan lebih seru, sehingga suatu saat ketika sedang berpikir, tanpa sengaja tanganku menjatuhkan biji catur yang sudah “mati” ke lantai. Dengan mata masih menatap papan catur aku mencoba mengambil biji catur tsb dari lantai dengan tangan kananku. Rupanya dia juga melakukan hal yang sama, sehingga tanpa sengaja tangan kami saling bersenggolan di lantai. Entah siapa yang memulainya, tapi kami saling meremas lembut jari tangan di sisi meja sambil masih duduk di kursi masing2. Aku melihat ke arah nya. dia masih dalam posisi duduk membungkuk . Jari tangan kirinya masih terus meremas jari tangan kananku.

Dia menjulurkan kepalaku dan mencium dahi ku dengan sangat mesra. Aku sedikit terperanjat dengan langkahnya, tapi hanya sepersekian detik saja. Aku melenguh pelan, “oooohhh …”Dia tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia mengkulum lembut bibir ku sambil tangan kanannya melingkar di belakang leherku. Aku menyambutnya dengan mengulum balik bibirnya. Kami saling berciuman dengan posisi duduk berseberangan dibatasi oleh meja. Kuluman bibirnya ke bibirku berubah menjadi lumatan. Bibirku disedot pelan, dan lidahnya mulai menyeberang ke mulutku. Aku pun menyambutnya dengan permainan lidahku.

Merasa tidak nyaman dalam posisi ini, dia lepaskan ciumannya. Dia bangkit berdiri, berjalan mengitari meja dan duduk di sisi kiri ku. Belum sedetik dia duduk aku sudah memeluknya dan bibirnya kembali melumat kedua bibirku. Lidahnya terus menjelajah seluruh isi mulutku sepanjang yang bisa dia lakukan. Aku pun tak mau kalah bereaksi. Harus aku akui bahwa aku belum pernah berciuman begini hot, bahkan dengan suamiku sekalipun. Dia menciumi sisi kiri leher ku yang putih jenjang. Rintih kegelian yang keluar dari mulut ku dan bau sabun yang harum semakin memompa semangatnya. Ciumannyabergeser ke belakang telinga ku, sambil sesekali menggigit lembut cupingnya. Aku semakin menggelinjang penuh kegelian bercampur kenikmatan. “Aaahhhh … aaaahhhhh,” aku merintih pelan. Dia merangkul leherku dengan lengan kanannya.

Tangan kanannya mulai menelusup di balik dasterku dan merayap pelan menuju puncak toket ku yang sebelah kanan. Toketku memang sangat padat. Bentuknya sempurna, ukurannya cukup besar karena tangannya tak mampu mengangkup seluruhnya. Jari2nya mulai menari di sekitar pentil ku yang sudah tegak menantang. Dengan ibu jari dan telunjuknya dia memelintir lembut pentilku yang mungil itu. Aku kembali menggelinjang kegelian. Aku menolehkan wajah ke kiri dengan mata yang masih terpejam. Dia melumat bibirku. Kami kembali berciuman dengan panasnya sambil tangannya terus bergerilya di toket kananku. Ciumannya semakin ganas dan sesekali menggigit lembut bibirku.

Tangan kirinya digerakkan ke paha kiri ku yang mulus. Lambat namun pasti, usapan tangan diarahkannya semakin keatas mendekati pangkal pahaku. Ketika jarinya mulai menyentuh cd ku di sekitar no nokku, dia menghentikan gerakanku. Tangan kirinya kembali diturunkan, dia mengusap lembut pahaku mulai dari atas lutut. Gerakan ini diulang beberapa kali sambil tangan kanannya masih memelintir pentil kanan ku dan mulut kami masih saling berpagutan.

Ciumannya semakin mengganas. Dia pun mulai meraba no nokku yang masih terbalut cd itu. no nokku berdenyut lembut . Dengan jari tengah tangan kirinya, dia menekan pelan tepat di tengah no nokku. Denyutan itu semakin terasa. “Aaahh … Mas… aahhh .. iya .. iya,” aku melenguh sambil sedikit meronta dan kedua tanganku menyingkap daster miniku serta menurunkan cdku sampai ke lutut. Serta merta matanya bisa menatap leluasa no nokku. Bukitnya menyembul indah, jembutku cukup lebat. Di antara kedua gundukan no nokku itu terlihat celah sempit yang kentara sekali berwarna merah kecoklatan.

Kemudian jari2 tangan kirinya mulai membelai semak2 yang terasa sangat lembut itu. Aku bereaksi terhadap belaiannya dengan menciumi leher dan telinga kanannya. Aku semakin erat memeluknya. Tangan kanannya dari tadi tak berhenti meremas2 toket ku yang sangat berisi itu. Jari2nya mulai mengusap lembut no nokku yang sangat halus itu. Perlahan dia menyisipkan jari tengah kirinya di celah no nokku. Aku rasakan sedikit lembab dan agak berlendir. Dia menyusup lebih dalam lagi sampai dia menemukan it ilku yang sangat mungil . Dengan gerakan memutar lembut dia mengusap it ilku. “Ahhhh … iya … Mas .. ahhhh .. ahhhh.” Jari tengahnya ditekan sedikit lebih kuat ke it ilku, sambil digosokkan naik turun. Aku meresponsnya dengan membuka lebar kedua pahaku, namun gerakanku terhalang cd yang masih bertengger di kedua lututku.
Sejenak ia menghentikan gosokan jarinya, dia menggunakan tangan kirinya untuk menurunkan cdku. Aku membantu dengan mengangkat kaki kiriku hingga cdku terlepas dan hanya menggantung di lutut kanan ku. Gerakan ku sudah tak terhalang lagi. Dengan leluasa aku membuka lebar kedua pahaku. Jarinya sekarang leluasa menjelajah seluruh no nokku yang sudah sangat licin berlendir itu. Dia menggosok2 it il ku dengan lebih kuat sambil sesekali mengusap ujung no nokku dan digesek keatas kearah it ilku. Aku menggelinjang semakin hebat. “Aaaaaahhhhh …. Mas .. Mas ….. ahhhhh .. terus … ahhhhh,” pintaku sambil merintih. Intensitas gosokannya semakin dia tingkatkan. Dia mulai mengorek bagian luar lubang no nokku. “Iya … ahhh … iya .. Mas …”

Aku hanya tergolek bersandar di sofa yang empuk itu. Kepalaku terdongak kebelakang, mataku tertutup rapat. Mulutku terbuka lebar sambil tak henti mengeluarkan erangan penuh kenikmatan. Tanganku terkulai lemas tak lagi memeluknya. Tangan kanannya pun sudah berhenti bekerja karena merangkul aku dengan erat agar aku tidak melorot ke bawah. Daster ku sudah terbuka sampai keperut, menyingkap kulit yang sangat putih mulus tak bercacat. Cdku masih menggantung di lutut kananku. Pahaku mengangkang maksimal. Jarinya masih menari-nari di seluruh bagian luar no nokku.

Dia sengaja belum menyentuh bagian dalam no nokku. Aku sekarang menggeleng2 kepala ke kiri kanan dengan liar. Rambut basahku yang sudah mulai kering tergerai acak2an. “Mas … Mas …. ahhhhh …. enak …. ahhhh nggak tahaaann .. ahhhh.” Aku sudah hampir mencapai puncak kenikmatan birahiku. Dengan lembut dia mulai menusukkan jari tengahnya ke dalam no nokku yang sudah sangat basah itu. Dia menyorongkan sampai seluruh jarinya tertelan no nokku yang cukup sempit itu. Dia tarik perlahan sambil sedikit dibengkokkan keatas sehingga ujung jarinya menggesek lembut dinding atas no nokku. Gerakan ini dilakukannya berulang kali, masuk lurus keluar bengkok, masuk lurus keluar bengkok, begitu seterusnya. Tak sampai 10 kali gerakan ini, tubuhku menjadi kaku, kedua tanganku mencengkeram erat pinggiran sofa. Kepalaku semakin mendongak kebelakang. Mulutku terbuka lebar. Gerakannya dipercepat dan ditekan lebih dalam lagi. “Aaaaaahhhhhhhhhh.”

Aku melenguh dalam satu tarikan nafas yang panjang. Tubuhku sedikit menggigil. Aku bisa merasakan jari tangannya makin terjepit kontraksi otot no nokku, dan bersamaan dengan itu cairan no noktku menyiram jarinya. Aku telah nyampe. Dia tidak menghentikan gerakan jarinya, hanya sedikit mengurangi kecepatannya. Tubuh ku masih menggigil dan menegang. Mulutku terbuka tapi tak ada suara yang keluar sepatahpun, hanya hembusan nafas kuat dan pendek2 yang keluar lewat mulutku. Kondisi demikian berlangsung selama beberapa saat. Kemudian tubuh ku berangsur melemas, dia pun memperlambat gerakan jarinya sampai akhirnya dengan sangat perlahan dia cabut dari no nokku.

Mata ku masih terpejam rapat, bibirku masih sedikit ternganga. dengan lembut dan pelan dia mendekatkan bibirnya ke mulut ku. Dia mencium mesra bibirku yang sensual itu. Akupun menyambut dengan tak kalah mesranya. Kami berciuman bak sepasang kekasih yang saling jatuh cinta. Agak berbeda dengan ciuman yang menggelora seperti sebelumnya. “Nikmat Sin?” dengan lembut dia berbisik di telinga ku. “Mas … ah … Sintia belum pernah merasakan kenikmatan seperti tadi ..sungguh Mas. Mas sangat pinter … Makasih Mas … Winda sungguh beruntung punya suami Mas.” “Aku yang beruntung Sin, bisa memberi kepuasan kepada wanita secantik dan semulus kamu.” “Ah Mas bisa aja … Sintia jadi malu.”

Akhirnya aku sadar akan kondisiku saat itu. Dasterku awut2an, pahaku masih terbuka lebar, dan cdku tersangkut di lututku. Aku segera duduk tegak, menurunkan dasterku sehingga menutup pangkal pahaku. Akhirnya aku bangkit berdiri. “Sintia mau cuci dulu Mas.” “Aku ikut dong Sin, ntar aku cuciin,” dia menggodaku. “Ihhh Mas genit.” Sambil berkata demikian aku menggamit tangannya dan menariknya ke kamarku. Sampai di kamarku dia berkata: “Aku copot pakaianku dulu ya Sin, biar nggak basah.” Aku tidak berkata apa2 tetapi mendekatinya dan membantu melepas kancing celananya semantara dia melepaskan kaosnya.

Dia kemudian melepaskan juga celananya dan hanya memakai cd saja. Aku melirik ke arah cdnya. Tampaknya kon tolnya yang besar dan panjang (dibandingkan dengan kon tol suamiku yang kecil) sudah menegang. Dia maju selangkah dan mengangkat ujung bawah dasterku sampai keatas dan aku mengangkat kedua tangannya sehingga dasternya mudah terlepas. Dia tampak mengagumi tubuhku. Toket yang dari tadi hanya diraba sekarang terpampang dengan jelas di hadapannya. Bentuknya bundar kencang, cukup besar, tapi masih proporsional dengan ukuran tubuh ku yang sexy itu. Pentilku sangat kecil bila dibanding ukuran bukit toketku. Warna pentilku coklat agak tua, sungguh kontras dengan warna kulit ku yang begitu putih.

Perut ku sungguh kecil dan rata, tak tampak sedikitpun timbunan lemak disana. Pinggulku sungguh indah dan pantatku sangat sexy, padat dan sangat mulus. Pahaku sangat mulus dan padat, betisku tidak terlampau besar dan pergelangan kakiku sangat kecil. “Mas curang … Sintia udah telanjang tapi Mas belum buka cdnya.” Tanpa menunggu reaksinya, aku maju selangkah, agak membungkuk dan memelorotkan cdnya. Dia membantu dengan melangkah keluar dari cdnya. kon tolnya yang sedari tadi sudah berdiri tegak langsung menyentak. Besar dan panjang, mengangguk2 saking kerasnya. Kami berdua berdiri berhadapan sambil bertelanjang bulat saling memandangi. Tak tahan melihat tubuh molek ku, dia maju langung memeluk tubuhku erat. Kulit tubuhku langsung bersentuhan dengan kulit tubuh nya tanpa sehelai benangpun yang menghalangi. “Kamu cantik dan seksi sekali Sin.” “Ah Mas ngeledek aja.” “Bener kok Sin.”

Sambil berkata demikian dia merangkul aku lalu masuk ke kamar mandi. Dia menyemprotkan sedikit air dengan shower ke no nokku yang masih berlendir itu. Kemudian dia memeluk ku dari belakang dan menyabuni seluruh permukaan no nokku dengan lembut. Aku suka dengan apa yang dia lakukan, aku merapatkan punggungku ke tubuhnya sehingga kon tolnya menempel rapat ke pantatku. Dengan gerakan lambat dan teratur dia menggosok selangkangan ku dengan sabun. Aku mengimbanginya dengan mengggerakkan pinggulku seirama dengan gerakannya. Akhirnya selesai juga dia membantu ku mencuci selangkanganku dan mengeringkan diri dengan handuk. Sambil saling rangkul kami kembali ke kamar dan berbaring bersisian di tempat tidur. Kami saling berpelukan dan berciuman penuh kemesraan. Dia meraba seluruh permukaan tubuh mulus ku, aku pun beraksi mengelus kon tolnya yang semakin menegang itu.

Aku ditelentangkan, kemudian dia melorot mendekati kakiku. Dia mulai menciumi betisku, perlahan keatas ke pahalu yang mulus. Akhirnya mulutnya mulai mendekati pangkal pahaku. “Ahhhhh Mas …. ah .. jangan .. nanti Sintia nggak tahan lagi .. ah.” Sekalipun aku berkata “jangan” namun justru aku membuka kedua pahaku semakin lebar seakan menyambut baik serangan mulutnya itu. “Nikmati saja Sin …. aku akan memberikan apa yang tidak pernah diberikan suamimu padamu.” Dia meneruskan jilatan dan ciumannya ke daerah selangkangan ku yang sudah menganga lebar. Bibir no nokku yang begitu tebal dan sensual. Perlahan dia mengkatupkan kedua bibirnya ke bibir no nokku. Sambil “berciuman” dia menjulurkan lidahnya mengorek ujung no nokku. “Ahhhh …. Mas … aaaaahhh .. please .. please.” Begitu mudahnya kata2ku berubah dari “jangan” menjadi “please”. Bibirnya digeser sedikit keatas sehingga menyentuh it ilku yang berwarna pink. Perlahan dia menjulurkan lidahnya dan menjilatinya berkali2.

Aku membuka selangkanganku semakin lebar dan menekuk lututku serta mengangkat pantatku. Dia segera memegang pantatku sambil meremasnya. Lidahnya semakin leluasa menari di it il ku. “Aaaaaahhhhhh …. enak Mas …. enak …. ahhhh .. iya …. ahhhh.” Hanya itu yang keluar dari mulut ku menggambarkan apa yang sedang kurasakan saat ini. Dia semakin meningkatkan kegiatan mulutnya, dia mengkatupkan kedua bibirnya ke it il ku yang begitu mungil, dia menyedot lambat2 benda sebesar kacang hijau itu. “Maaaaasss …. nggak tahaaaan … ahhhhh .. Maassss.” Dia melepaskan tangan kanannya dari pantat ku, kemudian jari tengahnya kembali beraksi menggosok it ilku. Lidahnya dijulurkan mengorek seluruh lubang no nokku sejauh yang dia bisa. Tubuhku menegang sehingga pantat dan selangkanganku semakin terangkat, kedua tanganku mencengkeram kain sprei. “AAAaaaaahhhhh … maaaaassssssss.”

Bersamaan dengan erangan ku dia merasakan ada cairan hangat dan agak asin yang keluar dari no nokku dan langsung membasahi lidahnya. Dia menjulurkan lidahnya semakin dalam dan semakin banyak cairan yang bisa dia rasakan. Aku memberontak, segera menarik dia mendekatiku. Tangan kanannya kupegang dan sentuhkan ke no nokku. Sambil terpejam, aku memeluknya dan langsung mencium bibirnya yang masih belepotan dengan lendir kenikmatanku. Dia biarkan bibir dan lidahku menari di mulutnya menyapu semua sisa lendir yang ada disana. Jari tangannya terbenam kedalam no nokku dan digerakkan masuk keluar dengan cepat. Tubuh ku kembali menggigil dan no nokku mengeluarkan cairan lagi. Rupanya itu adalah sisa orgasmeku.

Kami masih berciuman sampai tubuh ku mulai melemas. perlahan dia mengangkat tangan kanannya dari selangkanganku, memeluk ku dengan lembut. Bibirnya perlahan dilepaskan dari cengkeraman mulut ku. Tubuh ku tergolek lemah seakan tanpa tulang. Mataku sedikit terbuka menatapnya mesra. Di bibirku sedikit menyungging senyum penuh kepuasan. “Mas …. itu tadi luar biasa Mas … Sintia belum pernah digituin … Mas hebat .. makasih Mas … Sintia hutang banyak ama Mas.” “Sin aku juga sangat senang kok bisa membuat Sintia puas seperti itu” sambil dia mengkecup lembut keningku. Mata ku berbinar penuh rasa terima kasih. Kami berbaring telentang bersebelahan untuk beberapa saat. kon tolnya masih tegang berdiri. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Kali ini aku membersihkan diriku sendiri. Dia tetap berbaring sambil mengenangkan keindahan yang baru aku alami. Tak berapa lama kemudian aku kembali dan langsung berbaring di sampingnya. Mataku menatap lekat ke kon tolnya.

“Mas pengin diapain?” tanyaku manja. “Terserah kamu Sin, biasanya ama suamimu gimana dong?” dia coba memancingku. “Biasa ya langsung dimasukin aja Mas. Sintia jarang puas ama dia.” “Oh … terus Sintia penginnya gimana?” “Ya kayak ama Mas tadi, Sintia puas banget. … Sintia pengin cium punya Mas boleh nggak?” “Emang Sintia belum pernah?” “Belum Mas,” agak jengah aku menjawab, “Suamiku nggak pernah mau.” “Ya silahkan kalau Sintia mau.” Tanpa menunggu komando aku segera merangkak mengarahkan kepalaku mendekati selangkangannya. Aku pegang kon tolnya, kuamati dari dekat sambil sedikit melakukan gerakan mengocok.

Sangat kaku dan canggung, maklum baru pertama melakukannya. “Ayo Sin ,, aku ngak apa2 kok. Kalau Sintia suka, lakuin apa yang Sintia mau.” Dengan penuh keraguan aku mendekatkan mulutnya ke kepala kon tolnya. Pelan2 kubuka bibirku dan memasukkan kepalanya kedalam mulutku. Hanya sampai sebatas leher kemudian kusedot perlahan. Aku tetap melakukan itu untuk beberapa saat tanpa perubahan. Dengan lembut dia memegang tangan kiriku. Dia menggenggam jemariku yang lentik dan ditariknya mendekat ke mulutnya. Dia memegang telunjukku kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya. Dia menggerakkan masuk keluar dengan lambat sambil sesekali dijilat dengan lidahnya saat jari lentikku masih dalam mulutnya. Aku segera paham bahwa dia sedang memberi “bimbingan” bagaimana seharusnya yang kulakukan.

Cerita sex : Cerita Sex Enak Suami Pinjaman

Tanpa ragu aku mempraktekkan apa yang dia lakukan dengan jariku. kon tolnya kumasukkan kedalam mulutku, kemudian kepala kuangguk2kan sehingga kon tolnya tergesek keluar masuk mulutku yang sensual itu. Sekalipun masih agak canggung tapi dia mulai bisa merasakan “pelayanan” yang kuberikan. Semakin lama aku semakin tenang dan tidak kaku lagi. Kadang kumainkan lidahku di sekeliling kepala kon tolnya dalam mulutku. Sepertinya aku sendiri mulai bisa merasakan sensasi dari apa yang kulakukan dengan mulut dan lidahku. Aku mulai berani bereksperiman. Kadang kukeluarkan kon tolnya dari mulutku, menciumi batangnya kemudian memasukkannya kembali. Sesekali aku hanya menghisap kepalanya sambil mengocok batangnya. “Gimana Sin rasanya?” “Mas… Sintia merasakan rangsangan yang luar biasa, kon tolnya Mas enak .. Sintia suka, besar – panjang lagi.” Dia bangkit berdiri di atas kasur sambil bersandar di dinding kepala ranjang. Aku langsung tahu harus bagaimana.

#Cerita #Sex #Kenikmatan #Seks #Antar #Tetangga #Sungguh #Nikmat

Sensasi Kenikmatan Ngentot Dengan 3 Cewek Cantik Terbaru Malam Ini

Mungkin saking asyiknya kami bercumbu tanpa kami sadari rupanya dari tadi ada yang memperhatikan pergumulan kami berdua, Mbak Dina dan adik suaminya, Nastasya sudah berdiri di pinggir pintu. Mungkin mereka pulang berdua tanpa suaminya dan kedua anaknya yang masih mampir ke rumah Pak dehnya mereka ketuk pintu tapi nggak ada sahutan lalu mereka menuju pintu daur yang lupa tak aku kunci.

Aku dan Mbak Finka kaget setengah mati, malu takut bercampur menjadi satu jangan-jangan mereka marah dan menceritakan kejadian ini pada orang lain. Tapi yang terjadi sungguh diluar dugaan kami berdua, mereka bahkan ikut nimbrung sehingga kami menjadi berempat.

“Dik main gituan kok kakak nggak di ajak sich kan kakak juga mau, sudah seminggu ini suami kakak nggak ngajak gituan”, ucap Mbak Dina.
“Ini juga baru mulai kak!” sahutku.
“Mas aku boleh nyoba seks sama Mas?” tanya Nastasya.
“Boleh”.

Aku dan Kak Finka selanjutnya menyuruh mereka berdua melepas seluruh pakaiannya.

“Ck.. ck…ck……ck……”, guman ku.

Sekarang aku dikerubung 3 bidadari cantik sungguh beruntung aku ini.

Mbak Dina tubuhnya masih sangat kencang payudaranya putih agak besar kira-kira 36 B vaginanya indah sekali. Sedangkan Nastasya tubuhnya agak kecil tapi mulus, dadanya sudah sebesar buah apel ukuranya 34 A vaginanya kelihatan sempit baru ditumbuhi bulu yang belum begitu lebat.

Pertama yang kuserang adalah Mbak Dina karena sudah lama aku membayangkan bersetubuh dengannya aku menciumi dengan rakus pentilnya kuhisap dalam-dalam agar air susunya keluar, setelah keluar kuminum sepuasnya rupanya Mbak Finka dan Nastasya juga kepingin merasakan air susu itu sehingga kami bertiga berebut untuk mendapatkan air susu tersebut, sambil tangan kami berempat saling remas, pegang dan memasukam ke dalam vagina satu sama lain.

Setelah puas dengan permainan itu, aku meminta agar mereka berbaring baris sehingga kini ada 6 gunung kembar yang montok berada di depanku. Aku mulai mengulum susu mereka satu per satu bergantian sampai 6, aku semakin beringas saat kusuruh mereka menungging semua, dari belakang aku menjilati vagina satu persatu rasanya bagai makan biscuit Oreo di jilat terus lidahku kumasukkan ke dalam vagina mereka.

Giliran mereka mengulum penisku bergantian.

“Hoh…. hoooooooooo…… hhhhhhhhhh…… ehmmmmmmmmm”, desah mereka bertiga.

Aku yang dari tadi belum orgasme semakin buas memepermainkan payudara dan vagina mereka, posisi kami sekarang sudah tak beraturan. Saling peluk cium jilat dan sebagainya pokok nya yang bikin puas, hingga mereka memberi isyarat bahwa akan sampai puncak.

“Dik aku mau keluar”
“Mas aku juga”
“Aku hampir sampai”, kata mereka bergantian.
“Jangan di buang percuma, biar aku minum!”, pintaku
“Boleh”, kata Mbak Dina.

Aku mulai memasang posisi kutempelkan mulutku ke vagina mereka satu persatu lalu kuhisap dalam-dalam sampai tak tersisa, segarnya bukan main.

“Srep.., srep”.

Heran, itulah yang ada di benakku, aku belum pernah nge-sex sama mereka kok udah pada keluar, memang mungkin aku yang terlalu kuat. Karena sudah tidak sabar aku mulai memasukkan penisku de dalam vagina Mbak Finka kugenjot naik turun pinggulku agar nikmat, sekitar 5 menit kemudian aku gantian ke Kak Dina, biarpun sudah beranak 2 tapi vaginanya masih sempit seperti perawan saja.

“Dik enak……. Uh…… oh…..terussssssss!”, desahnya.
“Emang kok Kak…….. hhhhhhh ehmm…..”
“Mas giliranku kapan..?”, rupanya Nastasya juga sudah tak tahan.
“Tunggu sebentar sayang.“

Sekitar 10 menit aku main sama kak Dina sekarang giliran Nastasya, dengan pelan aku masukkin penisku, tapi yang masuk hanya kepalanya. Mungkin ia masih perawan, baru pada tusukan yang ke 15 seluruh penisku bisa masuk ke liang vaginanya.

“Mas……. sakit….. mas…… oght…….. hhohhhhhh…….”, jerit kecil Nastasya.
“Nggak apa-apa nanti juga enak, Sih!”, ucapku memberi semangat agar ia senang.
“Benar Mas sekarang nikmat sekali… oh.. ought..”

Rupanya bila kutinggal ngeseks dengan Nastasya, kak Dina dan Kak Finka tak ketinggalan mereka saling kulum, jilat dan saling memasukkan jari ke vaginanya masing-masing. Posisiku di bawah Nastasya, di atas ia memutar-mutar pinggulnya memompa naik turun sehingga buah dadanya yang masih kecil terlihat bergoyang lucu, tanganku juga tidak tinggal diam kuremas-remas putingnya dan kusedot, kugigit sampai merah.

Karena sudah berlangsung sangat lama maka aku ingin segera mencapai puncak, dalam posisi masih seperti semula Nastasya berjongkok di atas penisku, kusuruh Mbak Dina naik keatas perutku sambil membungkuk agar aku bisa menetek,

eh…, bener juga lama-lama air susunya keluar lagi, kuminum manis sekali sampai terasa mual. Mbak Finka yang belum dapat posisi segera kusuruh jongkok di atas mulutku sehingga vaginanya tepat di depan mulutku, dan kumainkan klitorisnya. Ia mendesah seperti kepedasan.

“Ah……… huah…….. hm…….!”

Tanganku yang satunya kumasukkan ke vagina Mbak Dina, kontolku digarap Nastasya, mulutku disumpal kemaluan Mbak Finka, lengkap sudah. Kami bermain gaya itu sekitar 30 menit sampai akhirnya aku mencapai puncak kenikmatan.

“Ought……… hmmmmmm…… cret… crot…..”
“Enak Mas…….!” desah Nastasya.

Spermaku ku semprotkan kedalam vagina Nastasya dan keluarlah cipratan spermaku bercampur darah menandakan bahwa ia masih perawan. Kami berempat sekarang telah mencapai puncak hampir bersamaan, lelah dan letih yang kami rasakan.

Sebelum kami berpakaian kembali sisa-sisa sperma di penisku di jilati sampai habis oleh mereka bertiga. Setelah kejadian itu kami selalu mengulanginya lagi bila ada kesempatan baik berdua bertiga maupun berempat. Namun sekarang kami sudah saling berjauhan sehingga untuk memuaskan nafsu birahiku aku sering jajan di kafe-kafe di kota Solo ini ataupun dengan teman-teman wanita di tempat kuliah yang akrab denganku.

Cerita sex : Reporter Cantik Yang Malang Di Perkosa Di Gerbong Kereta Api

Tapi tak satu pun dari mereka yang menjadi pacarku. Nah, bagi teman-teman yang ingin berkenalan silakan kontak emailku. Pasti aku balas.

#Sensasi #Kenikmatan #Ngentot #Dengan #Cewek #Cantik

Kenikmatan Yang Di Berikan Tante Nina Terbaru Malam Ini

Kejadian ini terjadi ketika aku kelas 3 SMP, yah aku perkirakan umur aku waktu itu baru saja 14 tahun, Aku entah kenapa yah perkembangan sexnya begitu cepat sampai-sampai umur segitu ssudah mau ngerasain yang enak-enak. Yah itu semua karena temen nyokap kali yah.

Soalnya temen nyokap Aku yang namanya Tante Nina (biasa kupanggil dia begitu) orangnya cantik banget, langsing dan juga awet muda bikin aku bergetar. Tante Nina ini tinggal dekat rumahku, hanya beda 5 rumahlah, nah Tante Nina ini cukup deket sama keluargaku meskipun enggak ada hubungan saudara.

Dan dapat dipastikan kalau sore biasanya banyak ibu-ibu suka ngumpul di rumahku buat sekedar ngobrol bahkan suka ngomongin suaminya sendiri. Nah Tante Nina inilah yang bikin aku cepet gede (maklumlah anak masih puber kan biasanya suka yang cepet-cepet).

Biasanya Tante Nina kalau ke rumah Aku selalu memakai daster atau kadang-kadang celana pendek yang bikin aku ser.. ser.. ser.. Biasanya kalau sudah sore tuh ibu-ibu suka ngumpul di ruang TV dan biasanya juga aku pura-pura nonton TV saja sambil lirak lirik. Tante Nina ini entah sengaja atau nggak aku juga enggak tahu yah. Dia sering kalau duduk itu tuh mengangkang, kadang pahanya kebuka dikit bikin Aku ser.. ser lagi deh hmm.

Apa keasyikan ngobrolnya apa emang sengaja Aku juga enggak bisa ngerti, tapi yang pasti sih aku kadang puas banget sampai-sampai kebayang kalau lagi tidur. Kadang kalau sedang ngerumpi sampai ketawa sampai lupa kalau duduk nya Tante Nina ngangkang sampai-sampai celana dalemnya keliatan (wuih aku suka banget nih).

Pernah aku hampir ketahuan pas lagi ngelirik wah rasanya ada perasaan takut malu sampai-sampai Aku enggak bisa ngomong sampai panas dingin tapi Tante Nina malah diam saja malah dia tambahin lagi deh gaya duduknya. Nah dari situ aku sudah mulai suka sama tuh Tante yang satu itu.

Setiap hari pasti Aku melihat yang namanya paha sama celana dalem tuh Tante. Pernah juga Aku waktu jalan-jalan bareng ibu-ibu ke puncak nginep di villa. Ibu-ibu hanya bawa anaknya, nah kebetulan Mami Aku ngsajak Aku pasti Tante Nina pula ikut wah asyik juga nih pikir ku. Waktu hari ke-2 malam-malam sekitar jam 8-9 mereka ngobrol di luar deket taman sambil bakar jagung.

Ternyata mereka sedang bercerita tentang hantu, ih dasar ibu-ibu masih juga kaya anak kecil ceritanya yang serem-serem, pas waktu itu Tante Nina mau ke WC tapi dia takut. Tentu saja Tante Nina di ketawain sama gangnya karena enggak berani ke WC sendiri karena di villa enggak ada orang jadinya takut sampai-sampai dia mau kencing di deket pojokan taman. Lalu Tante Nina menarik tangan Aku minta ditemenin ke WC, yah aku sih mau saja.

Pergilah aku ke dalam villa sama Tante Nina, sesampainya Aku di dalam villa Aku nunggu di luar WC eh malah Tante Ninan ngsajak masuk nemenin dia soalnya katanya dia takut. “Sen temenin Tante yah tunggu di sini saja buka saja pintu nya enggak usah di tutup, Tante takut nih”, kata Tante Nina sambil mulai berjongkok.

Dia mulai menurunkan celana pendeknya sebatas betis dan juga celana dalamnya yang berwarna putih ada motif rendanya sebatas lutut juga. “Serr.. rr.. serr.. psstt”, kalau enggak salah gitu deh bunyinya. Jantungku sampai deg-degan waktu liat Tante Nina kencing, dalam hatiku, kalau saja Tante Nina boleh ngasih liat terus boleh memegangnya hmm. Sampai-sampai aku bengong ngeliat Tante Nina.

“Heh kenapa kamu Sen kok diam gitu awas nanti kesambet” kata Tante Nina. “Ah enggak apa-apa Tante”, jawabku. “Pasti kamu lagi mikir yang enggak-enggak yah, kok melihatnya ke bawah terus sih?”, tanya Tante Nina. “Enggak kok Tante, aku hanya belum pernah liat cewek kencing dan kaya apa sih bentuk itunya cewek?” tanyaku.

Tante Nina cebok dan bangun tanpa menaikkan celana sama CDnya. “Kamu mau liat Sen? Nih Tante kasih liat tapi jangan bilang-bilang yah nanti Tante enggak enak sama Mamamu”, kata Tante Nina. Aku hanya mengangguk mengiyakan saja. Lalu tanganku dipegang ke arah vaginanya.

Aku tambah deg-degan sampai panas dingin karena baru kali ini Aku megang sama melihat yang namanya memek. Tante Nina membiarkanku memegang-megang vaginanya. “Sudah yah Sen nanti enggak enak sama ibu-ibu yang lain dikirain kita ngapain lagi”. “Iyah Tante”, jawabku.

Lalu Tante Nina menaikan celana dalam juga celana pendeknya terus kami gabung lagi sama ibu-ibu yang lain. Esoknya aku masih belum bisa melupakan hal semalam sampai sampai aku panas dingin.

Hari ini semua pengen pergi jalan-jalan dari pagi sampai sore buat belanja oleh-oleh rekreasi. Tapi aku enggak ikut karena badanku enggak enak. “Sen, kamu enggak ikut?” tanya mamiku. “Enggak yah Mam aku enggak enak badan nih tapi aku minta di bawain kue mochi saja yah Mah” kataku.

Yah sudah istirahat yah jangan main-main lagi” kata Mami. “Nina, kamu mau kan tolong jagain si Jansen nih yah, nanti kalau kamu ada pesenan yang mau di beli biar sini aku beliin” kata Mami pada Tante Nina. “Iya deh Kak aku jagain si Jansen tapi beliin aku tales sama sayuran yah, aku mau bawa itu buat pulang besok” kata Tante Nina.

Akhirnya mereka semua pergi, hanya tinggal aku dan Tante Nina berdua saja di villa, Tante Nina baik juga sampai-sampai aku di bikinin bubur buat sarapan, jam menunjukan pukul 9 pagi waktu itu. “Kamu sakit apa sih Sen? kok lemes gitu?” tanya Tante Nina sambil nyuapin aku dengan bubur ayam buatannya.

“Enggak tahu nih Tante kepalaku juga pusing sama panas dingin aja nih yang di rasa” kataku. Tante Nina begitu perhatian padaku, maklumlah di usia perkawinannya yang sudah 5 tahun dia belum dikaruniai seorang buah hati pun. “Kepala yang mana Sen atas apa yang bawah?” kelakar Tante Nina padaku. Aku pun bingung, “Memangya kepala yang bawah ada Tante? kan kepala kita hanya satu?” jawabku polos. “Itu tuh yang itu yang kamu sering tutupin pake segitiga pengaman” kata Tante Nina sambil memegang si kecilku.

“Ah Tante bisa saja” kataku. “Eh jangan-jangan kamu sakit gara-gara semalam yah” aku hanya diam saja. Selesai sarapan badanku dibasuh air hangat oleh Tante Nina, pada waktu dia ingin membuka celanaku, kubilang, “Tante enggak usah deh Tante biar Jansen saja yang ngelap, kan malu sama Tante” “Enggak apa-apa, tanggung kok” kata Tante Nina sambil menurunkan celanaku dan CDku. Dilapnya si kecilku dengan hati-hati, aku hanya diam saja. “Sen mau enggak pusingnya hilang? Biar Tante obatin yah”

“Pakai apa Tan, aku enggak tahu obatnya” kataku polos. “Iyah kamu tenang saja yah” kata Tante Nina. Lalu di genggamnya batang penisku dan dielusnya langsung spontan saat itu juga penisku berdiri tegak. Dikocoknya pelan-pelan tapi pasti sampai-sampai aku melayang karena baru pertama kali merasakan yang seperti ini.

“Achh.. cchh..” aku hanya mendesah pelan dan tanpa kusadari tanganku memegang vagina Tante Nina yang masih di balut dengan celana pendek dan CD tapi Tante Nina hanya diam saja sambil tertawa kecil terus masih melakukan kocokannya. Sekitar 10 menit kemudian aku merasakan mau kencing.

“Tante sudah dulu yah aku mau kencing nih” kataku. “Sudah, kencingnya di mulut Tante saja yah enggak apa-apa kok” kata Tante Nina. Aku bingung campur heran melihat penisku dikulum dalam mulut Tante Nina karena Tante Nina tahu aku sudah mau keluar dan aku hanya bisa diam karena merasakan enaknya.

“Hhgg..achh.. Tante aku mau kencing nih bener ” kataku sambil meremas vagina Tante Nina yang kurasakan berdenyut-denyut. Tante Ninapun langsung menghisap dengan agresifnya dan badanku pun mengejang keras. “Croott.. ser.. err.. srett..” muncratlah air maniku dalam mulut Tante Nina, Tante Nina pun langsung menyedot sambil menelan maniku sambil menjilatnya.

Dan kurasakan vagina Tante Nina berdenyut kencang sampai-sampai aku merasakan celana Tante Nina lembab dan agak basah. “Enak kan Sen, pusingnya pasti hilang kan?” kata Tante Nina. “Tapi Tante aku minta maaf yah aku enggak enak sama Tante nih soalnya Tante..” “Sudah enggak apa-apa kok, oh iya kencing kamu kok kental banget, wangi lagi, kamu enggak pernah ngocok Sen?” “Enggak Tante” Tanpa kusadari tanganku masih memegang vagina Tante Nina. “Loh tangan kamu kenapa kok di situ terus sih”. Aku jadi salah tingkah “Sudah enggak apa-apa kok, Tante ngerti” katanya padaku. “Tante boleh enggak Jansen megang itu Tante lagi” pintaku pada Tante Nina.

Tante Nina pun melepaskan celana pendeknya, kulihat celana dalam Tante Nina basah entah kenapa. “Tante kencing yah?” tanyaku. “Enggak ini namanya Tante nafsu Sen sampai-sampai celana dalam Tante basah”. Dilepaskannya pula celana dalam Tante Nina dan mengelap vaginanya dengan handukku. Lalu Tante Nina duduk di sampingku “Sen pegang nih enggak apa-apa kok sudah Tante lap” katanya. Akupun mulai memegang vagina Tante Nina dengan tangan yang agak gemetar, Tante Nina hanya ketawa kecil.

“Sen, kenapa? Biasa saja donk kok gemetar kaya gitu sih” kata Tante Nina. Dia mulai memegang penisku lagi, “Sen Tante mau itu nih”. “Mau apa Tante?” “Itu tuh”, aku bingung atas permintaan Tante Nina. “Hmm itu tuh, punya kamu di masukin ke dalam itunya Tante kamu mau kan?” “Tapi Jansen enggak bisa Tante caranya” “Sudah, kamu diam saja biar Tante yang ajarin kamu yah” kata Tante Nina padaku.

Mulailah tangannya mengelus penisku biar bangun kembali tapi aku juga enggak tinggal diam aku coba mengelus-elus vagina Tante Nina yang di tumbuhi bulu halus. “Sen jilatin donk punya Tante yah” katanya. “Tante Jansen enggak bisa, nanti muntah lagi” “Coba saja Sen” Tante pun langsung mengambil posisi 69. Aku di bawah, Tante Nina di atas dan tanpa pikir panjang Tante Nina pun mulai mengulum penisku. “Achh.. hgghhghh.. Tante” Aku pun sebenarnya ada rasa geli tapi ketika kucium vagina Tante Nina tidak berbau apa-apa. Aku mau juga menjilatinya kurang lebih baunya vagina Tante Nina seperti wangi daun pandan (asli aku juga bingung kok bisa gitu yah) aku mulai menjilati vagina Tante Nina sambil tanganku melepaskan kaus u can see Tante Nina dan juga melepaskan kaitan BH-nya, kini kami sama-sama telanjang bulat.

Tante Nina pun masih asyik mengulum penisku yang masih layu kemudian Tante Nina menghentikannya dan berbalik menghadapku langsung mencium bibirku dengan nafas yang penuh nafsu dan menderu. “Kamu tahu enggak mandi kucing Sen” kata Tante Nina. Aku hanya menggelengkan kepala dan Tante Nina pun langsung menjilati leherku menciuminya sampai-sampai aku menggelinjang hebat, ciumannya berlanjut sampai ke putingku, dikulumnya di jilatnya, lalu ke perutku, terus turun ke selangkanganku dan penisku pun mulai bereaksi mengeras.

Dijilatinya paha sebelah dalamku dan aku hanya menggelinjang hebat karena di bagian ini aku tak kuasa menahan rasa geli campur kenikmatan yang begitu dahsyat. Tante Nina pun langsung menjilati penisku tanpa mengulumnya seperti tadi dia menghisap-hisap bijiku dan juga terus sampai-sampai lubang pantatku pun dijilatinya sampai aku merasakan anusku basah. Kulihat payudara Tante Nina mengeras, Tante Nina menjilati sampai ke betisku dan kembali ke bibirku dikulumnya sambil tangannya mengocok penisku, tanganku pun meremas payudara Tante Nina.

Entah mengapa aku jadi ingin menjilati vagina Tante Nina, langsung Tante Nina kubaringkan dan aku bangun, langsung kujilati vagina Tante Nina seperti menjilati es krim. “Achh.. uhh.. hhghh.. acch Sen enak banget terus Sen, yang itu isep jilatin Sen” kata Tante Nina sambil menunjuk sesuatu yang menonjol di atas bibir vaginanya. Aku langsung menjilatinya dan menghisapnya, banyak sekali lendir yang keluar dari vagina Tante Nina tanpa sengaja tertelan olehku. “Sen masukin donk Tante enggak tahan nih” “Tante gimana caranya?” Tante Nina pun menyuruhku tidur dan dia jongkok di atas penisku dan langsung menancapkannya ke dalam vaginanya. Tante Nina naik turun seperti orang naik kuda kadang melakukan gerakan maju mundur.

Setengah jam kami bergumul dan Tante Nina pun mengejang hebat. “Sen Tante mau keluar nih eghh.. huhh achh” erang Tante Nina. Akupun di suruhnya untuk menaik turunkan pantatku dan tak lama kurasakan ada sesuatu yang hangat mengalir dari dalam vagina Tante Nina. Hmm sungguh pengalaman pertamaku dan juga kurasakan vagina Tante Nina mungurut-urut penisku dan juga menyedotnya. Kurasakan Tante Nina sudah orgasme dan permainan kami terhenti sejenak.

Tante Nina tidak mencabut penisku dan membiarkanya di dalam vaginanya. “Sen nanti kalau mau kencing kaya tadi bilang ya” pinta Tante Nina padaku. Akupun langsung mengiyakan tanpa mengetahui maksudnya dan Tante Ninapun langsung mengocok penisku dengan vaginanya dengan posisi yang seperti tadi. “Achh .. Tante enak banget achh.., gfggfgfg..” kataku dan tak lama aku pun merasakan hal yang seperti tadi lagi. “Tante Jansen kayanya mau kencing niih” Tante Nina pun langsung bangun dan mengulum penisku yang masih lengket dengan cairan kewanitaanya, tanpa malu dia menghisapnya dan tak lama menyemburlah cairan maniku untuk yang ke 2 kalinya dan seperti yang pertama Tante Nina pun menelannya dan menghisap ujung kepala penisku untuk menyedot habis maniku dan akupun langsung lemas tapi disertai kenikmatan yang alang kepalang.

Kami pun langsung mandi ke kamar mandi berdua dengan telanjang bulat dan kami melakukannya lagi di kamar mandi dengan posisi Tante Nina menungging di pinggir bak mandi. Aku melakukannya dengan cermat atas arahan Tante Nina yang hebat. Selasai itu jam pun menunjukan pukul 1 siang langsung makan siang dengan telur dadar buatan Tante Nina, setelah itu kamipun capai sekali sampai-sampai tertidur dengan Tante Nina di sampingku, tapi tanganku kuselipkan di dalam celana dalam Tante Nina. Kami terbangun pada pukul 3 sore dan sekali lagi kami melakukannya atas permintaan Tante Nina, tepat jam 4:30 kami mengakhiri dan kembali mandi, dan rombongan ibu-ibu pun pulang pukul 6 sore.

“Sen kamu sudah baikan?” tanya Mamiku. “Sudah mam, aku sudah seger n fit nih” kataku. “Kamu kasih makan apa Ni, si Jansen sampai-sampai langsung sehat” tanya Mami sama Tante Nina. “Hanya bubur ayam sama makan siang telur dadar terus kukasih saja obat anti panas” kata Tante Nina. Esoknya kamipun pulang ke jakarta dan di mobil pun aku duduk di samping Tante Nina yang semobil denganku. Mami yang menyopir ditemani Ibu Herman di depan. Di dalam mobilpun aku masih mencuri-curi memegang barangnya Tante Nina.

Sampai sekarang pun aku masih suka melakukannya dengan Tante Nina bila rumahku kosong atau terkadang ke hotel dengan Tante Nina. Sekali waktu aku pernah mengeluarkan spermaku di dalam sampai 3 kali. Kini Tante Nina sudah dikarunia 2 orang anak yang cantik. Baru kuketahui bahwa suami Tante Nina ternyata menagalami ejakulasi dini.

Cerita sex : Kontol Orang Negro Memang Tiada Dua Nya

Sebenarnya kini aku bingung akan status anak Tante Nina. Yah, begitulah kisahku sampai sekarang aku tetap menjadi PIL Tante Nina bahkan aku jadi lebih suka dengan wanita yang lebih tua dariku. Pernah juga aku menemani seorang kenalan Tante Nina yang nasibnya sama seperti Tante Nina, mempunyai suami yang ejakulasi dini dan suka daun muda buat obat awet muda, dengan menelan air mani pria.

#Kenikmatan #Yang #Berikan #Tante #Nina