Keuntungan Menjadi Marketing Terbaru Malam Ini

Keuntungan Menjadi Marketing

Kisah ini berawal ketika aku sering ditugaskan kantorku keluar kota untuk mengikuti training, melakukan negosiasi dan maintenance pelanggan yang umumnya adalah perusahaan asing . Oh iya, Perkenalkan nama saya Urip, 30 Tahun, berkeluarga dan tinggal di wilayah jakarta timur. Bekasi kali yah lebih tepatnya. Sebetulnya sejauh ini tidak ada yang kurang dengan keluarga dan profesiku sebagai orang marketing. Sebagai tenaga penjual dengan berbagai training yang pernah kuikuti, aku tidak pernah kekurangan teman pria ataupun wanita.

Di mata istriku aku adalah seorang suami yang baik, penuh perhatian dan selalu pulang cepat ke rumah. Namun di balik itu, sebuah kebiasaan, yang entah ini sudah kebablasan, aku masih suka iseng. iseng dalam arti awalnya cuma ingin memastikan bahwa ilmu marketing ternyata bisa diterapkan dalam mencari apapaun termasuk teman cewek. Marketing menurutku bersaudara dengan rayu merayu customer, yah si cewek tadi juga bisa tergolong customer. Anyway, Jenni adalah orang kesekian yang masuk perangkap ilmu marketing versi 02 (versi 01 adalah customer beneran).

Jenni gadis berkulit putih berumur 23 tahun, lulusan univ ternama, tinggi 167, berat 50, (buset, kapan gue ngukurnya ya). Ukuran bra gak hapal, karena sebetulnya aku lebih terkonsentrasi dengan yang di balik bra itu. Mojang Bandung ini kukenal dalam sebuah training di Puncak, Bogor. Dia dari sebuah perusahaan Periklanan di seputaran Sudirman Jakarta dan aku dari perusahaan konsultan Manajemen di sekitar Casablanca, juga di Jakarta.

“Hai Jenni, tadi kulihat kamu ngantuk ya?” kataku ketika rehat kopi sore itu di sebuah training yang kuikuti.
“iya nih, gue ngejar deadline 2 hari dan boss langsung nyuruh ke training ini” katanya.
“Kemari dengan siapa?” kataku menyelidik
“Sendiri.., kenapa, elo diantar ama bini ya?” Buset dah ketahuan nih gue udah punya bini.
“Ah, enggak, gue sama Remi.. tuh..” kataku sambil menunjuk Remi yang sedang asyik ngobrol dengan peserta lain.
“Lo sendiri kok gak ngantuk sih?”
“Gimana bisa ngantuk sebelah gue ada cewe cakep, hehehe..”
“Ah, masa? Siapa?” Ye, pura pura dia, pikirku.
“itu tuh, yang tadi ngantuk..”
“Ah, sialan lo..” sambil tangannya mencubit lenganku. Usai sesi yang melelahkan sore itu, kami kembali ke kamar masing masing.

Aku antar dia sampai pintu kamarnya dan janjian ngobrol lagi sambil makan malam.

“Hmm..elo kok nggak bawa jaket Jen?” kataku ketika dia kulihat agak meringkuk kedinginan di meja makan.
“iya nih, buru buru.. kelupaan”
“Aku masih punya satu di kamar, biar aku ambilkan”
“Oh, gak usah Urip.. toh cuma sebentar..” Tapi aku keburu pergi dan mengambilkan baju hangatku untuknya.
“Thanks, Urip.. elo emang temen yang baik” katanya sambil mengenakan sweater. Aku membayangkan seandainya aku jadi sweaternya. Usai makan nampaknya dia buru buru ingin masuk ke kamar.

Jenni tidak menolak ketika aku menawarkan mengantarkannya. Di depan pintu kamar dia malah menawarkan aku masuk, pengen ngobrol katanya. Alamak, pucuk dicinta ulam tiba. Aku pura pura lihat jam. Masih jam besar 20.15.

“Lain kali aja deh, gak enak kan ntar apa kata teman teman” kataku agak nervous tapi dalam hati aku berdoa, mudah mudahan dia tidak basa basi.
“Cuek aja Urip, kita kan ada tugas bikin outline..” Memang kebetulan aku dan Jenni satu group dengan 3 orang lainnya, tetapi tugas itu sebetulnya bisa dikerjakan besok siang. Akhirnya aku masuk, duduk di kursi.

Jenni menyetel TV lalu naik ke ranjang dan dengan santai duduk bersila.

“Gimana Jen, kamu udah punya gambaran tentang tugas besok?” kataku basa basi.
“Belum tuh, males ah ngomongin tugas, mending ngobrol yang lain saja” Horee.. aku bersorak, pasti dia mau curhat nih. Bener juga.
“Urip, gue jadi inget cowok gue yang perhatian kayak elo..sama bini elo juga begitu ya?”
“Yah, Jenni.. biasa sajalah, sama siapa siapa juga orang marketing harus baik dong, apa lagi sama cewe kayak elo.. hehehe..”
“Tapi gue akhirnya mengerti kalau cowo perhatian itu gak hanya sama satu cewe, tul gak sih?”
“Tergantung dong Jen, buktinya gue punya bini satu, hahaha..”
“Tapi kayaknya elo juga punya cewe lain.. ya kan?”
“Kok tau sih?” kataku pelan.

Jenni

Aku jadi ingat Dewi mahasiswi yang minta bantuanku menyelesaikan skripsinya dan akhirnya bisa tidur dengannya. Tapi sungguh, aku tidak merusaknya karena aku mengenalnya dengan cara baik baik dan dia tetap virgin sampai akhirnya menikah.

“Stereotip saja, berbanding lurus dengan keramahan dan perhatiannya” katanya lagi dengan senyum yang genit. “Kenapa emang Jen, elo lagi ada masalah dengan cowo lo yang ramah itu?”
“Justru itu Urip, gue lagi mikir mau putus sama dia. Eh, sori kok malah curhat..”
“Santai aja Jen, setiap orang punya masalah dan banyak cara menghadapinya” kataku seolah psikolog kawakan.
“Gue melihat dia jalan ama temen gue, dan kepergok di kosan temen gue itu”
“Trus?”
“Gue gak bisa maafin dia..”
“Ya, sudah mungkin kamu masih emosi saja, santai saja dulu masih banyak pekerjaan. Toh kalau jodoh dia pasti pulang ke pangkuanmu..” kataku.
“Kadang gue pengen balas aja, selingkuh sama yang lain, biar impas..”
“Hmm.. tapi itu kan gak menyelesaikan?”
“Biar puas aja..” Tiba tiba dia menangis.

Wah gawat nih, pikirku. Aku mendekat dan berusaha membujuknya. Lalu entah bagaimana ceritanya aku sudah memeluknya.

“An, jangan nangis, entar orang orang pada dengar” Bukannya mereda, tangisnya malah makin keras. Kudekap dia sehingga tangisnya teredam di dadaku. Jantungku berdebar tak karuan.

Telunjukku menyeka air matanya. Kupandangi wajahnya. Bodoh amat nih cowoknya, cewe cakep begini kok disia siakan pikirku. Dan tanpa sadar aku mencium pipinya, dia melihatku dengan mata sayu lalu tiba tiba Jenni membalas dengan kecupan di bibir. Wah, seperti keinginan gue nih, pikirku dalam hati.

Dan seperti kehilangan kontrol akupun membalas menghisap bibir mungil yang harum dan merekah itu. Jenni membalas tidak kalah hotnya. Napasnya terengah engah tanda napsunya mulai naik. Dengan lembut kutidurkan dia. Dan dengan lembut pula tanpa kata kata, dari balik sweater aku sentuh kedua bukit kembar menantang itu. Jenni mendesis desis.

“Terus rip, perhatian elo bikin gue jadi wanita..”
“Tenang sayang, wanita seperti kamu memang pantas diperhatikan.. hmm?” Seperti minta persetujuannya, perlahan aku angkat sweater dan tshirtnya.

Sekarang kedua bukit kembarnya terbuka. Buset dah, putingnya sudah menonjol keras dan tak ada waktu lagi untuk tidak menyedotnya. Aku memang paling hobby menetek dan menghisap benda terindah di dunia ini. Jenni terus mendesis desis. Tangannya juga sudah menggenggam senjataku yang mulai mengeras.

“Uh.. ahh.. uh..”
“Jenni.. tubuhmu indah sekali..” Kataku memuji seperti halnya memberi pujian kepada customer perusahaanku.
“Ayo, Urip.. jangan dilihat saja, aku rela kamu apakah saja..”
“iya, sayang..” kataku, sambil tanganku merogoh bagian depan celana jeans nya.

Tangannya membantu membuka resletting dan dengan cepat Jenni sudah terlihat dengan CD warna kremnya. Hmm, seksi sekali anak ini, pikirku. 

Hmm..dari balik CD-nya terlihat bulu bulu halus dan hitam legam. Uh, aku sudah tidak sabar lagi namun dengan tenang aku mengelusnya dari luar. Jenni menggelinjang, matanya terlihat saya menahan gejolak. Perlahan kuturunkan CD-nya. Uh, sodara sodara, tercium aroma yang sangat kukenal, dia pasti merawat benda yang paling dicari semua laki laki ini dengan baik.

“Jenni.. boleh aku cium?” bisikku pelan.

Jenni mengangguk lemah dan tersenyum. Perlahan Jenni merenggangkan kedua kakinya. Pasrah. Dengan kedua jariku, kubuka vaginanya dan terlihat klitorisnya yang merah merekah. Basah. Sungguh indah dan harum. Kujulurkan lidahku di sekitar pahanya sebelum mencapai klitorisnya. Jenni mendesis desis dan mulai meracau dan terlihat seksi sekali.

Ngentot Dengan Jenni

“Ayo, Urip.. jangan buat gue tersiksa.. terus ke tengah sayang..” Aku malah menjilat bagian pusernya membuat dia uringan uringan dan makin bernafsu. Bermain sex memang perlu teknik dan kesabaran tinggi yang membuat wanita merasa di awang awang.

“Urip.. gila lo, ke bawah sayang.. please..”
“Hmm.. iya nih, gue emang udah gila melihat memek yang indah ini sayang” kataku terengah engah.

Akhirnya lidahku hinggap di klitorisnya. Kusibak dengan lembut rimbunan hutan yang sudah becek itu. Kuhirup cairan yang meleleh di sela selanya. Kelentitnya kuhisap seperti menghisap permen karet. Akibatnya pantatnya terangkat tinggi dan Jenni menjerit nikmat. Lidahku terus merojok sampai ke dalam dalamnya. Kuangkat pantatnya dan kupandangi, lalu kusedot lagi. Jenni berteriak teriak nikmat. Aku jadi kuatir kalau suaranya sampai keluar. Kupindahkan bibirku ke bibirnya.

“Tenang sayang, perang baru dimulai..” Kataku berbisik. ia mengangguk dan perlahan aku putar posisi menjadi 69. Posisi yang paling aku sukai karena dengan demikian seluruh isi memeknya terlihat indah. Batangku juga sudah terbenam di bibirnya yang mungil dan terasa hangat serta nikmat sekali. Kutahan agar aku tidak meletus duluan.

“Punya kamu enak Urip..” Pujinya layaknya memuji Customer.
“iya, sayang punya kamu lebih enak dan baguss sekali..” kataku terengah engah.
“Uh, becek sayang..” Aku lanjutkan menjilat seluruh permukaan memeknya dari bawah.

Uh, benar pemirsa, siapa tahan melihat barang bagus dan cantik ini. Yang luar biasa, aku yakin dia masih perawan. Bentuk kemaluannya menggelembung dan benar benar seperti belum pernah tersentuh benda tumpul lain.

“Jenni.. kamu masih perawan sayang..”
“iya, Urip.. gue belum pernah..”
“iya, kamu harus jaga sampai kamu menikah..”

“Gue gak tahan Urip, cepetan sayang..” Sungguh, meski banyak kesempatan aku belum pernah berpikir memerawani cewek baik seperti Jenni ini, kecuali istriku. Wanita yang kutahu sedang stress dan sedang mencari pelarian sesaat ini harus ditenangkan. Akan buruk akibatnya ketika dia sadar bahwa keperawanannya diberikan kepada orang lain yang bukan suaminya. Aku percaya jika sudah mencapai orgasme dia justru akan berterima kasih dan menginginkannya lagi. Kembali kujelajahi kemaluannya. Cepat cepat aku jilat berulang ulang klitorisnya.

Dan sodara pemirsa, apa kataku, pantatnya tiba tiba menekan keras wajahku dan mengejang beberapa kali..lalu mengendur.

“Uuhh.. gue nyampe Uripn.. aahh.. uhh.. uhh..” Masih dalam posisi 69, Jenni terdiam sesaat, kulihat kemaluannya masih merekah merah.

Perlahan ia mulai bangkit dan mengecup bibirku.

“Sorry sayang, gue duluan..”
“No problem Jenni.. kamu merasa mendingan?” ia mengangguk, memelukku dan mencium bibirku.
“Terima kasih Urip, elo emang hebat..”
“iya nih, Jenn, gue minta maaf jadi telanjur begini..”

“Gak Papa kok, gue juga senang..” Kami mengobrol sebentar namun tangannya masih menyentuh nyentuh batangku. ia mengambilkanku minuman dan menyorongkan gelas ke bibirku. Ketika tegukan terakhir habis, bibirku perlahan mengulum bibirnya. Putingnya mulai mengeras dan aku mulai aksi sedot menyedot seperti bayi. Jenni kembali menggelinjang.

Aku bisikkan perlahan, “Jenni.. gue pengen menggendong kamu sayang”.

“Hmm..mulai nakal ya..” katanya dan merentangkan tangannya. Aku peluk dan angkat dia lalu kusenderkan ke dinding dekat meja rias. Dari balik cermin kulihat pantatnya yang montok dan mulus itu, membuat gairahku meledak ledak. Dengan posisi berdiri, tubuhnya sungguh seksi. Aku perhatikan dari atas ke bawah, sungguh proporsional tubuhnya. Segera kusedot putingnya dan jariku sebelah kiri segera mengelus rimbunan hutan lebatnya. Basah, hmm..dia mulai naik lagi. Kelentitnya kupilin pilin pelan dan Jenni mendesis seperti ular. Making love sambil berdiri adalah posisi favoritku selain 69. Perlahan sebelah kakinya kuangkat ke kursi pendek meja rias dan terlihatlah belahan memeknya yang merah merekah, indah dan seksi sekali Kuturunkan kepalaku dan segera kutelusuri paha bawahnya dengan lidahku. Dari bawah aku lihat wajahnya mendongak ke atas menahankan nikmat. Sungguh saat itu Jenni kelihatan sangat seksi. Sebelum lidahku mencapai kelentitnya, aku sibakkan klitorisnya dengan kedua ibu jari.

Hmm.. sungguh harum.

“Cepat Urip.. gue udah gak tahan.. jilat sayang.. jilat..” Benar benar nikmat melihatnya tersiksa, namun sebetulnya aku lebih tersiksa lagi karena batangku sudah mengeras bagaikan batu. Aku nyaris tak bisa menahan klimaks, namun aku harus membuatnya orgasme untuk kedua kalinya. Benar saja, begitu lidahku menyedot klitorisnya, Jenni langsung mengejang dan berteriak pertanda orgasme. Kusedot habis cairannya. Luar biasa, aku menikmati ekspresinya ketika mencapai orgasme dan itu jugalah puncak orgasmeku. Cepat aku berdiri dan aku tekan batangku ke sela sela pahanya dan seketika muncratlah semua. crott.. crott..! Wuahh.. “Oh Urip, kita keluar bersamaan sayang..”

“iya, enak banget Jen.. elo membuat gue gila..”
“Sama.., gue berterima kasih elo menjaga gue..”
“Gue sayang kamu Jen..” 

Pemirsa, begitulah ceritanya. Tak selamanya seks harus membobol gawang. Setelah kejadian itu Jenni makin ketagihan. Dia sangat terkesan bisa mencapai orgasme tanpa merusak keperawanannya. Dia juga menyukai posisi 69 dan posisi berdiri yang bisa mirip 69. Kadang kadang aku datang ke kantornya dan hanya dengan mengangkat roknya aku menjelajahi area area sensitifnya secara cepat dan efisien. Dan pada saat yang sama aku juga mencapai orgasme.

 

Baca juga : Kisah Linda Yang Diperkosa Bergilir

#Keuntungan #Menjadi #Marketing

Seorang Janda Yang Ngentot Dengan Marketing Asuransi Terbaru Malam Ini

Seorang Janda Yang Ngentot Dengan Marketing Asuransi

“Tok tok tok…” suara pintu kamarku terdengar diketuk membuyarkan lamunanku.

“Siapa?” sahutku.

“Saya, Nyah…” terdengar suara pembantuku di balik pintu.

“Ada apa, Bi?

“Ada tamu mau ketemu Nyonya…”

“Dari mana?” aku bertanya, sebab aku merasa tidak ada janji bertemu dengan siapapun.

“Katanya dari perusahaan asuransi, udah janji ingin bertemu Nyonya.”

Oh ya aku baru ingat, bahwa aku meminta perusahan asuransi datang ke rumahku pada hari ini, saat aku libur kerja, karena aku ingin merevisi asuransi atas rumah pribadiku yang telah jatuh tempo.

“Suruh dia masuk dulu dan tunggu di ruang tamu, Bi!” bergegas aku mengenakan pakaianku, hanya daster terusan tanpa bra dan celana dalam, karena aku tak mau tamuku menunggu lama, wajahku pun hanya sedikit kuoles bedak.

Setelah aku rasa rapi, bergegas aku menemuinya.

“Selamat siang, Bu!” sapaan hormat menyambutku saat aku tiba di ruang tamu.

“Selamat siang,” aku membalas salamnya.

“Perkenalkan, Bu! saya Steven marketing executive di perusahaan xxx,” tangannya mengundangku bersalaman.

Aku menyambut uluran tangannya, dan mempersilakannya duduk. Sejenak aku perhatikan, usianya kutaksir 25-an, tapi yang membuatku agak tertarik tadi saat posisi berdiri bersalaman, aku sempat mengukur tinggi tubuhku hanya sebatas lehernya, aku perkirakan tingginya 180cm-an, aku agak berkesan apalagi penampilannya bersih dengan kumis tipis menghiasi bibirnya, wajahnya sih memang biasa saja.

Kami terlibat obrolan panjang tentang asuransi yang ditawarkan, ternyata orangnya supel dan ramah, cara bicaranya mencerminkan wawasannya yang luas, pandangannya tidak “jelalatan” seperti lelaki lainnya yang pernah aku temui, padahal puting payudaraku yang tidak menggunakan bh terlihat berbayang dibalik dasterku. Tak banyak pikir lagi, aku segera menyetujuinya, apalagi preminya tidak terpaut jauh dengan asuransiku sebelumnya. Dia berjanji akan datang kembali minggu depan membawa polis-nya.

Sepulangnya dia, aku masih membayangkannya, simpatik sekali orangnya, terutama tubuhnya yang tinggi, hampir sama dengan almarhum suamiku. Juga aku teringat jawaban almarhum suamiku bahwa orang yang tinggi agak kurus, 80% senjatanya panjang dan besar saat aku bertanya, mengapa senjata Mas Budi (almarhum suamiku), besar dan panjang? Aku sendiri bingung, tak biasanya aku berpikiran seperti ini, apalagi baru pertama kali bertemu.

Tapi aku tak mau membohongi diriku, aku tertarik padanya. Waktu seminggu yang dijanjikannya terasa lama sekali. Akhirnya tibalah hari yang dijanjikannya, aku berias secantik mungkin, meskipun tidak mencolok, kusambut kedatangannya dengan manis. Kali ini kulihat Steven mengenakan setelan pakaian kerja lengkap dengan dasinya.

Setelah polis aku terima dan menyerahkan pembayarannya, aku mengajaknya mengobrol sedikit mengenai pribadinya. Ternyata usianya 28 tahun, dengan status bujangan, dan masih mengontrak rumah di daerah Kebayoran Lama, Jakarta.

“Ibu Venda sendiri, bagaimana?” kini dia balik bertanya kepadaku.

Kujelaskan statusku yang janda, kulihat wajahnya sedikit berubah.

“Maaf, Bu! kalau pertanyaan saya menyinggung perasaan Ibu.”

“Tidak apa-apa, toh gelar ini bukan saya yang menghendaki, tapi sudah suratan.”

Sejak tahu statusku janda, Dia jadi sering datang ke rumahku, ada saja alasannya untuk datang ke rumahku, meskipun kadang terkesan dibuat-buat. Hubungan kami menjadi lebih akrab, diapun tidak memanggilku dengan sebutan “Bu” lagi, tapi “Venda” sedangkan aku pun memanggilnya Mas Steven.

Tapi yang aku heran dari Mas Steven adalah sikapnya yang belum pernah menjurus ke arah seks sedikitpun, meskipun sering kali kami bercanda layaknya orang pacaran. Aku jadi berfikiran jelek, jangan-jangan Mas Steven “Gay”. Padahal aku sudah tetapkan dalam hati, bahwa Mas Steven lah orang kedua yang boleh membawaku mengarungi samudera kenikmatan.

Tapi ternyata pikiran jelekku tidak terbukti. Kejadiannya waktu malam Minggu Mas Steven datang untuk yang kesekian kalinya. Kami memutar film roman percintaan, bibiku sejak tadi sudah masuk ke kamarnya tidak tahu ngapain. Mungkin sengaja memberi kesempatan kepada kami anak muda yang sedang dilanda asmara.

Saat adegan percumbuan berlangsung, aku meliriknya, kulihat wajahnya sedikit memerah dan celana panjangnya yang berbahan tipis, kulihat sedikit menggelembung, aku bimbang. Akhirnya kutetapkan hatiku untuk memulai percumbuan dengannya tapi bagaimana caranya?Aku ada ide agak tidak terkesan aku yang mau, aku harus pura-pura sakit.

“Aduh Mas Steven! kepalaku sakit sekali,” aku mulai menebarkan jaring.

Kupegangi keningku yang tidak sakit, pancinganku berhasil, Mas Steven menghampiriku.

“Kenapa Ven?” tanyanya.

“Kok, tiba-tiba sakit.”

“Anu, Mas! tekanan darahku rendah, jadi kadang-kadang kambuh seperti ini,” aku terus merintih layaknya orang kesakitan.

Aku membaringkan tubuhku di sofa.

“Mas, tolong bawa aku ke kamar,” aku semakin nekat.

Kulihat Mas Steven kelabakan.

“Papah aku, Mas!”

Akhirnya Mas Steven memapahku ke dalam kamarku, kutempelkan buah dadaku ke punggungnya, terasa aliran kenikmatan di tubuhku. Dibaringkannya tubuhku di ranjang tidurku, dan bergegas Mas Steven keluar.

“Kemana, Mas?” tanyaku pura-pura lirih.

“Bangunin bibi.”

“Nggak usah, Mas, tolong keningku dibaluri minyak angin saja.”

“Minyak anginnya dimana?” tanyanya.

“Di meja Rias.”

Mas Steven dengan telaten sekali memijat keningku, kurasakan jarinya sedikit gemetar.

“Mas tolong tutup pintu dulu, entar bibi lihat nggak enak,” aku baru sadar pintu kamarku masih melongo.

“Sekalian Mas, TV-nya matiin dulu!”

Mas Steven beranjak mematikan TV, aku segera melepaskan pakaianku, hingga tinggal Bra dan celana dalam saja, kututupi tubuhku dengan selimut, Mas Steven telah kembali ke kamarku dan menutuppintunya.

“Mas tolong kerokin aja deh!” aku mulai memasang jurus.

“Lho, pusing kok dikerokin?”

“Biasanya aku kalau pusing begini Mas!” aku berkilah tak mau kebohonganku terbongkar.

Mas Steven menurut, dan mencari uang logam untuk mengeroki tubuhku.

“Jangan pakai uang logam, Mas! aku biasanya pakai bawang.”

Setelah aku beritahu tempat bawang, Mas Steven kembali lagi ke kamarku, kali ini kulihat wajahnya sedikit berkeringat, tidak tahu keringat apa. Segera aku tengkurap,

“Cepat, Mas, kepalaku tambah pusing, nih!”

Mas Steven membuka selimut yang menutupi tubuhku, dan…

“Mbak Venda, kapan melepas baju?” nadanya terkejut sekali.

Foto Seorang Janda Yang Ngentot Dengan Marketing Asuransi

“Tadi, waktu kamu keluar,” jawabku santai.

Hening sejenak, mungkin Mas Steven masih bimbang menyentuh tubuhku.

“Ayo, Mas!”

“Iya… maaf ya Mbak!” aku mulai merasakan dinginnya air bawang di pundakku, gemetarnya tangan Mas Steven terasa sekali.

“Kenapa tangan Mas gemetaran?”

“iya, aku nggak biasa,” suaranya agak gugup.

“Rileks aja Mas,” aku mencoba menenangkannya.

Akhirnya gerakan tangan Mas Steven semakin lancar di punggungku. Aku mulai merasakan bulu kudukku bangun, terlebih saat tangan Mas Steven mengeroki bagian belakang leherku. Segera aku membalikkan tubuhku, kini buah dadaku yang besar tepat berada di hadapan Mas Steven,

“Mbak, depannya aku nggak berani.”

Aku sudah tidak mau bersandiwara lagi,

“Mas, kalau depannya jangan dikerok, tapi dibelai,” kulihat wajahnya sedikit pucat.

“Memangnya Mas Steven nggak mau?” aku menantangnya terang-terangan.

“Aku nggak pernah, Mbak…” jawaban polosnya membuat aku sadar bahwa dalam urusan seks ternyata Mas Steven tidak punya pengalaman apa-apa alias perjaka ting-ting.

Berpikir seperti itu, nafsuku kian bangkit, segera kudorong tubuhnya hingga rebah di atas pembaringanku. Kubuka kancing bajunya dan melemparkannya ke lantai. “Mbakk, jangan…” Mas Steven masih berusaha menolak, tapi aku yakin suaranya hanya sekedar basa-basi, atau refleksi dari belum pernahnya. Aku mulai menciumi bibir Mas Steven, kumis tipisnya terasa geli di bibirku. Tapi tak ada balasan.

“Mas Steven kok diam saja,” aku bertanya manja.

“Tapi, Mbak jangan marah.. ya?” tanyanya bodoh.

Orang aku yang minta kok aku marah? Mungkin disentakkan oleh kesadaran bahwa dirinya adalahlelaki, Mas Steven langsung menyambar bibirku dan melumatnya. Aku berteriak senang dalam hati, malam inilah dahagaku akan terpuaskan. Ciuman kami berlangsung lama, jari-jariku bergerak mengusap dadanya, putingnya yang hitam kutarik-tarik, sementara jari-jari Mas Steven mulai membelai buah dadaku, usapannya pada puting buah dadaku, membuat syaraf kewanitaanku bangkit, meskipun usapannya terasa agak takut-takut tapi kenikmatan yang aku peroleh tidak berkurang.Apalagi tekanan keras di pahaku membuatku segera sadar bahwa senjata Mas Steven mulai bangkit.

Satu persatu pakaian kami bergelimpangan ke lantai, kini tubuh kami sudah bugil. Tubuhku ditindih Mas Steven, perlahan-lahan mulut dan lidah Mas Steven mulai menggelitik puting buah dadaku, yang terasa makin mengeras,

“Mas… terusss… enak…” aku mulai merintih nikmat.Tanganku segera menggenggam senjatanya, tapi sungguh mati aku kaget dibuatnya, besar sekali.Lebih besar dari punya almarhum suamiku. Aku semakin bernafsu, kukocok perlahan senjatanya yangkeras dan kokoh,

Mas Steven merintih tak karuan. Hisapannya semakin keras di buah dadaku membalas kocokan tanganku di senjatanya. Aku sudah tak tahan menunggu permainan Mas Steven dibuah dadaku saja, nafsuku yang tertahan 3 tahun membuncah hebat dan menuntut penyaluran secepatnya. Dengan penuh nafsu aku segera ambil posisi di atas, tanganku terus mengocok senjatanya yang semakin panjang dan membesar, lidahku mulai menjilati dadanya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, pada bagian putingnya kuhisap dan kugigit pelan.

“Mbak Venda… aku nggak tahan…” Kupercepat gerakan tanganku.

Kulihat muka Mas Steven semakin memerah. Mulutku yang mungil sampai pada senjatanya yang kaku, kujilati seluruh batang senjatanya, kugelitik halus lubang atasnya. Kumasukkan senjatanya ke dalam mulutku,

“Uffhhh…” terasa penuh di mulutku, akibat besarnya senjata Mas Steven.

Mulutku mulai menyedot-nyedot, sementara tanganku terus mengocok batang senjatanya. Remasan tangan Mas Steven di rambutku semakin kuat, hingga akhirnya saat kuhisap kuat dengan kocokankupercepat, aku merasakan tubuh Mas Steven bergetar hebat dan…

“Vennn…” Mas Steven menjerit,terasa cairan kenikmatan itu memenuhi mulutku, agak anyir, tapi aku menelannya sampai tuntas.

“Daaar…” memang perjaka tulen, sebentar saja senjatanya sudah membesar kembali, dan siap bertempur.

Aku segera berjongkok di atas tubuhnya, kuarahkan senjatanya yang besar di lubang kewanitaanku yang sudah basah. Perlahan kuturunkan pinggulku, seret sekali, mungkin terlalu lama tidak dimasuki senjata pria, apa lagi senjata Mas Steven yang besar dan panjang.

Aku merasakan sedikit sakit tapi lebih banyak nikmatnya. Saat bulu kemaluan kami bertemu, dimana senjata Mas Steven amblas seluruhnya ke dalam kemaluanku, sulit digambarkan kenikmatan yang aku dapatkan. Aku diamkan sejenak menikmati denyutan senjata Mas Steven di liang kewanitaanku. Kulirik wajah Mas Steven yang terpejam, mungkin menikmati remasan kewanitaaanku di seluruh batang senjatanya.

Perlahan aku gerakkan pantatku naik turun, kian lama gerakan pinggulku kian buas, aku sudah tak dapat menguasai lagi nafsuku yang sudah tertahan, sesaknya senjata Mas Steven di kemaluanku ditambah cairan pelumas dari tubuh kami masing-masing menimbulkan suara-suara birahi seirama dengan gerakan pantatku.

Akhirnya…

“Venn… aku nggak tahan…” aku rasakan semburan hangat di kewanitaanku, aku semakin cepat… menggerakkan pinggulku meraih puncak kenikmatan yang tinggal selangkah lagi, tapi senjata Mas Steven keburu melembek hingga akhirnya mengecil.

Cerita Sex Lainnya : Pemerkosaan Jurawat Oleh Kepala Desa

Aku tambah panik dan histeris dengan nafsuku yang tergantung. Aku mencoba membangkitkan kembali nafsu Mas Steven, tapi setiap kali aku mau orgasme, Mas Steven selalu mendahuluiku.

Sampai sekarang meskipun kami jadi sering berhubungan badan tapi belum pernah sekalipun aku orgasme. Kalau baru pertama aku masih bisa terima, tapi sudah yang kesekian kalipun masih begitu. Entahlah, kalau buat keperkasaan. Mas Steven jauh dengan almarhum suamiku yang dapat membawaku ke puncak orgasme hingga 4 kali.

 

#Seorang #Janda #Yang #Ngentot #Dengan #Marketing #Asuransi