Pengalaman Main Dengan Mama Mertuaku Yang Haus Terbaru Malam Ini

Pengalaman Main Dengan Mama Mertuaku Yang Haus

Ini adalah cerita mesum yang mana bersumber dari kehidupan ku sendiri, Sudah dua tahun ini aku menikah dengan Nina, dia seorang model iklan dan enam bulan lalu, dia menjadi seorang bintang sinetron, sementara aku sendiri adalah seorang wiraswasta di bidang pompa bensin. Usiaku kini 32 tahun, sedangkan Nina usia 21 tahun.  

Nina seorang yang cantik dengan kulit yang putih bersih mungkin karena keturunan dari ibunya. Aku pun bangga mempunyai istri secantik dia. Ibunya Nina, mertuaku, sebut saja Mama Leni, orangnya pun cantik walau usianya sudah 39tahun.  Mama Leni merupakan istri ketiga dari seorang pejabat negara ini, karena istri ketiga jadi suaminya jarang ada di rumah, paling-paling sebulan sekali. Kita mulai yah cerita mesum ini. Sehingga Mama Leni bersibuk diri dengan berjualan berlian.  Aku tinggal bersama istriku di rumah ibunya, walau aku sndiri punya rumah tapi karena menurut istriku, ibunya sering kesepian maka aku tinggal di Pondok Mertua Indah. 

Aku yang sibuk sekali dengan bisnisku, sementara Mama Leni juga sibuk, kami jadi kurang banyak berkomunikasi tapi sejak istriku jadi bintang sinetron 6 bulan lalu, aku dan Mama Leni jadi semakin akrab malahan kami sekarang sering melakukan hubungan suami istri. Inilah awal hubungan itu terjadi..  Sejak istriku sibuk syuting sinetron, dia banyak pergi keluar kota, otomatis aku dan mertuaku sering berdua di rumah, karena memang kami tidak punya pembantu.

Tiga bulan lalu, ketika istriku pergi ke Jogja, setelah kuantar istriku ke stasiun kereta api, aku mampir ke rumah pribadiku dan baru kembali ke rumah mertuaku kira-kira jam 11.00 malam. Ketika aku masuk ke rumah aku terkaget, rupanya mertuaku belum tidur. Dia sedang menonton TV di ruang keluarga.  

“Eh, Mama.. belum tidur.. “

“Belum, Vir.. saya takut tidur kalau di rumah belum ada orang..”

“Oh, Maaf Ma, saya tadi mampir ke rumah dulu.. jadi agak telat.”

 “Nina.. pulangnya kapan?”

“ Ya.. kira-kira hari Rabu, Ma..”

“Oh.. sudah malam Ma, saya tidur dulu..”

“Ok.. Vir, selamat tidur..”  

Kutinggal Mama Leni yang masih nonton TV, aku masuk ke kamarku, lalu tidur. Keesokannya, Sabtu Pagi ketika aku terbangun dan menuju ke kamar makan kulihat Mama Leni sudah mempersiapkan sarapan yang rupanya nasi goreng, makanan favoritku. 

“Selamat Pagi, Vir..”

“Pagi.. Ma, wah Mama tau aja masakan kesukaan saya”.  

“Kamu hari ini mau kemana Vir?”  

“Tidak kemana-mana, Ma.. paling cuci mobil..”  

“Bisa antar Mama, Mama mau antar pesanan berlian.”

“Ok.. Ma..”

 Hari itu aku menemani Mama pergi antar pesanan dimana kami pergi dari jam 09.00 sampai jam 07.00 malam. Selama perjalanan, Mama menceritakan bahwa dia merasa kesepian sejak Nina makin sibuk dengan dirinya sendiri dimana suaminya pun jarang datang, untungnya ada diriku walaupun baru malam bisa berjumpa. Sejak itulah aku jadi akrab dengan Mama Leni.    Sampai di rumah setelah berpergian seharian dan setelah mandi, aku dan Mama nonton TV bersama-sama, dia mengenakan baju tidur modelnya baju handuk sedangkan aku hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Tiba-tiba Mama menyuruhku untuk memijat dirinya.  

“Vir, kamu capek nggak, tolong pijatin leher Mama yach.. habis pegal banget nih..”

“Dimana Ma?”

“Sini.. Leher dan punggung Mama..”

 Aku lalu berdiri sementara Mama Leni duduk di sofa, aku mulai memijat lehernya, pada awalnya perasaanku biasa tapi lama-lama aku terangsang juga ketika kulit lehernya yang putih bersih dan mulus kupijat dengan lembut terutama ketika kerah baju tidurnya diturunkan makin ke bawah dimana rupanya Mama Leni tidak mengenakan BH dan payudaranya yang cukup menantang terintip dari punggungnya olehku dan juga wangi tubuhnya yang sangat menusuk hidungku.  

“Maaf, Ma.. punggung Mama juga dipijat..”

“Iya.. di situ juga pegal..”

Dengan rasa sungkan tanganku makin merasuk ke punggungnya sehingga nafasku mengenai lehernya yang putih, bersih dan mulus serta berbulu halus. Tiba-tiba Mama berpaling ke arahku dan mencium bibirku dengan bibirnya yang mungil nan lembut, rupanya Mama Leni juga sudah mulai terangsang.  

“Vir, Mama kesepian.. Mama membutuhkanmu..”

Aku tidak menjawab karena Mama memasukkan lidahnya ke mulutku dan lidah kami bertautan. Tanganku yang ada di punggungnya ditarik ke arah payudaranya sehingga putingnya dan payudaranya yang kenyal tersentuh tanganku.    Hal ini membuatku semakin terangsang, dan aku lalu merubah posisiku, dari belakang sofa, aku sekarang berhadapan dengan Mama Leni yang telah meloloskan bajunya sehingga payudaranya terlihat jelas olehku. Aku tertegun, rupanya tubuh Mama Leni lebih bagus dari milik anaknya sendiri, istriku. Aku baru pertama kali ini melihat tubuh ibu mertuaku yang toples.  

“Vir, koq bengong, khan Mama sudah bilang, Mama kesepian..”

“iya.. iya.. iya Mah”.

Ditariknya tanganku sehingga aku terjatuh di atas tubuhnya, lalu bibirku dikecupnya kembali. Aku yang terangsang membalasnya dengan memasukkan lidahku ke mulutnya. Lidahku disedot di dalam mulutnya. Tanganku mulai bergerilya pada payudaranya.  Payudaranya yang berukuran 36B sudah kuremas-remas, putingnya kupelintir yang membuat Mama Leni menggoyangkan tubuhnya karena keenakan. Tangannya yang mungil memegang batangku yang masih ada di balilk celana pendekku.    Diusap-usapnya hingga batangku mulai mengeras dan celana pendekku mulai diturunkan sedikit, setelah itu tangannya mulai mengorek di balik celana dalamku sehingga tersentuhlah kepala batangku dengan tangannya yang lembut yang membuatku gelisah.  Keringat kami mulai bercucuran, payudaranya sudah tidak terpegang lagi tanganku tapi mulutku sudah mulai menarinari di payudaranya, putingnya kugigit, kuhisap dan kukenyot sehingga Mama Leni  kelojotan, sementara batangku sudah dikocok oleh tangannya sehingga makin mengeras.  Tanganku mulai meraba-raba celana dalamnya, dari sela-sela celana dan pahanya yang putih mulus kuraba vaginanya yang berbulu lebat. Sesekali kumasuki jariku pada liang vaginanya yang membuat dirinya makin mengelinjang dan makin mempercepat kocokan tangannya pada batangku.  Hampir 10 menit lamanya setelah vaginanya telah basah oleh cairan yang keluar dengan berbau harum, kulepaskan tanganku dari vaginanya dan Mama Leni melepaskan tangannya dari batangku yang sudah keras. Mama Leni lalu berdiri di hadapanku,    dilepaskannya baju tidurnya dan celana dalamnya sehingga aku melihatnya dengan jelas tubuh Mama Leni yang bugil dimana tubuhnya sangat indah dengan tubuh tinggi 167 cm, payudara berukuran 36B dan vagina yang berbentuk huruf V dengan berbulu lebat, membuatku menahan ludah ketika memandanginya. 

“Vir, ayo.. puasin Mama.. “

“Ma.. tubuh Mama bagus sekali, lebih bagus dari tubuhnya Nina..”

“Ah.. masa sih..” 

“Iya, Ma.. kalau tau dari 2 tahun lalu, mungkin Mama lah yang saya nikahi..”

“Ah.. kamu bisa aja..”

“Iya.. Ma.. bener deh.”  

“Iya sekarang.. puasin Mama dulu.. yang penting khan kamu bisa menikmati Mama sekarang..”

“Kalau Mama bisa memuaskan saya, saya akan kawini Mama..” 

Mama lalu duduk lagi, celana dalamku diturunkan sehingga batangku sudah dalam genggamannya, walau tidak terpegang semua karena batangku yang besar tapi tangannya yang lembut sangat mengasyikan.  

“Vir, batangmu besar sekali, pasti Nina puas yach.”

“Ah.. nggak. Nina.. biasa aja Ma..”

“Ya.. kalau gitu kamu harus puasin Mama yach.”

Pengalaman Main Dengan Mama Mertuaku Yang Haus

“Ok.. Mah..”. Mulut mungil Mama Leni sudah menyentuh kepala batangku, dijilatnya dengan lembut, rasa lidahnya membuat diriku kelojotan, kepalanya kuusap dengan lembut. Batangku mulai dijilatnya sampai biji pelirku, Mama Leni mencoba memasukkan batangku yang besar ke dalam mulutnya yang mungil tapi tidak bisa, akhirnya hanya bisa masuk kepala batangku saja dalam mulutnya.  

Hal ini pun sudah membuatku kelojotan, saking nikmatnya lidah Mama Leni menyentuh batangku dengan lembut. Hampir 15 menit lamanya batangku dihisap membuatnya agak basah oleh ludah Mama Leni yang sudah tampak kelelahan menjilat batangku dan membuatku semakin mengguncang keenakan.  Setelah itu Mama Leni duduk di Sofa dan sekarang aku yang jongkok di hadapannya. Kedua kakinya kuangkat dan kuletakkan di bahuku. Vagina Mama Leni terpampang di hadapanku dengan jarak sekitar 50 cm dari wajahku, tapi bau harum menyegarkan vaginanya menusuk hidungku. 

“Ma, Vagina Mama wangi sekali, pasti rasanya enak sekali yach.”

“Ah, masa sih Vir, wangi mana dibanding punya Nina dari punya Mama.”

“Jelas lebih wangi punya mama dong.. “

“Aaakkhh..”  Vagina Mama Leni telah kusentuh dengan lidahku. Kujilat lembut liang vagina Mama Leni, vagina Mama Leni rasanya sangat menyegarkan dan manis membuatku makin menjadijadi memberi jilatan pada vaginanya.  

“Ma, vagina.. Mama sedap sekali.. rasanya segar..”

“ Iyaah.. Vir, terus.. Vir.. Mama baru kali ini vaginanya dijilatin.. ohh.. terus.. sayang..”.  Vagina itu makin kutusuk dengan lidahku dan sampai juga pada klitorisnya yang rasanya juga sangat legit dan menyegarkan. Lidahku kuputar dalam vaginanya, biji klitorisnya kujepit di lidahku lalu kuhisap sarinya yang membuat Mama Leni menjerit keenakan dan tubuhnya menggelepar ke kanan ke kiri di atas sofa seperti cacing kepanasan. 

“Ahh.. ahh.. oghh oghh.. awww.. argh.. arghh.. lidahmu Vir.. agh, eena.. enakkhh.. aahh.. trus.. trus.. “. Klitoris Mama Leni yang manis sudah habis kusedot sampai berulang-ulang, tubuh Mama Leni sampai terpelintir di atas sofa, hal itu kulakukan hampir 30 menit dan dari vaginanya sudah mengeluarkan cairan putih bening kental dan rasanya manis juga, cairan itupun dengan cepat kuhisap dan kujilat sampai habis sehingga tidak ada sisa baik di vaginanya maupun paha mama Leni.    

“Ahg.. agh.. Vir.. argh.. akh.. akhu.. keluar.. nih.. ka.. kamu.. hebat dech.. “. Mama Leni langsung ambruk di atas sofa dengan lemas tak berdaya, sementara aku yang merasa segar setelah menelan cairan vagina Mama Leni, langsung berdiri dan dengan cepat kutempelkan batang kemaluanku yang dari 30 menit lalu sudah tegang dan keras tepat pada liang vagina Mama Leni yang sudah kering dari cairan. Mama Leni melebarkan kakinya sehingga memudahkanku menekan batangku ke dalam vaginanya, tapi yang aku rasakan liang vagina Mama Leni terasa sempit, aku pun keheranan.  

“Ma.. vagina Mama koq sempit yach.. kayak vagina anak gadis.”

“Kenapa memangnya Vir, nggak enak yach..”

“Justru itu Ma, Mama punya sempit kayak punya gadis. Saya senang Ma, karena vagina Nina sudah agak lebar, Mama hebat, pasti Mama rawat yach?”

“Iya, sayang.. walau Mama jarang ditusuk, vaginanya harus Mama rawat sebaikbaiknya, toh kamu juga yang nusuk..”  

“Iya Ma, saya senang bisa menusukkan batang saya ke vagina Mama yang sedaap ini..  Akhh.. batangmu besar sekali.. “ 

Vagina Mama Leni sudah terterobos juga oleh batang kemaluanku yang diameternya 4 cm dan panjangnya 18 cm, setelah 6 kali kuberikan tekanan. Pinggulku kugerakan majumundur menekan vagina Mama Leni yang sudah tertusuk oleh batangku,  Mama Leni hanya bisa menahan rasa sakit yang enak dengan memejamkan mata dan melenguh kenikmatan, badannya digoyangkan membuatku semakin semangat menggenjotnya hingga sampai semua batangku masuk ke vaginanya.   

“Vir .. nggehh.. ngghh.. batangmu menusuk sampai ke perut.. nich.. agghh.. agghh.. aahh.. eenaakkhh..” Aku pun merasa keheranan karena pada saat masukkan batangku ke vaginanya Mama Leni terasa sempit, tapi sekarang bisa sampai tembus ke perutnya. Payudara Mama Leni yang ranum dan terbungkus kulit yang putih bersih dihiasi puting kecil kemerahan sudah kuterkam dengan mulutku.  Payudara itu sudah kuhisap, kujilat, kugigit dan kukenyot sampai putingnya mengeras seperti batu kerikil dan Mama Leni belingsatan, tangannya membekap kepalaku di payudaranya sedangkan vaginanya terhujam keras oleh batangku selama hampir 1 jam lamanya yang tibatiba Mama Leni berteriak dengan lenguhan karena cairan telah keluar dari vaginanya membasahi batangku yang masih di dalam vaginanya, saking banyaknya cairan itu sampai membasahi pahanya dan pahaku hingga berasa lengket.  

“Arrgghh.. argghh.. aakkhh.. Mama.. keluar nich Vir .. kamu belum yach..?” Aku tidak menjawab karena tubuhnya kuputar dari posisi terlentang dan sekarang posisi menungging dimana batangku masih tertancap dengan kerasnya di dalam vagina Mama Leni, sedangkan dia sudah lemas tak berdaya.  Kuhujam vagina Mama Leni berkalikali sementara Mama Leni yang sudah lemas seakan tidak bergerak menerima hujaman batangku, Payudaranya kutangkap dari belakang dan kuremasremas, punggungnya kujilat. 

Hal ini kulakukan sampai 1 jam kemudian di saat Mama Leni meledak lagi mengeluarkan cairan untuk yang kedua kalinya, sedangkan aku mencapai puncak juga dimana cairanku kubuang dalam vagina Mama Leni hingga banjir ke kain sofa saking banyaknya cairanku yang keluar.    “Akhh.. akh.. Ma, Vagina Mama luar biasa sekali..”. Aku pun ambruk setelah hampir 2,5 jam merasakan nikmatnya vagina mertuaku, yang memang nikmat, meniban tubuh Mama Leni yang sudah lemas lebih dulu.  Aku dan Mama terbangun sekitar jam 12.30 malam dan kami pindah tidur ke kamar Mama Leni, setelah terbaring di sebelah Mama dimana kami masih sama-sama bugil karena baju kami ada di sofa, Mama Leni memelukku dan mencium pipiku.  

“Vir, Mama benar-benar puas dech, Mama pingin kapan-kapan coba lagi batangmu yach, boleh khan..” 

“Boleh Ma, saya pun juga puas bisa mencoba vagina Mama dan sekarang pun yang saya inginkan setiap malam bisa tidur sama Mama jika Nina nggak pulang.”

“Iya, Vir.. kamu mau ngeloni Mama kalau Nina pergi?”

“Iya Ma, vagina Mama nikmat sih.  Air manimu hangat sekali Vir, berasa dech waktu masuk di dalam vagina Mama.”

 “Kita Main lagi Ma..?”

“Iya boleh.”

Cerita sex : Terapi Sex Dengan Dokter Cantik

Kami pun bermain dalam nafsu birahi lagi di tempat tidur Mama hingga menjelang ayam berkokok baru kami tidur. Mulai hari itu aku selalu tidur di kamar Mama jika istriku ada syuting di luar kota dan ini berlangsung sampai sekarang.

 

#Pengalaman #Main #Dengan #Mama #Mertuaku #Yang #Haus

Ibu Mertuaku Jadi Pemuas Batangku Terbaru Malam Ini

Ibu Mertuaku Jadi Pemuas Batangku

Kepulan asap dari sebatang rokok ketengan menemani lamunanku siang itu, Deru kendaraan lalu lalang di antara alunan lagu dangdut dari TV pemilik warteg di mana aku menumpang duduk sambil ngopi tak mampu menggugah pikiranku yang melayang entah kemana. “Ngelamun aja lo, kangen bini ya?’’, tegur Bejo, rekan sesama tukang ojek tempat kami bersama mangkal. Aku hanya membalas dengan senyuman. 

“ Bu…kopi satu,’’ ujarnya kepada pemilik warung. 

“Catur , Den?” ujarnya.

”halah…bosen, dari pagi main sama si Ujang, entar situ kalah lagi”, Bejo hanya nyengir mendengar jawabanku. Siang ini memang pikiranku tengah galau, mengenang peristiwa tadi malam dan pagi hari ini.

Aku tinggal menumpang mertua di sebuah rumah sederhana di kampung perbatasan jakarta. Kami berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Isteriku terpaksa menjadi TKI di Arab Saudi untuk memperbaiki keadaan.

Motor kreditan yang aku pakai untuk mengojek ini juga hasil jerih payahnya.Kondisi mertua juga sama saja, ayah isteriku adalah tukang bangunan yang lebih sering keliling dari satu proyek ke proyek lain daripada dirumahnya sendiri, kadang berbulan-bulan tidak pulang. Bapak, demikian aku memanggilnya, dulu sangat keras menolak pernikahan kami, ya wajar, sudah susah kok dapat mantu yang juga susah. Sementara ibu mertua kebalikannya, ia sosok ibu yang lembut dan baik hati. Mau bagaimana lagi kalau memang sudah jodohnya. Dulu aku sempat bekerja di pabrik sebelum akhirnya bangkrut dan aku kena PHK. Pernikahan kami menghasilkan seorang anak usia 2,5 tahun yang kini diasuh neneknya, ibu mertuaku.

Malam itu hujan sangat deras menghujam bumi. Aku tengah lesehan di atas tikar lusuh menonton TV ketika tiba-tiba ibu mertua tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya menuju kamar mandi , lalu terdengar suara seperti orang muntah. 

Aku menyusulnya,’’ada apa Bu? Masuk angin?, ia mengangguk lemah. 

“Saya panggilkan Teh Nining sebelah ya bu? Tawarku. 

“Gak usah, den, gak enak udah malam begini…mana hujan lagi”, jawabnya. 

“kalau gitu saya bikinin teh panas ya bu, saya juga masih punya obat neh”, ibu mengangguk lalu berjaan menuju kamarnya. Setelah mengantarkan teh dan obat flu, kembali aku berbaring di ruang tamu sederhana itu sampai akhirnya aku terlelap.

Jam dinding kusam itu menunjukan pukul 1.30 malam ketika aku mendadak terbangun karena kembali ibu muntah-muntah di kamar mandi. Dengan segera aku menyusulnya,’’Ibu muntah lagi?”, tanyaku…

ia mengangguk lemah dan berkata ‘’, Ibu kalau belum dikeroki biasanya belum mempan, tapi mau bagaimana lagi,’’ jawabnya pasrah. 

Entah muncul ide darimana,’’ ya udah, biar saya yang ngeroki bu, ibu tunggu aja di kamar’’, jawabku dan ibu sepertinya tidak menolak kecuali ia menginginkan muntah-muntah lagi. Aku bergegas menuju dapur, mencari piring kecil alas gelas dan menumpahkan sedikit minyak goreng, tinggal 1 koin seratusan lama yang kebetulan aku masih menyimpan beberapa. Agak sedikit kaget setibanya aku di kamar, mendapati ibu telah berganti pakaian yang semula daster panjang kini kain kemben batik yang warnanya telah lusuh. Namun bukan itu yang membuat aku menelan ludah, tapi kemben sebatas dada itu telah menampakan bahu ibu yang ternyata kuning bersih, ditambah ketatnya kain itu menampakan lekak lekuk tubuhnya yang masih menampakan keindahan di usianya yang 45 tahun itu. Namun pikiran kotor segera kusingkirkan, bagaimanapun ia adalah orang tua isteriku yang harus kuhormati.

Mulailah aku mengeroki punggungnya dalam posisi ibu duduk membelakangiku di atas ranjang tua di mana anakku juga tengah tertidur di atasnya. Selesai,di bagian pangkal leher dan bahunya, kini gilirang punggung bagian tengah,”maaf bu, kainnya bisa diturunkan sedikit?’, pintaku karena kain kemben itu menghalangi. Ibu mengangguk pelan dan membuka ikatan kain tersebut namun karena kurang hati-hati kain itu melorot hingga pantatnya yang dibungkus celana dalam putih lusuh, dan yang membuat sesuatu di balik celanaku tak bisa diajak kompromi adalah karena sekilas sisi payudaranya terlihat. Ibu segera membenahinya dan mendekap sarung batik itu didadanya, dan aku seolah-olah tak melihat pemandangan indah itu kembali melanjutkan kerokan ku. Peluh mulai bercucuran di dahi ku, bukan hanya karena mengeluarkan tenaga tetapi juga menahan hasrat yang terpendam, setelah setahun berlalu tanpa sentuhan isteriku. Paling maksimal aku hanya bisa melakukan masturbasi untuk sekedar pelampiasan. 

“Ibu kalau capek, baring aja”, pintaku dan ibu menuruti dengan berbaring tengkurap sehingga aku bisa melanjutkan mengeroki punggung mulusnya itu, yang tampak berkilauan terkena sinar redup lampu kamar, belang-belang merah bekas kerokan tak bisa menghilangkan keindahannya. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Aku terus bekerja sampai kemudian kudengar dengkuran halus keluar dari mulutnya, ibu tertidur. Dan entah kenapa aku tak serta merta menghentikan kerokan, seolah-olah ingin lebih lama menikmati pemandangan sensual tubuhnya. Khawatir ibu terbangun tiba-tiba, kini aku hanya memijat-mijat pelan pinggangnya…terus ke bawah hingga tumpukan daging kenyal pantatnya yang membusung itu.

Mula-mula tanganku gemetar, namun menyadari ibu seolah-olah kian tenggelam di alam mimpi, aku makin memberanikan diri. Entah setan mana yang mengendalikanku, usai berlama-lama menjamah pantatnya, kini kucoba pelorotkan sarungnya ke bawah. Mataku nanar menyaksikan bayangan belahan pantatnya dibalik celana dalam lusuh yang menipis akibat keseringan di cuci itu, mana berlubang di sana-sini menampakan kulit di belakangnya, desakan batang kontolku kian mendesak celana pendek yang kupakai, menciptakan semacam tenda kecil di antara selakanganku. Dengan tangan gemetar ku pelorotkan celana dalam ibu secara perlahan, hubungan mertua-menantu ke depan dipertaruhkan dalam aksi nekat itu. Gerakanku terhenti ketika tepi paling atasnya tiba di pangkal paha ibu mertua yang agak merapat itu. Tentu saja bentuk pantat bahenol itu, bayangan hitam lubang anusnya dan tumpukan rambut hitam di bawahnya membuat aku kehilangan kontrol. Ku oleskan sebagian minyak goreng itu di atas pantat ibu, sambil meremas-remasnya, dan kini berkilauan sebagaimana punggung ibu tadi.

Dengan jantung berdegup, ku turunkan celana pendekku, lalu merangkap di atas tubuh tengkurap ibu yang sangat nyenyak tertidur, namun kuupayakan tidak menindihnya. Ku selipkan batang kemaluanku yang sedari tadi sangat mengeras di antara belahan pantat ibu, lalu mulai menggosok-gosokannya pelan, sehati-hati mungkin agar ia tak terbangun. Tapi sensasi yang kurasakan sangat luar biasa, anda akan paham jika lama tak merasakan kenikmatan tubuh wanita. Mataku menyaksikan wajah ibu yang damai dalam tidurnya, ia cukup manis walau mungkin jarang tersentuh make up, ingin rasanya kuciumi pipinya tapi tentu beresiko. Dan tak menunggu lama ketika aku mengejang lalu semburan demi semburan sperma hangat ..dan sangat banyak, hingga di pantat, punggung, bahkan leher ibu. Lama aku mematung hingga denyutan-denyutan orgasmeku hilang dan kemaluanku mulai mengerut. Baru kemudian aku beranjak….kepanikan kecil melandaku melihat lelehan benihku di atas tubuh ibu. Ku lepaskan kaus kumal yang kupakai, dan kugunakan sebagai lap menghilangkan jejak-jejak tindakan mesum yang kulakukan malam itu. Dengan terburu-buru kurapikan kain kemben ibu, dan bergegas keluar kamar. Usai dari kamar mandi kembali kubaringkan tubuh,’’ apa yang kau lakukan”, pikirku…namun akhirnya terlelap juga….dengan rasa puas.

Seperti biasa, pukul setengah enam pagi aku terbangun, usai sekedarnya membersihkan rumah, ku sempatkan mengintip kamar ibu. Ia masih tertidur, kain kembennya sudah terikat di dada, namun agak tersingkap di bagian paha, membuat aku kembali menelan ludah. Di sebelahnya, anakku telah terbangun, tengah asyik memainkan mobilannya sambil berbaring. Aku kemudian mandi, sedikit tertegun melihat kaus kumal tadi malam, lalu aku mencucinya.

“Bu…ibu,”, panggilku mencoba membangunkannya sambil sedikit menepuk pundaknya. Matanya mulai membuka. 

“Sudah jam setengah delapan bu, ibu sudah enakan?”..ia mengangguk pelan,’’ tapi masih lemas Den, linu-linunya belum ilang, Ari mana?’’ tanya Ibu.

”Sedang main di luar bu, sudah saya mandikan dan kasih sarapan, tadi saya belikan bubur ayam di depan, ibu sarapan ya?’’, jawabku sambil menawarkan bubur ayam. Ibu bangkit perlahan dan duduk di tepi ranjang, semangkuk bubur dan segelas teh kuletakan di atas meja kecil di dekat ranjang. Aku meninggalkannya. Dan tak lama kemudian kembali aku memasuki kamarnya dan menyerahkan obat,” lho..kok gak habis bu?”, tanyaku melhat bubur itu masih separuh tersisa.

”Masih pahit Den’’, jawabnya. 

“Ya udah, ibu minum obat …air panas udah saya siapkan di kamr mandi”, ibu lalu meminum obat dengan perlahan…,

”ibu masih pegal Den, mau istirahat lagi, ntar aja deh mandinya”, jawabnya. 

“ehmm…kalau gitu saya kompres aja ya bu”, tawarku…

”gak usah repot…”, belum usai kalimatnya aku sudah setengah berlari ke dapur, mengambil handuk kecil dan baskom kecil lalu menuangkan air hangat ke dalamnya.

Ibu sudah terbaring di kamar ketika aku masuk. Aku mengambil kursi kayu lalu duduk disampingnya, meremas handuk dan mulai secara lembut mengusap wajahnya. 

“Ibu jadi gak enak nih Den, jadi ngerepotin kamu”, katanya. 

“ah…ibu kan sudah seperti ibu saya sendiri”, jawabku sambil terus melapi leher, pundak hingga dada atasnya. Lalu kedua lengannya hingga ketiaknya yang putih dan sedikit ditumbuhi bulu itu, membuat senjata biologisku mulai berulah. 

“Ibu bisa tengkurap sebentar?”, pintaku pada ibu. Namun ibu justeru duduk membelakangiku untuk mempermudah melapi pungunggnya. Usai belakang leher hingga bahu sampai batas kain ,

’’bisa turunin dikit kainnya bu?’’, tanpa berkata-kata ibu melepaskan ikatan sarungnya, dan kembali kunikmati punggung yang kini berbelang merah sampai batas pinggang itu, dengan lembut ku usap seluruh permukaan kulitnya dengan handuk basah hangat tadi, dan butiran keringat mulai muncul dari pori-pori kulitnya. Aku hanya bisa nyengir menyaksikan beberapa bercak sperma kering yang mengerak di kulit punggung ibu dan segera ku lap.

Nafas ibu tampak teratur, kali ini sasaranku bawah ketiak dan sisi samping tubuh ibu. Kulihat kulitnya bulu-bulu kuduknya keluar. Semakin sulit aku mengatur nafas manakal ujung jari ku menyentuh sisi payudaranya. Dan seperti sengaja, aku berlama-lama mengusapkan handuk itu di situ…”Den..”,teguran ibu menyadarkanku. Namun karena ia tak menyuruhku berhenti, aku lalu memindahkan usapan tanganku ke bagian depan tubuh ibu, yaitu perutnya yang masih tertutup sarung. Dan ibu tidak protes. Mula-mula bagian tengah, lalu bagian atas…kucoba terus mendesak ke atas dengan maksud menyentuh bagian bawah payudaranya, namun terhalang tangan ibu yang masih mendekap sarung itu di dada. Lalu kembali ke tengah perutnya..dan bawah…terus ke bawah pusarnya, sehingga sebagian jari ku tak sengaja menyelip di bagian atas celana dalamnya. Tangan ibu jatuh ke bawah mencoba mencegah aksiku lebih lanjut, namun munkin karena panik membuat payudaranya tersingkap, dan tak membuang waktu masih dengan handuk basah di tangan, ku usap-usap perhiasan alami kaum wanita itu, 

“Den..” seru ibu dengan suara nyaris berbisik…

”ssshhh, tenang Bu” desisku menenangkan ibu yang kini nafasnya mulai tersendat-sendat. Aku belum melakukan tindakan lebih jauh kecuali melap dengan penuh kelembutan gunung kembar yang bahkan lebih besar dari punya isteriku itu, namun degupan jantung dan deru nafasku yang kian memacu sudah bisa menggambarkan betapa luar biasanya gairah yang ditimbulkan tubuh ibu kandung isteriku itu.

Aku tidak tahu bagaimana perasaan ibu, yang aku tangkap hanya kuduknya yang merinding, lalu tubuhnya yang agak gemetar dan deru nafasnya yang mulai tak beraturan. Aku hanya bertindak mengikuti naluri…naluri seorang pria yang sekian lama tak merasakan kehangatan tubuh wanita. Ibu memegang kedua pergelangan tanganku, ada sedikit upaya menarik tanganku dari permukaan dadanya, namun aku sudah kehilangan kendali…handuk basah itu jatuh di pangkuannya, dan kini telapak dan jari jemariku mulai meremas-remas gundukan daging kenyal itu dan memilin-milin putingnya. Mulutku mengecup belakang leher dan pundak ibu. 

“Den….jangan”, ujarnya lirih…ketika satu tanganku mencoba masuk menyelusup celana dalamnya, ia memegang pergelangan tanganku yang sayangnya sudah berada di atas gundukan bulu-bulu hitam lebat di bawah pusarnya. Dan pertahanan moralku pun roboh, ku rebahkan tubuh ibu dan mulai menindihnya, ia melawannya dengan mencoba mendorong tubuhku, namun tentu saja apalah arti tenaga wanita separuh baya dibanding pemuda yang tengah terbakar nafsu.

Ibu Mertuaku Jadi Pemuas Batangku

”Den…jangan, aku ini ibu mu…ibu mertua mu..mmmff”..ucapannya terhenti ketika kusumpal paksa mulutnya dengan mulutku…”mmmf…Den..mmmhh”, tangannya terus meronta namun kutangkap dan kurentangkan ke atas…membuatku tergoda untuk menciumi ketiaknya…

” Den…apa kata orang nanti…ini gak bener..Den…ouhhf”, kembali kulumat bibirnya dan pergelangan tangannya ku tahan dengan satu tangan karena sebelah tanganku sibuk berupaya melepaskan celana yang kupakai. Ibu mulai menangis terisak, dan tubuhnya menggeliat-geliat melakukan perlawanan namun justeru menciptakan pemandangan sensual yang kian menggoda. Dan matanya membelalak dan kian panik ketika dengan paksa kurenggut celana dalamnya..”preekkk”, dan ia melakukan perlawanan terakhir dengan merapatkan kakinya, tetapi terlambat…satu lututku telah berada di antaranya, dengan paksa kulebarkan kakinya…batang kontolku sudah berada di antara dua pahanya..mencari-cari sebentar dan..kurasakan tumpukan bulu-bulu di ujung kepala jamur kelaminku itu…dan akhirnya menemukan sasarannya…celah di antara perbukitan rumput hitam itu, yang ternyata…telah basah. Sehingga dengan sedikit mudah benda tumpul itu mulai mendesak masuk….dan rasanya bahkan lebih sempit dari rongga vagina isteriku….apakah karena ibu juga jarang disentuh bapak mertua? Wajah ibu hanya meringis pasrah, air matanya mengalir menemani isakan dari mulutnya.

”maafkan aku, bu…aku sayang ibu, aku butuh ibu, ibu juga kan?”, ujarku dengan mesra di depan wajah ibu sambil berusaha mengayun-ayunkan pinggulku. Ibu hanya terisak dan menggigit jarinya, dengan liar aku mulai memompa tubuhnya…oh luar biasa nikmatnya. Mula-mula perlahan sampai makin cepat dan ganas menyebabkan tubuh ibu dan payudaranya berguncang-guncang, sangat sayang jika disia-siakan, maka segera kutangkap gunung kembar yang tengah diguncang gempa itu, dan kugigit ringan dua pucuknya bergantian, membuat ibu kian merintih.

Pagi itu suasana sejuk berubah menjadi panas, tubuhku dan tubuh ibu mulai dibanjiri keringat. Kamar dengan cat mengelupas di sana sini itu seolah-olah berubah menjadi kamar pengantin yang indah, diiringi deritan ranjang tua yang bergerak dan suara kecipak dua kelamin beradu. Ku tarik tangan ibu dari mulutnya, ku lumat bibirnya yang memerah itu..”ouuhh..Den..mmmmf”, lenguhnya membuat aku kian brutal mengobrak-abrik liang senggamanya, liang yang telah menghadirkan istriku 25 tahun lalu itu. Ibu setengah menjerit ketika tiba-tiba dua kakinya dirangkulkan erat-erat di atas pinggangku dan kedua tangannya memeluk ketat diriku…ia telah mengalami orgasme, menyadari hal itu menimbulkan sensasi tersendiri hingga tak menunggu lama aku tak bisa lagi menahan ejakulasi ku, semprotan demi semprotan benih terlarang bagai air bah menerjang setiap sudut gua kenikmatan ibu mertuaku itu. Aku rebah di atas tubuh telanjang ibu, mencoba mengatur nafas, dan ibu mengusap-usap punggungku dan mengeramasi rambutku. Sampai akhirnya aku bangkit meninggalkan tubuh ibu dan mencabut kelaminku dari jepitan vaginanya. Dengan segera cairan putih kental mengalir keluar dari celah bibir kemaluannya, menciptakan danau kecil di atas sprei lusuh. Segera kusambar handuk basah tadi, ku basuhkan ke permukaan memek ibu dan sprei, lalu kuusapkan pula ke sekujur batang kontolku. Kemudian menyusul berbaring di sisi ibu.

Mata ibu menerawang ke langit-langit kamar tanpa plafon itu. Aku menatap wajahnya yang masih basah bekas sisa keringat dan air mata. Dadanya naik turun membawa serta dua gunung indah di atasnya, membuatku tergoda untuk menjamahnya. Ibu tidak protes…

”Den…kenapa kamu lakukan itu, ini gak bener Den, ini dosa, apa kata tetangga nanti? Apa kata bapakmu? Apa kata Asih? Ujarnya lirih. 

“Ma’afkan saya bu…saya khilaf, saya lelaki normal bu, berpisah setahun dari Asih itu sangat berat buat saya bu..tapi mau bagaimana lagi? Saya pasrah…seandainya ibu mau mengusir saya silahkan, saya titip Ari aja bu”, jawabku. 

Ibu kembali menangis dan berujar..”ibu gak akan ngusir kamu Den…kamu telah baik selama ini membantu ibu, ini salah ibu juga, ibu minta ini jadi rahasia kita berdua Den”, 

“saya akan jaga rahasia ini Bu”, jawabku pelan sambil berupaya memeluknya, kali ini ibu dengan pasrah meringkuk dipelukanku dan menumpahkan tangisan di dadaku sampai akhirnya mereda, dan entah siapa yang mendahului kembali bibir kami saling berpagutan.

Tanganku mulai meremas-remas payudara montok milik ibu, sementara ibu dengan malu-malu mengusap-usap batang penisku yang kembali siap tempur. Pertarungan ronde kedua kembali dimulai. Menyadari ternyata ibu juga memendam hasrat, kali ini setiap adegan film-film porno yang biasa aku lihat bersama tetangga, kupraktekan. Aku bangkit mengangkangi dada ibu, kuarahkan batang penisku ke mulutnya, mula-mula ia jengah menolak, namun terus kupaksa, sampai akhirnya agak terbatuk-batuk ia telan nyaris seluruh batang kontolku. Aku tak begitu bertindak memaksa khawatir ia akan muntah-muntah lagi. Yang penting sensasi bahwa aku menguasai dirinya menjadi kepuasan tersendiri. Ku putar tubuhnya hingga membelakangiku, ku susun dua tumpuk bantal di bawah perutnya, sebelum kusetubuhi dari belakang aku melakukan ritual menjilati setiap mili memeknya, membuat ibu kembali merinding dan merintih-rintih. Lalu…,’’jlebb’’…kembali batang kontolku tenggelam dalam liang senggama ibunda isteriku itu. Kali ini ibu tak malu-malu mengeluarkan suara rintihan nikmat. Pantat molek itu mulai berguncang-guncang akibat hentakanku. Tanganku segera meraih gunung kembar yang kini bergantung terayun-ayun.”ouuh…Den…oohhh”, rintih ibu menemani geramanku…tubuh kami kembali berkilauan basah oleh keringat. Ronde kedua ini lebih lama berlangsung…ibu menghujamkan wajahnya di bantal untuk meredam suara pekikan ketika orgasmenya tiba..bagaimana mungkin wanita sehangat ini bisa ditinggal ayah mertua, pikirku. Capek melakukan doggi style, kembali ku telentangkan tubuh bugil ibu mertuaku itu, pantatnya kembali kuganjal bantal sehingga pinggulnya mendongak, ku pentangkan lebar-lebar selangkangan ibu, dan kulipat lututnya hingga nyaris menyentuh pundaknya…lalu satu tusukan teramat dalam kembali dialami lubang kemaluan ibu.

Ibu kembali mendesah-desah menerima setiap hentakan demi hentakan senjata biologis milikku…dan sekali lagi ia mengalami orgasme dahsyat yang tak dirasakannya bertahun-tahun, mengundang datangnya orgasmeku pula yang sekali lagi menyirami mulut rahimnya dengan cairan benih potensial. Pagi itu hubungan menantu-mertua telah melanggar batas menjadi hubungan terlarang sepasang kekasih yang masing-masing masih terikat perkawinan. Dan persetubuhan itu kembali terjadi hingga aku mengalami 5 kali orgasme,,,ibu mertua? Tak terhitung malah. Menjelang siang aku segera beranjak keluar kamar yang kini beraroma seks itu. Bagaimanapun aku harus mencari nafkah, dari situlah aku bisa membeli susu untuk anakku dan kebutuhan sehari-hari yang biasanya kuserahkan pada ibu mertua.

Malam menjelang pukul sembilan aku baru pulang. Ibu tengah menonton TV menemani anakku yang tengah bermain. Seutas senyum kecilnya menyambut kehadiranku. “Ibu udah sehat? ini bu, buat belanja besok”, ujarku seraya menyerahkan 3 lembar uang 10 ribuan. “Makasih…ibu udah mendingan kok, Deni makan dulu sana, ibu hanya beli makanan jadi tadi siang, belum masak”, jawabnya. Benar kata orang, sex bisa jadi obat, pikirku seraya menyambar handuk digantungan dan menuju kamar mandi. Usai makan malam, aku bangkit ke ruang tengah. Ibu masih berbaring di depan TV, sementara anakku sudah tertidur di sampingnya. Ku angkat dia dan kubaringkan di ranjang ibu. Di luar kamar, tanpa basa basi lagi kutindih tubuh ibu, ku lolosi daster lusuhnya melewati kepalanya, lalu beha dan celana dalamnya. Bibir kami segera berpagutan. Kuremasi setiap bagian indah lekuk tubuhnya, payudara, pinggul, pantat…sambil mencolokan dua jemariku di vaginanya yang tanpa disuruh sudah diselaputi cairan pelumas. “oohh…Den….aahh…”, bagai kepedasan ibu terus mendesah. 

“Isap kontolku bu”, ujarku sambil menariknya agar berlutut dihadapanku..sulit dibayangkan kata-kata tak pantas itu bisa keluar dari mulutku terhadap seseorang yang seharusnya aku hormati .

”mmmf …mmmf..mff”, ibu mulai mahir melakukan hisapan, jilatan bak pelacur profesional.

Puas merasakan hangatnya rongga mulut ibu, ganti aku mengunyah, menghisap dan menusuk-nusuk lubang memeknya dengan lidah dan jemariku, pinggul ibu bergerak kesana – kemari dan mulutnya mulai ribut merintih, khawatir didengar tetangga, segera kuarahkan batang penisku ke mulutnya, dalam posisi 69 kami saling mengecap kemaluan masing-masing hingga kami puas. Di atas tikar lusuh itu, ibu dengan sadar membuka lebar-lebar pahanya, membuat celah vaginanya merekah merah dan basah. Dan ia meringis ketika kembali benda terlarang memasuki tubuhnya. 

“oooh…Den,”…”ibu…ahhhss”, sekian menit kemudian di antara rintihannya, ibu berkata..”den…pindah yuk, punggung ibu sakit kalau di sini”, pintanya, aku mengangguk dan mencabut kemaluanku. Ibu beranjak berdiri hendak berjalan menuju kamar, namun pinggangnya segera kutangkap. Dari belakang kembali kusetubuhi ibu, kutangkap sepasang payudaranya yang montok itu. Sambil kusetubuhi, ku dorong tubuhnya agar berjalan, hingga kami tiba di dalam kamar. Ibu merangkak naik ke atas ranjang tanpa batang kontolku meninggalkan jepitan liang senggamanya. Kembali ku hentak-hentakan pinggulku hingga ranjang tua itu berderit-derit, membuat apa yang diatasnya berguncang-guncang tak terkecuali anakku yang tengah tidur dengan nyenyaknya.

Ibu menggigit jari mencegah rintihan keras keluar dari mulutnya. Beberapa lama kemudian kembali kutelentangkan tubuhnya, dengan otomatis ia membuka pahanya…dan “blesss”,,,batang penisku kembali amblas ditelan rongga sempit,basah dan hangat milik ibu. Ku rentangkan tangannya ke atas, kuhirup dalam-dalam aroma asli tubuh wanita setengah baya yang masih sangat sensual itu. Keringat kami kembali saling melebur menjadi satu, deritan ranjang tua itu mengiringi irama bergesekannya dua kelamin dan suara jangkrik di luar. Dan Ibu menyembunyikan wajahnya di dadaku ketika ia dilanda kepuasan bathin hubungan terlarang malam itu. Dan berkali-kali pula cairan spermaku mengisi penuh rongga memek ibu. Malam itu ibu mengalami lebih 6 kali orgasme, sedangkan aku sampai empat kali hingga spermaku nyaris habis.

Cerita sex : Diperkosa Saat Mati Lampu Di Warnet

Bulan-bulan berikutnya hubungan haram itu terus berlangsung. Dan membawa konsekuensi tumbuhnya benih yang kutanam. Untunglah sebelum berkembang leih besar, bapak mertua datang. Walau membuatku begitu cemburu ketika suatu malam ranjang tua kamar ibu kembali berderit, bukan karena ulahku, tapi bapak mertua. Hingga sebulan kemudian bapak mertua kembali dapat obyekan dan meyakini istrinya hamil karena dirinya. Setelah ia pergi, bisa ditebak. Kembali ranjang tua itu berderit-derit akibat persetubuhan aku dan ibu, sampai menjelang anak kami lahir.

#Ibu #Mertuaku #Jadi #Pemuas #Batangku